Kepindahan nek Siti dan kedua cucunya telah diketahui oleh para tetangga sekitar rumah Nur. Para tetangga yang notabene masih terikat hubungan kerabat dengan nek Siti, tentu saja merasa miris dengan apa yang dilakukan oleh Nur dan suaminya terhadap nek Siti yang sudah renta.
Deni, salah satu sepupu jauh Nur menghampiri Nur yang kini tengah menjemur pakaian di pekarangan samping rumahnya.
"Ada apa ini kak? Kenapa kalian sampai tega mengusir buk de Siti?" tanya Deni. Saat ini wanita itu telah berdiri di hadapan Nur dengan tali jemuran di antara mereka. Disampingnya juga sudah berdiri tetangga Nur yang lain yang bernama Ros.
"Ck. Aku juga gak tau Den. Kamu gak tau aja gimana ibu sama cucu-cucunya itu. Padahal aku sama suami aku udah berniat baik mau nampung mereka di rumah ini, tapi apa yang mereka lakukan benar-benar membuat aku kecewa. Aku malu sama suami aku, Den. Hiks Hikss..." Nur mulai memainkan perannya. Demi untuk tetap menjaga nama baik dirinya dan suami di mata tetangga dan kerabat, ia mulai bermain peran seolah dirinyalah yang selalu disakiti oleh ibu dan para keponakannya. Air mata buaya terus merembes membasahi pipi keriputnya, padahal usianya masih belum terlalu tua.
"Tapi kan kalau sampai mengusir orang tua sendiri itu dosa, Nur. Apalagi buk Siti kan pindah kemari karena kamu yang ajak." Ros membuka suara.
"Kakak gak akan ngerti sakit hati yang Nur rasakan. Kakak enak, ibunya kakak gak kayak ibunya Nur, ibu kakak itu orang baik, sedangkan ibunya Nur..." Nur menggantung ucapannya seraya menepuk-nepuk pelan dadanya. Seolah ia tengah merasakan sesak di dadanya. "Ibu itu egois, selalu saja melakukan hal-hal yang gak baik. Bahkan ibu juga sering pukul dan cubit Devan sama fera kalau Nur dan mas Nurman lagi gak di rumah." kebohongan demi kebohongan terus Nur lontarkan.
Deni dan Ros menatap aneh Nur. Mulutnya boleh saja berkata demikian, namun tentu saja Deni juga cukup tau bagaimana watak Nur sebenarnya. Wanita berusia matang yang telah memasuki usia tiga puluh satu tahun itu kemudian memasuki rumah. Meninggalkan Ros yang masih mendengar kebohongan Nur yang terus menjelek-jelekkan ibu dan para keponakannya.
Deni menghampiri nek Siti yang baru saja keluar kamar dengan menenteng dua tas besar di tangan kiri dan kanan. Sedangkan Amel menyeret dua koper besar di tangan kiri dan kanannya juga. Aluna? Dia menenteng tas plastik berukuran sedang yang tadi ia isi dengan puluhan lembar pakaian bersih yang langsung ia ambil dari jemuran.
"Buk de!" sapa Deni meraih salah satu tas dari tangan nek Siti. "Ayo ikut aku ke rumah!" ajaknya kemudian.
"Untuk apa?" kening nek Siti bertaut. "Buk de mau pergi dari sini, nanti saja buk de ke rumah liat ayah kamu." nek Siti hendak meraih kembali tas yang telah direnggut Deni dari tangannya, namun wanita dewasa yang belum menikah itu menggelengkan kepalanya dan menjauhkan tas tersebut dari jangkauan nek Siti.
"Ayo, kalian ke rumah kami aja. Mungkin kak Nur sama bang Nurman cuma lagi emosi aja. Nanti kalau amarah mereka sudah reda, pasti mereka akan nyari buk de dan ponakanku. Jadi kita ke rumah aja, yuk!" mendengar hal itu, Aluna langsung melompat girang. Ia merasa sangat senang karena jika memang mereka tinggal di rumah Deni, maka ia bisa bermain dengan Ica, keponakannya Deni setiap hari.
"Wah, ayo nek kita kesana." tanpa menunggu respon dari neneknya, Aluna langsung berlari keluar rumah menuju kediaman Deni. Ia bahkan sampai tak menyadari bahwa tante Nur telah menatap sinis ke arahnya karena ia telah mengabaikan tantenya itu.
