Pagi ini sepertinya akan turun hujan. Dari balik korden jendela kamarnya Faith mengintip langit, memandang mendung yang menggantung. Bergegas ia menyambar tas ranselnya, mematut diri sejenak di depan cermin kemudian setengah berlari ia menuruni tangga. Dari arah sebelah kiri, ruang makan, didengarnya suara cangkir kopi beradu.
"Faith." Terdengar suara ayahnya memanggil. "Apakah itu kau, Faith?"
Faith menganggap itu pertanyaan yang tidak perlu. Sejak ibunya meninggalkan mereka untuk selama-lamanya, hanya dia dan ayahnya yang tinggal di rumah ini. Aroma kopi hitam harum tercium saat Faith melangkah masuk. Dilihatnya Ayah sedang menyesap kopi hitam kesukaan. Surat kabar hari ini tergeletak di hadapannya di atas meja.
"Ada apa, Ayah?" Faith hanya berdiri di dekat pintu. Ayah meletakkan cangkir kopi lalu menunjuk kursi kosong di dekat Faith. "Duduklah. Ada yang ingin Ayah bicarakan." Dengan enggan, Faith menyeret kursi dan duduk. Ia hanya diam dan mengamati wajah ayahnya yang tampak seperti menimbang-nimbang memikirkan sesuatu.
"Ini tentang hubungan Ayah dan Tante Carla," kata Ayah kemudian berhenti untuk berdehem sekali sebelum melanjutkan. "Ayah dan Tante Carla memutuskan untuk menikah bulan depan." Ayah terdiam sekali lagi untuk menunggu reaksi yang diberikan anak perempuannya. Tapi tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Faith. Tidak juga ada gurat emosi yang terlihat pada wajah datarnya. Ayah meraih cangkir kopi dan menyesapnya sekali lagi. Ia mencuri pandang dari balik cangkir hanya untuk menerima tatapan kosong Faith yang mengarah kepadanya. Buru-buru Ayah meletakkan kembali cangkir ke atas meja.
"Faith," kata Ayah lagi, "Ayah menyadari situasi ini tidak mudah untukmu. Tapi semua ini juga Ayah lakukan demi kebaik..." Kalimat ayah berhenti karena Faith tiba-tiba bangkit berdiri dari kursi.
"Lakukan saja apa yang Ayah ingin lakukan." sahut Faith dingin. Dengan tenang ia melanjutkan, "Ayah mau menikah, menikahlah, aku tidak peduli." Setelah mengucapkan itu Faith berbalik untuk secepatnya keluar dari ruang makan. Namun langkahnya terhenti karena Tante Carla, entah sejak kapan, berdiri menghalangi di pintu. Sejenak sepasang mata mereka saling bertatapan sebelum Faith memutuskan terus menubruk maju memaksa Tante Carla untuk segera memiringkan tubuhnya. Namun kedua Tubuh mereka sempat saling bersenggolan. Faith tidak peduli terus melangkah pergi tanpa menghiraukan suara Ayah yang berulang-ulang memanggil namanya.
Dari balik kaca helm, air mata Faith tak terbendung lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Bersamaan dengan turun rintik hujan, air matanya mengalir deras seiring laju motornya yang menderu kencang di atas aspal. Jalanan yang lapang seakan mempersilakan dirinya untuk semakin memacu kecepatan.
"Kau bisa melaju lebih kencang lagi, Faith." Sebuah suara yang tidak asing muncul dalam pikiran. "Tidak ada yang perlu kau takuti."
Faith memutar gas lebih dalam. Hembusan angin yang mengeringkan air matanya seakan mengangkat semua beban kekecewaan. Faith merasakan kebebasan.
"Lebih kencang, Faith. Lebih kencang." Seru suara itu lagi. Faith patuh. "Gadis pintar."
Sekarang Faith melaju sangat kencang. Terlalu kencang untuk menyadari sebuah lubang dalam yang menghadang beberapa meter di depan. Faith terus melaju tanpa tahu bahaya sedang mengintai nyawanya.
Suara itu menunjukkan wujud aslinya tanpa Faith dapat melihat. Sesosok iblis hitam dengan dua tanduk kecil sedang menunggu Faith di tepi jalan mengawasi lubang dalam yang telah ia ciptakan. Dengan sekali lambaian tangan, tercipta genangan air yang menyamarkan lubang dari pandangan. Iblis itu kembali menunggu sambil menyeringai puas membayangkan dalam hitungan detik tugas telah tuntas dan ia akan diganjar hadiah dari tuannya. Bunyi desing motor Faith yang mendekat membuat seringainya semakin lebar. Iblis itu menghitung dalam hati.
Tiga, dua, satu... Akhirnya jiwamu jadi milikku...
Motor Faith melaju kencang melewatinya tanpa terjadi apa-apa. Seringainya berubah jadi amarah melihat jalanan yang mendadak kering kerontang. Lubang yang ia ciptakan tiba-tiba tidak ada. Hilang begitu saja. Belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi, suara tertawa seorang pria mengejutkannya. Iblis itu menoleh penuh kegusaran. Kutukan dan hujatan ditujukan pada apa yang dilihatnya.
Leonel bersandar di dinding sebuah bangunan. "Apa kabar, iblis laknat?" Sapanya santai. Sisa senyuman masih terlihat di wajahnya ketika ia berjalan mendekat.
"Kau malaikat keparat, aku ingin sekali mencekikmu sampai mati, sampai kapan kau terus mencampuri urusanku," teriak iblis itu disambung dengan umpatan penuh amarah yang meledak-ledak. "Kali ini aku dan teman-temanku akan mencabik-cabikmu sampai hancur lebur." Secara tiba-tiba muncullah beberapa iblis lain bersiap untuk menyerang dengan cakar mereka yang panjang dan tajam.
Leonel berhenti berjalan, mengeluarkan pedang api yang menyala-nyala, kedua sayapnya mengembang, bersiap untuk terbang menerjang kawanan iblis itu. Pertempuran sepertinya tidak terelakkan lagi hingga tiba-tiba terdengar sebuah suara.
"Berhenti!"
Semua yang ada di situ serentak berhenti bergerak dan menoleh ke arah datangnya suara.
"Mikael." desis si iblis. "Apa maumu datang kemari?"
Yang empunya nama berjalan maju dengan gagah dan berhenti di tengah-tengah mereka. Ia menghunus pedang yang tergantung di pinggang. Pedang itu terlihat berat, besar dan berkilauan karena berselimutkan kilatan petir yang menyambar-nyambar. Mikael mengarahkan pedangnya ke kawanan iblis yang serentak mundur beberapa langkah.
"Pergilah, karena kali ini Bapa masih berkenan mengampuni kalian."
Salah satu iblis nekat meloncat dengan cakar tajamnya yang terulur mencoba menyerang Mikael dari atas. Mikael pun menyabetkan pedangnya. Dalam sekali tebas tubuh iblis itu terbelah menjadi dua dan seketika hangus menjadi abu. Melihat kejadian itu, para iblis yang lain sontak kocar-kacir berlarian dengan ketakutan dan menghilang.
"Mengagumkan," gumam Leonel. "Omong-omong, terima kasih atas bantuanmu."
Mikael berbalik dan menatap Leonel tajam. "Aku tidak sedang membantumu. Aku turun kemari karena Bapa mengutusku untuk menyampaikan kepadamu bahwa Dia, Yang Maha Tinggi, memanggilmu ke Balai Pertemuan. Sekarang."
"Oh ya?" Kedua alis Leonel terangkat. "Memangnya kemana Gabriel? Bukannya dia yang seharusnya bertugas menyampaikan pesan? "
Mikael tidak mau menjawab. Ia berbalik memunggungi Leonel dan mulai berjalan. "Ayo kita berangkat."
Leonel juga membalikkan badan dan berjalan ke arah berlawanan. Mikael menoleh ke belakang memandangi Leonel yang malah berjalan menjauh darinya. "Leonel. Kau mau kemana?" tanyanya.
Leonel menghadap Mikael lagi. Lalu ia memandang ke arah jalanan.
"Kau pergi saja dulu. Aku menyusul. Ada yang perlu kukejar sebentar." Setelah mengucapkan itu, Leonel mengembangkan kedua sayapnya dan terbang melesat dengan cepat tanpa Mikael sempat mencegahnya.
Sementara itu, Faith masih di atas motornya melaju dengan kencang.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang mengagetkannya karena terdengar jelas di dekat telinganya.
"Kau mau mati? Kurangi kecepatanmu, Nona."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments