Episode 2

Akhirnya hari ini Vania bisa menggunakan skuter kesayangannya untuk ke kampus, hari ini merupakan hari terakhir ospek yang menurutnya menyebalkan.

Ia sudah bangun pagi-pagi hari ini agar tidak terlambat lagi.

Hari ini sudah tidak harus memakai seragam sekolah itu lagi, melainkan sudah menggunakan jas almamater ciri khas kampusnya. Universitas Bangsa.

Dengan wajah cerah merona serta senyum yang merekah di udara, Vania berpamitan kepada kedua orang tuanya.

“Nanti langsung pulang ya, Sayang,” kata Saira seperti biasa setiap harinya, memperingatkannya.

"Jalan bentar nggak papa kan, Ma?” tanya Vania sambil cengar cengir.

“Kamu ini!” kata Saira mendelik marah.

"Ya udah Vania berangkat sekarang."

***

Udara pagi ini masih terasa sejuk saat Vania masih melintas di jalan sekitaran komplek rumahnya, karena masih banyaknya pepohonan rindang yang berbaris di tepian jalan, Vania sangat menikmati perjalanannya.

Jarak dari rumah ke kampus Vania memang sedikit lebih jauh ketimbang kampus tempat papanya.

Vania memang memilih kampus yang berbeda dari tempat papanya bekerja, agar ia tidak selalu merasa diawasi.

Untuk masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik di kota besar itu pun, memerlukan usaha yang keras baginya karena Vania bukan termasuk golongan yang memiliki intelektual tinggi di atas rata-rata.

Beruntung Vania bisa masuk sesuai dengan jurusannya, ia belajar mati-matian untuk bisa lulus tes.

Sepanjang perjalanan menuju kampus terasa lancar-lancar saja, sebelum akhirnya ia merasa harus mengerem motornya mendadak karena jalan motornya yang tiba-tiba tidak seimbang.

Vania merasa ia menabrak sesuatu dan akhirnya ia terjatuh di jalanan yang kebetulan tidak terlalu ramai tersebut.

Vania merasakan sakit pada kaki sebelah kanannya karena juga masih terdapat bekas luka di bagian situ.

Dilihatnya ke arah belakang terlihat sebuah batu yang kira-kira berukuran sebesar genggamannya.

Vania langsung menuduh ini pasti yang menyebabkan ia terjatuh. Vania melengos kesal sambil menepuk-nepuk pakaiannya barangkali ada debu jalanan yang menempel.

Setelah mendirikan kembali motornya, ia langsung mendekati batu tersebut dan menendangnya agar tersingkir dari jalanan karena mengganggu, akan tetapi malah kakinya yang sakit karena tehnik menendang yang salah.

“Aww ... Ssstttt.” Vania mendesis kesakitan.

Akhirnya Vania bersumpah benar-benar akan melempar batu tersebut ke sebuah arah, dengan mengerahkan segenap tenaga bercampur emosi yang meletup letup.

Akan tetapi di saat yang bersamaan sebuah mobil melintas, alhasil lemparannya mengenai jendela kaca mobil tersebut.

Menyadari hal itu Vania sontak panik, ia refleks membekap mulutnya sendiri seraya berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya jika mobil itu berhenti.

“Adduhhh … gimana ini?!” Ia memukul-mukul jidatnya. “Dasar bodoh!” Vania menghardik dirinya sendiri.

Tepat seperti dugaan Vania, mobil itu berhenti dan pengemudinya langsung mendatanginya.

Vania membuang muka, pura-pura tidak tahu menahu. Walaupun sepertinya tingkat keberhasilannya mengelabui, hanya beberapa persen.

“Kamu lagi?!” Suara seorang laki-laki menyentaknya.

Vania terperangah, hampir tidak bisa mengedipkan matanya untuk beberapa detik.

“Kenapa cowok ini lagi sih?” gumam Vania sendiri merasa mengenali wajah tersebut.

Vania pun memilih kembali berlagak seolah tidak terjadi apa-apa. Ia masih mengumpulkan ide untuk niat kaburnya.

“Kamu?!” Alfin menunjuk wajah Vania.

“Aaapa ya?” Vania langsung membuang muka lagi, menghadapkan wajahnya ke sembarang arah mata angin.

“Nggak usah berlagak nggak tau! Apa maksudnya lempar batu sembarangan ke mobil orang?!” Alfin menyeletuk.

“Nggak ada!” Vania tetap menyangkal.

“Heh! Saya nggak bodoh ya, di sini cuma ada kamu. Jangan-jangan ini modus pembegalan baru nih?! Kemarin pakai seragam sekolah, sekarang lagak anak kuliahan, kamu mau begal orang liat-liat dong!” ketus Alfin dengan angkuhnya.

“Eh sembarangan!”

“Ahh nggak penting lah! Sekarang, kamu cukup merugikan saya ya. Tuh, kaca mobil saya retak, dan kamu harus ganti rugi!”

“Hahh? Retak? Masa sih? Kok gue yang ganti rugi, mobil mobil situ!”

 “Masih nggak mau ngaku?!”

Vania merasa hari ini akan menjadi hari yang sial lagi baginya, karena sudah pasti ia akan terlambat lagi untuk hari terakhir ospek, ditambah ketemu sama laki-laki yang menyebalkan ini.

“Uuuuhh ... udah udah Om! Gue mau ke kampus sekarang, nanti gue telat!" Vania segera beranjak kabur.

“Eh ... mau kemana?!” Alfin langsung menghalangi Vania.

“Minta maaf dulu! Plus, ganti rugi,” cegat Alfin.

“Loh, nggak bisa gitu dong! Nggak ada buktinya!”

“Sini KTP kamu?”

“Idih, minta KTP gue lagi! Nggak ada, ilang!Gara-gara lo kemaren!”

Vania masih mencoba kabur tetapi tangannya terburu berhasil dipegang laki-laki berdasi itu.

“Wah, benar-benar ilegal. Kamu punya modus apa?! Hayo ngaku!! Masih kecil juga!”

“Nggak ada! Udahh ahh Om, gue telat nih! Nanti gue dihukum lagi!”

“Bodo amat!! Saya nggak peduli!”

Vania mulai mencari akal agar bisa kabur dari orang ini. Ia berpikir sejenak, lalu sebuah ide gila terlintas dalam otaknya.

Tanpa berpikir lagi, Vania langsung saja menggigit lengan Alfin dengan kuat sehingga membuatnya menjerit kesakitan.

Setelah dirasa cukup, Vania langsung mendorong laki-laki itu hingga jatuh ke jalan.

Badannya memang tak sebesar Alfin, tapi ia tak menyangka jika dorongan tangannya ternyata mampu meruntuhkan pertahanan laki-laki itu.

Melihat itu Vania merasa menyesal, ia sungguh merasa panik atas apa yang telah dilakukannya. Di sisi lain ia juga sedang terburu waktu, memaksanya harus segera pergi ke kampus.

Detik berikutnya Vania merasa bodo amat dengan orang ini, ia pun segera melaju dengan motornya sekencang mungkin berharap tidak akan pernah lagi menemui laki-laki itu.

***

Universitas Bangsa.

Vania menatap lesu ketika dirinya sampai di depan gedung tempat ospek.

Sebenarnya hari ini jadwalnya khusus acara santai saja, hanya akan ada pertunjukkan dari beberapa unit kegiatan mahasiswa untuk menyambut mahasiswa baru, sekaligus ajang mempromosikan organisasi untuk mengajak mahasiswa baru menjadi anggota mereka nantinya.

“Kamu lagi?” sapa seseorang.

Beberapa orang panitia menyadari keberadaannya.

“Mau alasan apalagi hari ini, Vania?” tanya Bella Adinda Azani, Vania bisa melihat itu di id card kepanitiaannya.

“Eh, si cantik hobi telat ya?” ujar salah satu laki-laki anggota panitia.

Akhirnya hari ini Vania tidak diizinkan masuk oleh ketua panitia ospek, melainkan dirinya harus berjemur saat ini di lapangan upacara.

Sementara di dalam gedung, Adelia tidak melihat keberadaan Vania, ia terlihat mencari-cari Vania, begitupun dengan Oris.

Di dalam ruangan sangat ramai oleh riuhan peserta yang mengiringi penampilan perkenalan dari unit kegiatan mahasiswa sanggar musik, mereka memainkan sebuah pertunjukkan musik band yang heboh membuat siapa saja yang menyaksikannya akan ikut bersemangat.

***

Halaman gedung utama ospek.

Terdengar sayup-sayup suara dari penampilan unit kegiatan mahasiswa tersebut. Vania hanya bisa mendengarnya dari tempat ini.

Sementara matahari pagi sudah bersinar semakin terik membuat butiran keringat bercucuran di wajahnya.

Ospek macam apa ini. Malahan lebih terasa seperti pelatihan militer yang harus panas-panasan, umpatnya sebal.

Tidak jauh dari posisinya berdiri, Nino dan Rikas sedang duduk berteduh di bawah pohon rindang untuk memantaunya.

“Hei ... masih kuat nggak?!” tanya Rikas. Vania merasa tidak perlu menanggapinya.

"Santai aja dulu di situ, Dek. Sinar mataharinya masih sehat juga ini," teriak salah seorang panitia dari kejauhan.

“Gue heran, dia hampir tiap hari dijemur kayak gitu, tetep aja cantiknya nggak ilang-ilang,” kata Rikas menggeleng-gelengkan kepalanya tergiur melihat kecantikan Vania.

“Itu yang namanya innerbeauty, Bro!” Anton datang

menghampiri mereka. “Cantik ya.”

Anton cengengesan memandangi Vania, wajah mahasiswi yang baru lulus SMA memang selalu terlihat manis di matanya.

“Kayaknya bakal ada yang nyaingin nyai ratu Bella, nih,” kata Rikas nyaris terdengar samar oleh Bella yang tidak berada di dekat mereka saat itu.

“Biarin aja dia tetep di situ, No. gue suka liatnya. Kulitnya putih bersih, rambutnya panjang, badannya oke lah. Tipe cewek gue banget nih,” kata Anton memandangi.

“Yaelah elo, Ton.  Nggak bisa liat cewek dikit,” tukas Rikas.

“Apaan sih lo berdua?!” ketus Nino. Lalu ia berdiri dari tempat duduknya.

“Kamu?! Masuk sana!” perintah Nino.

“Beneran Kak?”

“Pakek nanya lagi, apa masih mau disitu?”

Vania agak tersentak dibuatnya, karena Nino menunjukkan wajah angkuhnya.

"Eh enggak kok. Ya udah saya masuk, makasih Kak."

Vania bergegas membawa langkah, sebelum laki-laki itu berubah pikiran.

***

Siang itu suasana tampak ramai di ruangan sebuah perusahaan besar di Jakarta. Pak Haris Setiawan, sang pemilik perusahaan memperkenalkan pimpinan perusahaannya yang baru.

Pak Haris yang selalu berpenampilan rapi berdiri di depan semua karyawan yang berkumpul di ruangan itu menyampaikan sambutannya ditemani seorang laki-laki muda yang juga berpakaian rapi seperti dirinya, terkesan memberikan kharisma tersendiri untuknya.

“Saya memutuskan untuk tidak lagi ikut mengurus perusahaan ini, jadi mulai hari ini semua urusan mengenai perusahaan dan beberapa anak perusahaan ini saya serahkan semuanya kepada Alfin Setiawan.”

Haris berucap sambil memandang ke arah Alfin yang berdiri gagah di sampingnya.

 “Yang mana merupakan putra sulung saya sendiri, mungkin beberapa dari kalian ada yang sudah mengenalnya.”

Laki-laki muda itu memasang senyum sapaan kepada semua mata, yang kini memperhatikannya.

Acara sambutan diakhiri dengan gemuruh tepuk tangan dari para karyawan maupun undangan, termasuk Suherman dan Saira yang saat itu berdiri tidak jauh dari mereka.

Tidak lama kemudian Suherman ikut barisan untuk menyalami, memberikan ucapan selamat kepada Alfin.

“Selamat ya, Fin. Hebat kamu, tadinya mengelola cabang perusahaan, sekarang mengurus keseluruhan,” kata Suherman begitu menjabat tangan laki-laki bertubuh tinggi tegap itu.

“Terima kasih, Om Herman,”  sahut Alfin dengan senyum ramahnya.

“Kamu ini sama seperti papa kamu, Fin,” Kata Saira. “Dia ini orang hebat, Tante yakin perusahaan ini akan semakin besar berada di tangan kamu," timpalnya.

Suherman merangkul Haris. “Om sangat yakin, Fin. kamu pasti akan jadi orang yang hebat seperti papa kamu ini,” Suherman tertawa simpul memuji sahabatnya itu.

“Sudah terlihat, ya kan?” seloroh Haris.

Suherman dan Haris memang sudah menjadi sahabat sejak masih sekolah.

Hanya saja beberapa tahun terakhir Haris sering berpindah tempat tinggal ke luar kota, dan baru-baru beberapa bulan ini akan menetap lagi di Jakarta.

“Rasanya dulu melihat Alfin masih kecil, tapi sekarang sudah sebesar ini. Semenjak dia dewasa, aku malah baru ini bertemu secara langsung,” ujar Suherman.

“Iya, baru bulan kemaren Alfin aku suruh balik lagi menetap ke sini. Oh ya, Man ...” Haris mengigat sesuatu. “Bagaimana kabar anak-anak kamu?”

“Ohh mereka baik, kalo Wina setelah menikah ikut suaminya. Masih dalam satu kota, dan putri bungsu kami, Vania, baru masuk kuliah.”

“Pa, Om Herman." Alfin memotong pembicaraan kedua sahabat itu.

"Maaf saya tinggal dulu ya,” pamit Alfin yang hendak menepi sejenak sembari memegang ponselnya yang sedari tadi berdering.

“Wah, bagaimana tentang rencana kita nih? Mempertemukan Alfin dengan putri kamu, Vania.” Haris melanjutkan obrolan mereka.

“Kalo itu ya kita sesuaikan dengan rencana saja, Mas Haris. Kamu hebat Mas, memiliki putra seperti Alfin, sungguh sebuah kehormatan jika bisa mempertemukannya dengan putri saya, Vania.”

Haris menengok ke arah Alfin yang sedang menerima telepon di pojokan ruangan.

“Alfin baru saja menyelesaikan studi S3 nya beberapa bulan yang lalu. Selama di Inggris, dia sudah menjalankan beberapa bisnis sambil menyelesaikan studinya, dan langsung kupercayakan saja mengambil alih perusahaan ini. Dia pasti bisa memimpin perusahaan ini jadi lebih baik, dan aku juga ingin dia segera memiliki pendamping hidup seperti Vania. Alfin pasti akan sangat menyukai Vania,” kata Haris.

“Wah ... saya benar-benar merasa ini sebuah kehormatan, kalau putri saya bisa bersanding dengan Alfin,” kata Suherman tersenyum lebar.

 “Aku ingin pensiun, Rasanya. Alfin harus belajar lelah di usia muda sebelum bersantai di masa tuanya, aku tau dia tidak  akan mengecewakan orang tuanya dan lengkaplah kebahagianku jika Alfin segera mendapatkan pasangan hidup,” timpal Haris.

Sementara Saira dan Ningsih mendengarkan obrolan mereka dengan saksama.

“Hebat loh kamu, Mbak. Putra kamu sangat membanggakan,” puji Saira.

“Kamu bisa aja.  Eh lama rasanya, Ra. Aku nggak makan kue buatan kamu.”

“Sering sering dong main ke rumah, sepi. Kalo mas Suherman lagi kerja, Vania lagi kuliah, rumah udah kaya kuburan aja, sepi banget.” Lalu mereka tertawa.

***

Vania merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu utama rumahnya. Diliriknya sebuah jam yang menempel di dinding ruangan, sudah menunjukkan jam 4 sore.

Hari ini selesai kegiatan semua mahasiswa baru memang boleh pulang lebih awal, sebelum akhirnya nanti di awal pekan sudah siap untuk belajar di kelas masing-masing.

“Non, sudah pulang?” tanya bi Darsih.

“Iya, Bi. Mama ke mana ya?”

“Keluar, Non. Belanja bahan buat kue.”

Vania menampol jidatnya, merasa bersalah. “Ya ampun, harusnya gue yang belanja!”

“Itu hp barunya Non Vania sudah ada di kamar.”

“Oh gitu, makasih Bi.” Vania bergegas menuju kamarnya yang terletak di lantai dua rumahnya.

***

Malam itu suasana di rumah mewah kediaman Alfin penuh suka cita karena merayakan ulang tahun Ningsih.

Tampaknya mereka hanya ingin merayakan secara  kekeluargaan saja. Keluarga kecil mereka terdiri dari Ningsih, Haris, Alfin dan adik laki-laki Alfin, bernama Randi.

Sambil menikmati makan malam mereka terlihat bahagia, bersenda gurau bersama, karena sangat jarang bagi keluarga mereka untuk dapat berkumpul seperti momen ini.