"Ayo Amel. Sini kopernya yang satu lagi biar tante aja yang bawa." tawarkan Deni. Amel menyerahkan salah satu koper di tangannya pada Deni dengan dagu terangkat. Sikapnya sangat angkuh pada tantenya itu.
"Itu isinya pakaian nenek dan Aluna juga. Kalian aja yang tinggal disana. Aku mau ke rumah ibuku aja." ujar Amel datar. Nek Siti dan Deni yang berjalan beriringan di depan Amel menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap sang cucu sulung.
"Yakin kamu mau tinggal sama ibu kamu?" tanya nek Siti memastikan. Sebenarnya nek Siti merasa tidak masalah jika Amel akan tinggal dengan ibunya. Karena ia juga merasa tak enak jika mereka bertiga harus menumpang hidup pada saudara sepupu laki-lakinya, dimana di dalam rumah tersebut terdapat banyak penghuninya.
"Iya. Aku pergi nek, tante." ketus Amel. Kemudian berlalu begitu saja. Sejenak Amel berhenti di hadapan tante Nur untuk berpamitan.
"Tante, aku pergi ya. Terimakasih sudah mau menampung aku selama ini." ucapnya tulus.
"Hmmm" hanya itu jawaban dari Nur yang bahunya naik turun karena masih khusyuk dengan acting menangisnya di hadapan Ros. Sedangkan Ros, wanita itu hanya diam menatap jengah Nur. Sepertinya dirinya mulai bosan dan hendak segera pulang ke rumahnya sendiri.
Amel meninggalkan rumah tantenya yang selama sebulan lebih ini begitu akrab dan cocok dengannya. Dalam hal membully dan menyakiti Aluna tentunya. Amel sama sekali tidak menyangka jika niat baiknya untuk menemani Rio membelikan hadiah ulang tahun Anisa berakhir menyebabkan dirinya diusir dari rumah yang sangat nyaman itu. Padahal ia begitu sayang pada tantenya.
Om Nurman bersikap seolah menjadi orang yang begitu kental akan agama. Hanya karena melihat Amel yang berboncengan dengan pria saja sudah membuatnya sampai menampar dan bahkan mengusir Amel. Memang Amel akui, om nya itu cukup rajin sholat lima waktu ke mesjid. Tapi tetap saja, dirinya hanya dibonceng saja, bahkan Amel sama sekali tidak memeluk Rio selama berada diboncengan pria itu.
Amel menghembuskan nafas kasar. Untung saja rumah ibunya hanya berjarak satu kilo meter dari rumah tante Nur. Jadi Amel bisa berjalan kaki sambil menyeret koper besarnya. Gadis itu berharap semoga saja ibunya saat ini ada di rumah. Bukan tengah berada di Malaysia atau di luar kota.
***
Aluna yang tiba lebih dulu di rumah Deni kini tengah asik bermain dengan Ica. Jarak rumah Nur dari rumah Deni hanya melewati satu rumah saja, yaitu rumah Ros. Jadi tentu saja Aluna sudah sampai sejak tadi. disusul oleh Deni dan juga nek Siti. Pak Sidiq yang merupakan adik sepupu nek siti, ayah kandung Deni menyambut kakaknya dengan air mata. Dirinya begitu iba, pria lansia itu seketika merasa sesak di dadanya. Ia membayangkan bagaimana jika anak-anaknya juga tega memperlakukan dirinya seperti apa yang dilakukan Nur pada ibunya. Sungguh, pilu hatinya membayangkan sesuatu yang begitu menyakitkan.
Padahal orang tua telah merawat dan membesarkan anak-anaknya dengan baik. Tapi ketika besar, jangankan mau merawat orang tuanya, menghormati dan menghargai saja begitu sulitnya. Sungguh, Sidiq jadi benci pada Nur dan suaminya.
"Ayo masuk, mbak!" ajak Sidiq merangkul pundak kakaknya.
Nek Siti melangkah gontai memasuki rumah besar itu. Rumah yang di dalamnya di huni lebih dari dua belas orang. Dan sekarang telah bertambah menjadi empat belas orang karena dirinya dan Aluna.
"Assalamualaikum."
¤¤¤
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments