Mobil Wina dan Rio sudah melaju meninggalkan halaman rumah keluarga Vania. Suherman dan Saira pun sudah masuk lebih dahulu ke dalam.
Sedangkan Vania masih berada di halaman rumahnya dan terlihat resah menunggu sebuah telepon.
Tidak lama kemudian, akhirnya ponselnya berdering.
“Halo. Alex?”
“Lo di mana? Gue udah nyampe lokasi nih.”
“Acaranya udah mulai?”
“Belom sih. Lo ke sini nggak?”
“Iya gue ke sana, bosan juga nih di rumah."
Vania lalu mencari kesempatan saat kedua orang tuanya sudah masuk ke dalam kamar, ia menyelinap keluar rumah secara diam-diam.
Sementara hari sudah semakin malam. Ia tahu jika ia memaksa minta izin keluar, pasti tidak akan diberikan izin. Karena itu ia hanya berharap jika kedua orang tuanya tidak akan mengetahui aksinya ini.
***
Di lokasi balapan.
Tempat ini sangat ramai dengan banyaknya muda mudi yang bermalam minggu untuk bergaul di sini.
Sebenarnya Vania baru pertama kali ikut ke acara seperti ini, ia hanya penasaran untuk sekedar melihat balapan motor tersebut, tapi terkesan aneh bagi Vania. Ini di jalanan umum?
“Woy, Lex.” Vania menghampiri.
“Apa?” Alex sudah berpenampilan keren dan siap beraksi dengan motor besarnya.
“Lo balapan liar?” tanya Vania dengan mata tercengang.
“Iya. Emang gue ada bilang ke lo, kalo gue mau balap moto GP? Bareng Rossi gitu?”
“Eih. Nggak ada sih, tapi ini aman nggak?”
“Aman lah, kalau gak ketahuan." Alex tertawa renyah tanpa beban.
"Bener-bener lo ya, Lex."
"Udah tenang aja, lo bisa tuh kenalan sama anak-anak motor di sini, temen kampus gue banyak yang dateng kok, cowoknya cakep-cakep loh. Lo suka anak motor kan?" Alex menaik naikkan alis menggoda adik sepupunya itu.
“Duh, Lex! Jangan bilang lo taruhan?!” Vania menatap tajam ke Alex.
“Ayolah Vania, jadi anak muda itu harus keren dikit lah, dan ini baru aksi laki. Hadiahnya lumayan loh, kalo gak dapet cewek, ya dapat duit jiahahaha."
Alex cekikikan melihat wajah Vania mulai kecut.
“Ah sialan lo, Lex! Kalo nyokap bokap lo tau gimana?”
“Mereka nggak bakal tau. Selama lo jaga rahasia.”
“Pantesan lo bisa beli barang-barang bagus."
"Woy, Lex! Bawa cewek lo?" sapa seorang laki-laki seusia Alex menghampiri mereka.
Ia sedikit terpana begitu melihat Vania, Alex menyadari pandangan temannya itu.
"Sepupu gue, mahasiswa baru di UB," ujar Alex mengenalkan.
"Oh, anak UB. Kenalan dong," ucapnya.
"Lex, lo apaan si," gerutu Vania dengan berbisik ke arah Alex, terlihat sekali raut wajah Vania yang mulai merasa risi.
"Sori, Bro. Adik sepupu gue kayaknya gak doyan sama lo," ledek Alex pada temannya.
"Alex!" Vania menatapnya geram.
"Emang gue makanan apa. Ya udah gue ke yang lain dulu," pamit laki-laki itu. "Bye cantik," ujarnya genit memandang Vania.
Vania mendengkus sebal. "Gue bilangin bokap gue lo ya," ancamnya pada Alex.
Hingga tiba saatnya, beberapa motor yang akan melakukan balapan, sudah berbaris rapi di arena dan siap untuk bertanding.
Vania harap-harap cemas melihat kelakuan sepupunya itu karena ini tergolong berbahaya, mereka melakukan aksi di jalan raya yang memang terlihat agak lengang untuk jam malam seperti ini.
Tiba-tiba mereka kedatangan tamu yang tak diundang, semuanya menjadi rusuh. Banyak diantara mereka berlari berhamburan mengendarai motor masing-masing untuk meloloskan diri.
Vania sempat bingung tetapi ia mendengar teriakan dari yang lainnya.
“RAZIAAA…!!!”
Mata Vania langsung terbelalak dan ia merasa panik apa yang harus ia lakukan. Lalu saat akan berusaha untuk ikut kabur, ia malah tidak sengaja ditabrak oleh tubuh orang lain yang membuatnya terjatuh.
"Vania, lo nggak papa?" Alex langsung turun dari motornya menghampiri.
Vania bersumpah akan menghajar Alex setelah kejadian ini.
...✿✿✿...
Vania dan Alex menatap takut kepada Suherman yang sepertinya sedang marah.
Setelah kejadian tadi, mereka menjadi salah satu yang berhasil digiring ke kantor polisi.
Polisi berhasil menghubungi Suherman sebagai perwakilan orang tua mereka, karena orang tua Alex sedang berada di luar negeri mengurus bisnis otomotif mereka.
Melihat Suherman berjalan keluar ruangan tersebut, keduanya pun mengikuti berjalan lemas dengan wajah yang ditekuk.
“Kalian tau apa yang kalian lakukan itu?!” kata Suherman dengan marah. Keduanya masih bungkam, takut.
“BIKIN MALU! Papa malu Vania! Papa nggak tau harus dengan cara apa lagi mendidik kamu?! Dan kamu Alex! Kamu harusnya bisa ngasih contoh yang baik buat adik sepupu kamu! Jangan seperti ini, seperti anak berandalan saja!!”
Vania dan Alex lagi-lagi hanya bisa terdiam dan mengakui kesalahan mereka.
Lalu mengekor di belakang Suherman yang sudah berjalan menuju mobil.
“Lo sih, Lex!” kata Vania dengan marah menyalahkannya.
“Yah sori, Van. Gue juga kena marah kali, bukan lo doang! Lo sih tadi bilangnya mau ngadu ke bokap lo, kejadian kan, kita ketahuan."
"Lo masih mau membela diri?!" tanya Vania melotot tajam.
"Kagak, lo galak banget sih."
"Udah dari lahir!" sahut Vania sebal.
***
Seberkas sinar matahari menembus kaca jendela kamar Vania, dan mengenai wajahnya yang masih terlelap.
Merasakan hal itu, Vania mulai membuka matanya secara perlahan dengan malas.
Sesungguhnya hari ini ingin rasanya ia hanya menghabiskan waktu untuk tidur, karena takut kena marah lagi oleh papanya.
Masih dengan wajahnya yang kusut, Vania pun berusaha bangun dari tempat tidurnya.
Dibukanya tirai jendela kamarnya, lalu ia keluar balkon kamarnya.
Matanya langsung terbelalak sempurna begitu melihat Suherman sedang berbicara dengan sorang pria yang tidak ia kenal, tetapi yang paling mengejutkan bagi Vania adalah ia melihat ada motor kesayangannya terparkir di antara mereka.
Kelihatannya Suherman sedang membuat kesepakatan dengan orang tersebut. Vania pun segera menuju ke sana dengan perasaan cemas.
***
Vania berlari dengan secepat-cepatnya menuruni tangga rumahnya, hingga ia sudah menemui papanya.
“Papa! Motor aku?!” ucapnya setengah berteriak.
Jantungnya rasanya hampir melompat, melihat motornya sekarang berpindah tangan kepada pria tersebut.
“Motor kamu udah Papa jual! Silahkan Pak dibawa.”
Orang itu langung mengendarai motornya. Vania mencoba menahannya, tetapi terburu ditahan oleh Suherman.
