NovelToon NovelToon

Trap Of Destiny

Lantai Terbengkalai

Hari ini kedai sedang ramai-ramainya karena akhir pekan. Banyak orang yang menghabiskan akhir pekan mereka di luar rumah. Berbeda dengan Nara, alih-alih menghabiskan waktu akhir pekannya dengan bersantai, ia malah mengurus kedai bersama ibunya. Menurutnya mendatangkan uang jauh lebih penting daripada menghabiskan uang.

TING!

TING!

TING!

Gadis itu langsung mengarahkan matanya ke arah sumber suara. Ada tiga pelanggan baru yang datang secara bersamaan. Ini berarti tiga keuntungan sedang menghampirinya. Tanpa basa-basi, ia lekas menghampiri ketiganya. Tapi sepertinya mereka bukan teman. Hanya kebetulan saja datang di saat yang bersamaan. Kelihatannya dua orang yang duduk di dekat pintu adalah sepasang kekasih dan sisanya tidak memiliki teman. Dia sengaja datang sendiri kemari.

"Selamat siang!" sapa Nara kepada sepasang kekasih itu.

"Ingin pesan apa?" tanya nya kemudian.

Si gadis yang sedang duduk itu menatap papan menu agak lama. Sambil memutuskan ingin memesan apa. Sementara pasangannya memesan lebih dulu. Wanita memang selalu begitu. Butuh banyak pertimbangan sebelum memutuskan sesuatu. Bahkan untuk hal terkecil sekalipun.

"Ayam goreng dengan saus pedas satu dan soda ukuran sedang satu," kata pria itu.

Nara kemudian mengangguk sambil menunggu gadis itu mengatakan pesanannya.

"Samakan saja pesananku dengannval" pungkas gadis itu.

"Baiklah," jawab Nara sambil tersenyum ramah.

Ia membaca ulang pesanan mereka untuk memastikan jika tidak ada yang keliru. Baru setelah itu ja akan memberikannya kepada ibunya untuk segera diproses. Mereka tak suka untuk membuat pelanggan menunggu terlalu lama. Semakin baik mereka melayani pelanggan, maka akan semakin betah pelanggan untuk datang kemari. Itu adalah salah satu faktor yang mendukung kelancaran bisnis mereka selain rasa makanannya yang sedap.

"Bu ayam goreng dengan saus pedas dan soda ukuran sedang! Masing-masing dua porsi!" celetuk Nara didepan meja kasir.

Dengan sigap, ia kembali pergi menghampiri seorang pria yang memilih untuk duduk di sudut ruangan sendirian.

"Selamat siang!" sapa Nara.

"Ingin pesan apa?" tanya nya kemudian.

"Ayam goreng original dan soda ukuran kecil satu," kata pria itu.

"Baiklah, ada tambahan lagi?" tanya Nara memastikan

"Tidak itu saja," jawabnya.

Nara lantas mengangguk kemudian meminta ibunya untuk segera memproses pesanan, yang terbaru.

Kesibukannya selama dua tahun belakangan ini selalu seperti ini, la menjalani rutinitas yang itu itu saja. Tak bisa dipungkiri jika ia sebenarnya merasa bosan dan ingin keluar dari zona nyamannya. Namun takdir mengatakan tak bisa. Mau bagaimana lagi. Mau tak mau, ia harus menerimanya.

Kini setiap pagi hingga jam makan siang, Nara harus membantu ibunya mengelola kedai milik keluarga mereka. Jika mempekerjakan karyawan dari luar, ibunya tak yakin jika bisa memberikan upah yang layak bagi mereka. Bisnis ini sudah berjalan sejak lama sebenarnya, namun tak pernah berkembang. Hanya begitu begitu saja. Tapi setidaknya ini cukup untuk menghidupi Nara dan keluarganya. Kehidupan mereka bergantung pada kedai ini sejak bertahun-tahun lalu.

"Ini pesanan anda," kata Nara lalu menata pesanan pria tersebut.