Haris, papanya Alfin merupakan seorang pengusaha besar yang mengharuskannya sering bepergian.

Biasanya hanya ada Ningsih dan Randi yang masih duduk di bangku SMP, sementara Alfin menyelesaikan pendidikannya sambil bekerja di luar Negeri.

Terlihat di pojokan sebuah meja makan sebuah kue tar berukuran besar bertuliskan ‘Happy Birthday Mama yang ke 45’ dan ada beberapa bungkus kado juga terletak bersamanya.

“Mama jadi nggak sabar ni buat buka kadonya,” kata Ningsih bersemangat sekali.

“Entar dulu, Ma,” cegah Haris. “Kita lanjutkan makan malamnya dulu.”

“Oh ya, Fin,” panggil Ningsih membuat Alfin menengok ke arahnya. “Gimana rasanya di kantor papa kamu?”

“Menyenangkan, semua karyawannya sangat open dengan aku, Ma.”

“Alfin kan orangnya sangat mudah beradaptasi dan membaur dengan siapa saja. Papa yakin Alfin pasti senang dan betah di kantor barunya dan bisa memajukan perusahaan kita,” kata Haris tersenyum bangga.

“Iya, Ma. Pa. Makasih ya kalian sudah mempercayakan kepada Alfin, Alfin nggak akan mengecewakan Mama dan Papa."

“Itu baru anak Papa."

“Randi juga,” sahut adik laki-laki Alfin itu sambil mengacungkan tangannya, tidak mau kalah.

Mereka semua tertawa, menambah suasana kehangatan keluarga ini.

“Oh ya, harapan Mama apa nih? Jangan bilang mau diajak jalan-jalan keluar Negeri ya, aku masih banyak pekerjaan soalnya,” kata Alfin.

“Enggak kok, gampang soal itu. Mama hanya pengen lihat seluruh anggota keluarga Mama bahagia. Terutama kamu, Fin." Alfin mengernyitkan dahi, iya memahami apa keinginan terbesar mamanya selama ini.

“Eh, Fin. Dengerin Papa ya, selain kamu sibuk mengurusi perusahaan kita, kamu juga harus mempersiapkan masa depan kamu. Persiapan yang bukan hanya sekedar suksesnya karir kamu, tapi juga persiapan untuk pendamping hidup kamu nantinya.”

“Iya, Pa. tapi kan sekarang aku lagi ngurus beberapa bisnis di luar kota, ya mungkin belum ada waktu untuk memikirkan hal itu.”

Alfin kembali meneruskan makannya, walau dengan sedikit perasaan tidak nyaman, karena ia mengerti arah pembicaraan orang tuanya.

“Masalah mengurus bisnis, perusahaan, itu akan berjalan memang sesuai keadaannya dan akan terus seperti itu, tapi kamu juga harus memikirkan soal pendamping. Ingat, Fin. Seorang pria hebat itu perlu juga pendamping," terang Haris.

“Tapi jangan asal sembarangan loh,” sahut Ningsih.

“Iya, Pa, Ma.”

“Mm ... masalah itu kamu nggak usah bingung, Papa kira Papa dan Mama sudah mendapatkan calon yang pas untuk kamu.”

Pernyataan Haris membuat Alfin berhenti makan sejenak dan menatap tak percaya ke arah papanya.

“Mama pengen banget liat kamu cepet nikah,” timpal Ningsih.

Menatap kedua orang tuanya, membuat Alfin tidak bisa menolak apa yang menjadi kehendak orang tuanya, walaupun itu akan terasa berat.

Memang dalam segala hal dirinya selalu menuruti kehendak orang tuanya, tak pernah sekalipun ia berani membantah kehendak mereka.

Ia menyadari karena hal itulah yang membuat dirinya bisa menjadi seperti sekarang.

Tetapi begitu ia mendengar pernyataan tentang mengarah ke perjodohan, sepertinya terdengar tabu baginya.

***

Alfin menatap hampa ke depan di balkon kamarnya. Ini adalah hal yang rumit menyangkut kehidupannya dan akan ia alami selama hidupnya. Untuk itu ia berpikir keras.

Seperti halnya pria manapun yang ingin hidup memiliki seorang pendamping yang setia, begitupun dengan dirinya.

Alfin menyadari dirinya memang sangat sulit untuk bisa jatuh cinta dengan seorang perempuan dan itu akan memakan waktu lama.

Hatinya keras, sekeras kemauannya untuk mencapai keinginannya. Namun dalam hal memiliki pendamping, dirinya lemah dan selalu menutup hatinya.

Alfin hanya merasa nyaman dengan melihat kebahagiaan kedua orang tua serta adik semata wayangnya, namun sekarang kebahagiaan kedua orang tuanya adalah melihat dirinya menikah.

Secara finansial dan usia, Alfin memang siap dan sudah matang, tapi tidak dengan hatinya.

***

Sementara itu di kediaman keluarga Vania.

Malam ini seluruh anggota keluarganya berkumpul di ruang tamu. Mereka kedatangan Wina dan Rio, suaminya.

Wina memberikan kejutan tentang kehamilannya dan disambut gembira oleh semuanya.

“Terus gimana keadaan kandungan kamu, Win?” tanya Saira.

“Sehat dong, Ma,” jawab Wina.

“Paling dia suka mual mual gitu, Ma,” sahut Rio.

“Oh ya, tadi Papa sama Mama datang ke acaranya om Haris dan tante Ningsih, kalian masih ingat kan?” tanya Suherman.

“Ingat dong, Pa," sahut Wina. “Gimana kabar keluarga mereka? Udah lama banget rasanya nggak ketemu, bahkan di pernikahan aku mereka nggak dateng kan?”

“Iya, Win. Baru pindah, sekarang sudah menetap lagi di Jakarta,” sahut Saira.

“Kamu tau? Alfin sudah selesai S3 nya dan sekarang ikut menetap di Jakarta, juga ngurus semua bisnisnya mas Haris.”

“Si Alfin, Pa?” tanya Wina.

“Iya, teman kamu waktu kecil itu,” kata Suherman.

“Yang dulu gendut, item, dan suka jailin aku dan Vania, ya?” kata Wina sambil tertawa. “Apa kabarnya tu anak ya?”

“Iya, semenjak pindah-pindah tempat tinggal kan mereka nggak pernah lagi ada waktu buat ketemu kita, apalagi Alfin kan menghabiskan waktu kuliahnya dan bekerja di Inggris.”

“Oh begitu, bagaimana dia sekarang Pa?” tanya Wina penasaran.

“Wahh, sekarang jauh berbeda. Anaknya tinggi, ganteng lagi.”

“Masa? Wiih hebat dia ya udah bisa ngurus bisnis papanya, om Haris bukannya seorang konglomerat ya kan?” Wina sangat penasaran lalu melirik kearah Vania. “Kamu masih ingat Alfin, Van?”.

“Yang mana Kak? Mana mungkin aku ingat.” Vania menyahut sekenanya.

Padahal sedari tadi ia berusaha mengingat pada masa kecilnya dengan Alfin yang suka menjaili dirinya, dan sering membuat Vania kecil menangis.

Tapi itu sangat lama baginya dan ia juga tidak mengenal lagi bagaimana Alfin sekarang.

 “Waktu itu kamu masih SD, Kakak dan Alfin sudah SMP, dia suka banget kalo lihat kamu nangis,” ujar Wina tertawa.

“Ya sudah, Vania. Nanti kamu Papa ajak buat ketemu sama Alfin ya.”

“Ngapain?”

“Ya berkenalan, siapa tahu cocok.”

“Kamu akan suka lah pokoknya,” timpal Saira bersemangat.

“Males banget,” sahut Vania.

“Ni anak sukanya sama cowok-cowok gaul gitu, Pa,” kata Wina. “Yang jago naik motor, jago ngeband, jago berkelahi.”

“Maksud kamu cowok berandalan, Win?” tanya Saira.

“Bukan lah,” sahut Vania.

“Terus apa namanya? Kamu suka yang jago naik motor? Suka berkelahi??”

“Beladiri, Pa. Beda sama suka berkelahi.”

“Apa lah itu, sama saja kan? Mau jadi apa nanti masa depan kamu?”

Vania hanya terdiam mendengar perkataan papanya itu.

***

Terpopuler

Comments

Risalah_Hati

Risalah_Hati

sementara dilempar batu dulu Vin, entr dilemparnya pakek cinta

2023-06-27

2

ig: pocipan_pocipan

ig: pocipan_pocipan

jadi ingin main skuter..
mengingat masa remaja wwkwk

2023-06-26

1

Richie

Richie

1 epsnya pnjg bnr

2023-06-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!