Rafif masih memeluk Arina. Pelukan yang nyaman untuk Arina. Rafif mengusap kepala Arina, lalu mencium keningnya. Dia mengingat kembali ucapan Felisa, untuk bisa menerima Arina sepenuhnya sebagai istrinya. Felisa juga mau dirinya melakukan kewajibannya pada Arina, tapi bagaimana bisa Rafif melakukannya, sedang di kamar lain Felisa sedang kesakitan menahan sakitnya sendiri, lalu dirinya malah asyik di kamar dengan istri keduanya.
Rafif juga tidak mau menyakiti Arina jika menyentuhnya tanpa rasa cinta sedikit pun. Tidak mungkin ia menanamkan benih di rahim Arina tanpa adanya rasa cinta. Jadi Rafif tetap ingin menunggu kembali mencintai Arina lagi, baru menyentuhnya, menunaikan kewajibannya sebagai suami. Sama seperti dengan Felisa dulu, pun Rafif seperti iti
“Rin, aku minta maaf ya? Kalau aku belum bisa menunaikan kewajibanku terhadapmu. Bukan, bukan karena aku tidak mau menyentuhmu, melakukan hal seperti itu bukankah harus dengan pikiran yang tenang? Aku sedang tidak tenang, karena Felisa sakit, Rin. Aku juga belum bisa mencintai kamu kembali. Apa kamu mau disentuh suamimu tapi suamimu belum cinta? Aku tidak setega itu, Rin. Aku ini sayang sama kamu, itu kenapa aku tidak ingin menyentuhmu tanpa cinta, karena itu akan menyiksa hatimu sendiri. Kamu bisa sabar, Rin?” ucap Rafif.
“Mas, kamu tidak pernah melakukannya pun aku tidak masalah. Terima kasih mas sudah menyayangiku. Adanya aku di sini karena permintaan Felisa, Mas. Kalau bukan karena Felisa, aku tidak akan melakukannya. Aku sangat menyayangi Felisa, lama sekali aku tidak tahu kabarnya, sekali tahu dia seperti ini, sakit sekali hatiku melihat dia sedang sakit seperti ini, Mas,” ucap Felisa.
“Terima kasih juga kamu sudah menyayangi Felisa ya, Rin? Aku mohon kesediaan hatimu untuk sabar menunggu aku mampu menjalankan kewajibanku padamu. Aku hanya mau menyentuh istriku kalau aku sudah mencintainya, karena kalau tidak, itu sama saja aku menyakitinya, seperti saat dulu juga, aku sama sekali tidak menyentuh Felisa dari awal menikah sampai beberapa bulan baru aku bisa menerima dia di hatiku,” ucap Rafif.
“Aku akan sabar nunggu mas mau menyentuhku, bila sampai akhir tidak bisa menyentuhku pun aku tak mengapa, Mas. Aku tahu, mas yang sekarang bukan mas yang dulu. Mungkin dulu mas sangat mencintaiku, tapi sekarang aku yakin rasa itu tidak ada lagi, bahkan untuk mengembalikan rasa cinta itu teramat sulit bagi mas, karena mas sudah sangat mencintai Felisa,” ungkap Arina.
Meski dengan hati yang teriris Arina mengatakan semua itu. Karena memang begitu adanya, Rafif sudah tidak bisa mencintainya. Berbeda dengan dirinya, sampai detik ini pun Arina masih sangat mencintai Rafif, hingga dia masih sendiri sampai sekarang. Dia tidak mau menikah, apalagi dengan laki-laki yang tidak ia cintai.
Kembali bertemu Rafif, melihat Rafif baik-baik saja dan bahagia, Arina sudah sangat bahagia. Biar saja ia simpan cintanya untuk Rafif di hatinya yang paling dalam. Biar Rafif tidak mencintainya, yang terpenting dirinya bisa melihat Raifi dan Felisa bahagia.
“Aku sangat berterima kasih, kamu sudah mau mengerti aku, Rin. Aku sangat kagum dengan kebesaran dan kesabaran hatimu,” ucap Rafif.
“Iya mas, sama-sama. Kita fokus pada kesembuhan Fe ya mas? Jika Fe tanya soal kamu sudah menyentuhku bilang saja kamu sudah menyentuhku, ya meski Felisa sakit hati, setidaknya dia tidak akan tanya terus dengan kamu, Mas,” ucap Arina.
“Tidak bisa gitu dong Rin? Aku ini orang yang tidak bisa bohong, Rin. Kamu pasti tahu lah aku ini bagaimana, karena kamu juga pernah lama dekat denganku. Apa dulu aku pernah membohongimu?”
“Tidak, Mas. Sama sekali mas tidak pernah bohong denganku,” jawab Arina.
“Ya berarti aku akan jujur sama Felisa, aku tidak bisa berbohong, apalagi dengan istriku. Sama kan seperti tadi? Aku juga tidak bohong sola perasaanku ke kamu? Aku sudah tidak bisa mencintaimu, tapi aku masih sangat menyayangimu, apalagi dengan kebesaran hatimu yang mau dan rela melakukan semuanya demi Felisa,” jelas Rafif.
Arina memeluk erat Rafif. Dia tidak canggung lagi melakukannya, karena Rafif sudah menganggapnya istri, dan menyayanginya, meski belum bisa mencintainya lagi. Lebih baik seperti itu, Rafif bicara apa adanya dengan dirinya, tidak ditutup-tutupi, dan Rafif tidak lagi bersikap dingin padanya.
“Terima kasih sudah menerimaku sebagai istrimu, sudah menganggap aku istrimu, dan sudah menyayangiku, Mas,” ucap Arina.
“Iya sama-sama,” jawab Rafif. “Kamu tidak tidur siang?” tanya Rafif.
“Aku ini tidak biasa tidur siang, Mas. Aku mau ikut seminar lewat zoom meeting jam dua,” jawab Arina. “Lagian sebentar lagi mau Dzuhur, Mas,” imbuhnya.
“Ya sudah aku tinggal, ya? Mau ke Ummik sebentar, titip Felisa, dia sedang tidur. Sebentar aku ke ummik, ya? Lagian kan dekat?” pamit Rafif.
“Iya, Mas. Hati-hati,” jawab Arina.
“Nanti Dzuhur aku pulang,” ucap Rafif.
“Iya, Mas,” jawab Arina.
Rafif mengambil sepeda kayuhnya, dia pergi ke rumah ummiknya. Memang dekat rumahnya dengan rumah ummiknya.
Arina keluar dari kamarnya, dia melihat simbok sudah menata makanan untuk makan siang nanti. Rumah juga sudah rapi sekali, karena asisten di rumah Felisa tidak hanya satu orang. Untuk juru masak hanya Mbok Ratmi, yang kata Rafif masakannya sudah cocok dengan lidahnya. Arina bertemu dengan asisten lainnya yang baru saja selesai membersihkan lantai.
“Bu, permisi kamarnya saya bersihkan dulu ya?” tanya asisten lain.
“Oh iya, Mbak,” jawab Arina dengan sopan.
“Aku kira di rumah ini hanya ada Mbok Ratmi saja? Ternyata ada orang lagi?” ucap Arina dalam hati.
Arina ke kamar Felisa. Dia melihat Felisa sedang tertidur pulas. Tubuhnya sekarang kurus kering, wajahnya terlihat pucat dan layu. Arina ingin sekali menangis melihat keadaan Felisa sekarang. Dia tidak tega melihatnya. Felisa yang dulu cantik, tubuhnya bagus, sekarang dia sangat kurus, hanya terlihat perutnya saja yang buncit, karena sedang mengandung.
Arina duduk di sofa yang berada di depan tempat tidur Felisa, ia pandangi terus wajah Felisa yang pucat pasi. Rasanya jika ia bisa sembuhkan Felisa, ia akan menyembuhkannya sekarang juga, ia akan angkat rasa sakitnya yang mendera tubuh Felisa saat ini. Akan tetapi dia bisa apa? Selain berusaha membuatnya bahagia dengan menuruti apa yang dia mau, juga memberikan obat pereda rasa sakit, dan memberikan perhatian yang lebih pada Felisa.
“Fe, kamu ini terlalu keras kepala, harusnya kamu ikut saran dokter. Kamu kenapa malah menyiksa dirimu, Fe? Kuat ya, Fe? Demi anakmu, dan Mas Rafif,” batin Arina, dengan menatap Felisa sendu. Ia menemani Felisa sambil membaca buku yang ia bawa dari kamarnya sambil menunggu Rafif pulang dari rumah orang tuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments