RINTIK HUJAN
Di kediaman Andreas. Mansion dengan gaya eropa, terlihat di meja makan keluarga yang beranggotakan tiga orang, makan dengan diam. Hanya dentingan sendok saja yang terdengar.
Kham
“Darren, jika sudah selesai. Temui ayah diruang kerja.” Laki-laki dengan gelar kepala keluarga itu. Meninggalkan meja makan, berlalu pergi.
Darren hanya diam, sikap cuek dan dingin ini. tidak hanya diluar, dalam keluarganya Darren tetaplah sosok cuek dan dingin.
“Sudah selesai makannya?” Tanya perempuan cantik. Duduk di kursi seberangnya, dengan senyum cantiknya.
Darren mengangguk. “Hm.” Jawabnya.
Wanita itu tersenyum lagi, sudah sangat biasa menghadapi sikap putra satu-satunya ini.
“Yaudah, temui ayah mu. Bunda mau bereskan ini dulu.” Katanya.
Darren mengangguk lagi, meninggalkan meja makan. Berjalan pelan keruang kerja ayahnya yang bereda dekat ruang kelurga.
Tok
Tok
Tok
“Masuklah nak.”
Clekkk
Darren bisa melihat ayahnya yang duduk disofa single dengan buku tebal ditangannya.
“Duduklah.” Kata ayahnya. Darren duduk di sofa dekat ayahnya.
“Ada apa?” Tanya Darren. Menatap ayahnyanya yang juga menatap dirinya.
Aronald Andreas atau Aron. Ayah dari Darren tersenyum tipis menatap Darren. “Sudah ada calon?” Tanya pelan Aron.
Darren tentu tau maksud ayahnya, jika sudah dipanggil untuk pulang. Hanya ada dua, membahas calon menantu mereka atau pekerjaan.
“Tidak ada yang lain?” Tanya balik.
Aron tersenyum. “Nak. Berhenti terjebak di masa lalu mu, ini sudah lima tahun berlalu.” Ujar Aron. Sangat paham dengan putranya.
Darren menatap ayahnya. “Dia pasti kembali.” Hanya itu yang dikatakan Darren.
Aron menggeleng sekilas. “Ya terserah lah pada mu nak.” Ujar Aron. “Ayah sudah memilih calon untuk mu, besok malam kita akan makan malam bersama dengan keluarga calon mu.” Lanjutnya.
Darren menatap tajam ayahnya. “Tidak akan terjadi ayah.”
“Ayah tidak menerima penolakan!”
“Ayah! Darren bisa mencari, tidak usah dijodohkan seperti ini!”
“Kapan? Kau selalu mengatakan itu pada ayah dan ibumu, sampai sekarang pun kau belum memperkenalkannya pada kami.”
“Ayah!”
“Ayah tidak menerima penolakan nak, jika kau berani menolak.”
Aron menjada kalimatnya.
“Ayah menarik semua fasilitas mu!”
Darren kalah.
“Datang besok malam kerumah, jangan terlambat.” Lanjut Aron. Senang karena menang dari putranya.
“Baiklah.” Jawab Darren. Jika sudah seperti ini dia biasa apa.
“Ingat umur kamu sudah tua, ayah dan bunda pun sudah semakin tua. Kami juga ingin melihat anak satu-satunya memiliki keluarga, lalu memiliki anak. Dan kami bisa merasakan kakek dan nenek.” Jelas Aron. Walau dia sudah tua, parasnya tetap seperti masih muda.
Darren memutar mata jengah. “Terserah.”
“Ayah cuman mau bilang itu, sekarang keluarlah.” Ucap Aron. Menatap anaknya dengan senyum kemenangan.
Darren bangkit. “Hm.”
***
Darren berjalan keluar dari ruangan kerja ayahnya, dia tidak akan bermalam dirumahnya. Dia memiliki rumah sendiri, tinggal di apartement sejak kuliah. Bermalam dirumah yang besar ini hanya sesekali saja.
Saat dirinya melewati ruang tamu, dia melihat ibunya, terlihat memberi makan ikan yang ada di akuarium milik ayahnya. Ada ikan koi kecil berbagai warna.
“bunda.” Panggil Darren. Berjalan kearah bundanya.
Dia Reani Andreas. Ibu yang telah membesarkannya, sosok yang menjadi cinta pertamanya.
Reani atau suaminya sering memanggilnya dengan Rere. Menoleh untuk mencari sumber suara itu.
“Nak, sudah selesai dengan ayah?” Tanyanya.
Darren mengangguk. “Bunda tau?” Tanya Darren singkat. Menuntun Bundanya duduk disofa.
Reani tersenyum. “Maaf nak.” Merasa tidak enak dengan putranya.
“Tidal apa-apa bunda.”
“Bunda tau mana yang baik buat kamu, bunda kenal anak itu. Dia perempuan yang baik.” Jelas Reani. Dia sangat kenal dengan siapa calon menantunya, dia sendiri yang menyarankan kepada suaminya agar Darren dijodohkan dengan perempuan itu.
“Ya.”
Dalam hati Darren tidak berharap banyak, dia ingin menolak perjodohan konyol ini. dizaman moderen seperti ini masih berlaku mejodohkan anak? Darren tak habis fikir dengan kedua orang tuanya.
“Kau mau pulang?” Tanya Reani. Mengusap pelan tangan anaknya.
“Ya.”
“Bisa bunda meminta satu hal?”
“Tentu.”
“Terima perjodohan ini, cobalah keluar dari masa lalu mu nak. Kau tidak bisa terus-menerus terjebak, saatnya kau melihat kedepan. Bukan cuman dia yang ada didunia ini, banyak gadis lainnya. Walaupun sifat yang berbeda. Tapi kau tidak harus tetap menoleh kebelakang nak.”
Darren diam, kedua orang tuanya memang tau tentang masa lalunya. Dulu dia adalah anak yang penurut, anak laki-laki yang sangat dekat dengan keluarga. Masalah sekecil dan sebesar apapun dia aduhkan pada kedua orang tuanya.
Setelah perempuan itu datang kedalam hidupnya, semuanya berubah. Begitu juga saat perempuan itu pergi. Dirinya menjadi sosok tak tersentuh.
“Darren usahakan.” Jawab Darren. “Darren pulang dulu.” Lanjutnya.
Reani mengangguk. “Hati-hati dijalan, kabari Bunda jika sudah sampai.” Nasehat ibu memang nomor satu.
“Ya.”
Darren mencium punggung tangan ibunya, lalu bangkit berjalan keluar rumah yang megah ini. tujuannya pulang ke apartement miliknya.
***
Di kediaman keluarga Nelson.
“Umi, tolong panggilkan Zia.” Itu kepala kelurga. Abraham Nelson. Direktur perusahaan nelson.
Perempuan dengan hijab yang panjang itu mengangguk.
“Baik lah mas.” Jawabnya. Dia adalah Anggita Arin adalah istri dari Abraham Nelson.
Menaiki satu-persatu tangga, untuk sampai dilantai dua. Dimana letak kamar putrinya. Setelah sampai didepan pintu berwarna putih itu.
Tok
Tok
“Nak, umi masuk ya.” Izinnya. Sebelum membuka pintu, dia dapat mendengar sautan dari dalam kamar ini.
Clekkk
Saat pintu sudah terbuka setengah. Anggit dapat melihat gadis yang masih mengenakan mukenah sedang belajar di meja belajarnya.
“Assalamu’alaikum nak.” Ucapnya. Berjalan mengdekati putrinya.
“Wa’alaikum salaam umi.” Jawabnya. Tersenyum saat melihat uminya. Dia Zia.
Anggita mengusap pucuk kepala Zia. “Masih belajar sayang?” Tanya Anggit.
Zia menggeleng. “Sudah selesai umi, hanya mengulang pelajar untuk besok.” Jawab Zia. “Kenapa umi?” Lanjutnya.
“Di panggil Abi kebawah.” Jawab Anggita.
Zia membereskan bukunya. Lalu, menganti mukenahnya dengan hijab yang seperti uminya.
“Ayok umi.”
Setelah itu mereka keluar dari dalam kamar, menuruni tangga. Untuk sampai kelantai satu. Setelah sampai. Zia dapat melihat abinya duduk diruang keluarga, ditemani secangkir kopi buatan uminya.
Zia mendekat ke arah abinya.
“Abi.” Panggil Zia. Suara lembunya menyapa pendengaran Abraham.
Abraham menatap Zia, lalu tersenyum. Menepuk-nepuk sofa disebelahnya, menyuruh Zia duduk disebelahnya.
“Dudu disini nak, dekat abi.” Katanya.
Zia mengangguk, perlahan mendudukkan dirinya disebelah abinya. Sedangkan uminya duduk didepannya.
“Umur Zia berapa tahun ini?” Tanya Abraham. Dia tidak lupa dengan umur putrinya, dia tentu sangat ingat setiap pertumbuhan putrinya ini.
Zia berfikir, kemudia tersenyum. “Mmm, 19 tahun abi. memangnya kenapa?” Tanya Zia. Tumben abinya menayakan perihal seperti itu, dan sepertinya ada hal penting.
Abraham menatap istrinya, kemudian kembali menatap putrinya. Mengusap pelan kepala putrinya dengan lembut.
“Begitu ya.” Ujar Abraham. Mengangguk sekilas. “Zia dulu pernah bilang sama abi, jika menikah diumur yang tergolong masih mudah tidak apa-apa. Nah abi mau bertanya, kalau Zia abi jodohkan diumur 19 tahun ini bagaimana?” Tanya dengan pelan. Takut jika putrinya menolak atau marah kepadanya.
Zia terdiam, mengingat kembali ucapan yang pernah dia ucapkan pada abinya. Jika di ingat itu dua tahun yang lalu, dimana dirinya tiba-tiba saja mengatakan itu kepada abinya.
Zia mengangguk. “Benar abi, lalu ada apa dengan itu?” Tanya Zia. Dia meremas kuat tangannya.
Abraham menatap istrinya lagi, lalu menatap Zia. “Jika abi katakan, kamu abi jodohkan bagaimana?” Tanya pelan Abraham.
Zia terdiam, abinya sungguh menganggap serius ucapannya dulu? Batinya bertanya.
“Maksud abi, abi mau jodohin aku?” Tanya Zia. Masih berusaha mencerna ucapan abinya.
Anggita beralih duduk disamping anaknya, mengambil kedua tangan anaknya.
“Nak, sungguh kami tidak memaksa jika kamu belum siap. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, kami sudah memikirkan ini sebelum kami memberitahukan padamu.” Jelas Anggita.
Zia masih mencerna perkataan kedua orang tuanya. Dia tidak dapat membayangkan menikah diumur yang tergolong mudah ini, membina rumah tangga dalam status masih sekolah. Lalu jika yang dijodohkan nanti adalah om-om, bagaimana.
“Jadi aku bakalan nikah? Terus sekolah aku bagaimana abi, umi?” Tanya Zia. Setelah lama diam.
Abraham tersenyum.
“Nak. Kamu masih tetap bisa lanjut sekolah, menikah diumur seperti ini. Tida menghalangi pendidikanmu.” Jelas Abraham. Diangguki oleh Anggita.
“Jadi, siapa yang laki-laki itu abi? Apakah dia laki-laki baik? Atau sebaliknya?” Tanya Zia lagi. Semua perempuan menginginkan seorang suami yang baik, paham agama, bertanggungjawab dan tau memuliakan seorang perempuan.
“Nak, kami tidak akan memilih menjodohkan mu dengannya jika dia bukan laki-laki yang baik. InsyaAllah dia laki-laki yang bisa bertanggungjawab.” Jawab Abraham.
Zia mengangguk. “Alhamdulillah jika begitu abi.”
“Lalu apakah kamu setuju dengan perjodohan ini nak?” Tanya Anggita.
Zia menarik napas dalam. “InsyaAllah umi, abi.” Jawab Zia.
Semoga yang dikatakan kedua orang tuanya benar dan pilihan yang dia ambil tidak lah salah.
Abraham dan Anggita tersenyum puas. “
“Alhamdulillah.”
“Keluarga mereka akan datang besok malam, untuk melamar mu nak.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Rita Riau
masa sih di usia 19 masih SMA harus nya kan udah kuliah Thor 🙏
2024-04-22
2