"Terima kasih," jawabnya.

Sambil tersenyum tipis. Nara kemudian, beranjak pergi. Ada beberapa pelanggan baru yang harus ia proses pesanannya. Kembali ke prinsip mereka tadi, bahwa tidak boleh membuat pelanggan menunggu terlalu lama.

Namun belum sempat ja beranjak dari sana, pria itu langsung menarik salah satu tangannya yang terulur. Membuat gadis itu jadi menghentikan langkahnya, secara tiba-tiba.

"Ada tambahan lagi?" tanya gadis itu dengan inisiatif.

Pasti setidaknya ada satu alasan yang membuat pria barusan menarik tangannya.

"Ku dengar ada kamar yang disewakan di gedung ini, boleh aku tahu lebih banyak soal itu?" tanya pria itu.

"Oh, tentu saja!" jawab Nara semangat.

Ada satu kamar di lantai tiga yang kebetulan kosong. Jadi kami menyewakannya. Lebih tepatnya kami menyewakan satu lantai itu kepada siapapun," jelas gadis itu.

"Sebab, lantai tiga jarang digunakan dan kebetulan kondisi kamarnya masih bagus," tambahnya.

"Berapa harga sewanya?" tanya pria itu.

"Hanya lima ratus ribu rupiah saja untuk setiap bulannya," jawab Nara.

Untuk sebuah kamar di daerah pinggiran kota, harga lima ratus ribu rupiah masih terbilang miring.

"Tapi anda boleh melihat-lihat lebih dulu jika mau," tawar Nara.

"Boleh, bagaimana jika setelah aku selesai makan kita lihat?" tanya pria itu.

"Tidak masalah, anda bisa memanggilku nanti kalau sudah selesai," ungkap Nara lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.

Baron baru saja pindah ke kota ini kemarin. Bahkan barusaja sampai kemarin malam, jadi ia memutuskan untuk menginap di hotel terdekat sementara waktu. Oleh sebab itu, ia harus menemukan tempat tinggal dalam waktu secepatnya. Baron tahu kalau pindah ke tempat lain tanpa tahu tujuan merupakan hal yang bodoh.

"Bu, pria yang duduk di ujung sana ingin melihat-lihat kamar ysng kita sewakan," ucap Nara.

"Sungguh?" tanya wanita itu tak percaya.

Nara kemudian mengangguk, mengiyakan perkataan ibunya barusan.

"Baiklah, kalau begitu nanti antarkan dia untuk melihat-lihat ruangannya ya!" perintah wanita itu.

"Iya bu," jawab Nara singkat.

Sebenarnya mereka sudah membuka iklan di depan kedai jika lantai tiga di sewakan dengan harga miring. Tapi, sejak tiga bulan lalu tak ada peminatnya. Seharusnya mereka merasa tertarik. Selain karrna harganya yang miring, lokasinya juga strategis. Tapi ternyata reaksi masyarakat malah sebaliknya. Tidak ada satupun dari mereka yang merasa tertarik. Baru hari ini ada yang bertanya sejak pertama kali iklan di pasang.

"Berapa total pesananku?" tanya Baron sambil berdiri di depan kasir.

"Semuanya tiga puluh ribu saja," kata Ibu Nara.

Baron lantas mengeluarkan beberapa lembar uang dengan pecahan pas. Sehingga ia tak perlu menunggu terlalu lama untuk kembalian.

"Kalau boleh tahu, dimana gadis yang bekerja di sini tadi?" tanya Baron.

"Oh? Apakah anda orang yang ingin melihat-lihat lantai tiga?" tanya wanita itu ingin memastikan.

"Ya, benar," jawab Baron.

Tanpa pikir lama, wanita itu segera memanggil Nara yang sedang mencuci piring di belakang. Kebetulan kedai sudah sedikit sepi, jadi ibunya bisa mengatasi semua pesanan sendirian.