“Pa, kok dijual sih?!”
“Sengaja! Mulai sekarang kamu ke mana-mana akan di antar!”
“Pa, nggak bisa kayak gitu dong.” Vania memandang papanya protes.
“Kamu ingat kejadian semalam? Papa nggak
mau terulang lagi, mengerti?!!!”
“Pa …” Vania hanya bisa merengek kesal. "Lagian kan aku baru sekali melakukan kesalahan itu, aku nggak ngapa-ngapain juga," ujar Vania membela diri.
“Gak usah membela diri. Kamu Papa awasi ya, Vania!” Suherman memperingatkannya.
***
Vania menatap kesal ke arah makanannya di atas meja. Vania sama sekali tidak menduga setelah kejadian semalam membuat papanya jadi lebih garang dan bertindak diluar dugaannya, sampai menjual motor kesayangannya.
Sementara Suherman dan Saira kompak menatapnya. Mereka menyadari sepenuhnya jika anak gadis bungsu mereka ini baru beranjak dewasa, dan tentu banyak juga hal yang ingin ia ketahui.
“Kamu itu anak gadis! Nggak sepatutnya bergaul seperti itu, malam-malam diluar. Menyelinap keluar rumah tanpa izin," omel Suherman.
“Iya Pa. Vania minta maaf.”
“Kamu cukup mengecewakan Papa ya. Papa cukup malu! Anak Rektor malah ikut pergaulan balap liar, kamu harus jaga nama baik Papa juga dong, Vania.”
“Udah, nanti biar Mama atau mang Karso aja yang nganter kamu ke mana-mana,” ujar Saira.
“Kamu sekarang Papa awasi, Vania! Ini kota Jakarta, kota besar! Nggak bisa hidup tanpa aturan di sini, kehidupan di luar sana keras!”
“Iya Sayang, cari pergaulan yang baik, jangan sembarangan. Kamu kan sudah beranjak dewasa, harus bisa memilih mana yang baik, dan mana yang enggak," timpal Saira.
***
Saat itu di kediamannya.
Alfin membaringkan tubuhnya di kasur. Terasa nikmat sekali baginya bisa beristirahat di hari libur seperti ini, di sela-sela kesibukan hari-harinya bekerja.
Sambil meng alasi kepalanya dengan tangan, Alfin menatap datar ke depan arah gorden jendela kaca kamarnya, yang tampak bergerak-gerak karena tiupan angin.
Di luar nampaknya cuaca sangat terik, terlihat langit begitu cerah membiru dengan awan yang tampak bersih seputih kapas.
Alfin segera bangun dan duduk di ujung tempat tidur minimalisnya seraya merenungkan kembali ucapan orang tuanya semalam.
Entah kenapa tiba-tiba saja perkataan orang tuanya itu terlintas begitu saja di pikirannya, padahal Alfin tidak bermaksud untuk memikirkannya dulu.
Lalu ia kembali melihat keadaan dirinya sekarang.
Semenjak Alfin lulus SMA dan memutuskan untuk kuliah keluar Negeri, dirinya memang hanya fokus untuk belajar dan terus belajar seperti pesan papanya.
Sekarang Alfin memang masih sendiri dan mulai terpikirkan hal itu, mengingat keinginan orang tuanya.
Alfin sangat menyayangi kedua orang tuanya melebihi apapun, bagaimanapun caranya, yang Alfin pikirkan adalah kebahagiaan orang tuanya.
Ternyata semua prestasi dan kemampuan yang Alfin miliki, dirinya merasa belum cukup untuk membahagiakan kedua orang tuanya.
Kebahagiaan mereka hanya akan lengkap, jika melihat Alfin segera memiliki pendamping hidup.
Sedangkan di luar sana memang banyak perempuan yang menyukai dan menginginkan Alfin, tapi sedikitpun dirinya belum mau membuka hatinya.
