Chapter 15 : Memiliki Kesamaan

Mereka duduk bersama, namun saling berdiam diri. Bingung mau bicara apa, dan mulai dari mana topik pembicaraannya. Dulu memang mereka saling mencintai, tapi sekarang sudah berbeda. Cintanya Rafif pada Arina perlahan memudar karena ia jatuh hati pada Felisa yang sudah menjadi istrinya.

“Rin.”

“Mas.”

Ucap mereka bersamaan, lalu mereka saling menatap dan mengulas senyuman.

“Kenapa, Rin?” tanya Rafif.

“Gak apa-apa sih,” jawab Arina.

Rafif meraih tanagan Arina, lalu menaruhnya di atas pangkuannya. “Rin, maafkan aku, ya? Aku sudah membawa kamu masuk ke dalam kehidupanku dengan Felisa,” ucap Rafif.

“Iya, Mas. Aku lakukan semua itu untuk Felisa. Kalau bukan untuknya, aku tidak akan mau, Mas,” jawab Arina.

“Maaf, aku juga belum bisa menyentuhmu, Rin. Beri aku waktu ya, Rin? Jujur aku memang dulu sangat mencintaimu, bahkan melupakanmu sangat sulit, hingga aku mengabaikan pernikahanku dengan Felisa, aku tidak menyentuhnya sampai beberapa bulan, hanya karena aku belum bisa melupakan kamu, Rin. Aku malah ingin mencarimu saat itu, dan aku ingin bilang pada ummik dan abah untuk menikahimu menjadi istri kedua, tapi aku sadar, tidak ada yang indah dalam berpoligami, dan tentunya akan menyakitkan bagi kita yang menjalaninya, Rin. Tapi ternyata, Tuhan malah menyatukan aku denganmu lewat Felisa.”

“Mas, aku tidak mempermasalahkan itu. Aku hanya ingin Felisa sembuh, Mas.” Ucap Arina dengan menggenggam tangan Rafif.

“Apa bisa, Rin?” tanya Rafif.

“Bisa Insya Allah, kalau Allah menghendaki, kita sebagai manusia bisa apa, Mas?” jawab Arina.

“Iya juga Rin. Aku takut, Rin. Aku sama sekali belum siap kehilangan Felisa.”

“Tidak ada seorang pun yang ingin kehilangan orang yang sangat kita cinta, Mas. Tapi kalau Allah sudah mentakdirkan, sudah menggariskan, kita bisa apa? Seperti dulu, aku sama sekali tidak siap kehilangan kamu, Mas. Tapi Tuhan sudah menentukan semuanya, aku bisa apa selain hanya bisa pasrah dengan keadaan?” ucap Arina.

“Aku minta maaf ya, Rin? Aku tidak bisa tegas sama ummik dan abah saat itu, aku tidak jujur dengan mereka kalau aku sudah memiliki kekasih saat itu. Yaitu kamu,” ucap Rafif.

“Sudah, tidak apa-apa. Aku juga tidak mau membuat seorang anak laki-laki yang menentang dan durhaka pada kedua orang tuanya, hanya karena mempertahankan aku,” jelas Arina.

Rafif menyimpulkan senyumannya. Ia sangat tahu Arina sampai saat ini pun masih sangat mencintai dirinya. Jika sudah tidak mencintainya, untuk apa masih sendiri di umur yang sudah tidak muda lagi? Dari sorot mata Arina, Rafif juga merasakan cinta yang tulus masih mengalir untuk dirinya, sampai detik ini.

“Terima kasih ya, Rin? Kamu sudah mengikhlaskan aku pergi demi orang tuaku, demi baktiku pada orang tuaku. Sekarang, aku janji, aku akan membahagiakan kamu, dan juga Felisa. Tapi, aku minta maaf, mungkin aku belum bisa mengembalikan rasaku ke kamu yang dulu, Rin. Yang bisa aku berikan, aku hanya ingin menjadi suami yang bertanggung jawab lahir dan batin untuk kedua istriku,” tutur Rafif.

“Aku tidak bisa memaksa kamu untuk mencintaiku lagi, Mas. Terima kasih juga karena kamu sudah mau mencoba menjadi suami yang akan bertanggung jawab, dan membahagiakan kedua istrimu dengan adil. Tapi, adil ada porsinya sendiri ya, Mas? Begitu juga cinta,” ucap Arina.

“Kamu dan Felisa memang memiliki kesamaan yang hampir mirip, ya?” ujar Rafif.

“Maksud, Mas?”

“Ya Felisa juga pernah bilang, mencintai seseorang itu ada porsinya masing-masing, bagitu juga dengan adil pada kedua istrinya,” jawab Rafif.

“Aku dan Felisa berteman sejak di Tsanawiyah, Mas. Ya belum akrab, pas akrab saat mau lulus Tsanawiyah, lanjut ke MA yang sama kita makin akrab, sampai lulus dari MA aku dan Fe itu akrab. Pisah karena aku harus kuliah di Jogja, dia kuliah di sini, dan sambil urus pondoknya abah juga katanya, jadi kita gak pernah ketemu. Lama sekali tidak ketemu. Bahkan dia menikah saja aku tidak tahu, kalau tahu, pastinya aku tidak akan kuat menyaksikan dia menikah, kalau mempelai laki-lakinya adalah kamu, aku tidak akan sanggup, Mas,” jelas Arina dengan mata berkaca-kaca. Membayangkan jika seandainya dulu tahu kekasihnya akan menikahi sahabat baiknya.

“Lalu kamu tahu Fe menikah dari mana?” tanya Rafif.

“Dari teman Tsanawiyah dulu. Katanya Fe nikah dengan anak dari Kyai, punya pondok pesantren juga. Ya aku hanya bilang alhamdulillah saja, karena saat itu aku masih sedikit down, karena aku kehilangan separuh jiwaku, yaitu kamu, Mas,” jelas Arina.

Rafif meraih tubuh Arina. Dia memeluknya. Padahal Rafif masih sedikit canggung untuk memeluk Arina. Akan tetapi, dia sadar, Arina itu istrinya. Kemarin dia sudah mengikat Arina dalam sebuah pernikahan, tidak mungkin dia akan mendiami Arina terus, apalagi Felisa selalu berharap agar dirinya bisa menerima Arina dengan baik.

“Maafkan aku ya, Rin? Kalau bukan demi ummik dan abah, aku tidak akan pernah melupakanmu, Rin. Maafkan aku sudah meninggalkanmu, dan membuat kamu down saat itu. Aku tahu kamu sampai sakit saat itu, kamu sampai mau menyerah saat itu, sampai kamu berniat tidak akan menyelesaikan kedokteranmu,” ucap Rafif.

“Mas tahu semua itu dari mana?” tanya Arina.

“Dari Ahmad, Rin. Dia memberitahukan mas semuanya, itu yang membuat mas ingin menyusul kamu ke sana, ingin membawa kamu ke depan ummik dan abah, untuk mas nikahi. Tapi, mas menghargai perasaan ummik, perasaan ummiknya Felisa, dan juga perasaan Felisa. Tidak hanya Felisa yang sakit hati jika aku sampai menyusulmu, lalu menikahimu menjadi istri kedua saat itu. Semuanya akan merasakan sakit hati, Rin. Tapi, sekarang Felisa malah memintaku untuk menikahimu, padahal dia sudah berencana ingin nyari kamu, karena dia mendengar kabar kamu dari teman lainnya, kalau kamu belum menikah. Dia ingin cari kamu, hanya untuk memintamu menjadi istriku, Rin, Ternyata Allah mempertemukan dengan jalan seperti ini,” jelas Rafif.

“Ternyata Allah mendengar doa Felisa, dia bertemu aku, dan aku juga tidak pernah menyangka, akan bertemu Felisa dalam keadaan seperti ini. Sakit sekali rasanya melihat Felisa seperti saat ini. Dia itu perempuan yang ceria, semangat, pantang menyerah, tapi sekarang dia menjadi psimis sekali, aku tidak tega melihat dia sakit terus, Mas. Kalau aku bisa, dan tahu obatnya, aku akan sembuhkan dia, aku akan buat dia seperti dulu, Felisa yang selalu semangat, Felisa yang cantik dan sangat manis, wajahnya merona ayu, senyumnya sangat manis dan meneduhkan sekali,” ucap Arina membayangkan Felisa yang dulu sebelum sakit.

Arina benar-benar tulus menyayangi Felisa. Dia ingin Felisa sembuh, meski nantinya jika sembuh dirinya akan pergi, dan mungkin akan diceraikan Rafif, karena Felisa sembuh dari sakitnya. Arina tidak memedulikan semua itu, yang terpenting adalah Felisa sembuh, bisa kembali seperti dulu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!