Nek Siti adalah seorang lansia yang sudah berusia tujuh puluh dua tahun. Akan tetapi, meski usianya telah lewat setengah abad, giginya belum ada yang ompong, ubannya juga tak sepenuhnya memenuhi kepala. Bahkan bisa dikatakan, rambut hitamnya masih lebih dominan dibandingkan rambut yang memutih.
Nek Siti adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya akibat sakit sejak tiga belas tahun yang lalu. Saat itu Amel masih berusia sekitar lima tahun.
Almarhum suami nek Siti bernama Aziz. Sang kakek begitu menyayangi cucu pertamanya. Baginya, Amel bagaikan permata berharga yang harus dijaga dan dirawat dengan penuh cinta.
Ketika sang kakek meninggal, Amel begitu terpukul, gadis itu seolah kehilangan separuh jiwanya yang begitu berharga.
Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, kakek Aziz berpesan kepada istrinya untuk tetap menjaga Amel dengan sepenuh hati. Beliau berpesan, jika suatu hari nanti Aris menikah lagi dan istri barunya tidak mau menerima Amel dengan baik, maka nek Siti wajib mengurus Amel sampai gadis itu dewasa dan bisa mengurus dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, ketika Amel diusir oleh menantunya, tentu saja nek Siti akan mengikut cucunya. Karena Amel yang masih remaja labil akan gampang terbawa arus pergaulan yang tidak baik.
Sesuai janjinya kepada almarhum suaminya, maka dia akan tetap mendampingi Amel selagi gadis itu masih membutuhkan bimbingan dan penjagaan dari orang tua. Terlebih saat ini Aris putranya tidak ada di daratan. Pria gagah pekerja keras itu lagi-lagi kini tengah menakhodai kapal yang akan membawanya menyebrangi lautan.
Nek Siti tanpa pikir panjang mengemasi seluruh pakaian dan barang-barangnya ke dalam tas besar miliknya dan cucunya, Aluna.
Terlebih, Nurman juga tanpa hormat telah mengusirnya dan kedua cucunya dari rumah itu, jadi tidak ada alasan bagi nek Siti untuk tetap tinggal di rumah itu lagi.
Nek Siti juga sempat merasa jengah, karena selama tinggal di rumah putri bungsunya itu, dirinya dan kedua gadis yang disayanginya itu seolah kekurangan gizi. Nurman selalu membatasi lauk disetiap waktu makan mereka. Sehingga gizi cucu-cucunya yang tengah tumbuh kembang tak dapat terpenuhi dengan baik.
Padahal jelas-jelas nek Siti setiap hari selalu memenuhi belanja dapur. Dirinya keral kali membeli ikan, ayam, daging, dan bahan dapur lainnya yang pastinya dapat diolah menjadi menu masakan yang sangat nikmat.
Namun Nurman dan istrinya yang pelit itu hanya mengizinkan nek Siti, Amel, serta Aluna makan sepotong ikan di siang hari saja. Untuk sarapan, mereka hanya makan nasi dengan garam, atau minyak bekas goreng ikan, kadang juga pakai air gula. Sama halnya dengan menu makan malam. Mereka selalu mendapatkan menu yang sama dengan sarapan mereka.
Sungguh, nek Siti begitu kecewa dan menyesal dengan keputusannya untuk tinggal bersama Nur. Nek Siti bahkan terpaksa harus membohongi putra sulungnya demi menutupi kelakuan Nur dan suaminya. Siapa sangka, nek Siti akan diperlakukan seperti ini oleh suami dari putri bungsunya itu, dan sang istri justru sama sekali tak membela ibunya.
Jika sebelumnya di rumah kontrakan nek Siti dan kedua cucunya hidup nyaman walaupun sederhana. Untuk kebutuhan perut juga mereka tidak pernah menahan-nahan selera seperti ini.
Sedangkan di rumah ini, nek Siti dan Aluna bahkan pernah sampai harus menyembunyikan ayam kentucky pemberian cucunya nek Siti bernama Fadilah yang memiliki warung makan.
Saat itu, nek Siti dan Aluna tengah berkunjung ke rumah keponakannya, anak dari adik angkatnya yang kebetulan memiliki warung nasi padang yang cukup terkenal di kota tempat mereka tinggal. Dan kebetulan, warung itu kini telah dikelola oleh Fadilah, putra bungsu mereka.
Ketika neneknya dan yang lain tengah asik berbincang, Aluna justru fokus pada ayam goreng tepung favoritnya. Beberapa kali ia mengelap air liur yang mengalir di sudut bibirnya.
Melihat hal itu, Fadilah membungkuskan sepotong paha ayam dan ia serahkan kepada Aluna. Gadis itu melompat kegirangan menerima pemberian kakak sepupunya yang baik hati itu.
