1. Suatu Malam Di Atas Jembatan

"Ayahmu tidak mencintaimu. Tidak pernah."

"Menurutmu begitu?"

"Tentu saja. Kalau dia memang mencintaimu dia tidak akan memilih wanita itu."

"Sepertinya kau benar."

"Tentu saja aku benar. Ayahmu tidak pernah memikirkan kebahagiaanmu. Setiap saat yang dipikirkannya hanyalah wanita itu saja."

"....."

"Hidupmu sejak kecil hanya berisi air mata dan penderitaan. tidak ada satu orangpun yang mencintaimu. Bahkan ayahmu juga tidak. Apa gunanya hidup seperti ini?"

"Aku..."

"Lihat kan, kau menangis lagi. Hidupmu memang menyedihkan. Sudahlah, hapus air matamu itu. Tidak ada gunanya lagi hidup di dunia yang menyakitkan ini. Tinggalkan saja mereka semua agar jiwamu tenang dan bahagia. Kau berhak bahagia di kehidupan selanjutnya."

"Aku benci hidupku."

"Benar. Lebih baik mati."

"Apakah kalau aku mati aku akan bertemu ibuku?"

"Ya. Ya, tentu saja. Sekarang naiklah ke atas pagar itu dan melompatlah."

    Dari balik pagar besi yang membatasi, yang tingginya tidak sampai seleher, gadis itu memandangi air laut yang beriak tenang di bawah sana. Kelap-kelip lampu jembatan yang berpendar di atas permukaan air laksana sekumpulan bintang yang sedang bergoyang. Malam ini begitu gelap dan dingin. Dari tadi entah sudah berapa kali angin berhembus meniup wajahnya, memainkan rambut sebahunya. Sejenak ia memejamkan mata untuk membulatkan tekad. Dalam satu hentakan napas, bertumpu pada telapak tangan, gadis itu mengangkat tubuhnya dan melangkahi pagar. Sekarang ia sudah berada di sisi luar pagar pembatas jembatan.

     "Bagus sekali. Sekarang melompatlah."

      Dengan pandangan nanar, gadis itu melihat ke bawah dan menelan ludah. Lautan yang tadinya tenang sekarang bergejolak berteriak menuntutnya untuk melompat. Ia mencengkeram kuat besi pagar pembatas. Napasnya memburu. Tubuhnya bergetar. Gadis itu kedinginan dan ketakutan.

    "Apalagi yang kau tunggu? Kau benci hidupmu. Melompatlah!"

    Aku benci hidupku. Lebih baik aku mati. Aku benci hidupku. Lebih baik aku mati. Dengan bibir bergetar, kalimat itu ia ucapkan berkali-kali. Ia lebih siap sekarang. Ia siap mengakhiri semua rasa sakit ini.

    "Kau memang gadis pintar. Melompatlah. Kutunggu kau di bawah."

    Gadis itu memejamkan kedua matanya. Semua adegan kehidupan yang menyakitkan berputar bagaikan roll film. Dadanya terasa sesak. Perlahan ia melepaskan pegangan. Diusapnya pipinya yang basah. Seulas senyum muncul sebagai gantinya. Semua kepedihan ini akan berakhir malam ini. Selamat tinggal semuanya. Masih dengan kedua mata terpejam, ia melepaskan kendali atas tubuhnya. Perlahan tubuhnya mulai condong terkulai ke depan.

    Tepat pada saat itulah ia merasa rambutnya dijambak dengan keras.

    Spontan gadis itu memekik kesakitan dan menoleh. Kedua matanya yang masih basah bertatapan dengan sepasang mata tajam seorang pria.

    "Namamu Faith?"

    Gadis itu mengangguk.

    "Sempurna." Pria itu melepaskan jambakannya. "Hampir saja aku terlambat. Sekarang kembalilah ke sini sebelum kau terjatuh."

    "Siapa kau?" tanya gadis itu.

    "Kau tidak perlu tahu siapa aku." sahut pria itu ketus sambil mengulurkan tangan. "Sekarang cepat kembalilah ke sini."

    Jawaban itu membuat si gadis meradang. Ia menepis tangan si pria dengan kasar. "Tidak usah ikut campur urusan orang lain, tuan. Urus saja urusanmu sendiri."