Mamanya selalu berpesan untuk selalu hati-hati dalam memilih pasangan, karena sulit bagi Alfin menemukan perempuan yang benar-benar memahami dan mau menerima dirinya apa adanya.
Tetapi rupanya orang tuanya sudah menemukan sosok tersebut. Ini akan terasa berat baginya karena mengenai perjodohan, belum tentu ia akan bisa mudah beradaptasi nantinya.
***
Di kediaman keluarga Vania.
“Kamu mau ke mana, Sayang? Malam begini,” tanya Saira yang melihat Vania membuka pintu rumahnya.
“Mau beli martabak, Ma.”
“Ni anak, padahal sudah makan malam, masih mau ngemil,” gumam Saira.
Vania hanya nyengir ke arahnya.
“Diantar sama mang Karso ya?”
“Nggak usah, Ma. aku jalan kaki aja, ke depan komplek aja kok. Aman.”
“Ya udah, jangan kelayapan.”
Vania memiliki tubuh yang tidak terlalu gemuk, padahal dia sangat suka makan.
Vania sering membeli jajanan pinggir jalan saat mood lagi bagus untuk makan-makan, karena dari rumah Vania, tidak jauh untuk keluar komplek rumahnya menuju jalan raya.
Lagi pula, di sekitaran sini merupakan termasuk kawasan yang aman karena dijaga 24 jam sehingga ia bisa berjalan keluar tanpa takut ada yang mengganggu.
***
Langakah Vania langsung terhenti begitu ia melihat seseorang yang sedang berdiri bersandar pada sebuah mobil. Vania mengawasi dari kejauhan, sosok perawakan tinggi tersebut.
"Kayak pernah liat," gumam Vania sendiri.
Alfin dengan berpakaian rapi sedang menghadap ke sebuah rumah di komplek tersebut.
Ia sepertinya sedang menunggu seseorang penghuni rumah itu untuk keluar.
Mata Vania terbelalak ketika Alfin tiba-tiba menoleh ke arahnya. Vania langsung panik, ia celingak celinguk beberapa kali karena kebingungan.
Ia tidak mengetahui nama laki-laki itu tetapi sangat familiar dengan wajahnya, begitupun Alfin sebaliknya.
Vania mencoba segera menghindar tetapi Alfin terburu mengejarnya dan berhasil menangkap tangannya.
“Kamuu lagii!? Mau ke mana?!” cegatnya.
Vania benar-benar berharap untuk tidak akan dipertemukan lagi dengan laki-laki ini.
Ia sedikit ketakutan karena merasa melakukan tindakan yang kurang menyenangkan terhadap Alfin, pada pertemuan mereka sebelumnya.
“Lo ngapain ada di sini? Lo ngikutin gue ya?”
“Idiih ... amit amit ngikutin cewek aneh kayak kamu.”
“Terus ngapain ada di sini?”
“Suka suka saya dong. Kamu mau lari ke mana? Sekarang ketangkap kamu! Mana orang tua kamu?”
“Aduhh, nggak usah bawa bawa orang tua gue dong. Lepasin nggak?” Vania masih berontak menarik tangannya, namun pegangan laki-laki itu terlalu kuat.
“Nggak bisa! Minta maaf nggak sekarang?!” paksa Alfin.
“Isss … lepasin! Gue teriak ya biar lo diusir sama satpam komplek ini. Sat ...” Alfin terburu membekap mulut Vania dengan tangannya sehingga teriakan Vania terdengar samar, ia hanya bisa menggerutu tak jelas.
“Mmmmmhh ….”
“Diem!” Alfin sedikit panik jika sampai petugas keamanan di komplek ini akan salah paham kepadanya.
Tanpa pikir panjang Vania langsung menggigit jari-jari Alfin sampai ia kesakitan, Vania juga mengambil kesempatan untuk menyikut perut laki-laki itu dengan kuat, hingga melepaskan Vania.