"Makasih ya bang Fadilah." ucap Aluna girang.
"Sama-sama cantik." Fadilah mengelus lembut puncak kepala adiknya. Pria itu kemudian kembali duduk di kasir ketika melihat ada pelanggan yang hendak membayar.
Mata Aluna berbinar dan gadis itu terus menerus mengapit ayam goreng tersebut. Ia membayangkan betapa ia akan makan enak nanti malam. Tidak seperti yang sebelum-sebelumnya. Melihat itu, nek Siti berinisiatif untuk menyimpan ayam itu. Dengan riang tentu saja Aluna memberikannya kepada sang nenek karena is yakin neneknya akan menyimpan dengan baik makanan kesukaannya.
Sialnya, ketika malam tiba. Nek Siti lupa menyimpan ayam itu dimana. Dan Aluna terpaksa harus menahan rasa laparnya karena ekspektasi akan makan enak tak tercapai, sehingga dia kehilangan nafsu makannya jika hanya makan dengan ditemani garam seperti biasa.
Rasa jengkel pada sang nenek tentu saja ada. Namun Aluna tidak terlalu menunjukkannya kepada nek Siti, karena rasa bersalah neneknya yang sangat besar sudah cukup membuat Aluna merasa tak tega jika harus berlarut-larut merajuk hanya karena perihal ayam goreng.
Baru tiga hari kemudian nek Siti menemukan ayam goreng tersebut yang masih terbungkus plastik bening seperti saat diberikan oleh Fadilah. Hanya saja kondisinya sudah mengeluarkan bau busuk dan dikerumuni belatung di bawah tumpukan kain bersih yang belum di setrika di dalam kamar mereka.
Mengetahui hal itu, Aluna hanya tertawa dan menggelengkan kepala. Merasa konyol karena demi agar ia bisa makan enak, nek Siti sampai harus menyembunyikan makanan sampai sedemikian effortnya sampai-sampai dirinya sendiri lupa telah menyimpan dimana. Dan nek Siti hanya turut tertawa merutuki dirinya yang telah menjelma menjadi nenek-nenek pikun sesuai usianya.
***
"Kalian nanti mau tinggal dimana, bu?" suara tante Nur membuyarkan lamunan nek Siti.
"Mau balik ke rumah kontrakan lama." jawab nek Siti dingin.
"Bukannya kata bang Aris rumah itu sudah dihuni oleh orang lain, bu?" tante Nur mengambil tempat di samping ibunya.
Aluna yang baru saja selesai bermain dengan Devan di rumah sebelah merasa bingung. Ia sama sekali tidak tahu apa yang sudah terjadi. Gadis itu berlari kecil menghampiri neneknya yang kini telah selesai memasukkan pakaian dan mulai menutup koper dan tas besar lainnya.
"Itu yang punya rumah. Nanti kalau kami balik kesitu, mereka akan pindah." terang nek Siti asal.
Sebenarnya ia tak yakin dengan ucapannya sendiri. Ia hanya berfikir yang penting segera pergi dari rumah itu dan kemudian bisa hidup tenang dan damai lagi seperti dulu. Setidaknya dulu Amel tidak pernah sampai mengkasari adiknya secara fisik, dulu ia hanya menyiksa Aluna secara verbal dengan berbagai macam umpatan. Tapi sejak tinggal bersama tantenya, Amel seolah dididik langsung untuk terus-terusan memukul adiknya bahkan meski adiknya tidak melakukan kesalahan sekalipun.
Dan nek Siti berharap setelah pindah nanti, Amel tak lagi menyakiti Aluna baik secara fisik maupun mental, karena ia tidak akan pernah lagi membiarkan hal itu terjadi.
"Kita mau kemana nek?" tanya Aluna.
"Kamu coba ambil pakaian yang masih di jemuran ya, terus masukkan ke dalam sini!" nek Siti menyodorkan sebuah tas plastik berukuran sedang kepada Aluna.
Aluna mengambil tas plastik tersebut sebelum kembali membuka suara, "kita mau pindah ya nek?" tanyanya antusias. Tentu saja gadis itu adalah orang yang paling bahagia jika mereka minggat dari rumah tersebut.
"Halah banyak bacot. Udah sana kamu pergi ambil kain di jemuran seperti apa yang dibilang sama nenek kamu!" ucap tante Nur jengkel. Wanita itu kemudian melenggang pergi begitu saja meninggal nek Siti dan Aluna yang terdiam di dalam kamar. Baru sedetik kemudian Aluna menyusulnya keluar kamar untuk melaksanakan perintah neneknya.
¤¤¤
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments