NovelToon NovelToon

Beauty & The Boss

Episode 1

Hari ini seperti biasa, jalan di kota besar padat merayap karena banyaknya kendaraan yang silih berganti beraktivitas.

Vania memandang datar ke arah depan, sebuah bus kota yang ditumpanginya saat ini agar ia bisa melihat aktivitas kendaraan yang berada di depan jalan bus.

Sambil berpegangan pada tiang di dalam bus tersebut, gadis berambut hitam panjang dengan sedikit poni di sampingnya itu.

Sesekali memperhatikan beberapa orang penumpang dalam bus tersebut dengan separuh pikirannya mengambang.

Mengingat hari ini adalah hari yang menyebalkan baginya, ketika harus mengikuti masa orientasi awal masuk perguruan tinggi.

Orang-orang yang melihatnya akan mengira bahwa ia masih anak sekolahan, karena masih harus menggunakan seragam sekolahnya, sesuai perintah panitia untuk mengikuti orientasi di salah satu perguruan tinggi terbaik di kota tersebut.

...✺✺✺...

Universitas Bangsa.

Vania setengah berlari menuju ke arah gedung tempat orientasi. Ingin rasanya hari-hari seperti ini cepat berlalu.

Akan tetapi ia harus tetap mengikuti kegiatan permulaan masuk kampus yang tinggal beberapa hari lagi ini, karena kegiatan ini diwajibkan untuk seluruh mahasiswa baru sebagai salah satu syarat mendapatkan persetujuan pengajuan sidang skripsi, di akhir-akhir masa perkuliahan nantinya.

Hari ini Vania harus mengejar waktu lagi agar tidak menjadi bahan olokan ketika dihukum karena ia sudah terlambat, seperti yang sering ia lakukan beberapa hari awal masa orientasi.

Memasuki wilayah kampus sudah tidak terlalu ramai. Vania menyadari dirinya menjadi salah satu di antara yang datang terlambat lagi hari ini.

Ia akan merasa lebih lelah, karena kali ini harus berlari dengan kecepatan 40 km/jam dari gerbang utama kampus menuju gedung ospek.

Setelah berlari cukup jauh, gadis cantik tersebut akhirnya tiba di lapangan tempat biasanya para peserta ospek berkumpul untuk melaksanakan apel pagi sebelum masuk gedung.

Vania bernapas dengan berat, rambut panjangnya sudah terlihat berantakan, dengan kucuran keringat yang mulai membasahi wajahnya, sialnya ia lupa membawa ikat rambut.

Sial, pake telat lagi gue, umpatnya dalam hati. Ia segera mencari-cari barisan kelompoknya.

“Hei ... kamu mau ke mana?!” Sapa Rikas, salah seorang panitia ospek. “Kamu terlambat, Dek!”ujarnya dengan nada nyaring.

“Udah sana ke depan lapangan!” perintah panitia yang lain.

Vania melangkah ke depan lapangan berbaris dengan peserta lain yang juga terlambat. Di depan sudah berdiri beberapa panitia inti dengan membawa toak sambil teriak-teriak.

Ini adalah bagian yang menyebalkan bagi Vania karena dirinya pasti kena marah lagi. Sesekali ia memperhatikan ke arah panitia yang terlihat modis penuh wibawa, sepertinya mereka ini orang-orang pilihan dari kampus dengan popularitas mereka yang tentunya juga bagus.

“Kalian semua dengar! Di depan ini adalah contoh orang-orang yang tidak disiplin! Mereka egois! Bisanya makan tulang kawan! Kami kan sudah bilang kalo ada yang terlambat, semuanya dihukum!” teriak salah seorang panitia cowok.

Vania dapat melihat tulisan nama di jas almamaternya begitu laki-laki bertubuh jangkung itu melintas di dekatnya. Nino Dhanudiningrat.

Orang yang beberapa hari terakhir selalu memarahinya karena kesalahan yang sama, selalu terlambat.

“Eh kamu!” panggilnya, membuat Vania tersentak dan langsung menengok ke arahnya.

“Stevania Alleshandra Larasati." Nino membaca nametag di baju Vania. Nama yang tidak asing baginya, matanya menatap tajam.

Vania menelan ludah, merasa pandangan itu seakan mengintimidasinya. Wajah galak yang ditunjukkan laki-laki itu bahkan membuat Vani tidak berani melihatnya.

“Kamu lagi? Kamu nggak punya jam?! Jam berapa ini? Ini kesekian kalinya kamu berdiri di lapangan ini!” sentaknya.

Merasa dibentak oleh laki-laki ganteng itu, Vania hanya bisa terdiam.

Kegiatan macam apa ini? Beginikah rasanya ketika masuk perguruan tinggi? batinnya.

Tapi dalam hatinya ia memang mengakui juga kesalahannya, harusnya ia bisa berangkat lebih awal jika tahu jalanan kota selalu macet.

Wajah kakak para panitianya memang terlihat berwibawa semua, tetapi seolah jadi menyeramkan ketika mereka menunjukkan kemarahan. Terutama wajah para panitia perempuan, sudah seakan mau memangsa siapa saja yang membuat mereka marah dengan tatapan sinis mereka.

“Kalian semua dihukum! Berdiri di lapangan ini selama satu jam! Ini akibat kesalahan teman kalian sendiri, saya sudah bilang, jika ada satu yang melakukan kesalahan, semuanya akan dihukum, PAHAM!” teriak salah satu panitia ospek.

Keriuhan pun mulai terdengar, Vania melihat jelas sekali kekesalan dari teman-temannya yang lain karena harus ikut dihukum berdiri di lapangan.

Padahal matahari sudah terbit semakin tinggi, dan akan terasa begitu gerah karena sinarnya yang semakin gagah.

“Kamu!” Seorang panitia perempuan berwajah cantik mendekati Vania. “Saya nggak mau lagi ya liat kamu main-main sama panitia!”

Perempuan ini selalu terlihat berdekatan dengan Nino, namanya Bella, dia salah satu yang tercantik dan sepertinya orang yang cukup disegani oleh kebanyakan mahasiswa di kampus.

Vania hanya mendengarkannya sambil terus merasakan sengatan terik matahari yang sudah menyentuh kulitnya.

***

Sementara itu.

Suara tepuk tangan bergemuruh seisi gedung tersebut untuk memberi apresiasi terhadap selesainya sambutan yang diberikan oleh seorang laki-laki muda berwajah tampan, yang sekarang berdiri gagah di sebuah mimbar di atas panggung tersebut.

“Kami ucapkan terima kasih kepada Pak Alfin Setiawan dari HS Group yang menyempatkan waktunya berhadir pada acara hari ini,  sekali lagi terima kasih Pak atas sambutan dan motivasinya,” kata salah seorang MC acara tersebut.

Pria berpostur tinggi tersebut membungkukkan badannya, membalas kembali ucapan terima kasih kepada semua hadirin.

“Selanjutnya kami persilahkan kepada perwakilan dari Organisasi Kepemudaan untuk memberikan cinderamata sekaligus penghargaan kepada pak Alfin Setiawan sebagai salah satu generasi muda yang menginspirasi tahun ini," lanjut MC tersebut.

Beberapa orang naik ke atas panggung untuk menghampiri laki-laki berpenampilan klimis tersebut untuk menyerahkan plakat dan selembar sertifikat untuknya. 

Setelah berfoto bersama, Alfin menyalami mereka dengan senyum merekah membuat para hadirin bertepuk tangan tanpa henti untuknya.

Tidak ada yang terlalu mengenal tentang dirinya di kalangan umum karena ia bukan selebiritis, tetapi untuk kalangan pebisnis banyak orang yang mengenalnya sebagai pengusaha muda yang sukses.

Di usianya yang tergolong masih 27 tahun, ia sudah menjabat sebagai CEO HS Group, yaitu sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi besar serta berbagai macam bisnis seperti properti, pusat perbelanjaan maupun perhotelan.

Meski sebelumnya ia dikenal hanya sebagai pemimpin salah satu cabang perusahaan keluarganya.

Selain itu, Alfin juga dikenal aktif dalam berbagai kegiatan sosial maupun kegiatan kepemudaan. Ia juga dikenal sebagai salah satu penggerak persatuan pemuda bangsa yang bermukim dan berbisnis di Inggris.

Senyum manis nan ramah yang tanpa henti ia tampilkan ketika di depan siapa saja, membuatnya menjadi orang yang dikagumi dan disegani oleh banyak kalangan, bahkan oleh kaum yang usianya jauh di atas dirinya.

...✿✿✿...

Universitas Bangsa.

Jam pelajaran materi orientasi kampus selesai, para peserta diberikan waktu untuk istirahat. Vania  suka menghabiskan waktu istirahatnya di kantin kampus untuk makan.

Vania merasa sedikit tidak nyaman karena orang-orang pasti akan kesal kepadanya, karena dirinya yang lain juga ikut dihukum.

Tetapi terkadang hal itu tidak terlalu menjadi beban pikirannya, karena Vania lebih merasa sangat risi ketika beberapa laki-laki terlihat memperhatikannya sambil terlihat seakan-akan menyapanya walau dari kejauhan, beberapa di antaranya memang ada yang berani menggodanya langsung.

 “Hai tukang telat.”

Seseorang menepuk bahu sebelah kanan Vania. Lantas ia menengok kearah sumber suara. Sudah ada seutas senyuman lebar dari seorang gadis, Adelia namanya.

Seorang gadis berambut sebahu dan memiliki sedikit poni seperti Vania. Nama lengkapnya Adelia Rastanti, putri dari seorang pengusaha restoran, sahabat Vania dari SMA.

Mereka selalu bersama ke mana-mana bahkan sampai kuliah pun mengambil jurusan yang sama, Tehnik Arsitektur.

“Hai, Del."

“Kenapa telat lagi?”

“Gue naik bus tadi, macet banget. Skuter kesayangan gue masuk bengkel habis dipakai Alex.”

“Ohh ... Alex sepupu lo itu? Kok bisa sih?”

“Ya kan habis dibawa touring  ke Bandung beberapa hari.”

“Nggak di anter, Van?”

“Nggak ada yang bisa ngantar, Del. Mama gue lagi ada acara sama ibu-ibu Dharma Wanita di kampus tempat bokap gue kerja.”

"Oh gitu."

Adelia tiba-tiba menyenggol-nyenggol lengan Vania sambil memperhatikan ke suatu arah. Vania mengikuti arah pandangan Adelia yang sepertinya sedang memperhatikan seseorang dengan perasaan kagum.

Terlihat dari sudut tempat mereka duduk, Nino sedang makan bersama teman-temannya dan terlihat sedang asyik ngobrol.

Wajah garangnya tak terlihat lagi saat dalam keadaan santai seperti itu. Vania bisa melihat lesung pipinya yang begitu mempesona. Vania memandang malu namun tetap saja ia terpesona.

"Ganteng banget," gumam Vania berdecak kagum.

Sepertinya setelah ini hari-harinya menjadi mahasiswa akan terasa sangat menyenangkan karena sudah ada sosok yang dikaguminya, meski kadang ia suka takut lihat pemuda itu marah-marah.

Nino merupakan salah satu mahasiswa yang terpopuler di kampus, menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di kampus membuatnya selalu aktif di berbagai kegiatan baik itu dengan para mahasiswa maupun dengan dosen-dosen.

Nino dikenal smart, ganteng, berprestasi dan selalu di eluh-eluh kan tiap cewek yang melihatnya.

Waktu seakan berhenti ketika melihat sosok Nino. Vania selalu kehilangan kepercayaan diri ketika ada Nino, mengingat tempo hari Nino selalu memarahinya karena kesalahannya.

“Ganteng!” kata Oris, si cowok berwajah manis dan berpenampilan modis tiba-tiba datang.

“Oriss! Lo ngapain?” tanya Vania.

“Gue nyari elo!”jawab Oris yang sekarang sudah duduk di salah satu bangku kosong di meja mereka. "Males banget deh, ospek malah gak satu kelompok sama kalian berdua. Gue kan pengennya deket sama Vania terus."

“Sampai kapan lo ngikutin gue?!” Vania kesal.

“Sampai lo mau balikan sama gue lah!”

“OGAH!” Vania tak habis pikir dengan laki-laki yang satu ini.

Oris sebenarnya orangnya baik. Vania ingat betul, ia memang sempat berpacaran dengan Oris dalam waktu yang singkat sewaktu masih kelas satu SMA.

Vania memutuskan hubungan dengannya karena suatu hal, alasannya karena memang merasa tidak nyaman pacaran dengan Oris, Vania tidak bisa menyukai Oris lebih dari teman.

Oris memang gaul, tetapi penakut. Tapi Oris terlalu menyukai Vania karena ia cantik dan ia sangat menyukai kepribadian gadis itu entah dari sisi manapun.

Sampai kemana pun Vania selalu diikutinya, sampai harus ikut masuk kampus yang dimasuki Vania dan mengambil jurusan yang sama dengan Vania. Pokoknya asal bisa sama-sama dengan Vania.

“Gue bisa jemput lo tiap hari kok biar lo nggak telat lagi.”

“Gak usah repot-repot! Gak perlu.”

“Lo nggak berubah, deh ... dari SMA tetep aja suka telat. Untung gue nerima lo apa adanya.” Oris cekikikan, malu sendiri karena terlalu suka menggoda Vania.

Adelia hanya nyengir melihat kelakuan kedua sahabatnya itu. Lalu muncul ide jail dalam pikirannya.

“Oris! Ada kecoa!”

“MANA?!!!!!”

Oris langsung berteriak ketakutan dan mengangkat kakinya dari kursi, dilihatnya orang-orang di sekitar memperhatikannya heran.

Kedua gadis itu tertawa geli, memberi hiburan tersendiri bagi mereka.

***

Jam ospek selesai.

Vania mengacak-acak isi tasnya mencari sesuatu. Diliriknya sejenak jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan sore hari jam pulang mereka, setelah seharian puas dikerjai oleh para seniornya.

Detik berikutnya ia melanjutkan kembali mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.

“Kenapa, Van?” tanya Adelia.

“Hp gue nggak ada nih!”

“Kayaknya ketinggalan deh ... tapi?” Vania lantas mengingat sesuatu, tadi baru keluar rumah dirinya masih memegang smartphone-nya.

“Berarti …”

“Hilang di bus…!” tebak Adelia jitu.

Vania masih saja belum berhenti mengacak-acak isi tasnya dan mengeluarkan semua isinya.

“Bener, Del. Dompet gue juga nggak ada!”

“Hmm ... berarti lo kecopetan di bus, Vania.”

Vania mencoba memutar kembali memorinya, pada saat naik bus tadi pagi. Terlihat di sekelilingnya, tidak ada tanda-tanda orang yang mencurigakan.

Tapi Vania memang berdiri berpegangan di bus di antara orang-orang, ia pun sulit mengingat siapa saja yang berada dekat dengannya waktu di perjalanan itu.

Sebenarnya yang terpenting bagi Vania sekarang adalah ponselnya karena penting untuk komunikasi serta ada beberapa data penting tersimpan di dalamnya.

Tetapi tak kalau pentingnya juga isi dompetnya, ia harus siap-siap pusing karena harus kembali mengurus kartu dan surat-surat pentingnya.

Tiba-tiba seseorang membunyikan klakson membuat kedua gadis itu terkejut. Mereka mengenali itu adalah motornya Nino.

Nino dengan motor besarnya menghampiri mereka membuat keduanya tercengang, saat laki-laki itu membuka kaca helmnya.

“Lo pada jangan berdiri di tengah jalan dong!” ketus Nino dibalik helm full face yang dikenakannya.

“Maaf Kak,” ucap Vania dan Adelia kompak.

“Udah jam pulang, pulang sana! Besok hari terakhir ospek, gue nggak mau liat ada yang telat lagi!” Lalu Nino segera melaju dengan motornya.

“Besok gue telpon lo, deh. Biar bangun pagi!”

“Hp gue kan ilang sekarang?”

“Iya juga, yah. Gimana dong? Pokoknya besok lo nggak boleh telat ya!”

Tiba-tiba sebuah mobil menghampiri ke arah mereka.

“Van, jemputan gue dah dateng, lo mau bareng nggak?” ajak Adelia.

 “Vania?” Adelia mengikuti pandangan Vania yang datar ke depan, tidak ada apa-apa. Sepertinya ia memikirkan sesuatu. “Lo liat apa, Van?”

“Oh, nggak ...  lo duluan aja nggak papa, Del. Gue pulang naik taksi aja, nanti ongkosnya biar bayar di rumah.”

“Hmm ... ya udah deh, lo hati-hati ya tapi."

Mobil Adelia sudah menjauh dari Vania. Tidak lama kemudian, ada taksi kosong yang berhenti. Vania langsung beranjak mau menaiki taksi tersebut.

Begitu Vania membuka pintu taksi kota itu, Vania merasa ada sesuatu yang menarik pandangannya.

Terlihat di dekat nya seorang laki-laki muda sedang berbicara di telepon. Tapi ada yang lebih menarik perhatiannya, yaitu ponsel yang sedang di pakai oleh laki-laki tidak dikenal itu.

Vania mengenali ponsel itu karena aksesoris yang ada di ponsel itu berbentuk menara Eiffel berwarna keemasan karena memang terbuat dari lapis emas. Juga ada sebuah huruf V dengan inisial namanya.

Vania tidak mungkin salah karena itu adalah souvenir pemberian dari Wina-- kakaknya, dan tidak semua orang bisa punya benda tersebut. Itu benda kesayangan Vania.

Vania kembali menutup pintu taksi itu. “Maaf ya, Pak. Nggak jadi,” kata Vania kepada supir taksi tersebut.

Tapi rupanya laki-laki tadi menyadari kehadiran Vania, dan sepertinya mengenali wajah Vania. Ia pun langsung lari tunggang langgang.

“Pakai lari lagi! Bener kan tuh HP gue!!” gerutu Vania kesal diikuti gerakannya yang juga lari mengikuti laki-laki tersebut.

"Woyy!! Berhenti gak lo!"

Vania merasa sudah berlari dengan cepat, tetapi laki-laki pencuri ponselnya ini ternyata lebih lincah larinya.

Vania sampai tertatih mengejar orang itu hingga napasnya sudah terengah-engah.

Aksi kejar-kejaran mereka berlangsung cukup lama, layaknya adegan lari-larian seperti di film action.

Laki-laki itu terus berlari sekencang-kencangnya untuk menghindari kejaran Vania. Vania yang juga terus berlari mengejar orang tersebut sampai lupa memperhatikan jalan yang ada di sekitarnya.

Nampak di depan ada sebuah persimpangan jalan, orang itu terus berlari menyeberang persimpangan tersebut.

Saat yang bersamaan, sebuah mobil hitam tengah melaju di persimpangan tersebut dan tiba-tiba terhenti, karena hampir menabrak tubuh Vania.

Seketika Vania melepaskan perhatiannya dari orang kejarannya itu karena saking terkejutnya, sampai jantungnya terasa mau terlempar begitu sadar ada sebuah mobil yang hampir menabraknya.

Di liriknya, laki-laki itu berlari sudah semakin menjauh, sedangkan Vania masih mengatur ritme jantung yang memompa lebih cepat.

Vania langsung meradang, ia bersumpah akan memaki orang yang berada di dalam mobil tersebut. Ia sudah sangat kesal karena pencuri yang dikejarnya sudah lepas jejak darinya.

“Woyy … keluar lo!” teriak Vania dengan emosinya sambil memukul kap mesin mobil dengan telapak tangannya. “Ni orang baru bisa nyetir kali yaa,” gumam Vania emosi.

Seseorang berpostur tinggi berkacamata hitam dengan berpakaian rapi ala kantoran, keluar dari mobil. Laki-laki itu melepas kacamatanya sehingga terlihatlah wajahnya, Alfin Setiawan CEO HS Group yang baru.

“Apa apaan ini?! Apa maksud kamu mukul mobil saya?!!” celetuk Alfin terdengar kesal.

Vania yang saat itu masih dalam keadaan emosi tampak sedikitpun tidak terpesona melihat laki-laki di hadapannya.

Vania bisa melihat langsung betapa tampannya cowok ini. Wajahnya memang masih terlihat muda, tetapi penampilannya seperti seorang bos.

“Lo bisa nyetir nggak sih? Denger ya, Pak ... Om,” Vania bingung memanggilnya apa. “Aduh apalah. Pokoknya lo hampir nabrak gue!”

“Eh, kamu nggak lihat? Ini jalanan umum khusus buat kendaraan, bukan untuk menyeberang sembarangan."

Perkataan laki-laki ini memutar otak Vania untuk kembali berpikir. Ucapan orang ini ada benarnya juga, soalnya Vania tidak berada di area khusus untuk pejalan kaki ketika mau menyeberang jalan.

Tapi ego yang masih tinggi enggan membuatnya mengalah, dirinya tetap saja kesal saat tidak bisa melawan nalurinya yang ingin merasa menang.

“Tapi bagaimanapun juga, lo yang nggak lihat-lihat ada orang di depan. Bisa nyetir nggak sih?! Jangan-jangan SIMnya abal-abal,” ketus Vania sambil membenarkan posisi tasnya.

Alfin mengernyitkan dahi sambil membulatkan matanya, terheran.

“Gara-gara lo, maling yang gue kejar berhasil lolos!” pekik Vania kesal.

 “Ya itu bukan urusan saya dong! Yang jelas, kamu mengganggu perjalanan saya! Lagian kamu, anak sekolahan ngapain keluyuran udah sore begini, mana nyebrang jalan gak pada tempatnya. Ini nih generasi muda sekarang yang nggak patut dicontoh, NGGAK TAHU ATURAN!”

“Ini orang ngeselin banget si.” Vania menggumam sendiri.

“Dasar aneh!” ketus Alfin.

“Hahh??!” Vania melongo menatapnya.

“Masih anak sekolahan juga! Omongannya nggak sopan, cewek aneh!” Alfin beranjak pergi malas meladeni.

Vania merasa sangat kesal karena bertemu dengan laki-laki ini, selain itu ia juga kehilangan jejak si pencuri ponselnya tersebut. Tanpa ragu-ragu  Vania langsung  menendang roda depan sebelah kiri mobil tersebut.

“SIAL!” umpatnya, yang ada Vania merasakan sakit pada kakinya.

Melihat perbuatan Vania, Alfin langsung bereaksi. Langkahnya lalu kembali mendekat ke arah Vania.

 “Ehh … apa-apaan ini …?!” Ia mendekati roda mobilnya.

Vania kembali memukul kap mesin mobil Alfin dengan perasaan kesal.

“Kita impas!” Lalu Vania langsung menyeberang jalan dengan hati-hati menghindari laki-laki tersebut.

 “CEWEK ANEH!!" pekik Alfin. "Amit-amit deh ketemu sama cewek tengil kayak gitu!"

Vania kini kehilangan jejak, sepertinya ia harus benar-benar merelakan ponselnya.

Betapa lelahnya ia sekarang ini berjalan di trotoar sambil menunggu taksi kosong melintas.

...✿✿✿...

Di kediaman keluarga Vania.

Saira, mamanya Vania sedang sibuk di dapur membuat adonan kue untuk pelanggan ditemani asisten rumah tangganya, bi Darsih.

Baru-baru dalam tahun ini Saira mulai menerima pesanan bermacam-macam jenis kue, untuk mengisi waktunya di sela kegiatannya sebagai ketua persatuan ibu-ibu khusus istri pegawai negeri sipil, di lingkungan sebuah kampus.

Berawal dari sekedar hobi, ternyata teman-temannya banyak yang suka. Jadi keterusan sampai sekarang.

“Bi, Vania belum pulang ya? Udah hampir senja ini.”

“Kayaknya belum, Bu. Non Vania kan masih itu … nganu, apa namanya ya."

Wanita paruh baya yang sering disapa dengan sebutan bibi di rumah itu, tampak memikirkan sebuah kata yang rasa-rasanya sulit untuk diucap, padahal sudah di ujung lidah.

"Ospek." Saira membantu menyebutkannya.

"Nah itu, Bu. Bibi gak ngerti soalnya," ujar Darsih. "Biasanya kan juga pulangnya sore, Bu.”

“Iya, tapi biasanya nggak se sore ini, saya jadi khawatir Bi."

Tiba-tiba ponsel Saira berdering. Letaknya agak jauh dari jangkauannya, Bi Darsih  langsung mengambilkan ponselnya.

“Ini, Bu.” Bi Darsih menyerahkan ponsel tersebut.

Saira melepas sejenak adonan yang ada di tangannya dan melepas sarung plastik di tangannya yang belepotan bekas adonan kue.

“Halo, Mbak Ningsih?”

“Hai Saira, besok sama mas Suherman dateng ya. Undangan udah aku kirim ke rumah kamu ya. Maaf ya mengirim undangannya dadakan."

"Oh untuk acara itu? Iya gak papa, Mbak. Lagipula mas Herman sudah menyiapkan waktu juga kok. Besok siang, kan?"

^^^٭٭٭^^^

Terdengar bunyi bel rumah.

Saira sudah menutup teleponnya. Vania datang dengan dengan wajah yang memelas dan terlihat lesu, ia duduk di sofa dekat ruangan dapur.

“Sayang? Kok baru pulang? Kamu naik taksi? Kenapa nggak telpon mang Karso aja?”

“Hp Vania di curi orang, Ma.”

“Dicuri??” Saira menatap terkejut.

“Tadi, di bus, kecopetan, Hp sama dompet aku hilang,” ujar Vania masih dengan perasaan kesal. "Oh ya, tolong bayarin ongkos taksinya ya," lanjutnya.

“Kok bisa sih?”

“Aaargghh ... pokoknya aku nggak mau lagi naik bus! Vania mau mandi dulu ya, Ma. Itu ada undangan buat papa, di anter sama kurir tadi.”

Saira mengiyakan.

***

Jam menunjukkan pukul 7.30.

Vania dan kedua orang tuanya tengah menikmati makan malam.

Beberapa saat setelah Vania pulang, Suherman sudah pulang ke rumah dari tugas dinasnya di luar kota.

Menjadi seorang pimpinan di salah satu universitas di Jakarta membuatnya sering bepergian keluar kota maupun luar negeri untuk keperluan kampus.

Setelah Wina menikah, mereka hanya tinggal bertiga, ditemani sepasang suami istri, bi Darsih dan mang Karso sebagai asisten rumah tangga yang sudah dianggap keluarga sendiri.

“Papa sudah belikan hp baru buat kamu, mungkin besok pagi di antar kurir," ujar Suherman.

Saat mendengar cerita dari istrinya, ia langsung membuka aplikasi belanja online untuk meng order ponsel.

“Papa mesan online?”

“Iya dong. Oh ya, gimana Vania masa orientasi kamu di kampus?” tanya Suherman.

“Biasa aja, Pa.”

“Pulangnya sampe sore terus, Pa,” sahut Saira.

“Kamu nggak suka kelayapan nggak jelas sama anak-anak motor lagi kan?” tanya Suherman.

“Cuma klub motor biasa, Pa. nggak macem-macem,  paling cuma touring ke tempat-tempat yang bagus aja, anggotanya juga kebanyakan temen-temen SMA Vania.”

“Pokoknya apalah itu, Mama nggak suka ya Vania, kamu udah kayak anak berandalan aja. Kuliah yang bener, nggak usah kelayapan.”

“Kan biasanya cuma jalan-jalan aja, Ma.”

“Kamu lupa itu bekas luka di kaki kamu, kaki kamu hampir patah gara-gara kelayapan nggak jelas sama klub motor itu!”

“Iya, Ma." Vania merasa lesu kali ini kena marah lagi sama Saira.

Seperti biasanya karena kegemarannya yang suka jalan-jalan dan berkunjung ke tempat-tempat bagus, ia harus menerima semprotan nasehat dari orang tuanya.

“Lagian kamu kenapa nggak kuliah di kampus tempat papa aja sih? Supaya sekalian kamu terawasi,” ujar Saira, yang dari awal sudah sering cerewet karena Vania memaksa ingin kuliah di kampusnya sekarang.

 “Duh, di kampus tempat papa itu nggak ada jurusan yang aku mau. Terus, aku bukan anak kecil lagi kan mesti harus diawasi ke mana-mana.”

“Tapi kamu suka keluyuran tanpa sepengetahuan orang tua, kamu itu anak gadis loh,” sahut Suherman.

Vania hanya terdiam menunduk.

Suasana hening akhirnya terpecah setelah Alex, seorang laki-laki muda berperawakan kurus datang ke rumah mereka.

Alex merupakan kakak sepupu Vania, mamanya merupakan adik kandung dari Suherman.

“Malam, Tante, Om, Vania," sapa Alex mengabsen satu per satu anggota keluarga ini.

“Eh, Alex, ayo sini ikut makan,” ajak Suherman kepada keponakannya itu.

Rumah Alex bersebelahan dengan Vania, jadi tak heran Alex sering main ke sini seperti rumah sendiri.

“Wah, enak nih.” Alex duduk di samping Vania. “Eh, Van. Itu motor lo udah oke lagi, makasih ya.”

“Iya, sama-sama. Lo gak modal banget sih, touring aja pake bawa motor gue." Vania menyeletuk.

"Yaelah, gue sebenarnya lagi deketin cewek," bisik Alex di dekat telinga Vania. "Anak klub skuter gitu, masa gue ikut touring anak skuter pake motornya Rossi sih, kan gak nyambung?"

"Ngeles aja lo kayak bajaj, sampe motor gue masuk bengkel gimana tuh?"

"Motor lo aja yang udah sepuh," ledek Alex.

Melihat keduanya tampak asyik mengobrol saling menelan kan suara , membuat Suherman mendehem.

“Gimana Lex kuliah kamu?” tanya Suherman.

“Wah, di semester lima lumayan capek, Om. Banyak tugas, mana mau PKL lagi ini."

"Sudah dapat rekomendasi tempat?"

"Sudah ngajuin proposal sih, Om. Disuruh nunggu kabar beberapa hari ini," jelas Alex. "Terus apa kabar nih mahasiswa baru? Gimana kampus? Eh, ospek gimana? Cowoknya kece-kece dong.”

“Apaan sih, yang ada perpeloncoan tiap hari!”

“Masa Vania?!” Suherman penasaran.

Papanya adalah orang yang sangat kritis, sebagai pimpinan disebuah Universitas swasta, telinganya cukup sensitif.

“Oh, enggak Pa, maksudnya ... seru kok, perkenalannya selama ospek.” Vania nyengir.

“Masih ada perpeloncoan?” tanya Suherman dengan serius.

“Enggak lah, Pa. Aman kok, ya paling pendisiplinan tipis-tipis lah,” jawab Vania.

Ia akan merasa capek mendengarkan papanya berorasi, jika ia menemukan hal yang tidak sesuai terkait dengan dunia pendidikan.

“Eh Van," bisik Alex lagi. “Besok malam gue balapan, lo mau liat nggak?”

“Hah? Lo ikut balapan?” bisik Vania balik.

“Iya, seru loh ... lo belum pernah liat kan?”

“Mmm ... boleh juga tuh!” seru Vania membuat kedua orangtuanya menatap kompak ke arah mereka.

***

Episode 2

Akhirnya hari ini Vania bisa menggunakan skuter kesayangannya untuk ke kampus, hari ini merupakan hari terakhir ospek yang menurutnya menyebalkan.

Ia sudah bangun pagi-pagi hari ini agar tidak terlambat lagi.

Hari ini sudah tidak harus memakai seragam sekolah itu lagi, melainkan sudah menggunakan jas almamater ciri khas kampusnya. Universitas Bangsa.

Dengan wajah cerah merona serta senyum yang merekah di udara, Vania berpamitan kepada kedua orang tuanya.

“Nanti langsung pulang ya, Sayang,” kata Saira seperti biasa setiap harinya, memperingatkannya.

"Jalan bentar nggak papa kan, Ma?” tanya Vania sambil cengar cengir.

“Kamu ini!” kata Saira mendelik marah.

"Ya udah Vania berangkat sekarang."

***

Udara pagi ini masih terasa sejuk saat Vania masih melintas di jalan sekitaran komplek rumahnya, karena masih banyaknya pepohonan rindang yang berbaris di tepian jalan, Vania sangat menikmati perjalanannya.

Jarak dari rumah ke kampus Vania memang sedikit lebih jauh ketimbang kampus tempat papanya.

Vania memang memilih kampus yang berbeda dari tempat papanya bekerja, agar ia tidak selalu merasa diawasi.

Untuk masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik di kota besar itu pun, memerlukan usaha yang keras baginya karena Vania bukan termasuk golongan yang memiliki intelektual tinggi di atas rata-rata.

Beruntung Vania bisa masuk sesuai dengan jurusannya, ia belajar mati-matian untuk bisa lulus tes.

Sepanjang perjalanan menuju kampus terasa lancar-lancar saja, sebelum akhirnya ia merasa harus mengerem motornya mendadak karena jalan motornya yang tiba-tiba tidak seimbang.

Vania merasa ia menabrak sesuatu dan akhirnya ia terjatuh di jalanan yang kebetulan tidak terlalu ramai tersebut.

Vania merasakan sakit pada kaki sebelah kanannya karena juga masih terdapat bekas luka di bagian situ.

Dilihatnya ke arah belakang terlihat sebuah batu yang kira-kira berukuran sebesar genggamannya.

Vania langsung menuduh ini pasti yang menyebabkan ia terjatuh. Vania melengos kesal sambil menepuk-nepuk pakaiannya barangkali ada debu jalanan yang menempel.

Setelah mendirikan kembali motornya, ia langsung mendekati batu tersebut dan menendangnya agar tersingkir dari jalanan karena mengganggu, akan tetapi malah kakinya yang sakit karena tehnik menendang yang salah.

“Aww ... Ssstttt.” Vania mendesis kesakitan.

Akhirnya Vania bersumpah benar-benar akan melempar batu tersebut ke sebuah arah, dengan mengerahkan segenap tenaga bercampur emosi yang meletup letup.

Akan tetapi di saat yang bersamaan sebuah mobil melintas, alhasil lemparannya mengenai jendela kaca mobil tersebut.

Menyadari hal itu Vania sontak panik, ia refleks membekap mulutnya sendiri seraya berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya jika mobil itu berhenti.

“Adduhhh … gimana ini?!” Ia memukul-mukul jidatnya. “Dasar bodoh!” Vania menghardik dirinya sendiri.

Tepat seperti dugaan Vania, mobil itu berhenti dan pengemudinya langsung mendatanginya.

Vania membuang muka, pura-pura tidak tahu menahu. Walaupun sepertinya tingkat keberhasilannya mengelabui, hanya beberapa persen.

“Kamu lagi?!” Suara seorang laki-laki menyentaknya.

Vania terperangah, hampir tidak bisa mengedipkan matanya untuk beberapa detik.

“Kenapa cowok ini lagi sih?” gumam Vania sendiri merasa mengenali wajah tersebut.

Vania pun memilih kembali berlagak seolah tidak terjadi apa-apa. Ia masih mengumpulkan ide untuk niat kaburnya.

“Kamu?!” Alfin menunjuk wajah Vania.

“Aaapa ya?” Vania langsung membuang muka lagi, menghadapkan wajahnya ke sembarang arah mata angin.

“Nggak usah berlagak nggak tau! Apa maksudnya lempar batu sembarangan ke mobil orang?!” Alfin menyeletuk.

“Nggak ada!” Vania tetap menyangkal.

“Heh! Saya nggak bodoh ya, di sini cuma ada kamu. Jangan-jangan ini modus pembegalan baru nih?! Kemarin pakai seragam sekolah, sekarang lagak anak kuliahan, kamu mau begal orang liat-liat dong!” ketus Alfin dengan angkuhnya.

“Eh sembarangan!”

“Ahh nggak penting lah! Sekarang, kamu cukup merugikan saya ya. Tuh, kaca mobil saya retak, dan kamu harus ganti rugi!”

“Hahh? Retak? Masa sih? Kok gue yang ganti rugi, mobil mobil situ!”

 “Masih nggak mau ngaku?!”

Vania merasa hari ini akan menjadi hari yang sial lagi baginya, karena sudah pasti ia akan terlambat lagi untuk hari terakhir ospek, ditambah ketemu sama laki-laki yang menyebalkan ini.

“Uuuuhh ... udah udah Om! Gue mau ke kampus sekarang, nanti gue telat!" Vania segera beranjak kabur.

“Eh ... mau kemana?!” Alfin langsung menghalangi Vania.

“Minta maaf dulu! Plus, ganti rugi,” cegat Alfin.

“Loh, nggak bisa gitu dong! Nggak ada buktinya!”

“Sini KTP kamu?”

“Idih, minta KTP gue lagi! Nggak ada, ilang!Gara-gara lo kemaren!”

Vania masih mencoba kabur tetapi tangannya terburu berhasil dipegang laki-laki berdasi itu.

“Wah, benar-benar ilegal. Kamu punya modus apa?! Hayo ngaku!! Masih kecil juga!”

“Nggak ada! Udahh ahh Om, gue telat nih! Nanti gue dihukum lagi!”

“Bodo amat!! Saya nggak peduli!”

Vania mulai mencari akal agar bisa kabur dari orang ini. Ia berpikir sejenak, lalu sebuah ide gila terlintas dalam otaknya.

Tanpa berpikir lagi, Vania langsung saja menggigit lengan Alfin dengan kuat sehingga membuatnya menjerit kesakitan.

Setelah dirasa cukup, Vania langsung mendorong laki-laki itu hingga jatuh ke jalan.

Badannya memang tak sebesar Alfin, tapi ia tak menyangka jika dorongan tangannya ternyata mampu meruntuhkan pertahanan laki-laki itu.

Melihat itu Vania merasa menyesal, ia sungguh merasa panik atas apa yang telah dilakukannya. Di sisi lain ia juga sedang terburu waktu, memaksanya harus segera pergi ke kampus.

Detik berikutnya Vania merasa bodo amat dengan orang ini, ia pun segera melaju dengan motornya sekencang mungkin berharap tidak akan pernah lagi menemui laki-laki itu.

***

Universitas Bangsa.

Vania menatap lesu ketika dirinya sampai di depan gedung tempat ospek.

Sebenarnya hari ini jadwalnya khusus acara santai saja, hanya akan ada pertunjukkan dari beberapa unit kegiatan mahasiswa untuk menyambut mahasiswa baru, sekaligus ajang mempromosikan organisasi untuk mengajak mahasiswa baru menjadi anggota mereka nantinya.

“Kamu lagi?” sapa seseorang.

Beberapa orang panitia menyadari keberadaannya.

“Mau alasan apalagi hari ini, Vania?” tanya Bella Adinda Azani, Vania bisa melihat itu di id card kepanitiaannya.

“Eh, si cantik hobi telat ya?” ujar salah satu laki-laki anggota panitia.

Akhirnya hari ini Vania tidak diizinkan masuk oleh ketua panitia ospek, melainkan dirinya harus berjemur saat ini di lapangan upacara.

Sementara di dalam gedung, Adelia tidak melihat keberadaan Vania, ia terlihat mencari-cari Vania, begitupun dengan Oris.

Di dalam ruangan sangat ramai oleh riuhan peserta yang mengiringi penampilan perkenalan dari unit kegiatan mahasiswa sanggar musik, mereka memainkan sebuah pertunjukkan musik band yang heboh membuat siapa saja yang menyaksikannya akan ikut bersemangat.

***

Halaman gedung utama ospek.

Terdengar sayup-sayup suara dari penampilan unit kegiatan mahasiswa tersebut. Vania hanya bisa mendengarnya dari tempat ini.

Sementara matahari pagi sudah bersinar semakin terik membuat butiran keringat bercucuran di wajahnya.

Ospek macam apa ini. Malahan lebih terasa seperti pelatihan militer yang harus panas-panasan, umpatnya sebal.

Tidak jauh dari posisinya berdiri, Nino dan Rikas sedang duduk berteduh di bawah pohon rindang untuk memantaunya.

“Hei ... masih kuat nggak?!” tanya Rikas. Vania merasa tidak perlu menanggapinya.

"Santai aja dulu di situ, Dek. Sinar mataharinya masih sehat juga ini," teriak salah seorang panitia dari kejauhan.

“Gue heran, dia hampir tiap hari dijemur kayak gitu, tetep aja cantiknya nggak ilang-ilang,” kata Rikas menggeleng-gelengkan kepalanya tergiur melihat kecantikan Vania.

“Itu yang namanya innerbeauty, Bro!” Anton datang

menghampiri mereka. “Cantik ya.”

Anton cengengesan memandangi Vania, wajah mahasiswi yang baru lulus SMA memang selalu terlihat manis di matanya.

“Kayaknya bakal ada yang nyaingin nyai ratu Bella, nih,” kata Rikas nyaris terdengar samar oleh Bella yang tidak berada di dekat mereka saat itu.

“Biarin aja dia tetep di situ, No. gue suka liatnya. Kulitnya putih bersih, rambutnya panjang, badannya oke lah. Tipe cewek gue banget nih,” kata Anton memandangi.

“Yaelah elo, Ton.  Nggak bisa liat cewek dikit,” tukas Rikas.

“Apaan sih lo berdua?!” ketus Nino. Lalu ia berdiri dari tempat duduknya.

“Kamu?! Masuk sana!” perintah Nino.

“Beneran Kak?”

“Pakek nanya lagi, apa masih mau disitu?”

Vania agak tersentak dibuatnya, karena Nino menunjukkan wajah angkuhnya.

"Eh enggak kok. Ya udah saya masuk, makasih Kak."

Vania bergegas membawa langkah, sebelum laki-laki itu berubah pikiran.

***

Siang itu suasana tampak ramai di ruangan sebuah perusahaan besar di Jakarta. Pak Haris Setiawan, sang pemilik perusahaan memperkenalkan pimpinan perusahaannya yang baru.

Pak Haris yang selalu berpenampilan rapi berdiri di depan semua karyawan yang berkumpul di ruangan itu menyampaikan sambutannya ditemani seorang laki-laki muda yang juga berpakaian rapi seperti dirinya, terkesan memberikan kharisma tersendiri untuknya.

“Saya memutuskan untuk tidak lagi ikut mengurus perusahaan ini, jadi mulai hari ini semua urusan mengenai perusahaan dan beberapa anak perusahaan ini saya serahkan semuanya kepada Alfin Setiawan.”

Haris berucap sambil memandang ke arah Alfin yang berdiri gagah di sampingnya.

 “Yang mana merupakan putra sulung saya sendiri, mungkin beberapa dari kalian ada yang sudah mengenalnya.”

Laki-laki muda itu memasang senyum sapaan kepada semua mata, yang kini memperhatikannya.

Acara sambutan diakhiri dengan gemuruh tepuk tangan dari para karyawan maupun undangan, termasuk Suherman dan Saira yang saat itu berdiri tidak jauh dari mereka.

Tidak lama kemudian Suherman ikut barisan untuk menyalami, memberikan ucapan selamat kepada Alfin.

“Selamat ya, Fin. Hebat kamu, tadinya mengelola cabang perusahaan, sekarang mengurus keseluruhan,” kata Suherman begitu menjabat tangan laki-laki bertubuh tinggi tegap itu.

“Terima kasih, Om Herman,”  sahut Alfin dengan senyum ramahnya.

“Kamu ini sama seperti papa kamu, Fin,” Kata Saira. “Dia ini orang hebat, Tante yakin perusahaan ini akan semakin besar berada di tangan kamu," timpalnya.

Suherman merangkul Haris. “Om sangat yakin, Fin. kamu pasti akan jadi orang yang hebat seperti papa kamu ini,” Suherman tertawa simpul memuji sahabatnya itu.

“Sudah terlihat, ya kan?” seloroh Haris.

Suherman dan Haris memang sudah menjadi sahabat sejak masih sekolah.

Hanya saja beberapa tahun terakhir Haris sering berpindah tempat tinggal ke luar kota, dan baru-baru beberapa bulan ini akan menetap lagi di Jakarta.

“Rasanya dulu melihat Alfin masih kecil, tapi sekarang sudah sebesar ini. Semenjak dia dewasa, aku malah baru ini bertemu secara langsung,” ujar Suherman.

“Iya, baru bulan kemaren Alfin aku suruh balik lagi menetap ke sini. Oh ya, Man ...” Haris mengigat sesuatu. “Bagaimana kabar anak-anak kamu?”

“Ohh mereka baik, kalo Wina setelah menikah ikut suaminya. Masih dalam satu kota, dan putri bungsu kami, Vania, baru masuk kuliah.”

“Pa, Om Herman." Alfin memotong pembicaraan kedua sahabat itu.

"Maaf saya tinggal dulu ya,” pamit Alfin yang hendak menepi sejenak sembari memegang ponselnya yang sedari tadi berdering.

“Wah, bagaimana tentang rencana kita nih? Mempertemukan Alfin dengan putri kamu, Vania.” Haris melanjutkan obrolan mereka.

“Kalo itu ya kita sesuaikan dengan rencana saja, Mas Haris. Kamu hebat Mas, memiliki putra seperti Alfin, sungguh sebuah kehormatan jika bisa mempertemukannya dengan putri saya, Vania.”

Haris menengok ke arah Alfin yang sedang menerima telepon di pojokan ruangan.

“Alfin baru saja menyelesaikan studi S3 nya beberapa bulan yang lalu. Selama di Inggris, dia sudah menjalankan beberapa bisnis sambil menyelesaikan studinya, dan langsung kupercayakan saja mengambil alih perusahaan ini. Dia pasti bisa memimpin perusahaan ini jadi lebih baik, dan aku juga ingin dia segera memiliki pendamping hidup seperti Vania. Alfin pasti akan sangat menyukai Vania,” kata Haris.

“Wah ... saya benar-benar merasa ini sebuah kehormatan, kalau putri saya bisa bersanding dengan Alfin,” kata Suherman tersenyum lebar.

 “Aku ingin pensiun, Rasanya. Alfin harus belajar lelah di usia muda sebelum bersantai di masa tuanya, aku tau dia tidak  akan mengecewakan orang tuanya dan lengkaplah kebahagianku jika Alfin segera mendapatkan pasangan hidup,” timpal Haris.

Sementara Saira dan Ningsih mendengarkan obrolan mereka dengan saksama.

“Hebat loh kamu, Mbak. Putra kamu sangat membanggakan,” puji Saira.

“Kamu bisa aja.  Eh lama rasanya, Ra. Aku nggak makan kue buatan kamu.”

“Sering sering dong main ke rumah, sepi. Kalo mas Suherman lagi kerja, Vania lagi kuliah, rumah udah kaya kuburan aja, sepi banget.” Lalu mereka tertawa.

***

Vania merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu utama rumahnya. Diliriknya sebuah jam yang menempel di dinding ruangan, sudah menunjukkan jam 4 sore.

Hari ini selesai kegiatan semua mahasiswa baru memang boleh pulang lebih awal, sebelum akhirnya nanti di awal pekan sudah siap untuk belajar di kelas masing-masing.

“Non, sudah pulang?” tanya bi Darsih.

“Iya, Bi. Mama ke mana ya?”

“Keluar, Non. Belanja bahan buat kue.”

Vania menampol jidatnya, merasa bersalah. “Ya ampun, harusnya gue yang belanja!”

“Itu hp barunya Non Vania sudah ada di kamar.”

“Oh gitu, makasih Bi.” Vania bergegas menuju kamarnya yang terletak di lantai dua rumahnya.

***

Malam itu suasana di rumah mewah kediaman Alfin penuh suka cita karena merayakan ulang tahun Ningsih.

Tampaknya mereka hanya ingin merayakan secara  kekeluargaan saja. Keluarga kecil mereka terdiri dari Ningsih, Haris, Alfin dan adik laki-laki Alfin, bernama Randi.

Sambil menikmati makan malam mereka terlihat bahagia, bersenda gurau bersama, karena sangat jarang bagi keluarga mereka untuk dapat berkumpul seperti momen ini.

Haris, papanya Alfin merupakan seorang pengusaha besar yang mengharuskannya sering bepergian.

Biasanya hanya ada Ningsih dan Randi yang masih duduk di bangku SMP, sementara Alfin menyelesaikan pendidikannya sambil bekerja di luar Negeri.

Terlihat di pojokan sebuah meja makan sebuah kue tar berukuran besar bertuliskan ‘Happy Birthday Mama yang ke 45’ dan ada beberapa bungkus kado juga terletak bersamanya.

“Mama jadi nggak sabar ni buat buka kadonya,” kata Ningsih bersemangat sekali.

“Entar dulu, Ma,” cegah Haris. “Kita lanjutkan makan malamnya dulu.”

“Oh ya, Fin,” panggil Ningsih membuat Alfin menengok ke arahnya. “Gimana rasanya di kantor papa kamu?”

“Menyenangkan, semua karyawannya sangat open dengan aku, Ma.”

“Alfin kan orangnya sangat mudah beradaptasi dan membaur dengan siapa saja. Papa yakin Alfin pasti senang dan betah di kantor barunya dan bisa memajukan perusahaan kita,” kata Haris tersenyum bangga.

“Iya, Ma. Pa. Makasih ya kalian sudah mempercayakan kepada Alfin, Alfin nggak akan mengecewakan Mama dan Papa."

“Itu baru anak Papa."

“Randi juga,” sahut adik laki-laki Alfin itu sambil mengacungkan tangannya, tidak mau kalah.

Mereka semua tertawa, menambah suasana kehangatan keluarga ini.

“Oh ya, harapan Mama apa nih? Jangan bilang mau diajak jalan-jalan keluar Negeri ya, aku masih banyak pekerjaan soalnya,” kata Alfin.

“Enggak kok, gampang soal itu. Mama hanya pengen lihat seluruh anggota keluarga Mama bahagia. Terutama kamu, Fin." Alfin mengernyitkan dahi, iya memahami apa keinginan terbesar mamanya selama ini.

“Eh, Fin. Dengerin Papa ya, selain kamu sibuk mengurusi perusahaan kita, kamu juga harus mempersiapkan masa depan kamu. Persiapan yang bukan hanya sekedar suksesnya karir kamu, tapi juga persiapan untuk pendamping hidup kamu nantinya.”

“Iya, Pa. tapi kan sekarang aku lagi ngurus beberapa bisnis di luar kota, ya mungkin belum ada waktu untuk memikirkan hal itu.”

Alfin kembali meneruskan makannya, walau dengan sedikit perasaan tidak nyaman, karena ia mengerti arah pembicaraan orang tuanya.

“Masalah mengurus bisnis, perusahaan, itu akan berjalan memang sesuai keadaannya dan akan terus seperti itu, tapi kamu juga harus memikirkan soal pendamping. Ingat, Fin. Seorang pria hebat itu perlu juga pendamping," terang Haris.

“Tapi jangan asal sembarangan loh,” sahut Ningsih.

“Iya, Pa, Ma.”

“Mm ... masalah itu kamu nggak usah bingung, Papa kira Papa dan Mama sudah mendapatkan calon yang pas untuk kamu.”

Pernyataan Haris membuat Alfin berhenti makan sejenak dan menatap tak percaya ke arah papanya.

“Mama pengen banget liat kamu cepet nikah,” timpal Ningsih.

Menatap kedua orang tuanya, membuat Alfin tidak bisa menolak apa yang menjadi kehendak orang tuanya, walaupun itu akan terasa berat.

Memang dalam segala hal dirinya selalu menuruti kehendak orang tuanya, tak pernah sekalipun ia berani membantah kehendak mereka.

Ia menyadari karena hal itulah yang membuat dirinya bisa menjadi seperti sekarang.

Tetapi begitu ia mendengar pernyataan tentang mengarah ke perjodohan, sepertinya terdengar tabu baginya.

***

Alfin menatap hampa ke depan di balkon kamarnya. Ini adalah hal yang rumit menyangkut kehidupannya dan akan ia alami selama hidupnya. Untuk itu ia berpikir keras.

Seperti halnya pria manapun yang ingin hidup memiliki seorang pendamping yang setia, begitupun dengan dirinya.

Alfin menyadari dirinya memang sangat sulit untuk bisa jatuh cinta dengan seorang perempuan dan itu akan memakan waktu lama.

Hatinya keras, sekeras kemauannya untuk mencapai keinginannya. Namun dalam hal memiliki pendamping, dirinya lemah dan selalu menutup hatinya.

Alfin hanya merasa nyaman dengan melihat kebahagiaan kedua orang tua serta adik semata wayangnya, namun sekarang kebahagiaan kedua orang tuanya adalah melihat dirinya menikah.

Secara finansial dan usia, Alfin memang siap dan sudah matang, tapi tidak dengan hatinya.

***

Sementara itu di kediaman keluarga Vania.

Malam ini seluruh anggota keluarganya berkumpul di ruang tamu. Mereka kedatangan Wina dan Rio, suaminya.

Wina memberikan kejutan tentang kehamilannya dan disambut gembira oleh semuanya.

“Terus gimana keadaan kandungan kamu, Win?” tanya Saira.

“Sehat dong, Ma,” jawab Wina.

“Paling dia suka mual mual gitu, Ma,” sahut Rio.

“Oh ya, tadi Papa sama Mama datang ke acaranya om Haris dan tante Ningsih, kalian masih ingat kan?” tanya Suherman.

“Ingat dong, Pa," sahut Wina. “Gimana kabar keluarga mereka? Udah lama banget rasanya nggak ketemu, bahkan di pernikahan aku mereka nggak dateng kan?”

“Iya, Win. Baru pindah, sekarang sudah menetap lagi di Jakarta,” sahut Saira.

“Kamu tau? Alfin sudah selesai S3 nya dan sekarang ikut menetap di Jakarta, juga ngurus semua bisnisnya mas Haris.”

“Si Alfin, Pa?” tanya Wina.

“Iya, teman kamu waktu kecil itu,” kata Suherman.

“Yang dulu gendut, item, dan suka jailin aku dan Vania, ya?” kata Wina sambil tertawa. “Apa kabarnya tu anak ya?”

“Iya, semenjak pindah-pindah tempat tinggal kan mereka nggak pernah lagi ada waktu buat ketemu kita, apalagi Alfin kan menghabiskan waktu kuliahnya dan bekerja di Inggris.”

“Oh begitu, bagaimana dia sekarang Pa?” tanya Wina penasaran.

“Wahh, sekarang jauh berbeda. Anaknya tinggi, ganteng lagi.”

“Masa? Wiih hebat dia ya udah bisa ngurus bisnis papanya, om Haris bukannya seorang konglomerat ya kan?” Wina sangat penasaran lalu melirik kearah Vania. “Kamu masih ingat Alfin, Van?”.

“Yang mana Kak? Mana mungkin aku ingat.” Vania menyahut sekenanya.

Padahal sedari tadi ia berusaha mengingat pada masa kecilnya dengan Alfin yang suka menjaili dirinya, dan sering membuat Vania kecil menangis.

Tapi itu sangat lama baginya dan ia juga tidak mengenal lagi bagaimana Alfin sekarang.

 “Waktu itu kamu masih SD, Kakak dan Alfin sudah SMP, dia suka banget kalo lihat kamu nangis,” ujar Wina tertawa.

“Ya sudah, Vania. Nanti kamu Papa ajak buat ketemu sama Alfin ya.”

“Ngapain?”

“Ya berkenalan, siapa tahu cocok.”

“Kamu akan suka lah pokoknya,” timpal Saira bersemangat.

“Males banget,” sahut Vania.

“Ni anak sukanya sama cowok-cowok gaul gitu, Pa,” kata Wina. “Yang jago naik motor, jago ngeband, jago berkelahi.”

“Maksud kamu cowok berandalan, Win?” tanya Saira.

“Bukan lah,” sahut Vania.

“Terus apa namanya? Kamu suka yang jago naik motor? Suka berkelahi??”

“Beladiri, Pa. Beda sama suka berkelahi.”

“Apa lah itu, sama saja kan? Mau jadi apa nanti masa depan kamu?”

Vania hanya terdiam mendengar perkataan papanya itu.

***

Episode 3

Mobil Wina dan Rio sudah melaju meninggalkan halaman rumah keluarga Vania. Suherman dan Saira pun sudah masuk lebih dahulu ke dalam.

Sedangkan Vania masih berada di halaman rumahnya dan terlihat resah menunggu sebuah telepon.

Tidak lama kemudian, akhirnya ponselnya berdering.

“Halo. Alex?”

“Lo di mana? Gue udah nyampe lokasi nih.”

“Acaranya udah mulai?”

“Belom sih. Lo ke sini nggak?”

“Iya gue ke sana, bosan juga nih di rumah."

Vania lalu mencari kesempatan saat kedua orang tuanya sudah masuk ke dalam kamar, ia menyelinap keluar rumah secara diam-diam.

Sementara hari sudah semakin malam. Ia tahu jika ia memaksa minta izin keluar, pasti tidak akan diberikan izin. Karena itu ia hanya berharap jika kedua orang tuanya tidak akan mengetahui aksinya ini.

***

Di lokasi balapan.

Tempat ini sangat ramai dengan banyaknya muda mudi yang bermalam minggu untuk bergaul di sini.

Sebenarnya Vania baru pertama kali ikut ke acara seperti ini, ia hanya penasaran untuk sekedar melihat balapan motor tersebut, tapi terkesan aneh bagi Vania. Ini di jalanan umum?

“Woy, Lex.” Vania menghampiri.

“Apa?” Alex sudah berpenampilan keren dan siap beraksi dengan motor besarnya.

“Lo balapan liar?” tanya Vania dengan mata tercengang.

“Iya. Emang gue ada bilang ke lo, kalo gue mau balap moto GP? Bareng Rossi gitu?”

“Eih. Nggak ada sih, tapi ini aman nggak?”

“Aman lah, kalau gak ketahuan." Alex tertawa renyah tanpa beban.

"Bener-bener lo ya, Lex."

"Udah tenang aja, lo bisa tuh kenalan sama anak-anak motor di sini, temen kampus gue banyak yang dateng kok, cowoknya cakep-cakep loh. Lo suka anak motor kan?" Alex menaik naikkan alis menggoda adik sepupunya itu.

“Duh, Lex! Jangan bilang lo taruhan?!” Vania menatap tajam ke Alex.

“Ayolah Vania, jadi anak muda itu harus keren dikit lah, dan ini baru aksi laki. Hadiahnya lumayan loh, kalo gak dapet cewek, ya dapat duit jiahahaha."

Alex cekikikan melihat wajah Vania mulai kecut.

“Ah sialan lo, Lex! Kalo nyokap bokap lo tau gimana?”

“Mereka nggak bakal tau. Selama lo jaga rahasia.”

“Pantesan lo bisa beli barang-barang bagus."

"Woy, Lex! Bawa cewek lo?" sapa seorang laki-laki seusia Alex menghampiri mereka.

Ia sedikit terpana begitu melihat Vania, Alex menyadari pandangan temannya itu.

"Sepupu gue, mahasiswa baru di UB," ujar Alex mengenalkan.

"Oh, anak UB. Kenalan dong," ucapnya.

"Lex, lo apaan si," gerutu Vania dengan berbisik ke arah Alex, terlihat sekali raut wajah Vania yang mulai merasa risi.

"Sori, Bro. Adik sepupu gue kayaknya gak doyan sama lo," ledek Alex pada temannya.

"Alex!" Vania menatapnya geram.

"Emang gue makanan apa. Ya udah gue ke yang lain dulu," pamit laki-laki itu. "Bye cantik," ujarnya genit memandang Vania.

Vania mendengkus sebal. "Gue bilangin bokap gue lo ya," ancamnya pada Alex.

Hingga tiba saatnya, beberapa motor yang akan melakukan balapan, sudah berbaris rapi di arena dan siap untuk bertanding.

Vania harap-harap cemas melihat kelakuan sepupunya itu karena ini tergolong berbahaya, mereka melakukan aksi di jalan raya yang memang terlihat agak lengang untuk jam malam seperti ini.

Tiba-tiba mereka kedatangan tamu yang tak diundang, semuanya menjadi rusuh. Banyak diantara mereka berlari berhamburan mengendarai motor masing-masing untuk meloloskan diri.

Vania sempat bingung tetapi ia mendengar teriakan dari yang lainnya.

“RAZIAAA…!!!”

Mata Vania langsung terbelalak dan ia merasa panik apa yang harus ia lakukan. Lalu saat akan berusaha untuk ikut kabur, ia malah tidak sengaja ditabrak oleh tubuh orang lain yang membuatnya terjatuh.

"Vania, lo nggak papa?" Alex langsung turun dari motornya menghampiri.

Vania bersumpah akan menghajar Alex setelah kejadian ini.

...✿✿✿...

Vania dan Alex menatap takut kepada Suherman yang sepertinya sedang marah.

Setelah kejadian tadi, mereka menjadi salah satu yang berhasil digiring ke kantor polisi.

Polisi berhasil menghubungi Suherman sebagai perwakilan orang tua mereka, karena orang tua Alex sedang berada di luar negeri mengurus bisnis otomotif mereka.

Melihat Suherman berjalan keluar ruangan tersebut, keduanya pun mengikuti berjalan lemas dengan wajah yang ditekuk.

“Kalian tau apa yang kalian lakukan itu?!” kata Suherman dengan marah. Keduanya masih bungkam, takut.

“BIKIN MALU! Papa malu Vania! Papa nggak tau harus dengan cara apa lagi mendidik kamu?! Dan kamu Alex! Kamu harusnya bisa ngasih contoh yang baik buat adik sepupu kamu! Jangan seperti ini, seperti anak berandalan saja!!”

Vania dan Alex lagi-lagi hanya bisa terdiam dan mengakui kesalahan mereka.

Lalu mengekor di belakang Suherman yang sudah berjalan menuju mobil.

“Lo sih, Lex!” kata Vania dengan marah menyalahkannya.

“Yah sori, Van. Gue juga kena marah kali, bukan lo doang! Lo sih tadi bilangnya mau ngadu ke bokap lo, kejadian kan, kita ketahuan."

"Lo masih mau membela diri?!" tanya Vania melotot tajam.

"Kagak, lo galak banget sih."

"Udah dari lahir!" sahut Vania sebal.

***

Seberkas sinar matahari menembus kaca jendela kamar Vania, dan mengenai wajahnya yang masih terlelap.

Merasakan hal itu, Vania mulai membuka matanya secara perlahan dengan malas.

Sesungguhnya hari ini ingin rasanya ia hanya menghabiskan waktu untuk tidur, karena takut kena marah lagi oleh papanya.

Masih dengan wajahnya yang kusut, Vania pun berusaha bangun dari tempat tidurnya.

Dibukanya tirai jendela kamarnya, lalu ia keluar balkon kamarnya.

Matanya langsung terbelalak sempurna begitu melihat Suherman sedang berbicara dengan sorang pria yang tidak ia kenal, tetapi yang paling mengejutkan bagi Vania adalah ia melihat ada motor kesayangannya terparkir di antara mereka.

Kelihatannya Suherman sedang membuat kesepakatan dengan orang tersebut. Vania pun segera menuju ke sana dengan perasaan cemas.

***

Vania berlari dengan secepat-cepatnya menuruni tangga rumahnya, hingga ia sudah menemui papanya.

“Papa! Motor aku?!” ucapnya setengah berteriak.

Jantungnya rasanya hampir melompat, melihat motornya sekarang berpindah tangan kepada pria tersebut.

“Motor kamu udah Papa jual! Silahkan Pak dibawa.”

Orang itu langung mengendarai motornya. Vania mencoba menahannya, tetapi terburu ditahan oleh Suherman.

“Pa, kok dijual sih?!”

“Sengaja! Mulai sekarang kamu ke mana-mana akan di antar!”

“Pa, nggak bisa kayak gitu dong.” Vania memandang papanya protes.

“Kamu ingat kejadian semalam? Papa nggak

mau terulang lagi, mengerti?!!!”

“Pa …” Vania hanya bisa merengek kesal. "Lagian kan aku baru sekali melakukan kesalahan itu, aku nggak ngapa-ngapain juga," ujar Vania membela diri.

“Gak usah membela diri. Kamu Papa awasi ya, Vania!” Suherman memperingatkannya.

***

Vania menatap kesal ke arah makanannya di atas meja. Vania sama sekali tidak menduga setelah kejadian semalam membuat papanya jadi lebih garang dan bertindak diluar dugaannya, sampai menjual motor kesayangannya.

Sementara Suherman dan Saira kompak menatapnya. Mereka menyadari sepenuhnya jika anak gadis bungsu mereka ini baru beranjak dewasa, dan tentu banyak juga hal yang ingin ia ketahui.

“Kamu itu anak gadis! Nggak sepatutnya bergaul seperti itu, malam-malam diluar. Menyelinap keluar rumah tanpa izin," omel Suherman.

“Iya Pa. Vania minta maaf.”

“Kamu cukup mengecewakan Papa ya. Papa cukup malu! Anak Rektor malah ikut pergaulan balap liar, kamu harus jaga nama baik Papa juga dong, Vania.”

“Udah, nanti biar Mama atau mang Karso aja yang nganter kamu ke mana-mana,” ujar Saira.

“Kamu sekarang Papa awasi, Vania! Ini kota Jakarta, kota besar! Nggak bisa hidup tanpa aturan di sini, kehidupan di luar sana keras!”

“Iya Sayang, cari pergaulan yang baik, jangan sembarangan. Kamu kan sudah beranjak dewasa, harus bisa memilih mana yang baik, dan mana yang enggak," timpal Saira.

***

Saat itu di kediamannya.

Alfin membaringkan tubuhnya di kasur. Terasa nikmat sekali baginya bisa beristirahat di hari libur seperti ini, di sela-sela kesibukan hari-harinya bekerja.

Sambil meng alasi kepalanya dengan tangan, Alfin menatap datar ke depan arah gorden jendela kaca kamarnya, yang tampak bergerak-gerak karena tiupan angin.

Di luar nampaknya cuaca sangat terik, terlihat langit begitu cerah membiru dengan awan yang tampak bersih seputih kapas.

Alfin segera bangun dan duduk di ujung tempat tidur minimalisnya seraya merenungkan kembali ucapan orang tuanya semalam.

Entah kenapa tiba-tiba saja perkataan orang tuanya itu terlintas begitu saja di pikirannya, padahal Alfin tidak bermaksud untuk memikirkannya dulu.

Lalu ia kembali melihat keadaan dirinya sekarang.

Semenjak Alfin lulus SMA dan memutuskan untuk kuliah keluar Negeri, dirinya memang hanya fokus untuk belajar dan terus belajar seperti pesan papanya.

Sekarang Alfin memang masih sendiri dan mulai terpikirkan hal itu, mengingat keinginan orang tuanya.

Alfin sangat menyayangi kedua orang tuanya melebihi apapun, bagaimanapun caranya, yang Alfin pikirkan adalah kebahagiaan orang tuanya.

Ternyata semua prestasi dan kemampuan yang Alfin miliki, dirinya merasa belum cukup untuk membahagiakan kedua orang tuanya.

Kebahagiaan mereka hanya akan lengkap, jika melihat Alfin segera memiliki pendamping hidup.

Sedangkan di luar sana memang banyak perempuan yang menyukai dan menginginkan Alfin, tapi sedikitpun dirinya belum mau membuka hatinya.

Mamanya selalu berpesan untuk selalu hati-hati dalam memilih pasangan, karena sulit bagi Alfin menemukan perempuan yang benar-benar memahami dan mau menerima dirinya apa adanya.

Tetapi rupanya orang tuanya sudah menemukan sosok tersebut. Ini akan terasa berat baginya karena mengenai perjodohan, belum tentu ia akan bisa mudah beradaptasi nantinya.

***

Di kediaman keluarga Vania.

“Kamu mau ke mana, Sayang? Malam begini,” tanya Saira yang melihat Vania membuka pintu rumahnya.

“Mau beli martabak, Ma.”

 “Ni anak, padahal sudah makan malam, masih mau ngemil,” gumam Saira.

Vania hanya nyengir ke arahnya.

“Diantar sama mang Karso ya?”

“Nggak usah, Ma. aku jalan kaki aja, ke depan komplek aja kok. Aman.”

“Ya udah, jangan kelayapan.”

Vania memiliki tubuh yang tidak terlalu gemuk, padahal dia sangat suka makan.

Vania sering membeli jajanan pinggir jalan saat mood lagi bagus untuk makan-makan, karena dari rumah Vania, tidak jauh untuk keluar komplek rumahnya menuju jalan raya.

Lagi pula, di sekitaran sini merupakan termasuk kawasan yang aman karena dijaga 24 jam sehingga ia bisa berjalan keluar tanpa takut ada yang mengganggu.

***

Langakah Vania langsung terhenti begitu ia melihat seseorang yang sedang berdiri bersandar pada sebuah mobil. Vania mengawasi dari kejauhan, sosok perawakan tinggi tersebut.

"Kayak pernah liat," gumam Vania sendiri.

Alfin dengan berpakaian rapi sedang menghadap ke sebuah rumah di komplek tersebut.

Ia sepertinya sedang menunggu seseorang penghuni rumah itu untuk keluar.

Mata Vania terbelalak ketika Alfin tiba-tiba menoleh ke arahnya. Vania langsung panik, ia celingak celinguk beberapa kali karena kebingungan.

Ia tidak mengetahui nama laki-laki itu tetapi sangat familiar dengan wajahnya, begitupun Alfin sebaliknya.

Vania mencoba segera menghindar tetapi Alfin terburu mengejarnya dan berhasil menangkap tangannya.

 “Kamuu lagii!? Mau ke mana?!” cegatnya.

Vania benar-benar berharap untuk tidak akan dipertemukan lagi dengan laki-laki ini.

Ia sedikit ketakutan karena merasa melakukan tindakan yang kurang menyenangkan terhadap Alfin, pada pertemuan mereka sebelumnya.

“Lo ngapain ada di sini? Lo ngikutin gue ya?”

“Idiih ... amit amit ngikutin cewek aneh kayak kamu.”

“Terus ngapain ada di sini?”

“Suka suka saya dong. Kamu mau lari ke mana? Sekarang ketangkap kamu! Mana orang tua kamu?”

“Aduhh, nggak usah bawa bawa orang tua gue dong. Lepasin nggak?” Vania masih berontak menarik tangannya, namun pegangan laki-laki itu terlalu kuat.

“Nggak bisa! Minta maaf nggak sekarang?!” paksa Alfin.

“Isss … lepasin! Gue teriak ya biar lo diusir sama satpam komplek ini. Sat ...” Alfin terburu membekap mulut Vania dengan tangannya sehingga teriakan Vania terdengar samar, ia hanya bisa menggerutu tak jelas.

“Mmmmmhh ….”

“Diem!” Alfin sedikit panik jika sampai petugas keamanan di komplek ini akan salah paham kepadanya.

Tanpa pikir panjang Vania langsung menggigit jari-jari Alfin sampai ia kesakitan, Vania juga mengambil kesempatan untuk menyikut perut laki-laki itu dengan kuat, hingga melepaskan Vania.

Dengan tergesa-gesa Vania berlari dan berhasil kabur dari Alfin.

“Ya Tuhan. Jangan sampai ketemu sama orang itu lagi,” gerutu Vania sambil terus berlari berbalik kembali ke arah rumahnya. Ia memutuskan mengurungkan niat awalnya.

***

“Alfin, kamu kenapa? Kayaknya ada sesuatu yang terjadi tadi?” Seorang perempuan cantik baru  keluar dari rumahnya.

Natasya, seorang perempuan berambut panjang yang selalu tampil modis sudah bersiap dengan penampilannya yang sangat memukau malam ini.

“Nggak, nggak ada apa apa, cuma ada anak kecil yang nakal aja tadi,” jelas Alfin.

“Oh ... gangguin kamu?”

“Oh, enggak kok.” Alfin berkelit.

***

Mobil Alfin sedang melaju di jalan raya. Natasya yang duduk di kursi penumpang mobilnya menoleh ke arah Alfin, yang sepertinya sedang tampak diam saja, fokus menyetir sambil separuh pikirannya masih mengambang.

"Fin," panggilnya.

"Iya, Nat?" Alfin sedikit tersentak mendengar sapaannya.

 “Makasih ya, kamu bisa meluangkan waktu malam ini,” ucap Natasya.

Alfin menatap Natasya sebentar. Natasya malam ini terlihat sangat cantik. Masih sama cantiknya saat masih sekolah dulu.

Hanya saja sekarang Natasya tumbuh menjadi wanita dewasa yang modis dan mapan.

“Aku senang banget pas tau kalau kamu balik ke Jakarta lagi loh.”

Natasya lalu mengingat sesuatu.

“Aku pikir waktu kamu memutuskan berangkat ke Inggris, kamu akan selamanya menetap di sana, Fin."

Alfin tersenyum simpul mendengarnya.

“Tadinya aku berpikir begitu, Nat. Tapi setelah aku pikir lagi, rumah aku memang di sini, dan lebih nyaman tinggal di rumah sendiri, bersama keluarga. Papa juga sudah istirahat dari dunia bisnisnya, aku punya PR berat sekarang.”

“Maaf ya, Fin. Aku nggak jemput kepulangan kamu di bandara.”

“Ya ampun Natasya, nggak apa apa.”

“Kamu tau, kalo si Hans nggak ngasih tau kepulangan kamu, aku nggak tau harus gimana, Fin. Tapi aku senang , dia teman yang baik. Makanya itu aku langsung minta nomer kamu buat menghubungi si tuan direktur yang super sibuk ini.”

“Ohh ... Si Hans? Iya sih aku masih sering kontak dengan dia.”

“Banyak hal mungkin yang udah kamu lupain, Fin. Tapi

.. aku senang dan cukup terkejut, kamu ternyata masih mengingat alamat rumahku.” Natasya tertawa senang.

“Ya selama alamat rumah kamu nggak berubah.” Lalu mereka tersenyum lebar bersama.

Aku senang banget, Fin. Kamu nggak berubah, masih saja baik seperti dulu setelah apa yang aku lakukan ke kamu. Natasya menggumam dalam hatinya sambil memandangi wajah Alfin yang terlihat fokus menatap ke depan jalan.

Natasya mengingat saat masa dirinya dan Alfin masih SMA, dirinya dan Alfin adalah teman yang sangat akrab, baik saat di kelas maupun diluar sekolah.

Sampai suatu hari Natasya menyadari jika Alfin menyimpan perasaan lebih terhadapnya, karena persahabatan mereka yang terjalin sangat baik.

Bahkan Natasya saat itu menjadi sosok yang selalu ada untuk Alfin di kala apapun. Namun Natasya memilih untuk tidak menghiraukan perasaan sahabatnya itu.

Natasya berhasil menjadi wanita idaman Alfin sampai pada akhirnya Alfin menyadari, bahwa semua perhatian yang diberikan oleh Natasya adalah tidak lebih dari perhatian seorang sahabat.

Natasya terlanjur telah bersama orang lain, teman satu sekolah mereka juga yang saat itu dikenal menjadi murid terpopuler seantero sekolah.

Pada saat itu juga untuk pertama kalinya Alfin merasakan perasaan sakit hati yang teramat mendalam.

Karena itu, saat mendapat kesempatan dari papanya yang menginginkannya untuk melanjutkan pendidikan diluar Negeri, Alfin tanpa pikir panjang langsung menyetujuinya.

Berharap ketika berada di sana untuk jangka waktu yang lama, bisa membuatnya melupakan tentang perasaannya.

Karena itu juga ia memilih menyibukkan diri dan mengesampingkan kesenangannya.

Kini setelah beberapa tahun, akhirnya mereka bertemu kembali dalam keadaan yang berbeda.

***

Selang waktu beberapa lama kemudian, mobil Alfin sudah terparkir di area parkir depan Kafe. Kafe Nostalgia.

Alfin menatap sebentar ke arah tulisan nama kafe tersebut, yang dihiasi kelipan lampu berwarna warni di sekeliling papan tulisannya, yang terletak di atas pintu masuk kafe mewah tersebut. Sudah lama sekali rasanya ia tidak pergi kesini.

Natasya menggandeng lengan Alfin,mengarahkan jalan masuk ke ruangan tujuan mereka.

Dalam ruangan tersebut sudah nampak bersiap-siap teman-teman mereka untuk menyambut kedatangan Alfin dan Natasya.

Begitu terlihat keduanya memasuki tempat tersebut, mereka langsung menyambutnya.

"SURPRISE…..!!!!!"

Alfin sampai terkejut dibuatnya. Dirinya terharu melihat teman-temannya sudah berkumpul untuk menyambut kepulangannya kembali ke tanah air.

Terlihat dari barisan teman-temannya itu susunan huruf dari balon sehingga membentuk sebuah kalimat, Welcome Back Alfin.

Suasana di sana sangat meriah dengan riuh kegembiraan dari beberapa orang yang hadir.

“Selamat datang kembali, Fin,” sambut Hans sambil memeluk Alfin.

“Terima kasih ya semuanya, ini benar benar kejutan yang luar biasa,” kata Alfin kepada sahabatnya itu.

“Iya dong, soalnya ada orang yang ngebet banget mau reunian … kangen katanya.” Si Hans melirik ke arah Natasya memberi isyarat kepada Alfin.

“Ohhh … jadi ini kamu yang nyiapin semua ini?” tanya Alfin kepada Natasya yang dari tadi tampak senyum dengan wajah berbinar.

“Hebat banget, bisa ngumpulin mereka.” Alfin memuji Natasya.

“Ya kalo anak anak sih mudah aja, Fin. Untuk diajak kumpul,” kata Hans. “Yang sulit itu mencari waktu kosong elo," lanjutnya.

“Makanya baru aja acara ini terlaksana,” sahut Irfan.

“Wess … Bos besar kita ni.” Arif merapat menyalami tangan Alfin dan merangkulnya.

“Halo Pak direktur, sukes terus Bro." Sandi ikut juga merapat.

“Sudah, sudah. Ayo kita nikmati hidangannya,” ajak Natasya kepada semuanya.

“Makasih ya, Nat.” Alfin terlihat sangat senang. Natasya mengiyakan dengan senyuman manis kepada Alfin.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!