Alfin yang sudah rapi dengan baju kantornya sedang menikmati sarapan kesukaannya, roti bakar dengan selai cokelat dan secangkir susu hangat.
Tak berselang lama, Haris mendekati dan duduk bersamanya.
“Pagi, Pa,” sapa Alfin.
“Pagi. Randi sudah berangkat, Fin?”
“Itu lagi di antar mama ke depan,” jawab Alfin sambil terus menyantap sarapan.
“Alfin,” panggil Haris. Alfin merespon panggilan papanya.
“Gimana mengenai pembicaraan kita semalam? Tentang perjodohan kamu dengan Vania, anaknya Om Suherman.”
Pertanyaan Haris membuat Alfin menghentikan sebentar aktivitasnya.
“Papa dan mama setuju kalau kamu menikah dengan Vania karena dia anaknya sahabat papa, dan yang terpenting keluarga mereka kenal baik dengan keluarga kita,” lanjut Haris.
Alfin terlihat sedang berpikir. Setelah semalam kedua orang tuanya membicarakan tentang rencana perjodohan ini, Alfin tidak dapat menjawab apapun melainkan hanya terdiam.
Sebenarnya hatinya berat untuk menerima, hanya saja dirinya masih memikirkan cara untuk menolak permintaan orang tuanya tersebut.
“Gimana ya, Pa? Ini terlalu cepat buat aku. Aku masih banyak pekerjaan yang diurus dan belum bisa memikirkan hal itu,” jawab Alfin.
“Kamu hanya perlu berkenalan saja dulu dengan Vania, luangkan waktu sebentar untuk bertemu dengan dia,” pinta Haris.
“Iya, Fin.” Ningsih menghampiri mereka dan sekarang ikut duduk bersama mereka.
“Eh kamu tau nggak? Ternyata Suherman itu juga sangat kepingin anaknya, Vania juga segera menikah, loh.”
“Pa, tapi dia baru lulus SMA," kata Alfin protes, merasa tidak yakin akan rencana mereka.
“Vania memang masih muda, tapi nggak papa lah kalo kalian nanti sama-sama suka. Papa juga dulu menikah dengan mama kamu waktu dia baru lulus SMA,” imbuh Haris, sesekali menoleh pada istrinya.
Ningsih tersenyum, sepakat dengan suaminya.
“Kamu nggak mungkin lupa kan, Sayang? Dulu waktu kecil kalian bertiga kan sudah temenan. Keluarga kita juga sudah kenal baik,” timpal Ningsih.
Sementara Alfin hanya terdiam mendengarkan pembicaraan kedua orangtuanya terlihat begitu antusias kala membahas rencana penyatuan dia keluarga itu.
...✿✿✿...
Vania memangku wajahnya dengan kedua tangannya, manyun, tidak bersemangat dan merasa suasana hatinya sangat tidak baik.
Tak menghiraukan orang yang berlaku lalang di area kantin, Vania masih berjibaku dengan kemelut hatinya.
Seseorang menghentakkan tangan di mejanya, Vania terkesiap dibuatnya.
“Ngelamun aja.” Adelia datang dengan secangkir es cappucino-nya. "Ntar kesambet loh."
"Ish, Adel! Kebiasaan deh, ngagetin aja." Vania menyeletuk.
“Itu makanan diliatin aja?” tanya Adelia melirik ke arah sebuah mangkok bakso di depan Vania.
Suasana di kantin kampus hari ini tidak begitu ramai karena masih belum jam makan siang.
“Gue beteeee!” pekik Vania.
“Kenapa? Kenapa?”
“Adel, bokap gue mau jodohin gue!!!”
“Hah?! Dijodohin? Sama siapa?” Adelia memasang ekspresi kaget.
“Tau. Anak sahabatnya, katanya.”
“Lo kenal orangnya? Gimana??” Adelia penasaran.
“Ya enggak lah! Masa gue mau dijodohin sama orang yang usia jauh sama gue? Lo bayangin aja, dia udah lulus S3, udah mapan, bisa ngurus perusahaan, kan udah om om tu!!”
“OMG!!! Seriusannn?!! Iewww ... terus lo mau?”
“Ogah gue! Masa gue harus nikah sama om om?!! Papa kayak nggak ada calon yang lain aja yang sepantaran gitu? Aaargggh … tapi tetep aja gue nggak mau nikah muda!”
“Aduhh gue nggak bisa bayangin, Van. Terus gimana? Lo gak mikir buat kabur dari rumah kan?"
"Enggak lah, mana berani gue!"
"Ya kali aja gitu."
"Kalau gue milih kabur, ntar kalau pas gue mau balik, terus gue gak di anggap jadi anak ortu gue lagi, gimana dong?"
"Aikh, kok jadi bahas kabur-kaburan begini, sih!" Adel jadi membingung.
"Kan lo yang mulai, Del. Pokoknya gue lagi mumet nih."
...✿✿✿...
Alfin sibuk menatap layar komputer di ruang kerja nya, sesekali ponselnya berdering karena panggilan dari beberapa rekan bisnis dan klien yang bekerjasama dengan perusahaannya.
Di saat orang lain seusia nya masih bisa bekerja dengan santai, itu tidak berlaku baginya.
Alfin pekerja keras dan menyukai dunianya yang super sibuk, tidak ada yang mengerti dirinya lebih baik selain keluarganya.
Bahkan di saat teman-teman seumuran dengan dirinya masih sering menyempatkan waktu untuk liburan maupun mencari hiburan diluar, Alfin tidak mengenal hal itu.
“Permisi Pak.” Santi, sekretarisnya minta izin untuk masuk ruangannya.
“Oh iya, Santi. Masuk!”
“Ini ada titipan untuk Bapak,” kata perempuan yang tampaknya berusia lebih tua darinya, yang sedang membawa sesuatu di tangannya.
“Dari siapa?” tanya Alfin yang langsung menghentikan aktivitasnya.
“Dari ibu Ningsih, Pak. Tadi kurir yang mengantarkan.”
“Iya, letakkan aja di situ.” Alfin menunjuk sebuah meja tamu yang ada di dalam ruangannya.
“Permisi, Pak.” Santi langsung keluar ruangan. Alfin mengiyakan dan berterima kasih.
Ponsel Alfin kembali berdering. Kali ini dari Ningsih.
“Halo, Ma?”
“Sayang, makanannya jangan lupa dimakan ya, Mama masakin rendang tadi.”
“Oh, ya ampun, nggak usah repot-repot, Ma. Aku kan bisa makan di kantin kantor atau delivery order aja.”
“Jangan sering-sering jajan di luar, nggak baik, belum tentu sehat. Makanya kamu cepat nikah, biar ada yang masakin tiap hari."
Alfin sudah tahu maksud arah pembicaraan mamanya, padahal ia masih sangat malas membahasnya.
“Iya, Ma. Nanti Alfin makan ya.” Setelah menutup teleponnya, ia pun membuka bingkisan tersebut.
Sementara itu di rumahnya, Ningsih baru selesai menutup teleponnya dengan Alfin.
“Anak ini, kalo nggak diingetin makan, pasti belum makan sampai jam sekarang," gumamnya.
...✿✿✿...
Perpustakaan Fakultas Teknik.
Sambil menatap ke layar laptopnya, Vania mulai mengerjakan tugas kuliahnya. Terlihat beberapa tumpukkan buku tebal di atas meja, yang siap mengajaknya bertempur dengan akal pikiran.
Suasana di perpustakaan tampak tenang, ia bisa lebih berkonsentrasi.
“Halo cantik.” Oris tiba-tiba datang dan duduk di sampingnya. “Nih, gue bawain es cappucino kesukaan lo.”
“Duuhh Oris. Bisa nggak sih nggak ganggu gue dulu!”
“Lo serius banget sih, udah tugas yang itu santai aja, selowww, nih minum dulu.”
“Gue sukanya teh Thailand!” ketus Vania yang tidak mau diganggu.
“Bukannya lo sukanya cappucino ya? Dulu waktu SMA inget nggak, gue sering beliin lo es cappucino? Udah berubah lagi ya kesukaannya?”
“Duhhh … lagian lo ngapain bawa minuman ke sini, lo tau kan itu dilarang?” Vania menunjuk ke salah satu dinding yang ada tertera selebaran peringatan. "Noh, kurang gede apa tulisannya?"
“Aman kok. Selama nggak ketahuan.” Oris nyengir. “Udah minum aja, nggak gua kasih pelet kok.”
“Bisa aja lo, ntar lo apa-apain lagi.”
“Eits ... kalo urusan memikat hati cewek, gua jagonya! Nggak usah pakai ilmu pelet, cewek-cewek juga kelepek-klepek sama gue.”
“Kepedean lo! Eh Ris.” Vania tiba-tiba ada ide yang sepertinya baru mengilhami.
“Hmmm, apa?"
“Gue boleh minta tolong nggak?”
“Apa sih Sayang?”
“Kampret lo, berani manggil gue sayang!!"
"Duhh, galak amat. Biasanya juga kita sayang-sayangan kan?" goda Oris mengingat masa lalu, ia tertawa renyah.
"Ish, mana ada? Dalam mimpi lo kali."
"Ah, lo sengaja melupa, nih."
"Duhh, udah ya. Gue gak mau bahas. Gini, gue lagi perlu bantuan lo, nih.”
“Apa?”
“Jadi, gue mau dijodohin sama orang tua gue.”
“HAHHH??!!! Dijodohin??!!” Oris langsung berdiri dari kursinya.
Teriakannya kemungkinan di dengar oleh orang-orang yang turut berada di sekitar sana.
“Oriss ... Syuutttt!!!!” Vania meletakkan telunjuk di depan bibirnya.
Akhirnya Oris duduk kembali.“Lo mau dijodohin? Sama siapa? Sakit hati gua dengernya Vania!”
“Makanya itu gue minta tolong sama lo, gue nggak mau dijodohin sama tu orang.”
“Jadi gue harus ngapain? Apa perlu gue hajar tuh orangnya? Hah!” Semangat Oris tampaknya sedang menggebu-gebu.
“Lo dateng ke tempat dia, lo temuin dia. Lo bilang gue nggak bakal mau sama dia, terus lo bilang apa kek, pokoknya bikin dia nggak jadi mau dijodohin sama gue. Lo bisa kan? Ya lo ngaku ngaku cowok gue juga gapapa.”
“Dari dulu keles gue ngakuin kalo gue emang cowok lo beneran.”
“Tapi ini cuma pura-pura Oris! Kita udah end. Dan lo tetep jadi sohib gue, Paham!”
Ponsel Vania berdering, dari Saira. Vania segera menjawabnya.
***
Selesai dengan telponnya, Vania segera membereskan laptopnya.
“Nyokap gue udah jemput gue di depan, lo jangan lupa ya yang tadi.” Vania mengingatkan.
“Oke! Eh, ini minuman lo.”
“Udah, lo minum aja.”
“Siapa yang nyuruh kamu bawa minuman ke sini?!!!” Seorang petugas perpustakaan yang kebetulan sedang patroli, menghampiri mereka.
“Ris, gue buru-buru ya. Lo hadepin sendiri ya, semangat!” Vania langsung kabur.
Sementara Oris nyengir kepada wanita tersebut. Kalo ia masih berdiam diri di sini, pasti wanita ini akan menghukumnya.
Oris segera permisi dan kabur dengan langkah yang sangat cepat. Ia bisa mendengar teriakan wanita tersebut memanggilnya.
...❀❀❀...
Vania dan Saira tiba di depan sebuah rumah. Rumahnya terlihat begitu besar dan megah. Vania melihat-lihat ke pemandangan halaman depan sekitar rumah tersebut.
“Rumahnya besar ya, Ma?” Sementara Saira yang sedang menyetir mobil untuk parkir mengangguk mengiyakan.
“Salah satu pelanggan mama?” tanya Vania.
“Iya, ini rumah tante Ningsih.”
“Apa???” Vania ingat sesuatu.
“Tunggu, tunggu … Mama bilang kita cuma mengantarkan kue pesanan orang kan, Ma? Kok jadi ke rumah tante Ningsih, Mama mau ngenalin aku ke anaknya ya?!” selidik Vania, tatapannya nyaris tidak berkedip.
Saira keluar dari dalam mobil. “Ya yang pesan kan tante Ningsih buat dia kirimkan lagi ke koleganya.”
“Aku di sini aja, males banget harus ketemu sama anaknya!”
“Ya kamu bantu angkat dong kue-kuenya, anaknya tante Ningsih jam segini juga lagi nggak ada di rumah.”
“Saira,” panggil Ningsih yang keluar dari pintu utama rumahnya. “Biar aja nanti pak Sardi yang membawanya ke dalam,” kata Ningsih sambil mengintruksikan security rumahnya untuk mengangkat kotak kue-kue tersebut.
“Masuk yuk!” ajak Ningsih. Saira menarik paksa Vania untuk ikut masuk.
“Salim sana sama tante Ningsih," titah Saira.
Vania segera mencium punggung tangan wanita yang digadang-gadang akan jadi mama mertuanya itu.
“Halo Vania, udah makin dewasa aja ya, cantik lagi.”
“Iya, Tante.” Vania agak tersipu mendapat pujian darinya.
Mereka pun masuk ke dalam rumah. Saira dan Vania segera dipersilahkan duduk di sofa ruang tamu. Mereka disambut dengan hangat dan dilayani dengan baik.
Beberapa jenis makanan ringan dan gelas minuman tersaji untuk mereka, tampaknya Ningsih tidak akan membiarkan keduanya cepat pulang begitu saja.
“Nggak usah repot-repot, Mbak. Bikin minum segala.”
“Nggak apa-apa, aku yang makasih loh sudah di antarkan pesenanku.”
“Eh, ada tamu.” Haris tiba-tiba datang menghampiri mereka dan duduk di samping istrinya.
“Eh, Mas Haris,” sapa Saira.
“Wah, Vania baru ikut main ke sini ya?” tanya Haris. Vania mengangguk tersipu.
“Iya, Mas. Biar tau. Vania kamu masih inget kan sama om Haris dan tante Ningsih?”
“Mmm ... iya, nggak terlalu sih sebenarnya.” Vania menjawab apa adanya, tampak polos tanpa dosa.
“Nggak papa. Ya wajar, kan jarang ketemu," kata Haris. “Oh ya, Suherman masih tugas di kampus yang dulu kan, Saira?”
“Iya, Mas. Masih.”
“Loh Vania kuliah di sana juga?”
“Enggak. Vania masuk UB, Mas.”
“Wah hebat dong.”
Sembari mendengarkan Saira berbincang dengan orang tua Alfin, Vania mengedarkan pandangan ke beberapa arah.
Matanya membulat ketika melihat salah satu foto keluarga Haris, yang terpajang di ruang tamu berukuran cukup besar.
Terlihat di dalam foto tersebut ada foto Haris dan Ningsih, serta kedua orang putranya. Ada potret diri Alfin.
Vania memutar memorinya mengingat kejadian-kejadian tempo hari saat dirinya bertemu dengan cowok itu.
Mampus gue! gumam Vania dalam hati sambil mengernyitkan dahinya.
Haris ternyata menyadari pandangan tegang Vania. “Nah Vania, itu putra Om. Alfin, dan itu Randi, adiknya masih kelas 1 SMP.”
“Hah??! Yang itu beneran anak Om?”
“Iya.”
“Ohhh.” Vania setengah tak percaya.
“Nah, itu Alfin yang mau kami kenalkan sama Vania,” lanjut Haris membuat jantung Vania seperti tersambar petir.
Pikiran Vania langsung kacau jadinya, ia benar-benar tak bisa membayangkan jika nanti dipertemukan lagi dengan cowok itu.
...✿✿✿...
Bermodalkan informasi yang didapatkannya dari Vania, Oris sekarang berhasil menemukan keberadaan Alfin. Ia saat ini tepat berada di depan gedung kantor Alfin.
Oris memantau keadaan sebentar dari balik setirnya. Ia mengambil ponselnya dan menelpon Vania.
Sementara Vania masih dirumah orang tua Alfin. Ponselnya berdering. Ia segera permisi untuk mengangkat telepon.
“Vania, gue udah di TKP nih, gue nggak perlu main fisik kan?" kata Oris di seberang telepon.
“Oriss … mending nggak usah deh! Lo batalin aja!”
“Loh nggak bisa gitu dong, ini gua udah ketemu kantornya.”
Terlihat beberapa orang berpakaian rapi keluar dari pintu utama gedung tersebut. Oris merasa harus segera kesana.
“Oke Vania. Gua cabut dulu ya, gua marah-marahin tu om om!”
“Halo? Oris??” Telponnya sudah dimatikan. Vania semakin berada dalam kegusaran yang nyata.
***
“Whats up beeee!!!” Oris datang tiba-tiba mengagetkan Prima yang kebetulan tengah sendiri di depan pintu.
"Iya?" Pria itu tampak terheran.
“Gue mau ketemu sama yang namanya pak Alfin Setiawan!!”
Prima memperhatikan ke arah anak muda yang berpenampilan gaul nan modis tersebut, ia sudah bisa menerka cowok ini masih berumur kisaran belasan tahun. Perbedaan usia mereka kemungkinan hampir satu dekade.
“Ada apa ya mau ketemu sama bos saya? Pak Alfin nya nggak ada!”
“Jangan bohong lo!”
“Kamu ada keperluan apa? Sudah buat janji?”
“Pokoknya gue mau ketemu ama dia! Nggak usah buat buat janji segala, macam presiden aja! Ini masalah harga diri laki-laki.”
Omongan Oris nyaris terdengar menggelitik telinga Prima.
“Pak Alfin nya nggak bisa ditemui, maaf ya, Dek.”
Oris terperangah mendengar sebutan itu. "Dek, Dek! Emangnya gue adek lo apa? Gue tau muka gue emang imut. Tapi gue bukan anak-anak ya!"
Prima menahan tawanya. Ia benar-benar tak mengerti bisa bertemu dengan pemuda tengil ini.
“Pokoknya gue mau ketemu pak Alfin!” Oris memaksa ingin masuk tapi di tahan oleh Prima.
“Satpam!!!” teriak Prima.
“Siap, Pak!!” Seorang pria gagah berseragam segera menghampiri.
“Orang ini cukup mengganggu! Jangan biarkan dia masuk!”
“Baik, Pak. Ayo!” Satpam tersebut menarik Oris mengusirnya.
“Ehh ... nggak bisa! Lepasin!” Oris berontak.
“Ada apa ini?" Alfin tiba-tiba keluar. "Pak, lepasin dia," titahnya. Pria yang menahan Oris segera melepaskan.
"Gue mau ketemu sama pak Alfin Setiawan, pemimpin perusahaan ini! Bos lo, mana orangnya?!” kata Oris.
“Pak, kita harus berangkat sekarang,” ajak Prima.
“Sebentar! Ada perlu apa sama saya, ada apa ya?” tanya Alfin.
“Gue udah bilang, mau ketemu pak Alfin, bukan sama lo! Pakek nanya lagi.”
“Saya orang yang kamu cari!”
Oris terperangah, matanya terbelalak heran tak percaya. “Lo Alfin?”
Alfin mengiyakan.
“Perasaan Vania bilang dia orang tua?” suara Oris terdengar samar-samar di telinga Alfin.
Nyali Oris mulai menciut jadinya saat berhadapan dengan Alfin, ia memperhatikan detail ke arahnya. Menyusun strategi penggunaan kata-kata yang menurutnya akan mengundurkan langkah Alfin untuk perjodohan itu.
“Ganteng juga! Eh, lo kan yang mau dijodohin sama Vania? Nggak usah mimpi deh lo!"
Oris terheran melihat Alfin tidak ada ekspresi apapun selain melihatnya datar.
“Gue ingetin lo ya! Vania nggak bakal mau sama lo! Lo bukan tipe dia. Vania juga udah punya cowok, gue cowoknya. Jadi kalo lo nggak mau berhadapan sama gue, lo jauhin Vania. Ngerti lo?! Atau kita selesaikan secara laki-laki!” tantang Oris.
Prima merasa geli memperhatikan kelakuan orang yang tak dikenalnya ini. sementara Alfin hanya memasang wajah biasa saja tanpa ada reaksi seperti yang diharapkan oleh Oris.
“Kok lo diam aja?” Oris membingung sendiri. "Lo gak denger gue ngomong apa?"
“Udah? Itu aja?” tanya Alfin. Oris mengiyakan.
“Oke Prima, kita berangkat sekarang,” ajak Alfin kepada asistennya itu tanpa mempedulikan Oris yang memang tidak dikenalnya.
Oris masih melongo melihat Alfin dan Prima segera masuk ke mobil. Ia bingung melihat tingkah Alfin yang tidak menanggapinya.
“Keren sih iya. Tapi jauhan juga kerenan gue kemana-mana. Cakep juga sih, tapi bukan tipe Vania lah.”
Oris menyeletuk mengomentari tentang Alfin, sambil melihat mobil itu sudah pergi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
nuning 29
ambil jurusan apa? bukan arsitek. tapi, arsitektur.
arsitek itu profesi. sedangkan, ilmunya arsitektur.
ambil jurusan apa? dokter. anehkan?
yang benar ... kedokteran.
2023-08-22
1
💐aurora_rachmazya💐
tambeng, tambeng..dasar si oris 🤣🤣
2021-11-08
1
ceremonya
gak ada gambar nya😐
2020-08-04
3