"Mengerti semua?!" tanya Pak Eko menatap mata kami satu persatu. Mirip elang yang akan menerkam mangsanya. Tatapan yang sejak awal bisa membuat tiap orang gentar. Ia terkenal tegas dan garang. Walau sebenarnya hatinya lembut.
"Mengerti, Pak."
Serempak kami menjawab bagai padauan suara. Karena jika jawaban itu kebalikannya, maka kami harus mendengar penjelasan itu selama 2 jam, lagi. Ini mirip amanat pembina upacara saat peringaran 17 agustus. Membosankan.
"Dan kalian berdua!" Tunjuk beliau padaku dan Nova yang duduk bersebelahan. "Tolong kerja samanya. Bantu yang lain. Besok ada 4 tenaga bantuan lagi. Mereka bakal pindah ke sini. Bukan seperti kalian, yang di sini cuma sementara."
Aku dan Nova saling melirik, memberikan kode satu sama lain dengan menaikkan sebelah alis, sementara yang satu mengerdikan bahu.
"Tari, Doni, Rahma, sama Hadi." Seolah tau kebingungan dari raut wajah kami. Pak Eko menyahutnya santai namun seperti penuh makna.
Kami berdua hanya membulatkan bibir membentuk kata Ooo. Tanpa suara.
"Dan Ocha! Lakukan apa yang menurutmu benar. Saya yakin kamu bisa. Walau hal itu membuat nyawamu terancam sekalipun."
Tajam, dalam dan bermakna. Aku masih mengira-ngira maksud perkataan Pak Eko. Dan akhirnya mengerti. "Siap, Pak."
Mereka beberapa karyawan yang memang ada di pusat, dan saat ini, cabang memang sedang membutuhkan banyak tenaga ahli yang lebih berpengalaman. Mereka adalah beberapa orang yang cukup mumpuni. Hanya saja, aku heran. Kenapa mereka bertiga harus datang ke sini bersamaan. Doni, Tari dan Rahma. Sepertinya Pak Eko memang sengaja melakukannya. Dan sisanya adalah tugasku.
Jam 12.00
Waktu makan siang. Di dekat kantor ada sebuah cafe yang katanya cukup murah dan masakannya enak. Karena perut sudah mulai berdemo, dan sebelum demonya menjadi anarkis, aku langsung mengajak Nova turun ke bawah. Nova adalah salah satu teman dekatku di kantor. Ia yang paling paham dan mengerti aku. Dan sering membantuku menyelesaikan pekerjaan yang begitu banyak.
Di tangga kami bertemu Uci, karyawan lama yang cukup aktif saat meeting tadi. Ia terlihat supel. Dan sedikit manja.
"Hai ... mba. Mau makan, ya?" tanyanya yang sepertinya sengaja menunggu kami.
"Hai, Ci. iya nih, mau bareng?" Tanya Nova basa basi. Uci mengangguk. Kupikir tidak ada salahnya mengajaknya. Kami bisa lebih akrab dan sharing seputar keadaan kantor.
Namun saat kami akan turun dari tangga, tiba-tiba Angga berlari kecil menyelinap di antara kami.
"Minggir... minggir," teriaknya tanpa menatap bahkan hanya fokus pada lantai yang ia pijak.
Otomatis kami menyingkir dan sedikit heran melihatnya.
"Napa tuh anak?" Celetuk Nova sedikit heran atau sekedar basa basi.
"Paling ada yang nungguin di bawah, mba. Biasanya dia di kirim makanan," bisik Uci yang membuatku sedikit penasaran.
Ternyata saat sampai ke bawah, benar apa yang dikatakan Uci. Angga sedang berbincang dengan seorang wanita dengan kantung plastik yang sepertinya kotak makan di tangannya. Mereka terlihat akrab satu sama lain.
"Iya ... hati-hati, ya," kata Angga pada wanita tadi. Ia sudah pergi dengan motor matic sesaat setelah kami sampai di bawah.
"Cie ... dianterin makan," canda Uci sambil menatap wajah Angga dan kantung plastik di tangannya bergantian.
"Bacot!" Ia segera masuk kembali ke dalam dan sedikit melirik padaku. Hanya saja aku hanya diam tanpa ekspresi. Hanya menyungging bibir agar tidak terlihat aneh.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke cafe yang ternyata ada di depan kantor. Cukup dekat. Rasanya aku tidak perlu pergi lebih jauh lagi. Dan lagi aku tidak tau jalan. Bahkan aku lupa di mana letak rumah kontrakan kami. Astaga.
Suasana cafe cukup ramai. Dengan interior gedung yang kekinian, lampu dan beberapa stiker dinding membuat suasana lebih nyaman dipandang mata. Sudah hampir penuh meja di dalam, Karena ini memang jam makan siang. Dan lagi hampir semua karyawan makan di tempat ini. Kecuali mereka yang membawa bekal makan sendiri. Akhirnya kami bergabung dengan karyawan lain agar mendapat tempat. Mereka cukup ramah dan menyenangkan. Berbagai obrolan menghidupan suasana sekaligus mendekatkan kami.
