Chase The Dream

Chase The Dream

Awal mula

Namaku V, biasa dipanggil Vi oleh temanku. Aku hanyalah anak pondok asuhan biasa yang berusia 7 tahun. Saat ini aku berada di keramaian kota, memberanikan diri untuk ikut berkumpul bersama orang-orang. Ternyata sang pahlawan telah pulang dari misinya. Orang-orang di sana menyorakinya sang pahlawan. Melihat penampilan pahlawan yang tangguh membuatku tertarik untuk menjadi pahlawan juga. Tetapi, hal itu tidak mungkin terjadi.

"Kau ingin menjadi pahlawan? Hahaha, itu tidak mungkin. Menjadi seorang pahlawan bukan sekedar mimpi. Kau harus kalahkan banyak musuh khususnya para master. Itulah syarat utama gelar pahlawan diberikan. Lagipula kau bukan anak siapa-siapa," penjelasan dari salah satu pengurus pondok asuhan yang ditanyai Vi.

Mendengar ucapan yang menyakitkan barusan, tanpa pikir panjang langkah kakiku terus bergerak. Menghabiskan sebagian stamina dengan tujuan menemui teman terdekat. Kebetulan dia merupakan seorang anak dari pasangan ilmuwan.

Setelah bertemu, aku mengucapkan salam dan mengajak teman untuk pamit ke pinggir sungai, menjadikan tempat itu sebagai lokasi pencurahan hati.

"Jadi begitu, ya ... yang sabar, Vi," ucap temanku sambil memegang pundakku.

"Iya, makasih," balasku dengan wajah yang murung.

Suasana dipinggir terasa sejuk dan tenang, dengan angin segar yang menimpa kami. Namun itu tidak mengubah kesedihanku sampai temanku menggenggam tanganku

"Tenang saja, Vi. Coba cari kekuatan dulu biar jadi lebih kuat," kata temanku, sambil menggenggam tanganku.

"Cari kekuatan?" tanyaku sambil garuk kepala.

"Iya, kekuatan. Kalau kau kuat, peluangmu untuk menjadi pahlawan bakal lebih tinggi," ujar temanku yang memberitahu sesuatu yang penting.

"Baiklah, aku akan cari kekuatan dulu," kataku dengan senang.

"Nah, itu baru semangat," ucap temanku dengan wajah tersenyum.

Setelah itu, aku dan temanku mulai bermain di sana sambil melihat ikan-ikan dengan arus sungai yang lumayan deras.

"Oh, yah. Terima kasih, atas saran yang kau berikan," kataku sambil memegang kedua tangannya sebagai ucapan terima kasih.

"Iyah, sama-sama," balas temanku dengan senyuman.

Matahari sudah mulai terbenam, suasana di sungai mulai gelap, aku harus mengantar temanku pulang sebelum orang tuanya khawatir. Saat sampai dirumahnya, langkah kakiku melangkah, sambil mengucapkan perpisahan.

"Sampai jumpa lagi Vi," ucap temanku yang melangkah memasuki halaman rumahnya sambil melambaikan tangannya.

"Iyah, sampai jumpa lagi," balasku melangkah sambil melambaikan tangan dan melihatnya.

Di gelapnya hutan yang dingin dan suara angin yang mengenai dedaunan, aku berjalan pulang sendirian menuju pondok, aku merasa diriku akan dimarahi karena pulang saat matahari sudah tenggelam. Namun, ada suara teriakan seseorang yang membuatku sedikit ketakutan.

Teriakan tadi bukan cuma satu, namun ada banyak. Membuatku penasaran dan memberanikan diri untuk mengecek sumber suara tersebut di hutan yang dingin.

Setelah mencari sumber suara, aku berhasil menemukannya yang ternyata berasal dari luar hutan. Tidak beruntungnya nasibku melihat sesuatu yang mengerikan di depan mataku sendiri.

Rumah-rumah terbakar dengan api yang besar, asap hitam mulai menutupi area tersebut. Suara teriakan tersebut, berasal dari orang-orang yang berusaha menyelamatkan dirinya dari sesuatu yang menyerupai prajurit.

Mereka menyerang orang-orang yang berusaha melarikan diri, aku yang melihatnya dari balik pepohonan hanya bisa diam ketakutan dengan badan bergetar. Tidak beruntung nasibku, karena salah satu prajurit itu mulai melihatku.

Badanku langsung reflek berlari sekencang mungkin, sampai tidak sengaja menabrak sesuatu.

"Aduh, apa yang kutabrak tadi?" tanyaku sambil mengerang kesakitan.

Ternyata hanyalah gentong yang digunakan untuk menampung air hujan, langkah kaki prajurit mulai terdengar di telingaku. Tanpa memikirkan rasa sakit, aku terburu-buru memasuki badan ke dalam gentong dan menutupinya.

Di dalam gelapnya gentong melalui celah gentong tersebut, aku mendengar suara perkelahian seseorang. Aku mengira ada yang datang menyelamatkanku, namun karena perkelahian tersebut, gentong ini terguncang dan membuatku tidur seketika.

Saat terbangun, aku berada di sebuah kamar tidur yang tidak kukenal dengan sumber cahaya yang berasal dari jendela di sebelahku. Pemandangan dari luar jendela sangat indah, dengan makhluk lucu yang bermain bersama temannya.

Ada suara langkah kaki yang berasal dari pintu tersebut, aku reflek pura-pura tidur agar tidak dicurigai.

"Mau sampai kapan kamu berpura-pura tidur, nak?" tanya wanita yang duduk di sebelahku.

"Eh, bagaimana kamu bisa tahu?" tanyaku sambil membuka mata dan membangunkan badan.

"Oh, itu tidak penting, yang terpenting keadaanmu sekarang," kata wanita tersebut sambil melihatku.

"Aku merasa baik-baik saja," balasku setelah mengecek tubuhku dengan terburu-buru.

Tunggu sebentar, kenapa aku menurutinya? Aku harus bertanya sesuatu.

"Siapa kamu!? Dan kenapa aku bisa ada di sini!?" aku bertanya dengan suara lantang.

"Namaku Natasha. Aku yang membawamu ke tempat ini," jawab Natasha yang masih melihat wajahku.

"Eh! kamu yang membawaku? Bagaimana dengan prajurit itu?" tanyaku yang secara mendadak karena penasaran.

"Tenang saja, aku yang mengalahkan mereka," jawab Natasha dengan santai.

"Benarkah? Kalau begitu maukah kau mengadopsiku?" tanyaku dengan senyum.

"Eh? Kau tidak mau dikembalikan ke orang tuamu?" tanya wanita tersebut untuk memastikan sesuatu.

"Sebenarnya, aku yatim piatu, bahkan tinggal di pondok asuhan," jawabku dengan wajah murung.

"Karena kau jujur, aku akan mengadopsimu," jawab Natasha sambil mengelus rambutku.

"Eh, benarkah?" tanyaku dengan suara keras.

"Iyah, aku serius kok," jawab Natasha sambil mengelus rambutku.

Untuk pertama kalinya ada yang mau mengadopsiku. Rasanya seperti tinggal bersama orang asing.

"Jadi, apa yang kulakukan sekarang?" tanyaku sambil melihat wajah Natasha.

"Sekarang waktunya makan. Perutmu sudah laparkan," Balas Natasha.

"Iyah, kebetulan belum makan aku," kataku dengan perut berbunyi.

"Makanannya sudah kusiapkan di meja, tepat di sebelah kasur," ucap Natasha sambil menunjuk ke arah meja dengan jarinya.

"Eh? Sejak kapan ada makanan di meja itu," kataku dengan sedikit terkejut.

"Sejak kapan? Salahmu sendiri pura-pura tidur," kata Natasha sambil naikkan satu alisnya.

"Hehehe, maaf," jawabku sambil tertawa.

"Kau tidak perlu minta maaf, karena ini pertama kalinya kita bertemu, benarkan?" ucap Natasha sambil mengedipkan mata kirinya sambil tersenyum.

"Iyah, kau benar," balasku sambil mengambil makan yang ada di meja.

Saat makan, aku melihat bibi Natasha berbicara sendiri dengan tangan menempel di kepala, seolah-olah ada orang yang dia ajak bicara. Melihat itu membuatku gelisah, karena yang mau mengadopsiku bertingkah aneh, aku harus menanyakan sesuatu kepadanya.

"Bibi, ada hal yang ingin aku bahas," kataku setelah meminum air.

"Ada apa?" tanya Natasha sambil melihatku.

"Bibi tidak menanyakan namaku?" jawabku sambil bertanya dan melihat wajah Natasha.

"Soal itu, aku sudah tau namamu," balas Natasha yang sedang bersiap-siap.

"Eh! Sejak kapan?" tanyaku dengan suara keras.

"Lain waktu saja aku jelasin, yah," balas Natasha yang berjalan menuju pintu.

"Bibi, mau kemana?" tanyaku yang melihat Natasha membuka pintu.

"Bibi ada urusan, kalau butuh sesuatu tinggal bilang saja nanti bakal muncul," ucap Natasha yang mulai melangkah keluar.

"Baiklah," balasku yang membiarkan Natasha keluar pintu.

Bersambung......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!