"Temani tuan ini melihat-lihat lantai tiga ya," kata Ibu Nara.

Nara berjalan lebih dulu di depan Baron. Menunjukkan arah bagi pria itu. Pertama kali Baron kemari, suasana tempatnya memamg sedikit berbeda dengan lantai satu tempat kedai berada.

Mungkin karena sudah terbilang jarang digunakan, jadi terlihat sedikit tidak terurus. Tapi ini juga tidak terlalu buruk. Tidak kotor juga. Hanya perlu lebih banyak pencahayaan. Baron yakin jika jendelanya selalu dibuka, pasti akan jauh lebih terang dan segar.

"Sudah berapa lama ini tidak ditempati?" tanya pria itu penasaran.

"Sejak tiga bulan yang lalu," jawab Nara.

Baron berkeliling lantai tiga. Mengamati setiap sudut ruangan. Sementara itu, Nara berinisiatif menghidupkan lampu agar lebih terang. Jendelanya jadi sedikit lebih sulit untuk dibuka, karena sudah terlalu lama terjunci seperti ini.

"Kamarnya tidak terlalu luas, tapi cukup untuk satu orang. Kamar mandi ada di sudut sana. Jika ingin memasak bisa menggunakan dapur di belakang kedai," jelas Nara secara detail.

Dulunya tempat ini merupakan daerah kekuasaan Nara. Hanya ia yang tinggal di lantai tiga, sementara ayah dan ibunya berada di lantai dua. Namun, sejak ayahnya meninggal sekitar dua tahun yang lalu semuanya berubah. Ibunya sering mengalami gangguan gaib. Begitu pula Nara. Gadis itu kerap mengalami sakit yang tidak memiliki diagnosis dokter. Sehingga ia percaya bahwa dirinya mengalami sakit spiritual.

Sebenarnya ayah Nara juga mengalami hal serupa. Ia telah menderita sakit spiritual sejak lima tahun terakhir sebelum pada akhirnya meninggal dunia. Pria itu menolak panggilan spiritualnya, sehingga jiwanya sudah terlalu lemah untuk menahan hal tersebut.

Jika menurut garis keturunan yang ada di keluarga mereka, maka ayah Nara merupakan peramal dari generasi ketiga di keluarga mereka yang sudah ditakdirkan. Meski sudah ditakdirkan, ia tetap bersikeras menolaknya. Dan kini kekuatan spiritual itu telah diwariskan kepada anak perempuan mereka satu-satunya.

Awalnya Nara juga memiliki pikiran yang sama dengan ayahnya. Mereke berencana untuk menolak panggilan spiritual tersebut. Memutus garis kekuatan peramal di keluarga mereka. Tapi hal itu sia-sia. Segalanya sudah ditakdirkan. Sehingga, usaha sekeras apapun itu pasti akan berakhir sia-sia.

"Tempat ini sedikit pengap, tapi akan ku atasi nanti," celetul Baron tiba-tiba.

"Oh, ya! Jendelanya sedikit macet ternyata. Tapi kami akan segera memperbaikinya," ucap Nara.

"Bukan itu penyebabnya," sambung Baron.

Nara lantas mengernyit. Menatap heran pria di depannya.

"Ada hal lain yang membuat ruangan ini tetasa sedikit pengap dan sesak. Tapi akan ku atasi nanti," jelas Baron sambil tersenyum tipis.

"Jadi apakah aku bisa pindah hari ini juga? Aku perlu tempat tinggal dalam waktu cepat dan kurasa ini pilihan yang tepat," ujar Baron.

"Tentu saja, nanti akan ku bereskan tempat ini lebih dulu," balas Nara.

"Baiklah, kalau begitu. Aku juga akan segera membereskan pembayarannya hari ini," kata pria itu.

Bentrokan Energi

Beres dengan pekerjaannya di kedai ayam, Nara lantas segera membersihkan lantai tiga. Terutama ruang tidurnya. Pria itu sudah membayar uang sewa selama setahun ke depan. Jadi sesuai dengan janjinya tadi, maka Nara harus membersihka  tempat ini. Sebab Baron akan segera pindah dalam beberapa jam ke depan.

