Beauty & The Boss

Beauty & The Boss

Episode 1

Hari ini seperti biasa, jalan di kota besar padat merayap karena banyaknya kendaraan yang silih berganti beraktivitas.

Vania memandang datar ke arah depan, sebuah bus kota yang ditumpanginya saat ini agar ia bisa melihat aktivitas kendaraan yang berada di depan jalan bus.

Sambil berpegangan pada tiang di dalam bus tersebut, gadis berambut hitam panjang dengan sedikit poni di sampingnya itu.

Sesekali memperhatikan beberapa orang penumpang dalam bus tersebut dengan separuh pikirannya mengambang.

Mengingat hari ini adalah hari yang menyebalkan baginya, ketika harus mengikuti masa orientasi awal masuk perguruan tinggi.

Orang-orang yang melihatnya akan mengira bahwa ia masih anak sekolahan, karena masih harus menggunakan seragam sekolahnya, sesuai perintah panitia untuk mengikuti orientasi di salah satu perguruan tinggi terbaik di kota tersebut.

...✺✺✺...

Universitas Bangsa.

Vania setengah berlari menuju ke arah gedung tempat orientasi. Ingin rasanya hari-hari seperti ini cepat berlalu.

Akan tetapi ia harus tetap mengikuti kegiatan permulaan masuk kampus yang tinggal beberapa hari lagi ini, karena kegiatan ini diwajibkan untuk seluruh mahasiswa baru sebagai salah satu syarat mendapatkan persetujuan pengajuan sidang skripsi, di akhir-akhir masa perkuliahan nantinya.

Hari ini Vania harus mengejar waktu lagi agar tidak menjadi bahan olokan ketika dihukum karena ia sudah terlambat, seperti yang sering ia lakukan beberapa hari awal masa orientasi.

Memasuki wilayah kampus sudah tidak terlalu ramai. Vania menyadari dirinya menjadi salah satu di antara yang datang terlambat lagi hari ini.

Ia akan merasa lebih lelah, karena kali ini harus berlari dengan kecepatan 40 km/jam dari gerbang utama kampus menuju gedung ospek.

Setelah berlari cukup jauh, gadis cantik tersebut akhirnya tiba di lapangan tempat biasanya para peserta ospek berkumpul untuk melaksanakan apel pagi sebelum masuk gedung.

Vania bernapas dengan berat, rambut panjangnya sudah terlihat berantakan, dengan kucuran keringat yang mulai membasahi wajahnya, sialnya ia lupa membawa ikat rambut.

Sial, pake telat lagi gue, umpatnya dalam hati. Ia segera mencari-cari barisan kelompoknya.

“Hei ... kamu mau ke mana?!” Sapa Rikas, salah seorang panitia ospek. “Kamu terlambat, Dek!”ujarnya dengan nada nyaring.

“Udah sana ke depan lapangan!” perintah panitia yang lain.

Vania melangkah ke depan lapangan berbaris dengan peserta lain yang juga terlambat. Di depan sudah berdiri beberapa panitia inti dengan membawa toak sambil teriak-teriak.

Ini adalah bagian yang menyebalkan bagi Vania karena dirinya pasti kena marah lagi. Sesekali ia memperhatikan ke arah panitia yang terlihat modis penuh wibawa, sepertinya mereka ini orang-orang pilihan dari kampus dengan popularitas mereka yang tentunya juga bagus.

“Kalian semua dengar! Di depan ini adalah contoh orang-orang yang tidak disiplin! Mereka egois! Bisanya makan tulang kawan! Kami kan sudah bilang kalo ada yang terlambat, semuanya dihukum!” teriak salah seorang panitia cowok.

Vania dapat melihat tulisan nama di jas almamaternya begitu laki-laki bertubuh jangkung itu melintas di dekatnya. Nino Dhanudiningrat.

Orang yang beberapa hari terakhir selalu memarahinya karena kesalahan yang sama, selalu terlambat.

“Eh kamu!” panggilnya, membuat Vania tersentak dan langsung menengok ke arahnya.

“Stevania Alleshandra Larasati." Nino membaca nametag di baju Vania. Nama yang tidak asing baginya, matanya menatap tajam.

Vania menelan ludah, merasa pandangan itu seakan mengintimidasinya. Wajah galak yang ditunjukkan laki-laki itu bahkan membuat Vani tidak berani melihatnya.

“Kamu lagi? Kamu nggak punya jam?! Jam berapa ini? Ini kesekian kalinya kamu berdiri di lapangan ini!” sentaknya.

Merasa dibentak oleh laki-laki ganteng itu, Vania hanya bisa terdiam.

Kegiatan macam apa ini? Beginikah rasanya ketika masuk perguruan tinggi? batinnya.

Tapi dalam hatinya ia memang mengakui juga kesalahannya, harusnya ia bisa berangkat lebih awal jika tahu jalanan kota selalu macet.

Wajah kakak para panitianya memang terlihat berwibawa semua, tetapi seolah jadi menyeramkan ketika mereka menunjukkan kemarahan. Terutama wajah para panitia perempuan, sudah seakan mau memangsa siapa saja yang membuat mereka marah dengan tatapan sinis mereka.

“Kalian semua dihukum! Berdiri di lapangan ini selama satu jam! Ini akibat kesalahan teman kalian sendiri, saya sudah bilang, jika ada satu yang melakukan kesalahan, semuanya akan dihukum, PAHAM!” teriak salah satu panitia ospek.

Keriuhan pun mulai terdengar, Vania melihat jelas sekali kekesalan dari teman-temannya yang lain karena harus ikut dihukum berdiri di lapangan.

Padahal matahari sudah terbit semakin tinggi, dan akan terasa begitu gerah karena sinarnya yang semakin gagah.

“Kamu!” Seorang panitia perempuan berwajah cantik mendekati Vania. “Saya nggak mau lagi ya liat kamu main-main sama panitia!”

Perempuan ini selalu terlihat berdekatan dengan Nino, namanya Bella, dia salah satu yang tercantik dan sepertinya orang yang cukup disegani oleh kebanyakan mahasiswa di kampus.

Vania hanya mendengarkannya sambil terus merasakan sengatan terik matahari yang sudah menyentuh kulitnya.

***

Sementara itu.

Suara tepuk tangan bergemuruh seisi gedung tersebut untuk memberi apresiasi terhadap selesainya sambutan yang diberikan oleh seorang laki-laki muda berwajah tampan, yang sekarang berdiri gagah di sebuah mimbar di atas panggung tersebut.

“Kami ucapkan terima kasih kepada Pak Alfin Setiawan dari HS Group yang menyempatkan waktunya berhadir pada acara hari ini,  sekali lagi terima kasih Pak atas sambutan dan motivasinya,” kata salah seorang MC acara tersebut.

Pria berpostur tinggi tersebut membungkukkan badannya, membalas kembali ucapan terima kasih kepada semua hadirin.

“Selanjutnya kami persilahkan kepada perwakilan dari Organisasi Kepemudaan untuk memberikan cinderamata sekaligus penghargaan kepada pak Alfin Setiawan sebagai salah satu generasi muda yang menginspirasi tahun ini," lanjut MC tersebut.

Beberapa orang naik ke atas panggung untuk menghampiri laki-laki berpenampilan klimis tersebut untuk menyerahkan plakat dan selembar sertifikat untuknya. 

Setelah berfoto bersama, Alfin menyalami mereka dengan senyum merekah membuat para hadirin bertepuk tangan tanpa henti untuknya.

Tidak ada yang terlalu mengenal tentang dirinya di kalangan umum karena ia bukan selebiritis, tetapi untuk kalangan pebisnis banyak orang yang mengenalnya sebagai pengusaha muda yang sukses.

Di usianya yang tergolong masih 27 tahun, ia sudah menjabat sebagai CEO HS Group, yaitu sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi besar serta berbagai macam bisnis seperti properti, pusat perbelanjaan maupun perhotelan.

Meski sebelumnya ia dikenal hanya sebagai pemimpin salah satu cabang perusahaan keluarganya.

Selain itu, Alfin juga dikenal aktif dalam berbagai kegiatan sosial maupun kegiatan kepemudaan. Ia juga dikenal sebagai salah satu penggerak persatuan pemuda bangsa yang bermukim dan berbisnis di Inggris.

Senyum manis nan ramah yang tanpa henti ia tampilkan ketika di depan siapa saja, membuatnya menjadi orang yang dikagumi dan disegani oleh banyak kalangan, bahkan oleh kaum yang usianya jauh di atas dirinya.

...✿✿✿...

Universitas Bangsa.

Jam pelajaran materi orientasi kampus selesai, para peserta diberikan waktu untuk istirahat. Vania  suka menghabiskan waktu istirahatnya di kantin kampus untuk makan.

Vania merasa sedikit tidak nyaman karena orang-orang pasti akan kesal kepadanya, karena dirinya yang lain juga ikut dihukum.

Tetapi terkadang hal itu tidak terlalu menjadi beban pikirannya, karena Vania lebih merasa sangat risi ketika beberapa laki-laki terlihat memperhatikannya sambil terlihat seakan-akan menyapanya walau dari kejauhan, beberapa di antaranya memang ada yang berani menggodanya langsung.

 “Hai tukang telat.”

Seseorang menepuk bahu sebelah kanan Vania. Lantas ia menengok kearah sumber suara. Sudah ada seutas senyuman lebar dari seorang gadis, Adelia namanya.

Seorang gadis berambut sebahu dan memiliki sedikit poni seperti Vania. Nama lengkapnya Adelia Rastanti, putri dari seorang pengusaha restoran, sahabat Vania dari SMA.

Mereka selalu bersama ke mana-mana bahkan sampai kuliah pun mengambil jurusan yang sama, Tehnik Arsitektur.

“Hai, Del."

“Kenapa telat lagi?”

“Gue naik bus tadi, macet banget. Skuter kesayangan gue masuk bengkel habis dipakai Alex.”

“Ohh ... Alex sepupu lo itu? Kok bisa sih?”

“Ya kan habis dibawa touring  ke Bandung beberapa hari.”

“Nggak di anter, Van?”

“Nggak ada yang bisa ngantar, Del. Mama gue lagi ada acara sama ibu-ibu Dharma Wanita di kampus tempat bokap gue kerja.”

"Oh gitu."

Adelia tiba-tiba menyenggol-nyenggol lengan Vania sambil memperhatikan ke suatu arah. Vania mengikuti arah pandangan Adelia yang sepertinya sedang memperhatikan seseorang dengan perasaan kagum.

Terlihat dari sudut tempat mereka duduk, Nino sedang makan bersama teman-temannya dan terlihat sedang asyik ngobrol.

Wajah garangnya tak terlihat lagi saat dalam keadaan santai seperti itu. Vania bisa melihat lesung pipinya yang begitu mempesona. Vania memandang malu namun tetap saja ia terpesona.

"Ganteng banget," gumam Vania berdecak kagum.

Sepertinya setelah ini hari-harinya menjadi mahasiswa akan terasa sangat menyenangkan karena sudah ada sosok yang dikaguminya, meski kadang ia suka takut lihat pemuda itu marah-marah.

Nino merupakan salah satu mahasiswa yang terpopuler di kampus, menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di kampus membuatnya selalu aktif di berbagai kegiatan baik itu dengan para mahasiswa maupun dengan dosen-dosen.

Nino dikenal smart, ganteng, berprestasi dan selalu di eluh-eluh kan tiap cewek yang melihatnya.

Waktu seakan berhenti ketika melihat sosok Nino. Vania selalu kehilangan kepercayaan diri ketika ada Nino, mengingat tempo hari Nino selalu memarahinya karena kesalahannya.

“Ganteng!” kata Oris, si cowok berwajah manis dan berpenampilan modis tiba-tiba datang.

“Oriss! Lo ngapain?” tanya Vania.

“Gue nyari elo!”jawab Oris yang sekarang sudah duduk di salah satu bangku kosong di meja mereka. "Males banget deh, ospek malah gak satu kelompok sama kalian berdua. Gue kan pengennya deket sama Vania terus."

“Sampai kapan lo ngikutin gue?!” Vania kesal.

“Sampai lo mau balikan sama gue lah!”

“OGAH!” Vania tak habis pikir dengan laki-laki yang satu ini.

Oris sebenarnya orangnya baik. Vania ingat betul, ia memang sempat berpacaran dengan Oris dalam waktu yang singkat sewaktu masih kelas satu SMA.

Vania memutuskan hubungan dengannya karena suatu hal, alasannya karena memang merasa tidak nyaman pacaran dengan Oris, Vania tidak bisa menyukai Oris lebih dari teman.

Oris memang gaul, tetapi penakut. Tapi Oris terlalu menyukai Vania karena ia cantik dan ia sangat menyukai kepribadian gadis itu entah dari sisi manapun.

Sampai kemana pun Vania selalu diikutinya, sampai harus ikut masuk kampus yang dimasuki Vania dan mengambil jurusan yang sama dengan Vania. Pokoknya asal bisa sama-sama dengan Vania.

“Gue bisa jemput lo tiap hari kok biar lo nggak telat lagi.”

“Gak usah repot-repot! Gak perlu.”

“Lo nggak berubah, deh ... dari SMA tetep aja suka telat. Untung gue nerima lo apa adanya.” Oris cekikikan, malu sendiri karena terlalu suka menggoda Vania.

Adelia hanya nyengir melihat kelakuan kedua sahabatnya itu. Lalu muncul ide jail dalam pikirannya.

“Oris! Ada kecoa!”

“MANA?!!!!!”

Oris langsung berteriak ketakutan dan mengangkat kakinya dari kursi, dilihatnya orang-orang di sekitar memperhatikannya heran.

Kedua gadis itu tertawa geli, memberi hiburan tersendiri bagi mereka.

***

Jam ospek selesai.

Vania mengacak-acak isi tasnya mencari sesuatu. Diliriknya sejenak jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan sore hari jam pulang mereka, setelah seharian puas dikerjai oleh para seniornya.

Detik berikutnya ia melanjutkan kembali mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.

“Kenapa, Van?” tanya Adelia.

“Hp gue nggak ada nih!”

“Kayaknya ketinggalan deh ... tapi?” Vania lantas mengingat sesuatu, tadi baru keluar rumah dirinya masih memegang smartphone-nya.

“Berarti …”

“Hilang di bus…!” tebak Adelia jitu.

Vania masih saja belum berhenti mengacak-acak isi tasnya dan mengeluarkan semua isinya.

“Bener, Del. Dompet gue juga nggak ada!”

“Hmm ... berarti lo kecopetan di bus, Vania.”

Vania mencoba memutar kembali memorinya, pada saat naik bus tadi pagi. Terlihat di sekelilingnya, tidak ada tanda-tanda orang yang mencurigakan.

Tapi Vania memang berdiri berpegangan di bus di antara orang-orang, ia pun sulit mengingat siapa saja yang berada dekat dengannya waktu di perjalanan itu.

Sebenarnya yang terpenting bagi Vania sekarang adalah ponselnya karena penting untuk komunikasi serta ada beberapa data penting tersimpan di dalamnya.

Tetapi tak kalau pentingnya juga isi dompetnya, ia harus siap-siap pusing karena harus kembali mengurus kartu dan surat-surat pentingnya.

Tiba-tiba seseorang membunyikan klakson membuat kedua gadis itu terkejut. Mereka mengenali itu adalah motornya Nino.

Nino dengan motor besarnya menghampiri mereka membuat keduanya tercengang, saat laki-laki itu membuka kaca helmnya.

“Lo pada jangan berdiri di tengah jalan dong!” ketus Nino dibalik helm full face yang dikenakannya.

“Maaf Kak,” ucap Vania dan Adelia kompak.

“Udah jam pulang, pulang sana! Besok hari terakhir ospek, gue nggak mau liat ada yang telat lagi!” Lalu Nino segera melaju dengan motornya.

“Besok gue telpon lo, deh. Biar bangun pagi!”

“Hp gue kan ilang sekarang?”

“Iya juga, yah. Gimana dong? Pokoknya besok lo nggak boleh telat ya!”

Tiba-tiba sebuah mobil menghampiri ke arah mereka.

