Cubitan Maut Om Adi

"Ulaaa ikallaziina la'anahumullah..."

Tuk

Jidat Aluna memerah dijentik oleh jari lentik om Adi yang saat ini duduk bersila di hadapannya.

"Ulaaaaaa... Ini dibacanya empat sampai lima harakat. Kalau kayak tadi itu kamu cuma baca dua harakat. Ulangi lagi!" terang pria berusia dua puluh satu tahun itu tegas.

"Ulaaaaaa ikallazina la'anahumullah." ulang Aluna dengan irama yang indah namun terkesan datar.

"Aw. Sshhh." Aluna meringis kesakitan karena kali ini pahanya dicubit oleh sang paman.

"Ulaaaaaaaa ikallaziiiina la'anahumullaaaah." om Adi mencontohkan bacaan yang benar pada Aluna. "Ikallaziiii, ingat! Itu dua harakat. La'anahumullaaaah. Itu juga dua harakat. Jangan lempeng gitu bacaannya. Nanti salah arti." terangnya lagi. Bacaannya begitu nyaman di telinga Aluna karena om Adi membacanya dengan sangat merdu dan bercengkok indah.

Aluna terus mengulangi beberapa kali didampingi dengan beberapa cubitan sayang dari Adi hingga gadis itu benar-benar bacaannya. Barulah kemudian Adi memintanya untuk lanjut ke ayat selanjutnya.

Om Adi adalah sepupu jauh Aris yang kebetulan kostnya berada tepat di samping kiri rumah yang di sewa oleh keluarga Aluna. Memang pada dasarnya kota yang Aluna tinggali bukanlah kota yang besar. Oleh sebab itu, kemana orang menuju, pasti di beberapa sudut bagian kota adalah rumah family mereka sendiri.

Luna begitu beruntung karena rumah yang kini ia tinggali diapit oleh rumah orang-orang yang sangat ia kenal. Di samping kanan ada rumah Maya, teman sekolahnya. Sedangkan di samping kiri ada rumah kost-kost'an yang salah satu penghuni kamarnya adalah Adi, omnya sendiri.

Kamar kost Adi terletak di lantai dua bangunan rumah itu. Namun meskipun ada di lantai dua, setiap kali laki-laki itu sedang mengaji, suaranya jelas terdengar hingga ke rumah yang ada di sekitarnya.

Oleh sebab itulah nek Siti meminta tolong kepada Adi untuk mengajarkan Aluna mengaji. Karena nek Siti merasa, Adi bisa mengajarkan kepada cucunya bagaimana mengaji dengan tanda baca yang benar dan juga panjang pendek yang sempurna. Agar Aluna bisa mengaji seperti almarhumah ibunya.

Ibunya yang dulu semasa hidup kerap kali menjadi pemenang Tilawah baik itu di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Nek Siti berharap agar Aluna bisa seperti ibunya. Dengan begitu nek Siti bisa membuktikan kepada besannya bahwa dirinya juga mampu mendidik dan membesarkan Aluna menjadi anak yang solehah seperti Alia.

Jika ditanya mengapa nek Siti tak betah berlama-lama di kampung sang menantu, tentu saja alasanya karena nek Siti merasa kesal pada nek Menik yang selalu membanggakan Alia, karena gadis yang mulai beranjak remaja itu sudah sering memenangkan MTQ dan pidato di kampungnya. Sedangkan nek Siti, tidak ada yang pencapaian dari diri Aluna yang bisa ia banggakan. Maka dari itu nek Siti ingin agar Aluna bisa menjadi seorng Qori'ah agar ia bisa seperti ibu dan kakaknya juga

Setidaknya jika mereka berkunjung ke kampung dan bertemu dengan Alia dan besannya lagi, nek Siti bisa membanggakan Aluna juga di hadapan mereka.

***

Aluna lagi-lagi mendapatkan capitan yang menyakitkan karena gadis itu kembali melakukan kesalahan. Gadis itu salah membaca karena kurang teliti sehingga yang seharusnya ia berpindah ke baris berikutnya. Tapi ia malah melompati baris tersebut dan langsung membaca baris ketiga.