"Kapan ia datang?" tanya Ibu Nara.

"Katanya jam empat sore nanti ia dan barang-barangnya akan tiba di sini," jawab gadis itu sembari melanjutkan pekerjaannya.

"Ibu yakin jika hari ini adalah hari keberuntungan kita," balas wanita paruh baya itu.

"Omong-omong, apa kau akan menemui klien mu malam ini?" sambungnya.

"Tidak ada klien yang membuat janji denganku hari ini. Tapi besok sepertinya ada beberapa janji," jawab Nara.

"Baiklah, kalau begitu. Ibu akan siapkan makan malam dulu. Turunlah ke bawah kalau sudah selesai!" perintah wanita itu lalu beranjak pergi.

"Ya!" sahut Nara.

Sebenarnya pekerjaan Nara sudah selesai. Hanya tinggal memperbaiki engsel pintu agar bisa dibuka. Tapi sepertinya itu hanya perlu sedikit pelumas, tidak harus diganti dengan yang baru.

Belum sempat Nara mengambil pelumas, ibunya tiba-tiba datang. Bukan untuk memanggil dirinya agar turun dan makan malam bersama. Tetapi malah memberitahu jika Baron sudah datang. Ternyata pria itu datang lebih awal daripada yang dijanjikan sebelumnya. Beruntung gadis itu sudah selesai berkemas. Kini Baron bisa mulai menyusun dan menempati lantai tiga untuk setahun ke depan. Itu artinya mereka juga akan sering bertemu selama satu tahun ke depan.

"Kebetulam sekali, aku barusaja selesai berkemas. Kini anda bisa langsung menempatinya," ujar Nara.

"Terima kasih atas bantuannya," ucap Baron sambil tersenyum tipis.

"Tidak masalah," balas gadis itu.

Ia memberikan ruang kepada Baron untuk berkemas dan menata barang sesukanya di lantai tiga. Baron pasti memiliki selera yang berbeda dengan keluarga ini dalam hal menata barang. Sehingga Nara memutuskan untuk tidak membantu. Namun, pria itu bisa memanggil Nara atau ibunya kapan saja jika butuh bantuan. Mereka akan selalu berada di lantai bawah.

Sementara Baron berkemas, Nara ikut turun bersama ibunya untuk makan malam. Tubuhnya perlu sedikit asupan kalori untuk mengganti tenaga yang terbuang akibat berbenah tadi.

"Ibu rasa dia bukan orang biasa," celetuk wanita itu dipertengahan makan malam.

Nara hanya mengernyit, pertanda tak paham dengan maksud ibunya barusan. Menangkap sinyal tersebut dari anaknya, wanita itu lantas memberikan penjelasan lebih.

"Kau tahu? Matanya tajam, persis seperti mata ayahmu. Dan kita tahu kalau mereka yang memiliki panggilan spiritual punya mata seperti itu," terang Ibu Nara.

"Sama seperti mata milikmu," tambahnya di akhir.

Awalnya Nara tak terlalu memperhatikan, apalagi sampai mempermasalahkan hal tersebut. Tapi setelah perkataan ibunya barusan, ia jadi menyadari. Sepertinya ibunya tak berbohong.

"Menurut ibu mungkinkah dia adalah orang yang istimewa juga?" tanya Nara penasaran.

"Ya, ibu merasakan energi darinya," jawab wanita itu.

"Haha! Ibu berkata seperti itu seolah-olah ibu benar-benar bisa merasakannya," balas Nara sambil tertawa kecil.

"Hei! Sepertinya kau harus ibu ingatkan lagi. Bahwa ibu sudah tinggal bersama keluarga yang memiliki energi spiritual selama berpuluh-puluh tahun," jelas Ibu Nara.

"Tentu saja ibu bisa membedakan siapa yang orang biasa dan siapa yang istimewa," sambungnya.

Tak ingin terlalu ambil pusing mengenai hal tersebut, Nara lantas kembali melanjutkan kegiatannya. Ibunya pun tak ingin membahas hal tersebut lebih lanjut tampaknya.

Biasanya kedai tutup lebih lama di hari biasa. Sebab banyak orang yang barusaja pulang kerja di jam malam. Sehingga kedai mereka harus buka sedikit lebih lama. Setidaknya sampai jam sebelas malam. Namun, hari ini adalah akhir pekan. Itu berarti hal baik bagi Nara dan ibunya. Sebab mereka bisa tutup lebih awal dan memiliki lebih banyak waktu untuk beristirahat.

Kedai sudah tak ada pengunjung sejak tiga puluh menit yang lalu. Jalanan di sekitar mereka yang biasanya masih ramai di jam segini, kini sudah sepi. Itu artinya Nara bisa mulai berberes. Gadis itu mulai mengumpulkan piring-piring kotor serta mengelap meja.

'BRUK!'

Saat sedang membersihkan salah satu meja, tiba-tiba saja tubuh gadis itu ambruk tanpa alasan. Mendadak Nara tak sadarkan diri. Ibunya lantas buru-buru menghampiri Nara untuk memeriksa kondisi putri semata wayangnya itu.

"Kau baik-baik saja?" tanya wanita paruh baya itu dengan raut wajah panik.

Namun sama sekali tak ada jawaban dari Nara. Kedua tangan gadis itu terasa dingin. Jari telunjuknya secara tidak sengaja terluka akibat terkena pecahan piring yang ikut terjatuh pada saat tubuhnya roboh.

Di saat yang bersamaan pula Baron turun ke bawah. Ia berniat untuk menanyakan dimana Nara, ada hal yang ingin ia tanyakan pada gadis itu. Namun Baron terpaksa mengurungkan niatnya. Melihat Nara yang tak sadarkan diri berada di dalam dekapan ibunya, pria itu buru-buru menghampiri mereka. Memeriksa apa yang terjadi. Berharap ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk membantu Nara.

"Ada apa ini?" tanya Baron.

"Aku juga tidak tahu, tiba-tiba saja ia pingsan," kata Ibu Nara.

Tanpa basa-basi, Baron lekas menggendong tubuh gadis itu menuju kamar. Ibunya membuntuti dari belakang.

Dengan lembut ia merebahkan tubuh Nara di atas kasur. Lalu mengeluarkan sebotol minyak berwarna kuning pucat dari sakunya.

"Tolong berikan ini di sekitar hidungnya dan bagian belakang kepalanya," kata Baron lalu menyodorkan botol itu pada Ibu Nara.

"Aku akan ke atas sebentar, " tambahnya.

Pria itu buru-buru pergi ke atas, ke kamarnya lebih tepatnya.

"Ini pasti karena dupanya!" gerutu Baron kesal.

Ia lekas mematikan dupa yang barusaja dibakarnya di setiap sudut ruangan. Pria itu sedang melakukan ritual pembersihan energi. Menurutnya tempat ini sedikit pengap dan suram akibat ada aura serta energi negatif yang tertinggal di sini.

"Sebenarnya siapa kau?" gumam Baron.

Tubuhnya bisa merasakan dengan jelas jika ada sosok lain yang berada di sini selain dirinya. Tentu saja bukan sesuatu yang bisa kita lihat dengan kasat mata. Namun ia tak bisa menebak apa dan siapa itu. Sosok ini terlalu malu untuk menunjukkan eksistensinya secara terang-terangan.

Baron sangat yakin jika ada yang tidak beres di sini. Sosok itu merasa tak terima saat Baron mencoba untuk mengusirnya. Ia malah menjadikan Nara sebagai korban. Lebih tepatnya mengancam Baron untuk tidak mengusik keberadaannya.

Tapi, cepat atau lambat Baron akan segera mengatasi semua ini.

"Bagaimana, apa kau sudah merasa baikan?" tanya Baron sambil mengobati luka di tangan gadis itu.

"Jauh lebih baik," jawab Nara.

Meski ia merasa jauh lebih baik, tapi tetap saja dirinya terlihat lemas dan perlu lebih banyak istirahat. Setelah pingsan, Nara kehilangan begitu banyak energi. Makan malam tadi seperti tidak membuahkan hasil apapun.

"Aku ingin bertanya sesuatu," kata Baron dengan nada serius.

"Tanyakan saja," balas Nara.

"Apa kau ahli dalam membaca tarot?" tanya pria itu sambil menyodorkan sebuah kartu tarot padanya.

"Dari mana kau dapatkan  ini?" tanya Nara heran.

"Dari kamar di lantai tiga," jawab Baron jujur.

Nara diam sejenak. Dahulu ruangan itu adalah kamarnya. Ia pasti tak sengaja meninggalkan salah satu kartunya di sana dan tak menyadari hal itu sama sekali.

"Jika itu benar, kau pasti juga seseorang yang telah mengalami panggilan spiritual sama seperti diriku," terang Baron.

"Dengar! Ini pasti ada hubungannya dengan bentrokan energi. Itu sebabnya kau pingsan tadi. Aku barusaja melakukan pembersihan energi di lantai tiga, lalu menemukan kartu ini. Saat ingin menemuimu, tiba-tiba saja kau sudah pingsan," jelas pria itu dengan panjang lebar.

"Jadi benar apa kata ibu?" ujar Nara di dalam hati.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Nara balik.

"Kau akan tahu dengan seiring berjalannya waktu nanti. Tapi yang jelas besok kita harus melakukan pembersihan bagi energi negatif," jawab Baron.

"Jangan ganggu mereka selama mereka tak mengusikmu," ucap Nara memperingati.

"Kami bersedia mengembalikan uangmu secara penuh jika tak bersedia tinggal di sini lagi," tambahnya.

"Tapi ini demi kebaikan kita bersama, demi kebaikan ibumu juga!" pukas Baron.

"Lakukan saja seperti yang ku katakan!" tegas gadis itu sekali lagi.

Membaca Tarot

Setelah kejadian kemarin, Baron jadi tak bisa tidur. Bukan karena takut. Melainkan ada banyak hal yang ia pikirkan saat ini sehingga membuatnya terus terjaga meski merasa mengantuk.

Jika dipikir-pikir, energi negatif di lantai tiga ini memang tidak terlalu berpengaruh padanya. Sejauh ini sosok itu belum pernah mengusik sama sekali. Apa yang dikatakan Nara benar, ia tak akan membalas dengan kekuatan yang lebih besar jika tidak di usik. Pingsannya Nara kemarin adalah imbas dari ledakan energi akibat pengusiran sosok itu. Tapi meski begitu, yang namanya energi negatif tetap harus di bersihkan. Segala sesuatu yang bersifat negatif tak akan bisa membawa hal positif.

Sepertinya Nara sudah lebih dulu tahu soal sosok di lantai tiga itu. Makanya ia bersikeras untuk meminta Baron agar tak mengusiknya. Atau jangan-jangan Nara sudah pernah melakukan ritual pembersihan sebelumnya, namun tak berakhir dengan baik. Sehingga kini ia menyerah.

Tapi berbeda dengan Baron. Ia tak akan menyerah untuk mengusir sosok yang membuatnya merasa risih. Selama ini ia terkenal sebagai dukun muda yang kuat. Bahkan beberapa kali sudah melakukan ritual pengusiran dan penangkapan roh jahat bagi kliennya. Ini bukanlah sesuatu yang sulit baginya. Jam terbangnya pada bidang itu sudah amat banyak.

"Selamat pagi!" sapa Baron kepada kedua perempuan di depannya.

Nara dan ibunya sedang bersiap untuk membuka kedai.

"Oh, kau sudah bangun?" tanya Ibu Nara.

"Tidak tidur lebih tepatnya," jawab Baron sambil menggaruk kepala bagian belakangnya.

Mendengar hal tersebut, wanita itu lantas mengalihkan seluruh perhatiannya kepada Baron. Meski tidak memiliki hubungan darah sama sekali, tetap saja ia sudah menganggap Baron seperti anaknya sendiri. Dan sepertinya Baron juga bukan orang yang berpotensi melakukan tindak jahat.

"Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Ibu Nara khawatir.

"Tidak, semuanya baik-baik saja. Hanya sedikit sulit tidur saja," kata Baron.

Jawaban pria itu dapat membuat Ibu Nara sedikit merasa lebih lega.

"Kalau kau merasa tak nyaman berada di lantai tiga, kami bisa pindah ke sana dan kau tidur di lantai dua. Atau kau juga bisa meminta uangmu kembali," celetuk Nara secara tiba-tiba. Memotong percakapan di antara dua orang tadi.

"Aku sama sekali tak berniat untuk pindah," balas Baron santai.

Ibu Nara sama sekali tak mengerti kenapa anaknya mendadak bersikap seperti itu kepada Baron. Padahal kemarin baik-baik saja. Jelas ia tak tahu apa pun. Sebab percakapan mereka kemarin hanya Nara dan Baron yang mengetahuinya.

"Omong-omong, bisakah kau bacakan tarot untukku?" tanya Baron.

"Aku ingin tahu seperti apa peruntunganku," sambungnya.

Nara menghela napasnya sejenak. Ia sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan pria itu barusan. Nara sama sekali tak keberatan untuk membacakan tarot untuknya. Tapi yang menjadi pertanyaannya adalah, jika ia memang seorang yang memiliki kekuatan spiritual, kenapa tsk bisa meramal dirinya sendiri.

Gadis itu masih tak tahu seperti apa jelasnya bidang pekerjaan Baron. Mereka belum sempat mengobrol lebih banyak untuk saling mengetahui satu sama lain. Tapi setidaknya saat ini ia sudah memiliki satu petunjuk. Jika Baron memiliki bakat spiritual.

"Bagaimana?" tanya pria itu lagi untuk memastikan.

"Akan kubacakan untukmu setelah sarapan," balas Nara.

Ketiganya sarapan bersama hari ini. Ibu Nara sudah menyiapkan segalanya. Mungkin mereka akan selalu makan bersama seperti ini setiap hari.

"Kalian benar-benar baik kepadaku," kata Baron.

"Aku sudah menganggapmu seperti anakku sendiri, jadi tidak perlu sungkan," balas Ibu Nara.

Sementara itu di sisi lain, Nara hanya diam saja sambil menikmati masakan ibunya. Ia sama sekali tak tertarik untuk ikut terlibat dalam obrolan mereka. Nara memang bukan anak yang terkenal banyak bicara.

Masih ada waktu satu jam lagi sebelum kedai resmi dibuka. Nara masih punya cukup banyak waktu untuk mengobrol dengan pria itu. Jujur ia merasa penasaran dengan Baron, dengan apa yang dilakukannya selama ini.

"Apa yang ingin kau ketahui?" tanya Nara.

"Aku ingin mengetahui peruntunganku dalam waktu dekat ini," jawab Baron.

Nara menganggu sambil mengocok kartu miliknya. Lalu menjejerkan tiap-tiap dari mereka dengan kondisi gambar yang tertutup di depan Baron. Membiarkan pria itu memilih salah satu kartu secara acak.

"Ambil tiga kartu sesuka hatimu!" perintah Nara.

Baron tampak agak bingung untuk memilih pada awalnya. Dia merasa harus sangat hati-hati dalam memilih. Sampai pada akhirnya ia menyerahkan tiga buah kartu yang dipilihnya untuk dibaca Nara.

Gadis itu menatap kartu-kartu yang diberi Baron padanya. Mencermati setiap makna yang tersembunyi di balik gambar tersebut. Serta dibantu dengan kekuatan spiritualnya untuk menginterpretasikan kartu itu dengan tepat.

"The lover, kartu ini melambangkan cinta. Kau akan bertemu belahan jiwamu dalam waktu dekat ini. Sepertinya ia adalah orang yabg selaku berada di sekitarmu, tapi kau tak menyadarinya," jelas Nara.

"The justice, tapi sepertinya kau akan dipusingkan dengan banyak pertimbangan di hidupmu. Kurasa ini ada kaitannya dengan belahan jiwamu. Ada hal besar yang perlu kau pertimbangkan," sambungnya.

"Baiklah, cinta dan pertimbangan," ujar Baron sambil mengangguk kecil.

Sementara itu di sisi lain masih ada satu kartu yang tersisa. Nara tampak agak ragu untuk membacanya. Hal itu terlihat jelas dari ekspresi wajahnya.

"Bagaimana dengan yang satu itu?" tanya Baron.

"The devil," gumam pria itu sembari membaca tulisan yang terdapat di sana.

"Ini kartu iblis," balas Nara.

"Apa artinya?" tanya Baron penasaran.

"Yang jelas bukan sesuatu yang baik. Kartu ini melambangkan ketakutan, godaan dan lain-lain," ungkap Nara dengan sedikit ragu.

Ia tahu jika Baron pasti tak akan senang mendengar apa artinya.

"Jadi, apakah kisah percintaanku yang akan datang tak kan berhasil? Atau dengan kata lainnya gagal?" tanya pria itu lagi.

Sepertinya ia benar-benar merasa penasaran dengan peruntungannya. Ia tak pernah membaca peruntungannya sebelumnya.

"Mari ambil satu kartu lagi untuk memastikan hal tersebut," kata Nara.

Ia berharap agar hal baik muncul kali ini.

Baron lalu memilih satu kartu dengan waktu yang sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Ia tidak mempertimbangkan hal itu lagi dan spontan memilih.

"The hanged man," ucap Nara.

"Salah satu dari kalian harus berkorban. Kurasa kisah kalian akan berakhir indah, tapi mungkin tidak semudah itu untuk bisa sampai ke akhir yang bahagia. Kalian harus berkorban," jelas gadis itu dengan detail.

Baron merasa sedikit lega mendengar penjelasan Nara barusan. Setidaknya masih ada sedikit harapan untuk akhir yang bahagia. Semua orang tahu jika kita perlu berkorban  untuk hal apapun. Termasuk untuk akhir yang bahagia.

"Bukankah kau memiliki kekuatan spiritual?" tanya Nara.

"Kenapa tak melakukan ramalan terhadap dirimu sendiri?" tanya gadis itu lagi.

"Kurasa itu bukanlah hal yang terlalu sulit untuk dilakukan," tambahnya.

"Aku selalu meramal orang lain, dan selalu ada saja nasib buruk yang hadir. Jadi, aku tak ingin merasa ketakutan karena telah mengetahui takdirku sendiri," jelas Baron singkat.

"Bukankah itu sama saja? Kau menanyakan peruntunganmu padaku, dan ada hal buruk yang menghampiri. Tidakkah kau merasa takut?" tanya Nara lagi.

"Seridaknya rasa takut itu tak sebesar saat aku meramal diriku sendiri," balasnya.

Nara memgangguk paham. Ia juga merasakan hal yang sama sebenarnya. Ketakutan yang amat besar akan menghantui hidupmu setelah mengetahui nasib burukmu. Hal itu akan membuatmu selalu berjaga-jaga serta waspada. Kau tak akan menikmati hidup pada akhirnya. Itu sebabnya Nara juga tak pernah membaca tarot untuk melihat peruntungannya sendiri. Ia tak siap untuk itu dan tak akan pernah siap.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!