“Van, jemputan gue dah dateng, lo mau bareng nggak?” ajak Adelia.

 “Vania?” Adelia mengikuti pandangan Vania yang datar ke depan, tidak ada apa-apa. Sepertinya ia memikirkan sesuatu. “Lo liat apa, Van?”

“Oh, nggak ...  lo duluan aja nggak papa, Del. Gue pulang naik taksi aja, nanti ongkosnya biar bayar di rumah.”

“Hmm ... ya udah deh, lo hati-hati ya tapi."

Mobil Adelia sudah menjauh dari Vania. Tidak lama kemudian, ada taksi kosong yang berhenti. Vania langsung beranjak mau menaiki taksi tersebut.

Begitu Vania membuka pintu taksi kota itu, Vania merasa ada sesuatu yang menarik pandangannya.

Terlihat di dekat nya seorang laki-laki muda sedang berbicara di telepon. Tapi ada yang lebih menarik perhatiannya, yaitu ponsel yang sedang di pakai oleh laki-laki tidak dikenal itu.

Vania mengenali ponsel itu karena aksesoris yang ada di ponsel itu berbentuk menara Eiffel berwarna keemasan karena memang terbuat dari lapis emas. Juga ada sebuah huruf V dengan inisial namanya.

Vania tidak mungkin salah karena itu adalah souvenir pemberian dari Wina-- kakaknya, dan tidak semua orang bisa punya benda tersebut. Itu benda kesayangan Vania.

Vania kembali menutup pintu taksi itu. “Maaf ya, Pak. Nggak jadi,” kata Vania kepada supir taksi tersebut.

Tapi rupanya laki-laki tadi menyadari kehadiran Vania, dan sepertinya mengenali wajah Vania. Ia pun langsung lari tunggang langgang.

“Pakai lari lagi! Bener kan tuh HP gue!!” gerutu Vania kesal diikuti gerakannya yang juga lari mengikuti laki-laki tersebut.

"Woyy!! Berhenti gak lo!"

Vania merasa sudah berlari dengan cepat, tetapi laki-laki pencuri ponselnya ini ternyata lebih lincah larinya.

Vania sampai tertatih mengejar orang itu hingga napasnya sudah terengah-engah.

Aksi kejar-kejaran mereka berlangsung cukup lama, layaknya adegan lari-larian seperti di film action.

Laki-laki itu terus berlari sekencang-kencangnya untuk menghindari kejaran Vania. Vania yang juga terus berlari mengejar orang tersebut sampai lupa memperhatikan jalan yang ada di sekitarnya.

Nampak di depan ada sebuah persimpangan jalan, orang itu terus berlari menyeberang persimpangan tersebut.

Saat yang bersamaan, sebuah mobil hitam tengah melaju di persimpangan tersebut dan tiba-tiba terhenti, karena hampir menabrak tubuh Vania.

Seketika Vania melepaskan perhatiannya dari orang kejarannya itu karena saking terkejutnya, sampai jantungnya terasa mau terlempar begitu sadar ada sebuah mobil yang hampir menabraknya.

Di liriknya, laki-laki itu berlari sudah semakin menjauh, sedangkan Vania masih mengatur ritme jantung yang memompa lebih cepat.

Vania langsung meradang, ia bersumpah akan memaki orang yang berada di dalam mobil tersebut. Ia sudah sangat kesal karena pencuri yang dikejarnya sudah lepas jejak darinya.

“Woyy … keluar lo!” teriak Vania dengan emosinya sambil memukul kap mesin mobil dengan telapak tangannya. “Ni orang baru bisa nyetir kali yaa,” gumam Vania emosi.

Seseorang berpostur tinggi berkacamata hitam dengan berpakaian rapi ala kantoran, keluar dari mobil. Laki-laki itu melepas kacamatanya sehingga terlihatlah wajahnya, Alfin Setiawan CEO HS Group yang baru.

“Apa apaan ini?! Apa maksud kamu mukul mobil saya?!!” celetuk Alfin terdengar kesal.

Vania yang saat itu masih dalam keadaan emosi tampak sedikitpun tidak terpesona melihat laki-laki di hadapannya.

Vania bisa melihat langsung betapa tampannya cowok ini. Wajahnya memang masih terlihat muda, tetapi penampilannya seperti seorang bos.

“Lo bisa nyetir nggak sih? Denger ya, Pak ... Om,” Vania bingung memanggilnya apa. “Aduh apalah. Pokoknya lo hampir nabrak gue!”

“Eh, kamu nggak lihat? Ini jalanan umum khusus buat kendaraan, bukan untuk menyeberang sembarangan."

Perkataan laki-laki ini memutar otak Vania untuk kembali berpikir. Ucapan orang ini ada benarnya juga, soalnya Vania tidak berada di area khusus untuk pejalan kaki ketika mau menyeberang jalan.

Tapi ego yang masih tinggi enggan membuatnya mengalah, dirinya tetap saja kesal saat tidak bisa melawan nalurinya yang ingin merasa menang.

“Tapi bagaimanapun juga, lo yang nggak lihat-lihat ada orang di depan. Bisa nyetir nggak sih?! Jangan-jangan SIMnya abal-abal,” ketus Vania sambil membenarkan posisi tasnya.

Alfin mengernyitkan dahi sambil membulatkan matanya, terheran.

“Gara-gara lo, maling yang gue kejar berhasil lolos!” pekik Vania kesal.

 “Ya itu bukan urusan saya dong! Yang jelas, kamu mengganggu perjalanan saya! Lagian kamu, anak sekolahan ngapain keluyuran udah sore begini, mana nyebrang jalan gak pada tempatnya. Ini nih generasi muda sekarang yang nggak patut dicontoh, NGGAK TAHU ATURAN!”

“Ini orang ngeselin banget si.” Vania menggumam sendiri.

“Dasar aneh!” ketus Alfin.

“Hahh??!” Vania melongo menatapnya.

“Masih anak sekolahan juga! Omongannya nggak sopan, cewek aneh!” Alfin beranjak pergi malas meladeni.

Vania merasa sangat kesal karena bertemu dengan laki-laki ini, selain itu ia juga kehilangan jejak si pencuri ponselnya tersebut. Tanpa ragu-ragu  Vania langsung  menendang roda depan sebelah kiri mobil tersebut.

“SIAL!” umpatnya, yang ada Vania merasakan sakit pada kakinya.

Melihat perbuatan Vania, Alfin langsung bereaksi. Langkahnya lalu kembali mendekat ke arah Vania.

 “Ehh … apa-apaan ini …?!” Ia mendekati roda mobilnya.

Vania kembali memukul kap mesin mobil Alfin dengan perasaan kesal.

“Kita impas!” Lalu Vania langsung menyeberang jalan dengan hati-hati menghindari laki-laki tersebut.

 “CEWEK ANEH!!" pekik Alfin. "Amit-amit deh ketemu sama cewek tengil kayak gitu!"

Vania kini kehilangan jejak, sepertinya ia harus benar-benar merelakan ponselnya.

Betapa lelahnya ia sekarang ini berjalan di trotoar sambil menunggu taksi kosong melintas.

...✿✿✿...

Di kediaman keluarga Vania.

Saira, mamanya Vania sedang sibuk di dapur membuat adonan kue untuk pelanggan ditemani asisten rumah tangganya, bi Darsih.

Baru-baru dalam tahun ini Saira mulai menerima pesanan bermacam-macam jenis kue, untuk mengisi waktunya di sela kegiatannya sebagai ketua persatuan ibu-ibu khusus istri pegawai negeri sipil, di lingkungan sebuah kampus.

Berawal dari sekedar hobi, ternyata teman-temannya banyak yang suka. Jadi keterusan sampai sekarang.

“Bi, Vania belum pulang ya? Udah hampir senja ini.”

“Kayaknya belum, Bu. Non Vania kan masih itu … nganu, apa namanya ya."

Wanita paruh baya yang sering disapa dengan sebutan bibi di rumah itu, tampak memikirkan sebuah kata yang rasa-rasanya sulit untuk diucap, padahal sudah di ujung lidah.

"Ospek." Saira membantu menyebutkannya.

"Nah itu, Bu. Bibi gak ngerti soalnya," ujar Darsih. "Biasanya kan juga pulangnya sore, Bu.”

“Iya, tapi biasanya nggak se sore ini, saya jadi khawatir Bi."

Tiba-tiba ponsel Saira berdering. Letaknya agak jauh dari jangkauannya, Bi Darsih  langsung mengambilkan ponselnya.

“Ini, Bu.” Bi Darsih menyerahkan ponsel tersebut.

Saira melepas sejenak adonan yang ada di tangannya dan melepas sarung plastik di tangannya yang belepotan bekas adonan kue.

“Halo, Mbak Ningsih?”

“Hai Saira, besok sama mas Suherman dateng ya. Undangan udah aku kirim ke rumah kamu ya. Maaf ya mengirim undangannya dadakan."

"Oh untuk acara itu? Iya gak papa, Mbak. Lagipula mas Herman sudah menyiapkan waktu juga kok. Besok siang, kan?"

^^^٭٭٭^^^

Terdengar bunyi bel rumah.

Saira sudah menutup teleponnya. Vania datang dengan dengan wajah yang memelas dan terlihat lesu, ia duduk di sofa dekat ruangan dapur.

“Sayang? Kok baru pulang? Kamu naik taksi? Kenapa nggak telpon mang Karso aja?”

“Hp Vania di curi orang, Ma.”

“Dicuri??” Saira menatap terkejut.

“Tadi, di bus, kecopetan, Hp sama dompet aku hilang,” ujar Vania masih dengan perasaan kesal. "Oh ya, tolong bayarin ongkos taksinya ya," lanjutnya.

“Kok bisa sih?”

“Aaargghh ... pokoknya aku nggak mau lagi naik bus! Vania mau mandi dulu ya, Ma. Itu ada undangan buat papa, di anter sama kurir tadi.”

Saira mengiyakan.

***

Jam menunjukkan pukul 7.30.

Vania dan kedua orang tuanya tengah menikmati makan malam.

Beberapa saat setelah Vania pulang, Suherman sudah pulang ke rumah dari tugas dinasnya di luar kota.

Menjadi seorang pimpinan di salah satu universitas di Jakarta membuatnya sering bepergian keluar kota maupun luar negeri untuk keperluan kampus.

Setelah Wina menikah, mereka hanya tinggal bertiga, ditemani sepasang suami istri, bi Darsih dan mang Karso sebagai asisten rumah tangga yang sudah dianggap keluarga sendiri.

“Papa sudah belikan hp baru buat kamu, mungkin besok pagi di antar kurir," ujar Suherman.

Saat mendengar cerita dari istrinya, ia langsung membuka aplikasi belanja online untuk meng order ponsel.

“Papa mesan online?”

“Iya dong. Oh ya, gimana Vania masa orientasi kamu di kampus?” tanya Suherman.

“Biasa aja, Pa.”

“Pulangnya sampe sore terus, Pa,” sahut Saira.

“Kamu nggak suka kelayapan nggak jelas sama anak-anak motor lagi kan?” tanya Suherman.

“Cuma klub motor biasa, Pa. nggak macem-macem,  paling cuma touring ke tempat-tempat yang bagus aja, anggotanya juga kebanyakan temen-temen SMA Vania.”

“Pokoknya apalah itu, Mama nggak suka ya Vania, kamu udah kayak anak berandalan aja. Kuliah yang bener, nggak usah kelayapan.”

“Kan biasanya cuma jalan-jalan aja, Ma.”

“Kamu lupa itu bekas luka di kaki kamu, kaki kamu hampir patah gara-gara kelayapan nggak jelas sama klub motor itu!”

“Iya, Ma." Vania merasa lesu kali ini kena marah lagi sama Saira.

Seperti biasanya karena kegemarannya yang suka jalan-jalan dan berkunjung ke tempat-tempat bagus, ia harus menerima semprotan nasehat dari orang tuanya.

“Lagian kamu kenapa nggak kuliah di kampus tempat papa aja sih? Supaya sekalian kamu terawasi,” ujar Saira, yang dari awal sudah sering cerewet karena Vania memaksa ingin kuliah di kampusnya sekarang.

 “Duh, di kampus tempat papa itu nggak ada jurusan yang aku mau. Terus, aku bukan anak kecil lagi kan mesti harus diawasi ke mana-mana.”

“Tapi kamu suka keluyuran tanpa sepengetahuan orang tua, kamu itu anak gadis loh,” sahut Suherman.

Vania hanya terdiam menunduk.

Suasana hening akhirnya terpecah setelah Alex, seorang laki-laki muda berperawakan kurus datang ke rumah mereka.

Alex merupakan kakak sepupu Vania, mamanya merupakan adik kandung dari Suherman.

“Malam, Tante, Om, Vania," sapa Alex mengabsen satu per satu anggota keluarga ini.

“Eh, Alex, ayo sini ikut makan,” ajak Suherman kepada keponakannya itu.

Rumah Alex bersebelahan dengan Vania, jadi tak heran Alex sering main ke sini seperti rumah sendiri.

“Wah, enak nih.” Alex duduk di samping Vania. “Eh, Van. Itu motor lo udah oke lagi, makasih ya.”

“Iya, sama-sama. Lo gak modal banget sih, touring aja pake bawa motor gue." Vania menyeletuk.

"Yaelah, gue sebenarnya lagi deketin cewek," bisik Alex di dekat telinga Vania. "Anak klub skuter gitu, masa gue ikut touring anak skuter pake motornya Rossi sih, kan gak nyambung?"

"Ngeles aja lo kayak bajaj, sampe motor gue masuk bengkel gimana tuh?"

"Motor lo aja yang udah sepuh," ledek Alex.

Melihat keduanya tampak asyik mengobrol saling menelan kan suara , membuat Suherman mendehem.

“Gimana Lex kuliah kamu?” tanya Suherman.

“Wah, di semester lima lumayan capek, Om. Banyak tugas, mana mau PKL lagi ini."

"Sudah dapat rekomendasi tempat?"

"Sudah ngajuin proposal sih, Om. Disuruh nunggu kabar beberapa hari ini," jelas Alex. "Terus apa kabar nih mahasiswa baru? Gimana kampus? Eh, ospek gimana? Cowoknya kece-kece dong.”

“Apaan sih, yang ada perpeloncoan tiap hari!”

“Masa Vania?!” Suherman penasaran.

Papanya adalah orang yang sangat kritis, sebagai pimpinan disebuah Universitas swasta, telinganya cukup sensitif.

“Oh, enggak Pa, maksudnya ... seru kok, perkenalannya selama ospek.” Vania nyengir.

“Masih ada perpeloncoan?” tanya Suherman dengan serius.

“Enggak lah, Pa. Aman kok, ya paling pendisiplinan tipis-tipis lah,” jawab Vania.

Ia akan merasa capek mendengarkan papanya berorasi, jika ia menemukan hal yang tidak sesuai terkait dengan dunia pendidikan.

“Eh Van," bisik Alex lagi. “Besok malam gue balapan, lo mau liat nggak?”

“Hah? Lo ikut balapan?” bisik Vania balik.

“Iya, seru loh ... lo belum pernah liat kan?”

“Mmm ... boleh juga tuh!” seru Vania membuat kedua orangtuanya menatap kompak ke arah mereka.

***

Terpopuler

Comments

Hamzah Evander

Hamzah Evander

Cara mendapatkan kata ilmiah itu, gimana?, biar nanti kalo buat novel baru, bisa keren gitu kata - katanya.

2023-08-21

2

🍾⃝ʙͩᴜᷞʟͧᴀᷠɴͣ sᴇᴘᴀʀᴜʜ

🍾⃝ʙͩᴜᷞʟͧᴀᷠɴͣ sᴇᴘᴀʀᴜʜ

kok ga diteriakin

2023-06-30

2

🍾⃝ʙͩᴜᷞʟͧᴀᷠɴͣ sᴇᴘᴀʀᴜʜ

🍾⃝ʙͩᴜᷞʟͧᴀᷠɴͣ sᴇᴘᴀʀᴜʜ

padahal bisa jadi solusi. ck

2023-06-30

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!