Entah sudah berapa kali cubitan maut nan manja sang paman mendarat di paha dan perutnya. Mungkin saja bekas cubitannya sudah meninggalkan beberapa tato di sana. Namun hal itu sama sekali tidak menyurutkan semangat Aluna untuk belajar mengaji. Gadis itu justru sangat termotivasi dan terinspirasi karena sering mendengar bacaan Al-Qur'an yang indah oleh sang paman. Dan tentu saja Aluna juga ingin seperti itu.

"Oke. Sudah cukup untuk malam ini. Kita lanjut besok malam lagi, ya!" putus om Adi mengakhiri sesi belajar mereka.

"Yaaaah. Kok udahan sih om? Kan belum ada satu lembar ini." keluh Aluna merasa keberatan.

"Om ada janji sama teman-teman om malam ini. Kamu kalau masih mau ngaji ya boleh, nanti abis sholat isya kamu ngaji lagi ya di rumah." ujar om Adi lembut. Tangannya terulur mengusap rambut Aluna yang dibalut mukenah berwarna biru kesukaannya.

Aluna memanyunkan bibirnya. Ia lalu menutup Al-Qur'an dan melipat meja belajar yang ia gunakan untuk mengaji. Ia simpan di samping kursi plastik yang berada di balkon tersebut.

Adi menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Pria itu melepas peci serta sarung yang dipakainya, kemudian beralih mengenakan celana jeans.

Rambutnya ia olesi pomade kemudian disisir rapi. Diraihnya jaket parasut yang menggantung di belakang pintu untuk kemudian ia kenakan. Tak lupa pria itu menyemprotkan parfum dengan beberapa kali semprotan.

Om Adi berdandan tanpa menyadari bahwa hingga saat ini Aluna masih berada di depan kamarnya. Sejak Adi memasuki kamar, bukannya kembali ke rumah seperti perintah omnya, Aluna malah memilih rebahan di atas sajadah yang sengaja ia bentangkan untuk menjadi alas tidurnya.

Mereka memang selalu mengaji di balkon kamar kost Adi dan tidak pernah sekalipun Adi Mengizinkan Aluna untuk masuk ke kamarnya.

Selain menjaga agar tidak terjadi salah pahan yang berujung digrebek warga karena berduaan dengan seorang gadis di dalam kamar, Adi juga berusaha untuk menghindari godaan setan agar tidak menyentuh keponakannya yang memang cukup menggoda iman meskipun gadis itu masih sangat belia.

Sejak menjadi guru mengaji bagi keponakannya itu. Adi begitu kesulitan mengendalikan perasaannya yang justru secara brutal tertaut pada diri Aluna yang jelas-jelas adalah keponakannya sendiri.

Setiap kali sedang bersama Aluna, Adi kerap kali tergoda untuk mengecup bibir penuh Aluna yang ranum dan menggoda. Tanpa Aluna sadari, sebenarnya setiap kali Aluna tengah fokus mengaji, Adi selalu memperhatikan setiap inci tubuh Aluna mulai dari atas hingga bawah. Pria itu juga kerap kali diserang pikiran mesum yang menerka-nerka lekuk indah seperti apa yang terpajang dibalik mukenah yang Aluna kenakan.

Sungguh rasanya dia benar-benar menjadi seorang paman yang brengs*k. Terlebih usia diantara mereka terpaut begitu jauh. Bisa-bisa Adi dianggap pedofil kalau sampai berani menyentuh gadis itu.

Oleh karena itu, Adi tidak pernah mengajarkan Aluna mengaji di dalam kamarnya. Setiao malam mereka akan mengaji di balkon agar orang-orang bisa tau bahwa Aluna setiap malam naik ke atas menemuinya adalah untuk mengaji, dan juga agar ia bisa terhindar dari gangguan iblis yang terus membuatnya kesulitan mengontrol diri.

Deg!

Adi terkesiap ketika membuka pintu kamar dan mendapati Aluna berbaring sambil memeluk Al-Qurannya. Mukenah yang tadi ia kenakan masih setia membungkus tubuh gadis itu. Gadis itu tampak terlelap karena nafasnya begitu teratur dan terdengan dengkuran kecil dari mulutnya.

Adi menepuk jidatnya, "Duuuuh, kenapa gak langsung pulang aja sih nih bocah, ah elaaaaah!" rutuk Adi kesal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!