Hingga saat makan, perhatianku tertuju pada seseorang yang terasa sangat familiar. Bayangannya walau sekilas, sangat kukenal. Kuperhatikan dia lekat-lekat. Hingga akhirnya aku sadar, dia orang yang sama.
"Idham?!" Gumamku berusaha meminimalisir suara. Antara yakin dan tidak yakin. Karena penampilan orang itu tidak begitu mirip dengan Idham yang dulu ku kenal. Hanya saja saat aku terus menatapnya, ia ikut menoleh, melotot melihatku, lalu tersenyum. Tidak hanya itu. Kini ia menyeringai dengan tatapan yang sama. Sama seperti beberapa tahun lalu. Sama seperti saat dia ... oh tuhan. Kenapa dia kembali muncul di depanku? Kenapa harus dia?
"Cha? Kenapa?" Tanya Nova, menggoncangkan tubuhku hingga aku kembali tersadar, lalu menatapnya. Ia menaikkan sebelah alisnya menunggu jawabanku. Kugigit bibirku agar ia tidak menyadari kegugupan yang mulai kuperlihatkan.
"Aku nggak apa-apa. Aku balik kantor duluan, ya. Lupa handphone ku ketinggalan di tas," elakku agar ia tidak curiga. Ia pun mengangguk, tidak yakin.
____
Berkali-kali aku menengok ke belakang. Dan mulai mempercepat langkahku. Aku berusaha sembunyi saat dia tidak melihatku. Berharap ia tidak menemukanku lagi. Hanya itu saja.
Saat sampai kantor aku masih cemas. Hingga tanpa sadar aku menabrak seseorang. Yang berdiri di depanku.
"Dih! Ngapain lu? Lari-lari. Kayak dikejar setan aja?" Tanya Angga sedikit kesal, yang ternyata baru keluar dari toilet.
"Hah? Apaaan? Siapa?" Aku masih bingung dan sesekali melihat ke arah datangnya aku tadi. Tidak ada orang lain. Hanya kami yang ada di lorong ini.
"Kenapa sih? Lagi main petak umpet sama Uci?" Angga bertanya sambil ikut melihat ke belakang kami. Ia bermaksud bercanda namun saat ini itu terdengar tidak lucu.
"Enggak kok."
Tak menunggu apa pun lagi, aku segera kembali berjalan dan masuk ke ruangan kami.
"Woii! Mba?" Teriakan Angga tak kuhiraukan lagi.
Bumi terasa bergoyang. Pandanganku sedikit tidak stabil. Bahkan saat aku masuk, aku terus berpegangan pada tembok dan apa pun yang memang ada di sekelilingku. Aku takut roboh seperti biasanya.
"Kenapa, Mba?" Tanya Hadi yang membuatku makin pusing. Ia berusaha meraih tanganku saat aku akan menunjuknya. Melotot padanya, dengan kerutan di dahi.
"Loh? Kok di sini?"
"Iya. Kan aku sekarang di sini to. Lupa, ya? Tuh sama yang lain juga," jawabnya sambil menunjuk tiga orang lainnya.
"Oh udah sampai?"
Aku mencoba berdiri tegak. Hadi mulai melepaskan tanganku. Hanya saja, ia terus menatapku aneh.
"Kamu nggak apa-apa? Sakit, kah?"
"Aku baik-baik aja kok. Capek aja. Jalan tadi. Hehe." Kutekan dadaku berusaha melebarkan senyum dengan mengontrol emosi dan napas yang hampir habis. Di saat itulah, Angga masuk.
"Elu kenapa sih, mba?" tanya Angga terlihat khawatir.
Aku tidak menjawab hanya menyatukan jari telunjuk dan ibu jariku membentuk huruf O. Kemudian duduk di kursi. Beberapa orang terlihat ikut menatapku. Tatapan mereka hampir sama, heran. Dan penasaran.
"Cha? Kamu pucet! Sakit?!" Rahma mendekat, meletakkan punggung tangan di dahiku. Memeriksa kedua bola mataku dalam jarak dekat. Dia memang mirip dokter. Sangat detil dalam memperhatikan sekitarnya. Bahkan ia tau jenis obat untuk beberapa penyakit. Kepada dialah aku sering menanyakan obat jika aku sulit tidur.
"Apa sih, Ma? Aku nggak apa-apa. Capek aja naik tangga," elakku menutup matanya dengan telapak tanganku.
Ia menyingkirkan tanganku dan tetap ngotot menatapku kembali.
"Bikinin teh anget aja gih sono. Nyeremin banget kamu deh! Ngeliatinnya. Sana ih," Pintaku menjauhkan tubuhku dari Rahma.
"Biar gue aja. Sekalian mau bikin kopi," Angga menyahut lalu segera keluar ruangan. Rahma dan aku hanya melongo diiringi tatapan menyelidik darinya.
_____
"Elu yakin, Cha, nggak mau ikut? Makan besar loh ini. Mumpung Pak Eko ultah. Kan ngirit duit makan, Cha," ujar Nova saat tau aku menolak ikut makan bersama, memperingati hari ulang tahun Pak Eko, Bos kami.
"Yakin. Aku ngantuk, mau tidur aja. Ini mata udah nggak tahan," kataku mendekatkan mataku ke wajah Nova agar dia percaya.
"Terus nanti makan apa?"
"Gampang! Udah sana nyusul yang lain tuh!" Usirku, mendorong Nova agar ikut masuk mobil karyawan lain yang hendak ikut makan bersama.
"Yakin?"
"Iye, bawel!"
Walau ragu akhirnya Nova pergi bersama yang lain. Tinggal aku seorang diri di pinggir jalan tak jauh dari kantor. Kucari kertas dari dalam tas. Berharap alamat rumah kemarin masih kusimpan di sini. Malam makin larut. Udara makin dingin. Bahkan bintang tidak terlihat sejauh ini.
" Ocha?" Panggil seseorang yang suaranya terdengar familiar. Suara yang tidak ingin aku dengar lagi. Karena saat mendengarnya, mimpi buruk seakan menjadi nyata.
Ia berdiri di depanku tanpa kusadari. "Idham?!"
"Kamu ngapain di sini? Wah lama kita nggak ketemu, ya. Katanya kamu pindah rumah? Pindah ke mana?" Tanya pria berpenampilan aneh, memakai pakaian dan benda mahal, namun tidak terlihat cocok untuknya
"Kamu mau apa?" Tanyaku dingin. Tidak peduli pada pertanyaan beruntun dari pria brengsek di depanku ini. Aku mulai mundur perlahan, hanya saja tubuhku terasa kaku. Berkali kali ia berusaha meraih wajahku, dan berkali kali juga kutepis kasar tangannya
"Hei... santai dong. Oh kamu kerja di sini? Baguslah. Jadi aku tau di mana harus mencari kamu," ia berhenti berbicara, mencondongkan tubuhnya padaku. "Aku kangen," lanjutnya lagi, berbisik di telingaku.
Sebuah tamparan melayang tepat di pipi kanannya. Aku menatapnya nyalang, dengan emosi yang sudah kubendung sejak tadi.
"Belum cukup? Hah?!"
Ia terus diam sambil memijat pipinya yang memerah bekas cap tanganku. "Kamu mulai liar, ya. Aku suka," ia kembali berbisik. Kali ini tatapan matanya tajam. Seolah tidak ingin melepasku, lagi. Ia berjalan, mendekat perlahan. Aku mundur otomatis. Lalu berteriak. Kututup kedua telinga dengan mata terpejam. Seiring dengan teriakanku yang makin kencang. Aku begitu ketakutan kini.
"Hei! Diem!" Bentak Idham dengan suara tertahan. Ancamannya masih sama. Ia tidak pernah berubah rupanya.
"Kenapa nih?" Samar terdengar suara orang lain di sekitarku. Aku masih dalam posisi yang sama. Berjongkok dan bersembunyi di balik kedua lututku sendiri. Kini teriakan berganti isakan. Bahkan tangisku lebih kencang dari suara lalu lintas jalanan. Hingga tak berapa lama, seseorang meletakkan jaket di atas punggungku. Spontan aku membuangnya dan beringsut mundur. Ketakutan.
"Hei, mba? Ini aku! Buka dulu matamu!" Teriak Angga yang kini menggenggam tanganku erat. Walau aku menolak tali ia terus memaksa.
Saat aku membuka mata, kusapu pandangan ke segala arah. Mencari sosok iblis yang membuat aku ketakutan tadi.
"Dia udah pergi! Ayok gue anter pulang ...," katanya, membantuku berdiri. Lalu memungut kembali jaketnya. "Pakai! Dingin!"
Tak berkata apa pun lagi, ia menggandengku menuju motornya. Bahkan sepanjang perjalanan, dia sama sekali tidak bertanya apa pun. Aku menyandarkan kepalaku di punggungnya. Sekaligus memegang perut, menahan lapar.
"Mba ... sampai," kata Angga menggoyangkan tubuh agar aku bangun. Aku sampai tidak sadar, kalau ternyata aku tertidur. Rasanya ini sangat nyaman.
"Bentar lagi. Masih ngantuk," gumamku mengeratkan pelukanku di pinggangnya.
"Ye tidur sini? Pindah kamar gih! Gue mau pulang ini! Capek tau! "
Mendengar hal itu aku segera turun dari motornya. Berjalan masuk tanpa menoleh lagi. Saat ingat sesuatu, aku kembali lagi ke depan motornya. "Nih!" Melepas jaket milik Angga dengan mengerucutkan bibir. Aku berbalik, tapu dengan cepat ia menahan tanganku. Membuatku terkejut.
"Apa lagi?!" Tanyaku sinis.
"Jutek amat? Gue laper. Minta makan," ujarnya diiringi senyum tanpa dosa.
"Dasar!"
Tidak menolak ataupun mengiyakan, aku segera masuk diikuti olehnya.
Perlahan getaran itu terasa, tanpa di sadari. Menumpuk sedikit demi sedikit. Membuahkan perhatian kecil yang sangat berharga bagi yang lainnya. Sekeras apa pun mereka menolak, jika tuhan sudah berkehendak? Tidak ada yang tidak mungkin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments