Sacrifice
Lantai surga tidak pernah terasa sedingin ini. Ubin berkilauan dimana kedua kakiku bertumpu tak ubahnya bongkahan es batu. Dengan enggan kugerakkan jemari kakiku agar tidak kaku. Kuhentakkan napas kasar dengan tidak sabar. Seharusnya di tempat suci ini tidak mengenal yang namanya waktu. Tapi mengapa rasanya sudah begitu lama aku berdiri di sini sendiri dan menunggu.
Kubebaskan kedua mataku liar menjelajah. Dari posisiku berdiri, di sebelah kanan dan kiri, berjarak sekitar dua atau tiga meter, megah berdiri pilar-pilar besar, lebih tepat kalau kusebut berukuran raksasa, berdiameter lebih dari dua kali pelukanku, berwarna putih keemasan penuh ukiran menjulang tinggi sekali hingga tak dapat kulihat ujungnya. Terselimuti hamparan awan kemuliaan. Pilar-pilar raksasa ini berjejer rapi hingga ke depan sana, dimana terdapat undak-undakan yang mengarah ke tahta dari Yang Maha Tinggi. Sejauh yang bisa kuingat, tidak ada yang berubah dari tempat ini sepeninggalku.
Tempat ini dinamakan Balai Pertemuan. Aku dan saudara-saudaraku biasa berkumpul di tempat ini ke ketika Yang Maha Tinggi membagikan tugas. Pernah satu kali aku ditugaskan untuk menghancurkan sebuah asteroid yang menyimpang dari orbit dan berpotensi menghantam planet bumi dengan kekuatan yang dahsyat. Singkat kata, kuselesaikan tugasku dengan sempurna. Bukan bermaksud menyombongkan diri, selama aku melayani Yang Maha Tinggi, semua tugasku kulaksanakan dengan baik. Namun sayangnya, karena kami bukan makhluk yang sempurna, ada juga di antara kami yang gagal saat bertugas. Dan tentu saja kami mendapatkan hukuman. Di tempat ini juga kami menjalani sidang untuk menentukan hukuman apa yang sepantasnya kami terima. Kurang lebih seperti yang kujalani saat ini.
Semerbak wangi bunga surgawi yang menguar dari taman di luar Balai Pertemuan membuatku tersentak. Sontak terkenang akan masa yang silam. Salah satu kegiatan kesukaanku adalah berjalan dengan kaki telanjang menginjak jalan setapak dari batu permata menuju taman bunga penuh warna. Di taman itu sering kuhabiskan waktu senggangku. Nyaman sekali duduk santai di atas empuknya rerumputan di tepian sungai kehidupan sementara Lucifer bermain harpa. Tidak ada satupun di antara kami yang bermain harpa seindah dia. Suaranya saat bernyanyi juga begitu indah. Tidak heran Yang Maha Tinggi mengangkatnya menjadi pemimpin pujian dan penyembahan. Aku dan Lucifer berteman baik. Dalam berbagai kesempatan, kami sering berbincang bertukar pikiran. Aku begitu mengagumi cara berpikirnya yang revolusioner. Ya, aku mengaguminya. Mungkin itu sebabnya aku memutuskan untuk mengikutinya ketika dia memilih pergi meninggalkan Surga. Sayang sekali pada akhirnya kami...
Suara derap langkah kaki membuyarkan lamunanku. Dari arah kanan, sekitar satu legiun laskar malaikat dengan anggun berjalan memasuki ruangan lalu berbaris rapi membentuk satu kelompok. Beberapa wajah yang kukenal melempar senyum kepadaku. Mau tidak mau aku membalasnya. Juga kulihat Mikael, sang pemimpin, terlihat gagah perkasa dengan pedang kebanggaan tergantung di pinggang. Tapi dia tidak mengacuhkanku, sama sekali tidak mau menoleh melihatku. Mungkin dia masih marah atas perkelahian kami beberapa waktu lalu. Belum sepenuhnya hilang rasa terkejutku, terdengar lagi derap langkah kaki. Kali ini dari arah kiri. Dengan jumlah kurang lebih sama, serombongan H'arka berbadan gempal dan bertanduk melenggang masuk. Beberapa di antara mereka juga kukenal dengan baik. Aku mengernyit. Tidak kusangka banyak sekali yang menghadiri persidanganku. Legion, pemimpin mereka, tertawa lebar saat berjalan mendatangiku. Sudah lama sekali kami tidak berjumpa. Selain badannya yang terlihat lebih berotot, dia tidak banyak berubah. Kusambut hangat jabatan tangannya.
Suara sangkakala yang tiba-tiba membahana mengejutkan kami berdua. Belum sempat berbasa-basi, Legion bergegas kembali ke dalam barisan. Kulihat para malaikat dan H'arka menundukkan kepala. Aku sendiri tetap berdiri bergeming, kepalaku tegak, pandanganku lurus ke depan. Sementara suara sangkakala masih bergema, seberkas cahaya putih yang sangat terang, datangnya dari atas, menyinari tahta Yang Maha Tinggi, bertambah terang dan semakin terang, begitu menyilaukan mata hingga aku terpaksa memalingkan muka. Seisi ruangan menjadi terang benderang oleh sinar kemuliaan. Dan dalam kecepatan yang tidak dapat kudefinisikan, cahaya menyilaukan itu bergerak menerpaku. Seketika kurasakan sekujur tubuh diselimuti kehangatan. Tanpa bisa kukendalikan, tubuhku terasa lemas dan ambruk ke lantai. Cahaya telah pergi. Suara sangkakala berhenti.
"Leonel."
Terdengar suara dari arah tahta menyebut namaku. Itu suara dari Yang Maha Tinggi. Mendengar namaku dipanggil, sekuat tenaga aku berusaha bangkit namun aku tak mampu. Aku kehilangan kekuatanku. Aku mendengus kesal dan dengan lemah meninju lantai. Kutengadahkan wajah untuk memandang tahta tapi dengan cepat kupalingkan wajahku lagi karena masih terlalu menyilaukan. Sempat kulihat para malaikat dan H'arka berlutut. Akhirnya, kuputuskan untuk duduk bersimpuh di lantai. Terdengar lagi suara dari Yang Maha Tinggi.
"Leonel. Aku mengasihimu."
Itu saja. Sesaat setelah kalimat itu selesai diucapkan, cahaya menyilaukan yang melingkupi tahta perlahan memudar dan menghilang. Kurasakan kekuatanku kembali. Kali ini aku berhasil berdiri. Para malaikat dan H'arka juga berdiri dan dengan rapi perlahan meninggalkan ruangan. Aku kembali sendirian tapi tak lama. Kulihat dari arah tahta muncul sebuah siluet makhluk bersayap terbang menghampiriku. Ketika jarak kami semakin dekat, aku segera mengenalinya sebagai Gabriel, salah satu malaikat yang sering ditugaskan untuk menyampaikan pesan. Dia mendekap sebuah buku tebal di tangan kanan. Wajahnya yang rupawan menyunggingkan senyuman ketika menyapaku lalu mengulurkan buku. Kuterima dengan raut wajah heran.
"Bapa menugaskanku memberikan buku itu kepadamu," ucap Gabriel sebelum aku sempat bertanya. Buku itu berwarna cokelat tua. Sampulnya hanya bertuliskan satu kata. Dahiku berkerut saat membacanya.
Faith.
Iman? Aku mendengus kesal. Apakah Yang Maha Tinggi menolak pertobatanku? Apakah Yang Maha Tinggi menganggap aku kurang beriman sehingga aku harus membaca buku tentang iman setebal ini? Ini tidak masuk akal. Gabriel hanya tersenyum saat aku menyampaikan kekesalanku.
"Leonel, Bapa menerima pertobatanmu." kata Gabriel seraya mendekat hingga kami saling berhadapan. "Bahkan kau sudah boleh bertugas lagi. Buku yang ada di tanganmu," Gabriel menyentuh buku yang kupegang. "Itu adalah tugas pertamamu. Menyelamatkan Faith."
"Menyelamatkan Faith?" Dahiku berkerut lagi. Aku semakin tidak mengerti. Tapi Gabriel hanya tersenyum penuh arti. Dengan tidak sabaran kubuka buku di tanganku dan kubolak-balik halaman demi halaman. Dan sesaat setelah aku menyadari apa yang sebenarnya menjadi tugasku, aku memandang Gabriel dengan tatapan tak percaya. Dan sekali lagi reaksi yang Gabriel berikan hanya sebuah senyuman.
"Aku senang sekali kau kembali, Leonel." Kedua mata Gabriel yang berbinar seakan meyakinkan kesungguhan ucapannya. Ia menepuk ringan pundak kiriku. "Selamat bertugas, saudaraku. Sudah tidak ada lagi yang perlu aku sampaikan. Aku pergi dulu." Gabriel membalikkan badan dan mulai berjalan. Tapi baru beberapa langkah ia berhenti, memalingkan wajahnya sedikit dan berkata dari balik bahunya, "Aku hampir lupa. Yang Maha Tinggi ingin kau memanggilnya Bapa. Seperti dulu."
Kali ini aku yang tersenyum. Kucoba menyangkal rasa haru yang muncul dalam lubuk hatiku. Kupandangi saja Gabriel yang terus melangkah menjauh. Dengan perlahan kedua sayapnya mengembang lalu terbang menghilang dari pandangan.
Kualihkan pandanganku ke buku di tanganku. Kupandangi lama-lama. Kubaca sekali lagi satu-satunya kata yang tertulis di sampulnya.
Faith.
Kau dan aku akan segera bertemu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
ona
wah aku terharu, kalimatnya indah banget, kak /Sob//Sob/
2024-11-03
0