Siang itu cuaca sangat terik. Langit terlihat cerah dengan awan-awan yang putih bersih. Vania duduk di bawah rindangnya pohon sebuah taman belakang di fakultasnya.
Masa studium general sudah resmi dibuka, dan semua mahasiswa memasuki tahap semester baru.
Terlihat Vania sedang menggambar sebuah bangunan, sambil ditemani sebotol air mineral yang dia letakkan di samping tubuhnya, sesekali ia akan meminumnya.
Ia memang suka dan pandai dalam menggambar, terutama dalam mendesain sebuah sketsa bangunan.
Dari kejauhan terlihat seorang Nino yang sedang duduk nampak memperhatikan Vania. Nino sengaja berada di posisi yang aman agar tidak terlihat mencurigakan.
Maklum saja, Nino bak selebritis di kampusnya, terutama di fakultasnya. Jika sedikit saja ada kabar berita tentang Nino, maka akan menjadi viral seantero kampus.
Nino memiliki banyak fans, hanya saja dia orangnya agak pendiam dan selalu bersikap cool apalagi terhadap orang yang tidak dikenalnya.
Nino mungkin hanya sedikit penasaran dengan Vania, berawal bertemu dengannya dari masa orientasi masuk kampus, entah kenapa setelah itu ia
selalu penasaran terhadap gadis itu.
Tak lama kemudian dari kejauhan Nino melihat seorang cewek menghampiri Vania, Nino pun langsung beranjak pergi dari posisinya.
“Hei, Van,” sapa Adelia membuyarkan konsentrasi Vania.
“Eh, Adel. Dari mana?” Vania mengalihkan perhatiannya ke sahabatnya itu.
“Habis dari ruangan bu Ainun, ngambil bahan buat tugas makalah nanti. Dari tadi gue nyari-nyari lo. Eh, gimana kelas D? seru?”
“Nggak, biasa aja. Bosen tau diikuti sama makhluk itu terus.”
“Lo sekelas sama Oris?” Adelia tertawa geli.
“Nggak tau gimana caranya tu anak bisa masuk ke kelas gue! Tapi gue yakin banget dia pasti lakuin sesuatu biar dipindahin ke kelas gue,” gerutu Vania.
“Nggak papa lah, biar ada yang nemenin lo, sekaligus jagain.”
“Bete tau ngeliat kelakuannya.” Vania mengingat kelakuan Oris yang selalu heboh dan merasa manusia paling keren di dunia. Vania suka merasa jengah kadang.
***
Di perpustakaan fakultas.
Vania sedang berdiri di depan rak susunan buku-buku yang tersusun rapi. Vania mencari-cari judul buku yang berkaitan dengan tugas makalahnya.
Sesekali Vania menemukannya dan membaca sekilas buku tersebut untuk memastikan materinya sesuai.
Diruangan ini satu-satunya ruangan yang menurutnya jauh dari hingar bingar kegaduhan, begitu tentram, sepi dan nyaman.
“Vania, kita ke kantin, yuk? Gue laper nih, lo lapar nggak?” ajak Adelia.
“Iya nih, kayaknya gue lapar juga.” Vania terlihat bersemangat tentang yang berhubungan dengan makan.
Kedua gadis itu kemudian berjalan menuju kantin di fakultasnya yang terletak tidak terlalu jauh dari ruang perpustakaan.
***
Beberapa saat kemudian, langkah kaki Vania dan Adelia tiba di ruang kantin yang besar.
Saat itu suasana kantin memang lagi ramai oleh mahasiswa yang makan di sana, maupun hanya sekedar duduk-duduk santai disana.
Vania dan Adelia duduk di meja pojokan yang menjadi favorit mereka, iya kalau lagi tidak ada yang menempati.
Mereka senang duduk disitu karena di pojokan terdapat banyak colokan untuk mengisi daya ponsel ataupun laptop.
“Del, nggak langsung mesan?” tanya Vania sambil memperhatikan Adelia mengisi daya ponselnya.
“Gue nitip aja ya, Van? Es teh manis sama burger, pake saos pedes yang banyak,” pinta Adelia.
“Oke.”
Vania sangat bersemangat berjalan menghampiri stand penjual makanan kesukaannya, burger. Vania lanjut berjalan ke stand penjual minuman teh Thailand yang sangat ia sukai.
Begitu dirinya sampai di stand tersebut, nampak terlihat punggung tinggi seorang cowok, Vania mengantri di belakangnya.
Laki-laki itu seketika memalingkan badannya dengan tergesa-gesa, tanpa sengaja menabrak tubuh Vania, sehingga segelas minuman yang dibawanya tertumpah mengenai pakaian Vania.
“Eh sori ... gue nggak sengaja,” ucapnya memperhatikan ke arah baju Vania yang terkena tumpahan minuman tersebut.
“Duuh .. lihat lihat dong,” gerutu Vania sambil membersihkan bajunya dan ketika menatap kearah orang tersebut, mata Vania terbelalak.
NINO. Sekarang ada dihadapannya sedekat ini. Vania mulai merasa serba salah dan tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa panas dingin.
“Elo? Sori gue buru-buru,” kata Nino terdengar ramah, berbanding terbalik dari sikapnya yang garang saat acara ospek.
“Iya Kak, nggak papa.” Vania merasa segan.
Mana ia tadi keceplosan menggerutu sebal, takutnya senioritas tetap berlaku disini.
Menyadari Nino telah meninggalkannya begitu saja. Vania menatap sebentar ke arah punggung Nino yang semakin menjauh meninggalkan ruangan itu.
Lalu ia melanjutkan kembali, memesan minumannya sambil sesekali membersihkan bajunya.
Tiba-tiba dari arah samping seseorang datang sepertinya sengaja menabrak tubuh Vania, sehingga bagian lengan bajunya kini terkena tumpahan minuman lagi. Vania terkejut dan segera menengok.
“Upss ... gue nggak liat.” Bella terlihat menatapnya sinis.
“Iya Kak, nggak papa.”
Vania membelai bagian yang terkena tumpahan minuman tersebut dengan perasaan yang agak jengkel, karena kelakukan Bella yang sepertinya sengaja mengganggunya.
“Vania lo nggak papa? Sampe basah gitu?” Adelia menghmpirinya.
“Nggak papa, gue mau ke toilet dulu ya bersihin ini nih.” Vania memegang bajunya. Lalu ia segera pergi toilet.
“Oke, gue tunggu ya.”
***
Vania membersihkan bagian bajunya yang terkotori oleh minuman berwarna itu, di depan sebuah wastafel sambil sesekali bercermin membenarkan rambut indahnya.
Hari ini ia akan masuk kuliah dengan baju yang agak kotor. Pasti akan terasa tidak nyaman.
Vania yang sedang sendirian di toilet tiba-tiba merasa suasana di toilet itu berubah menjadi menyeramkan, karena memang saat itu kebetulan tidak ada siapa-siapa disana.
Ia merasa bergidik, bayangan suasana seram dari film horor yang pernah ia tonton terlintas begitu saja menghiasi pikirannya.
Vania segera keluar dari toilet yang tiba-tiba terasa angker tersebut, padahal keadaan di luar biasa saja dengan wajah hari yang bersih.
Baru saja keluar dari toilet, Vania langsung terperanjat kaget karena tiba-tiba saja sudah ada seseorang.
“Kak Nino?” Vania membelalakkan matanya terheran karena ada Nino disana.
Vania sesekali memperhatikan ke arah sekitarnya, yang memang kala itu masih terlihat sepi di bagian koridor gedung itu.
Nino melihatnya tanpa mengatakan apapun. Ia hanya memasang wajah datar, lalu ia akan lewat begitu saja di depan Vania. Vania hanya menatap membiarkan punggung Nino melewatinya.
Aneh banget sih, batin Vania.
...✿✿✿...
Kantor utama HS grup.
Diruangan kantornya yang besar dan megah, Alfin sedang berbicara ditelepon dengan mamanya.
Alfin terlihat serius mendengarkan pembicaraan mamanya ditelepon sambil terus memantau beberapa tumpukan kertas di atas meja kerjanya.
“Ya nggak bisa dong, Ma. aku ada kerjaan keluar kota.”
"Mama nggak mau ada alasan ya, Alfin. Kamu tunda urusan kerja kamu.”
“Aku nggak bisa ..." Alfin kembali berpikir sejenak. "Ya udah, oke.”
Alfin sudah menutup teleponnya. Lalu ia langsung menelepon seseorang.
“Prima, tolong keruangan saya sekarang.”
Alfin menghentikan pekerjaannya. Dilihatnya masih banyak tumpukan kertas yang perlu diperiksa hari ini. Ia merasa harus beristirahat sejenak sembari menunggu asisten pribadinya ke ruangannya.
Seorang laki-laki mengetuk pintu dan masuk keruangan Alfin.
“Bapak manggil saya?”
“Oh, iya Prima. Saya mau kamu undur jadwal kita ke Medan ya, bisa nggak?”
“Tapi kita sudah pesan tiket dan booking hotel untuk tanggal itu, Pak. Kita sudah janji juga dengan klien.”
“Nggak masalah, kamu atur aja. Saya mau pertemuannya di undur lusa. Bisa, kan?”
“Tapi, Pak, sepertinya tidak bisa.”
“Tapi saya mau lihat kamu mencoba,” paksa Alfin.
“Baik Pak.” Lalu laki-laki berkacamata itu permisi meninggalkan ruangan Alfin.
***
Hari yang cerah sekarang sudah berganti malam.
Vania baru sampai di rumahnya, setelah menemani mamanya belanja ke minimarket.
Tiba di dalam rumahnya, terlihat Suherman duduk di sofa ruang tamu seperti sedang menunggu kedatangannya.
“Baru pulang?” tanya Suherman.
“Iya, Pa," jawab Saira.
Bi Darsih langsung datang menyambut beberapa tas belanjaan berlogo minimarket warna merah untuk di letakan sesuai tempatnya.
“Duduk,” titah Suherman.
"Gimana Vania kuliah kamu?” tanya Suherman.
“Sejauh ini masih tahap-tahap mempelajari materi dasar, Pa. Cuma kayaknya bakal banyak tugas sih.”
“Begini, nanti keluarganya pak Haris mau ke sini.”
“Yang bener, Pa?” Saira terlihat bersemangat.
“Papa sengaja mengundang mereka, biar sekalian Vania bisa berkenalan dengan Alfin.”
“Hah???!” Vania melongo.
“Jadi begini, Papa sama mama serta orang tuanya Alfin sudah sepakat akan menjodohkan kalian,” jelas Suherman.
“Apa?!!!!” Mata Vania terbelalak. Saira mengiyakan dengan antusias.
“Papa sama Mama mau jodohin aku?!” Vania memastikan, berharap ini keliru.
“Iya, dengan Alfin. Anaknya om Haris.”
Mendengar kalimat perjodohan saja rasanya ia sudah membayangkan yang tidak-tidak. “Nggak bisa!!! Aku nggak mau, Pa!! Ma, aku nggak mau dijodohin,” rengek Vania menolak.
“Vania, hey … apa salahnya sih kamu berkenalan dengan Alfin dulu? Kamu pasti akan suka,” pinta Saira.
“Enggak! Papa sama Mama kan tau aku baru aja masuk kuliah, perjalananku masih panjang dong!”
“Kamu bisa hidup bersama Alfin, nggak ada salahnya. Alfin anaknya baik, dewasa, pendidikannya bagus sudah menyelesaikan S3, pinter mengurus perusahaan besar papanya, yang pastinya dia bisa jagain dan ngurus kamu,” terang Suherman.
“Plus, keluarga om Haris itu keluarga yang terhormat, Vania. Suatu kehormatan untuk kita bisa menyatukan keluarga kita dengan mereka, Mama sama Papa juga kenal baik dengan keluarga mereka,” timpal Saira.
“Tapi aku nggak mau nikah sekarang. Aku akan nikah setelah lulus kuliah! Dan Mama sama Papa nggak akan bisa maksa aku!” Vania melipat lengannya sebal.
“Tapi masa depan kamu dengan Alfin akan terjamin Vania. Papa rasa kamu memang sudah harus menikah, biar nggak kelayapan nggak jelas lagi.”
Vania menunjukkan ekspresi tidak percaya, “Ini konyol … bahkan aku belum tau dia siapa?”
Vania membayangkan bahwa ia akan dijodohkan dengan orang dewasa yang tidak seumuran dengannya, apa jadinya nanti dengan masa-masa mudanya.
“Masa Papa mau jodohin aku, sama om-om?!! Yang benar aja,” rengeknya, hampir tidak kedengaran oleh Suherman dan Saira.
Lalu ia segera pergi ke kamarnya dengan perasaan kesal.
***
Vania mondar mandir sendiri di balkon kamarnya sembari memikirkan keputusan orang tuanya.
Vania berpikir keras untuk menolak rencana mereka. Ia tidak akan mau menghabiskan seumur hidupnya untuk hidup dengan seorang yang tidak dicintainya.
Pikiran-ikiran negatif pun mulai merasuk dipikirannya, kenapa orangtuanya tega kepadanya. Vania merasa ini tidak adil.
Lemparan sebuah gumpalan kertas mengenainya dan mengejutkannya.
“Woyy … mondar mandir, kayak setrikaan aja lo!” teriak Alex dari balkon sebelah rumahnya.
Rumah mereka yang bersebelahan membuat Alex terkadang bisa saling mengobrol dengan Vania melalui balkon kamar mereka masing-masing, meski dengan suara yang setengah berteriak.
“Apa sih, Lex?!” ketus Vania.
“Galak banget … Van, gue minta password wifi lo dong, jaringan wifi gue lagi bermasalah dah.”
“Bermasalah apa nggak diisi paket?!”
“Tau aja lo,” Alex nyengir.
“Elogila.”
“Kok lo sewot si?!!”
“Itu passwordnya, bego …!”
Alex mencoba mengetik sesuatu di layar ponselnya.
"Oh iya, thanks ya," ucapnya.
Wajahnya sudah sangat berseri, seperti baru mendapat asupan napas, karena bisa kembali tersambung dengan game battle ground perang ala-ala militer favoritnya.
"Tuh muka makin kucel aja. Mmm ... gue tau nih, biasanya cewek kalo gini pasti lagi ada masalah besar nih. Jangan-jangan lo hamil ya?” Alex tertawa geli.
“Dasar gila lo, Lex!!” Vania melemparkan balik gumpalan kertas tadi ke arah Alex yang membuatnya segera kabur masuk ke dalam kamar.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Youra Minho
Wow...password wifinya boleh dicoba 😄😄😄
2020-08-13
3
Made Seniathi
hehe keren tuh password wifi
2020-07-21
1
Siti Aminah
mau ganti ah password wifi d rumah pake elogila😁
2020-05-17
5