Dengan tergesa-gesa Vania berlari dan berhasil kabur dari Alfin.
“Ya Tuhan. Jangan sampai ketemu sama orang itu lagi,” gerutu Vania sambil terus berlari berbalik kembali ke arah rumahnya. Ia memutuskan mengurungkan niat awalnya.
***
“Alfin, kamu kenapa? Kayaknya ada sesuatu yang terjadi tadi?” Seorang perempuan cantik baru keluar dari rumahnya.
Natasya, seorang perempuan berambut panjang yang selalu tampil modis sudah bersiap dengan penampilannya yang sangat memukau malam ini.
“Nggak, nggak ada apa apa, cuma ada anak kecil yang nakal aja tadi,” jelas Alfin.
“Oh ... gangguin kamu?”
“Oh, enggak kok.” Alfin berkelit.
***
Mobil Alfin sedang melaju di jalan raya. Natasya yang duduk di kursi penumpang mobilnya menoleh ke arah Alfin, yang sepertinya sedang tampak diam saja, fokus menyetir sambil separuh pikirannya masih mengambang.
"Fin," panggilnya.
"Iya, Nat?" Alfin sedikit tersentak mendengar sapaannya.
“Makasih ya, kamu bisa meluangkan waktu malam ini,” ucap Natasya.
Alfin menatap Natasya sebentar. Natasya malam ini terlihat sangat cantik. Masih sama cantiknya saat masih sekolah dulu.
Hanya saja sekarang Natasya tumbuh menjadi wanita dewasa yang modis dan mapan.
“Aku senang banget pas tau kalau kamu balik ke Jakarta lagi loh.”
Natasya lalu mengingat sesuatu.
“Aku pikir waktu kamu memutuskan berangkat ke Inggris, kamu akan selamanya menetap di sana, Fin."
Alfin tersenyum simpul mendengarnya.
“Tadinya aku berpikir begitu, Nat. Tapi setelah aku pikir lagi, rumah aku memang di sini, dan lebih nyaman tinggal di rumah sendiri, bersama keluarga. Papa juga sudah istirahat dari dunia bisnisnya, aku punya PR berat sekarang.”
“Maaf ya, Fin. Aku nggak jemput kepulangan kamu di bandara.”
“Ya ampun Natasya, nggak apa apa.”
“Kamu tau, kalo si Hans nggak ngasih tau kepulangan kamu, aku nggak tau harus gimana, Fin. Tapi aku senang , dia teman yang baik. Makanya itu aku langsung minta nomer kamu buat menghubungi si tuan direktur yang super sibuk ini.”
“Ohh ... Si Hans? Iya sih aku masih sering kontak dengan dia.”
“Banyak hal mungkin yang udah kamu lupain, Fin. Tapi
.. aku senang dan cukup terkejut, kamu ternyata masih mengingat alamat rumahku.” Natasya tertawa senang.
“Ya selama alamat rumah kamu nggak berubah.” Lalu mereka tersenyum lebar bersama.
Aku senang banget, Fin. Kamu nggak berubah, masih saja baik seperti dulu setelah apa yang aku lakukan ke kamu. Natasya menggumam dalam hatinya sambil memandangi wajah Alfin yang terlihat fokus menatap ke depan jalan.
Natasya mengingat saat masa dirinya dan Alfin masih SMA, dirinya dan Alfin adalah teman yang sangat akrab, baik saat di kelas maupun diluar sekolah.
Sampai suatu hari Natasya menyadari jika Alfin menyimpan perasaan lebih terhadapnya, karena persahabatan mereka yang terjalin sangat baik.
Bahkan Natasya saat itu menjadi sosok yang selalu ada untuk Alfin di kala apapun. Namun Natasya memilih untuk tidak menghiraukan perasaan sahabatnya itu.
Natasya berhasil menjadi wanita idaman Alfin sampai pada akhirnya Alfin menyadari, bahwa semua perhatian yang diberikan oleh Natasya adalah tidak lebih dari perhatian seorang sahabat.
Natasya terlanjur telah bersama orang lain, teman satu sekolah mereka juga yang saat itu dikenal menjadi murid terpopuler seantero sekolah.
Pada saat itu juga untuk pertama kalinya Alfin merasakan perasaan sakit hati yang teramat mendalam.
Karena itu, saat mendapat kesempatan dari papanya yang menginginkannya untuk melanjutkan pendidikan diluar Negeri, Alfin tanpa pikir panjang langsung menyetujuinya.
Berharap ketika berada di sana untuk jangka waktu yang lama, bisa membuatnya melupakan tentang perasaannya.
Karena itu juga ia memilih menyibukkan diri dan mengesampingkan kesenangannya.
Kini setelah beberapa tahun, akhirnya mereka bertemu kembali dalam keadaan yang berbeda.
***
Selang waktu beberapa lama kemudian, mobil Alfin sudah terparkir di area parkir depan Kafe. Kafe Nostalgia.
Alfin menatap sebentar ke arah tulisan nama kafe tersebut, yang dihiasi kelipan lampu berwarna warni di sekeliling papan tulisannya, yang terletak di atas pintu masuk kafe mewah tersebut. Sudah lama sekali rasanya ia tidak pergi kesini.
Natasya menggandeng lengan Alfin,mengarahkan jalan masuk ke ruangan tujuan mereka.
Dalam ruangan tersebut sudah nampak bersiap-siap teman-teman mereka untuk menyambut kedatangan Alfin dan Natasya.
Begitu terlihat keduanya memasuki tempat tersebut, mereka langsung menyambutnya.
"SURPRISE…..!!!!!"
Alfin sampai terkejut dibuatnya. Dirinya terharu melihat teman-temannya sudah berkumpul untuk menyambut kepulangannya kembali ke tanah air.
Terlihat dari barisan teman-temannya itu susunan huruf dari balon sehingga membentuk sebuah kalimat, Welcome Back Alfin.
Suasana di sana sangat meriah dengan riuh kegembiraan dari beberapa orang yang hadir.
“Selamat datang kembali, Fin,” sambut Hans sambil memeluk Alfin.
“Terima kasih ya semuanya, ini benar benar kejutan yang luar biasa,” kata Alfin kepada sahabatnya itu.
“Iya dong, soalnya ada orang yang ngebet banget mau reunian … kangen katanya.” Si Hans melirik ke arah Natasya memberi isyarat kepada Alfin.
“Ohhh … jadi ini kamu yang nyiapin semua ini?” tanya Alfin kepada Natasya yang dari tadi tampak senyum dengan wajah berbinar.
“Hebat banget, bisa ngumpulin mereka.” Alfin memuji Natasya.
“Ya kalo anak anak sih mudah aja, Fin. Untuk diajak kumpul,” kata Hans. “Yang sulit itu mencari waktu kosong elo," lanjutnya.
“Makanya baru aja acara ini terlaksana,” sahut Irfan.
“Wess … Bos besar kita ni.” Arif merapat menyalami tangan Alfin dan merangkulnya.
“Halo Pak direktur, sukes terus Bro." Sandi ikut juga merapat.
“Sudah, sudah. Ayo kita nikmati hidangannya,” ajak Natasya kepada semuanya.
“Makasih ya, Nat.” Alfin terlihat sangat senang. Natasya mengiyakan dengan senyuman manis kepada Alfin.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
ig: pocipan_pocipan
bunga untuk author yang cihuy...
2023-06-26
2
💐aurora_rachmazya💐
mampir yuuk k novelku _teratai yang mekar_
jgn lupa like & komen yaa buat ninggalin jejak..
2021-11-08
3
Yìeng Kimmý Kimberley
critanya jngan di buwat muter2 kayak roda z thor....😊
2020-06-27
3