Chapter 19 : Abyan

Felisa mengerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya di dalam ruangannya. Tangannya bererak, dan terdengar lirih suaranya memanggil Rafif.

“Mas Rafif ....” Panggilnya lirih.

“Fe, kamu sudah sadar?” Tanya Arina yang dari tadi menemani Felisa, karena Rafif belum kembali ke ruangan Felisa dari dia pamit untuk ke Masjid, mau Salat Isya berjamaah.

“Rin, bagaimana anakku?” tanya Felisa.

“Dia sehat, tapi masih lemah, karena lahir sebelum waktunya, jadi harus di ruangan khusus, Fe,” jelas Arina.

“Aku ingin melihatnya, Fe. Apa boleh di bawa ke sini?” tanya Felisa.

“Nanti kalau Mas Rafif pulang dari masjid, saya akan bicarakan pada Dokter yang menangani bayi kamu ya, Fe? Sekarang kamu istirahat, kamu baru lepas dari masa kritis kamu, aku penggilkan Dokter Ramlan dulu, ya?” jelas Arina.

“Iya, Rin,” jawabnya.

Arina bergegas menemui suster jaga, dan meminta dipanggilkan dokter Ramlan, karena Felisa sudah siuman. Arina juga menghubungi Rafif untuk segera kembali ke ruangan Felisa, karena sudah satu jam Rafif belum kembali, padahal sudah selepas Isya dari tadi.

Arina kembali masuk menemui Felisa. Felisa meliriknya, lalu tersenyum pada Arina. “Terima kasih, Rin, kamu masih di sini, kamu sudah menyelamatkan anakku, aku titip dia ya, Rin? Titip Mas Rafif juga, jaga mereka, cintai mereka,” ucap Felisa.

“Aku akan menyayangi anak kamu, Fe. Semua ini atas kehendak Allah, dan karena doa dari orang-orang yang sangat menyayangimu, terutama suami dan orang tuamu,” jelas Arina.

“Rin, aku titip Mas Rafif, ya? Titip anakku juga. Kamu tidak boleh pergi dari sisi mereka,” ucap Felisa.

“Jangan berkata seperti itu, kita akan sama-sama menjaga anak kamu, Fe. Anak kamu adalah anakku juga,” ucap Arina.

“Dan, suamiku adalah suamimu, Rin,” imbuh Felisa.

“Itu Dokter Ramlan sudah datang, diperiksa dulu ya, Fe? Sambil aku hubungi Mas Rafif biar cepat kembali ke sini, katanya dia ke Masjid, tapi sudah dari tadi,” ucap Arina.

Arina keluar, dia membuka ponselnya. Belum terlihat Rafif membaca pesannya. Dia lalu menelefon Rafif, untuk segera kembali ke rumah sakit.

Rafif bergegas kembali ke rumah sakit saat mendengar kabar dari Arina bahwa Felisa sudah sadarkan diri. Dia dari tadi di Masjid. Selesai Salat Isya, dia berdoa untuk Felisa, hingga tidak terasa ia memejamkan mata, tapi mulutnya tetap berdzikir menyebut Asma Allah. Rafif bersyukur Felisa sudah sadarkan diri, dan sekarang dia langsung berlari, kembali ke rumah sakit untuk melihat keadaan Felisa.

“Rin!” panggil Rafif.

“Mas, ke mana saja? Aku dari tadi menghubungi mas lama sekali angkatnya?” tanya Arina.

“Maaf aku di Masjid. Felisa bagaimana?” tanya Rafif.

“Baru saja diperiksa Dokter Ramlan, dan mas harus segera ke ruangan Dokter Ramlan, beliau mau bicara sesuatu dengan mas,” jawab Arina.

“Sekarang?” tanya Rafif.

“Iya lebih baiknya mas ke sana sekarang,” jawab Arina.

Rafif langsung ke ruangan Dokter Ramlan, sedang Arina masih duduk terpaku di depan ruangan Felisa. Dia tidak percaya kalau sakit yang Felisa derita sangat ganas, dan sudah menjalar ke seluruh pembuluh darah di dalam tubuhnya. Bahkan sudah menjalar ke paru-parunya. Karena terlalu lama tidak ditangani, keadaan Felisa menjadi semakin parah.

“Ya Allah ... berikan yang terbaik untuk sahabatku,” gumam Arina dalam hati.

Rafif berjalan dengan gontai dari ruangan Dokter Ramlan. Dia masih belum percaya dengan apa yang dibicarakan Dokter Ramlan tadi, bahwa kanker yang diderita Felisa sudah menjalar ke paru-paru, dan itu sudah ganas.

“Rin ....” Rafif langsung duduk di samping Arina, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Arina, dia menangis setelah mendengar apa yang Dokter Ramlan katakan. “Felisa, Rin ....” ucapnya dengan suara serak.

“Yang sabar ya, Mas? Aku juga tidak tahu kalau akan begini. Aku kira setelah rahim Felisa diangkat, Felisa akan baik-baik saja, tapi Dokter Ramlan menyampaikan hal yang mengejutkan itu.” Ucap Arina dengan sesegukkan, menangis membayangkan Felisa. “Aku tidak tahu harus bagaimana, Mas. Jalan satu-satunya adalah melakukan kemoterapy, tapi keadaan Felisa tidak memungkinkan.”

“Kenapa seperti ini, Rin? Anakku selamat, sehat, meski dia lemah karena lahir belum waktunya. Tapi, Felisa seperti ini. Kalau aku boleh memilih, sejak awal Felisa hamil, dan keadaannya seperti itu, aku memilih Felisa tidak hamil saja,” ucap Rafif.

“Jangan seperti itu, itu sama saja mas menyalahkan takdir,” tutur Arina. “Ayo temui Felisa, dia dari tadi tanya kamu, Mas,” ajak Arina.

Rafif masuk ke dalam. Di dalam ada suster yang Arina suruh untuk menemani Felisa barangkali Felisa butuh sesuatu. Arina mengekori Rafif, dan meminta suster untuk keluar dulu, karena Rafif dan dirinya sudah datang.

“Mas ....” Panggil Felisa lirih dengan tersenyum pada Rafif.

“Hai, bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya Rafif.

“Seperti yang mas lihat,” jawabnya. “Mas, aku ingin melihat bayi kita,” pinta Felisa.

“Dia masih sangat lemah, Sayang? Kamu juga belum bisa keluar?” tutur Rafif.

“Tadi aku sudah bilang dengan Dokter yang menangani bayinya Felisa, katanya bisa dibawa ke sini, nanti aku coba tanya lagi, katanya mau dipersiapkan untuk dibawa ke sini,” jelas Arina.

“Yakin begitu? Apa tidak membahayakan keadaan anakku, Rin?” tanya Felisa.

“Tidak, nanti kan dijaga dokter dan perawat, Fe,” jawab Arina.

Arina mengusahakan yang terbaik untuk Felisa. Apa pun yang Felisa inginkan ia mencoba menurutinya, karena ia takut akan terjadi apa-apa dengan Felisa.

“Semoga Felisa bisa semangat setelah melihat anaknya, dan keadaannya cepat pulih, biar bisa melakukan terapi selanjutnya setelah ini,” batin Arina.

Suster mendorong inkubator bayi dan membawanya masuk ke dalam ruangan Felisa. Felisa hanya bisa berbaring melihat putranya yang masih sangat kecil berada di dalam inkubator.

“Masya Allah ... anak sholehnya ummik ... selamat datang di dunia ini, Nak. Kamu harus kuat ya, Nak? Ada Ummik Arina, abah, dan juga eyang-eyangmu yang akan menjaga kamu kelak,” ucap Felisa.

“Tentunya ada ummikmu juga yang sangat kuat sepertimu. Lihatlah, ummik kuat berjuang untuk kamu, Sayang. Jadi kamu juga harus kuat seperti ummik, ya?” ucap Arina.

“Iya, kamu harus kuat, seperti ummik,” ulang Rafif.

“Mas sudah siap nama untuk anak kita?” tanya Felisa.

“Sudah, kan mas sudah pernah bilang sama kamu, Fe?” jawab Rafif.

“Jadi namanya Abyan?” tanya Felisa.

“Kamu setuju?”

“Sangat setuju, nama yang sangat bagus,” jawab Felisa.

Abyan, nama yang sudah disiapkan Rafif saat nanti mendapatkan anak laki-laki. Tahun, demi tahun Rafif dan Felisa menanti kehadiran buah hati, dan sekarang sudah hadir di tengah-tengah mereka, namun tidak menyangka kalau keadaan Felisa akan seperti ini, dan Abyan juga masih sangat lemah, karena lahir belum waktunya.

“Abyan anak ummik yang sholeh, Abyan harus kuat ya, Nak? Lihat banyak sekali yang sayang sama Abyan,” ucap Felisa.

“Ummik juga harus kuat, demi Abyan ya, Mik?” ucap Rafif.

“Iya, Sayang,” jawab Felisa.

Felisa ingin sekali memangku bayinya, juga menciumnya, tapi Dokter belum memperbolehkan Abyan digendong, kecuali oleh tenaga medis yang menanganinya. Rafif pun belum pernah sedikit pun menggendong Abyan, bahkan mengadzaninya hanya lewat lubang kecil yang ada di inkubatornya.

“Makasih ya, Rin? Sudah mengusahakan aku melihat Abyan, meski aku tidak bisa menyentuhnya, tidak bisa menciumnya, dan tidak bisa menggendongnya karena dia masih sangat lemah sekali,” ucap Felisa.

“Iya, Fe. Akan aku usahakan sebisaku, apa yang kamu mau,” ucap Arina.

“Satu lagi yang aku mau, Rin. Jangan pergi ya, Rin? Tetap di sisi Mas Rafif, dan dampingi Abyan sampai dewasa,” pinta Felisa.

“Insya Allah ya, Fe? Ya sudah kamu istirahat. Abyan harus dibawa ke ruangannya lagi,” jawab Arina.

Arina dan Rafif masih menemani Felisa setelah Abyan dibawa ke ruang bayi lagi. Felisa memejamkan matanya. Dia kembali tertidur karena obat yang dokter berikan tadi.

Arina duduk di sebelah Rafif. Rafif menggenggam tangan Arina saat melihat Felisa yang terbaring lemah di atas pembaringan.

“Rin, apa Felisa bisa sembuh?” tanya Rafif.

“Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Felisa, tapi kembali lagi pada Allah, Mas,” jawab Rafif.

“Aku takut, Rin. Takut sekali dia pergi, aku sangat mencintainya,” ucap Rafif.

“Berdoa ya, Mas? Minta yang terbaik untuk Felisa,” tutur Arina.

Rafif menyandarkan kepalanya di bahu Arina. Mulutnya tak lepas dari Dzikir. Ia terus melantunkan Dzikir, dan berdoa untuk  Felisa, supaya diberikan keajaiban untuk bisa sembuh dari sakitnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!