     "Aku memang sedang mengurusi urusanku sendiri, nona." Pria itu berusaha meraih tubuh si gadis dan mengangkatnya sementara si gadis berusaha menolak dan memberontak. Hal itu berlangsung selama beberapa saat. Hingga si pria mendengar suara dari arah bawah.

    "Yuhuu, gadis pintar. Mengapa kau belum melompat juga?"

    Pria itu sontak berhenti memaksa dan melongok ke bawah lalu menatap si gadis. "Kau mendengarnya? Siapa itu?"

    "Siapa yang kau maksud?" Si gadis memberikan tatapan heran. "Kau benar-benar pria yang aneh."

    "Jadi kau benar-benar tidak mendengarnya? kau tidak tahu?"

    Kali ini si gadis benar-benar merasa kesal. "Kalau kau ingin tahu, terjunlah dan carilah tahu sendiri, tuan. Aku sudah cukup gila dengan hid..."

    Tanpa menunggu si gadis menyelesaikan kalimatnya, si pria melompati pagar pembatas dan terjun ke bawah.

    Si gadis berteriak histeris.

    Di bawah jembatan, melayang di atas permukaan air laut, dua sosok saling berhadapan.

    "Wah, wah, tidak kusangka ada seorang malaikat suci sedang berusaha keras menyelamatkan jiwa seorang manusia hina."

    Si Pria tidak bereaksi. "Tidak usah banyak basa-basi. Dasar iblis laknat, andai saja aku diijinkan mematahkan tanduk kecilmu itu."

    Sosok yang disebut iblis itu berdecak, memainkan kuku-kukunya yang panjang dan tajam. "Dasar malaikat pengkhianat. Kalau saja Yang Maha Tinggi tidak melindungimu, aku akan mencabik-cabikmu."

    "Oh ya?" Sebilah pedang api yang menyala-nyala muncul di genggaman si pria. "Coba maju selangkah saja, akan kupenggal kepalamu."

    Si iblis mendesis "Kau tahu aku tidak sebodoh itu. Aku hanya mengingatkanmu, kau sudah melewati batasmu. Jiwa gadis itu hakku."

    "Aku tidak tahu menahu soal hakmu dan aku tidak peduli. Yang aku tahu Bapa menugaskanku untuk menyelamatkan jiwa gadis itu. Titik."

    "Jiwa gadis itu sudah menjadi hak milik kami. Hak milik tuanku. Kau tentu tidak mau tuanku marah kan?"

    Si pria menyimpan pedangnya. Sambil bersedekap, si pria menjawab, "Sudah kubilang aku tidak peduli. Dan sejauh yang aku tahu, selama manusia itu belum mati, jiwanya masih bebas. Bukan hak milik siapa-siapa. Kau tahu kehendak bebas manusia kan?"

    "Tidak ada gunanya lagi banyak bicara denganmu." Sambil tertawa penuh kemenangan, si iblis menunjuk ke atas, ke arah jembatan. "Selama kita berbincang-bincang, ada temanku di atas sana yang membuat gadismu itu menggunakan kehendak bebasnya.

    Sedikit terkejut, si pria menengadah. Tepat di saat ia melihat gadis itu melompat.

    "Kau terlambat, malaikat pengkhianat." kata si iblis tertawa.

    Dalam sekejap mata, sepasang sayap putih berkilauan mengepak dari punggung si pria. Dengan cepat ia melesat ke atas. Sebelum tubuh si gadis menghujam permukaan lautan, ia berhasil menangkapnya, mendekapnya dan membawanya kembali ke jembatan meninggalkan si iblis yang berteriak-teriak penuh umpatan dan sumpah serapah.

    Di atas, di jembatan, masih dalam dekapan si pria si gadis yang pingsan perlahan membuka kedua matanya. Si pria tersenyum lega melihatnya.

    "Terima kasih sudah menyelamatkanku, tuan." si gadis berbisik lirih.

    Si pria hanya mengangguk saja.

    "Aku tidak tahu darimana kau tahu namaku. Bolehkah aku tahu siapa namamu?"

    Si pria terlihat berpikir sejenak lalu menjawab singkat.

    "Leon. Namaku Leon."

Terpopuler

Comments

AmanteDelYaoi:3

AmanteDelYaoi:3

Bahagia meluap

2024-09-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!