Sudah satu minggu berlalu dan ia masih memikirkan pria itu. Setiap malam sebelum terlelap. Kadang siang juga. Ketika hari-hari di kantornya sedang tidak hectic. Seperti siang ini. Duduk bersilang kaki di balik meja kerjanya, Faith sedang melamunkan pria itu. Membayangkan setiap kejadian di jembatan. Peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya. Tapi pria itu menyelamatkannya. Tanpa sadar ia mengelus lengan seraya membayangkan bagaimana erat pria itu mendekapnya. Ia merasa aman dalam pelukan pria itu. Rasa aman yang selama ini ia dambakan. Betapa nyaman dan ...
"Kau pasti sudah gila senyum-senyum sendiri seperti itu." Faith terkejut dan mengangkat kepalanya. Beth, teman kantor sekaligus sahabatnya, entah sejak kapan, sudah berada di dalam ruangan. Beth menghempaskan tubuhnya di sofa yang terletak di pojok. "Kurasa pria itu sudah membuatmu tergila-gila."
Faith hanya tersenyum dan berusaha mengganti topik. "Kita jadi makan siang di mana?"
Tidak berhasil. Beth bangkit dari sofa dan berjalan ke arahnya. Ia menyeret kursi yang ada di hadapan Faith lalu duduk. Dengan nada yang dibuat-buat ia berkata, "Omong-omong, siapa nama pria pujaanmu itu, oh tolong jangan marah dan maafkan sahabatmu yang pelupa ini."
"Leon." jawab Faith singkat. Nada suaranya terdengar malas-malasan. "Kita jadi makan siang di mana?"
Beth seakan tidak mendengarkan dan melanjutkan, "Jadi menurutmu, pria itu, maksudku Leon, menurutmu siapa pria itu sebenarnya?" cecar Beth tanpa ampun. "Kau masih berpikir bahwa dia bukan manusia biasa? Hmm, bahkan kau bilang waktu itu kau sempat berpikir bahwa Leon adalah seorang malaikat?"
Faith menatap mata Beth lurus-lurus. Merasa sedikit menyesal telah menceritakan semua yang telah terjadi pada sahabatnya ini. Reaksi pertama Beth waktu itu adalah shock saat mengetahui bahwa ia mencoba mengakhiri hidupnya. Mereka sudah berteman sejak di bangku kuliah. Ia sudah biasa menceritakan semua hal termasuk masalah pribadi kepada Beth. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini ia tidak ingin bercerita lagi. Beth memang pendengar yang baik tapi rasa ingin tahunya terlalu besar. Dan satu lagi, mulutnya tidak bisa diam.
"Jadi menurutmu, Leon seorang malaikat?" ulang Beth. Ekspresinya penuh rasa ingin tahu saat melanjutkan, "Kalau aku tidak salah dengar waktu itu kau juga bilang kalau kau sempat melihat sepasang sayap putih berkilauan di punggung Leon?"
"Aku tidak yakin," kilah Faith menyandarkan punggungnya dan mengamati sahabatnya. "Waktu itu sudah malam, hari sudah gelap. Aku bisa saja salah lihat."
Beth balas menatapnya. Masih dengan raut wajah penasaran, ia terlihat menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya bertanya dengan penuh kehati-hatian. "Apakah kau jatuh cinta padanya?"
Faith menjawab pertanyaan itu dengan mengalihkan tatapannya ke permukaan meja.
"Ya ampun," Beth belagak kaget menutupi mulutnya dengan tangan. "Kau jatuh cinta padanya." Ia mengambil kesimpulan sendiri. Sesaat kemudian, Beth mengulurkan tangan dan merangkum tangan Faith dengan hangat. "Berjanjilah padaku kau tidak akan melakukan perbuatan tolol lagi seperti yang kau lakukan malam itu."
Sembari tersenyum dan mengangguk, Faith menepuk-nepuk tangan Beth. Ia mengamati wajah sahabatnya itu dan segera menyadari ada yang berbeda. Dengan kagum ia berseru, "Wow, kau benar-benar melakukannya, Beth. Kau membuat tiga tindikan di telinga kirimu."
"Akhirnya kau menyadarinya," ujar Beth sumringah sambil mengangkat kedua tangannya. "Dan masih ada satu proyek tindikan lagi. Di sini." Ia menunjuk hidungnya dengan bangga. "Dan saat aku melakukannya, aku ingin kau menemaniku, kau bersedia kan, Faith?"
Faith berdecak kagum dan mengangguk. Dalam hatinya ia merasa lega. Setidaknya ia berhasil mengalihkan topik pembicaraan. Membicarakan Leon hanya membuat hatinya semakin perih. Satu minggu ini dijalaninya dengan perasaan yang tidak karuan. Ia selalu memikirkan pria itu. Sejak malam itu pria itu tidak pernah muncul lagi. Siapa pria itu sebenarnya? Apakah malam itu adalah pertemuan pertama dan terakhir mereka? Ia tahu ini semua rasanya terlalu berlebihan. Namun harus ia akui, ia merindukan pria itu. Apakah Beth benar, aku telah jatuh cinta?
"Kau melamun lagi."
Faith tersadar. "Aku lapar." sahutnya sekenanya. Ia tidak mau Beth membahas pria itu lagi.
"Ayo kita pergi makan kalau begitu." Beth melompat dari kursi dengan gerakan energik. Ia meraih kedua tangan Faith. "Silakan pilih makanan yang kau suka. Hari ini aku mentraktirmu."
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil Beth yang berjalan dengan kecepatan sedang. Tujuan mereka adalah sebuah restoran steak atas permintaan Faith. Beth duduk di kursi pengemudi sementara Faith duduk di sampingnya di kursi penumpang.
"Kau sering datang ke restoran ini, Faith?" Tanya Beth ketika mereka berhenti di lampu merah. Beth meraih tisu di dashboard lalu menyeka butiran keringat yang bermunculan di dahinya meskipun AC mobil sudah disetel paling dingin. Cuaca di luar memang sedang terik.
Faith menggeleng pelan. "Pernah sekali." jawabnya singkat. Karena Beth merespon dengan bertanya kapan, Faith melanjutkan, "Dulu ayah dan ibu pernah mengajakku sekali ke restoran ini waktu ulang tahunku. Aku lupa ulang tahunku yang keberapa."
Ulang tahun yang ketiga belas. Ia tidak lupa. Ia hanya tidak mau lebih lanjut membahasnya. Ternyata selain membahas Leon, topik tentang kedua orang tuanya juga membuat perih di hati. Faith menyandarkan kepalanya dan menghela napas. Seakan memahami mood sahabatnya, Beth diam dan tidak bertanya apa-apa lagi. Lampu hijau menyala dan mobil kembali berjalan perlahan.
Sekitar lima belas menit kemudian, mereka tiba di tempat tujuan. "Kita sudah sampai." kata Beth sambil menyalakan lampu sein dan menepikan mobil. Seorang bapak tukang parkir mengarahkan untuk memarkir mobil mereka di seberang restoran. "Sepertinya restoran sedang ramai. Kita terpaksa menyeberang." kata Beth mengamati restoran di seberang jalan dari balik kaca jendela. Faith tersenyum dan mengangguk.
Kondisi lalu lintas juga sedang ramai. Banyak kendaraan baik mobil maupun motor yang melaju kencang. Beth menggandeng tangan Faith sementara mereka berdiri di tepi jalan menunggu saat yang tepat untuk menyeberang. Akhirnya kesempatan itu datang.
"Ayo, Faith." Beth membimbing Faith untuk berjalan. Sambil tetap bergandengan, mereka berdua mulai mengayunkan kaki melintasi jalan aspal yang lebar. Saat hampir sampai, tiba-tiba Faith melihat seorang anak kecil, berumur sekitar dua tahun, berlari sendirian ke tengah jalan. Reflek ia menyentakkan tangan hingga terlepas dari gandengan Beth dan berbalik berlari untuk mengejar anak itu tanpa menghiraukan Beth yang berteriak memanggil-manggil namanya.
Di saat yang sama sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Teriakan histeris Beth berpadu dengan bunyi klakson panjang dan rem yang berdecit. Faith sontak menoleh hanya untuk terpaku dan terperangah menatap mobil yang sedang melaju kencang ke arahnya. Dalam sepersekian detik, ia merasa begitu dekat dengan kematian. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Faith pasrah dan menutup kedua matanya.
Waktu tiba-tiba terasa melambat. Faith merasa ada yang mendekap tubuhnya. Seseorang mendekap tubuhnya. Dekapan yang tidak terasa asing. Dekapan yang memberikan rasa aman. Dekapan yang ia rindukan. Perlahan Faith membuka kedua matanya.
Sepasang mata tajam itu balas menatapnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Nụ cười nhạt nhòa
Baca sampe pagi gara-gara gak bisa lepas dari cerita ini. Suka banget!
2024-09-28
0