Namaku V, biasa dipanggil Vi oleh temanku. Aku hanyalah anak pondok asuhan biasa yang berusia 7 tahun. Saat ini aku berada di keramaian kota, memberanikan diri untuk ikut berkumpul bersama orang-orang. Ternyata sang pahlawan telah pulang dari misinya. Orang-orang di sana menyorakinya sang pahlawan. Melihat penampilan pahlawan yang tangguh membuatku tertarik untuk menjadi pahlawan juga. Tetapi, hal itu tidak mungkin terjadi.
"Kau ingin menjadi pahlawan? Hahaha, itu tidak mungkin. Menjadi seorang pahlawan bukan sekedar mimpi. Kau harus kalahkan banyak musuh khususnya para master. Itulah syarat utama gelar pahlawan diberikan. Lagipula kau bukan anak siapa-siapa," penjelasan dari salah satu pengurus pondok asuhan yang ditanyai Vi.
Mendengar ucapan yang menyakitkan barusan, tanpa pikir panjang langkah kakiku terus bergerak. Menghabiskan sebagian stamina dengan tujuan menemui teman terdekat. Kebetulan dia merupakan seorang anak dari pasangan ilmuwan.
Setelah bertemu, aku mengucapkan salam dan mengajak teman untuk pamit ke pinggir sungai, menjadikan tempat itu sebagai lokasi pencurahan hati.
"Jadi begitu, ya ... yang sabar, Vi," ucap temanku sambil memegang pundakku.
"Iya, makasih," balasku dengan wajah yang murung.
Suasana dipinggir terasa sejuk dan tenang, dengan angin segar yang menimpa kami. Namun itu tidak mengubah kesedihanku sampai temanku menggenggam tanganku
"Tenang saja, Vi. Coba cari kekuatan dulu biar jadi lebih kuat," kata temanku, sambil menggenggam tanganku.
"Cari kekuatan?" tanyaku sambil garuk kepala.
"Iya, kekuatan. Kalau kau kuat, peluangmu untuk menjadi pahlawan bakal lebih tinggi," ujar temanku yang memberitahu sesuatu yang penting.
"Baiklah, aku akan cari kekuatan dulu," kataku dengan senang.
"Nah, itu baru semangat," ucap temanku dengan wajah tersenyum.
Setelah itu, aku dan temanku mulai bermain di sana sambil melihat ikan-ikan dengan arus sungai yang lumayan deras.
"Oh, yah. Terima kasih, atas saran yang kau berikan," kataku sambil memegang kedua tangannya sebagai ucapan terima kasih.
"Iyah, sama-sama," balas temanku dengan senyuman.
Matahari sudah mulai terbenam, suasana di sungai mulai gelap, aku harus mengantar temanku pulang sebelum orang tuanya khawatir. Saat sampai dirumahnya, langkah kakiku melangkah, sambil mengucapkan perpisahan.
"Sampai jumpa lagi Vi," ucap temanku yang melangkah memasuki halaman rumahnya sambil melambaikan tangannya.
"Iyah, sampai jumpa lagi," balasku melangkah sambil melambaikan tangan dan melihatnya.
Di gelapnya hutan yang dingin dan suara angin yang mengenai dedaunan, aku berjalan pulang sendirian menuju pondok, aku merasa diriku akan dimarahi karena pulang saat matahari sudah tenggelam. Namun, ada suara teriakan seseorang yang membuatku sedikit ketakutan.
Teriakan tadi bukan cuma satu, namun ada banyak. Membuatku penasaran dan memberanikan diri untuk mengecek sumber suara tersebut di hutan yang dingin.
Setelah mencari sumber suara, aku berhasil menemukannya yang ternyata berasal dari luar hutan. Tidak beruntungnya nasibku melihat sesuatu yang mengerikan di depan mataku sendiri.
Rumah-rumah terbakar dengan api yang besar, asap hitam mulai menutupi area tersebut. Suara teriakan tersebut, berasal dari orang-orang yang berusaha menyelamatkan dirinya dari sesuatu yang menyerupai prajurit.
Mereka menyerang orang-orang yang berusaha melarikan diri, aku yang melihatnya dari balik pepohonan hanya bisa diam ketakutan dengan badan bergetar. Tidak beruntung nasibku, karena salah satu prajurit itu mulai melihatku.
Badanku langsung reflek berlari sekencang mungkin, sampai tidak sengaja menabrak sesuatu.
"Aduh, apa yang kutabrak tadi?" tanyaku sambil mengerang kesakitan.
Ternyata hanyalah gentong yang digunakan untuk menampung air hujan, langkah kaki prajurit mulai terdengar di telingaku. Tanpa memikirkan rasa sakit, aku terburu-buru memasuki badan ke dalam gentong dan menutupinya.
Di dalam gelapnya gentong melalui celah gentong tersebut, aku mendengar suara perkelahian seseorang. Aku mengira ada yang datang menyelamatkanku, namun karena perkelahian tersebut, gentong ini terguncang dan membuatku tidur seketika.
Saat terbangun, aku berada di sebuah kamar tidur yang tidak kukenal dengan sumber cahaya yang berasal dari jendela di sebelahku. Pemandangan dari luar jendela sangat indah, dengan makhluk lucu yang bermain bersama temannya.
Ada suara langkah kaki yang berasal dari pintu tersebut, aku reflek pura-pura tidur agar tidak dicurigai.
"Mau sampai kapan kamu berpura-pura tidur, nak?" tanya wanita yang duduk di sebelahku.
"Eh, bagaimana kamu bisa tahu?" tanyaku sambil membuka mata dan membangunkan badan.
"Oh, itu tidak penting, yang terpenting keadaanmu sekarang," kata wanita tersebut sambil melihatku.
"Aku merasa baik-baik saja," balasku setelah mengecek tubuhku dengan terburu-buru.
Tunggu sebentar, kenapa aku menurutinya? Aku harus bertanya sesuatu.
"Siapa kamu!? Dan kenapa aku bisa ada di sini!?" aku bertanya dengan suara lantang.
"Namaku Natasha. Aku yang membawamu ke tempat ini," jawab Natasha yang masih melihat wajahku.
"Eh! kamu yang membawaku? Bagaimana dengan prajurit itu?" tanyaku yang secara mendadak karena penasaran.
"Tenang saja, aku yang mengalahkan mereka," jawab Natasha dengan santai.
"Benarkah? Kalau begitu maukah kau mengadopsiku?" tanyaku dengan senyum.
"Eh? Kau tidak mau dikembalikan ke orang tuamu?" tanya wanita tersebut untuk memastikan sesuatu.
"Sebenarnya, aku yatim piatu, bahkan tinggal di pondok asuhan," jawabku dengan wajah murung.
"Karena kau jujur, aku akan mengadopsimu," jawab Natasha sambil mengelus rambutku.
"Eh, benarkah?" tanyaku dengan suara keras.
"Iyah, aku serius kok," jawab Natasha sambil mengelus rambutku.
Untuk pertama kalinya ada yang mau mengadopsiku. Rasanya seperti tinggal bersama orang asing.
"Jadi, apa yang kulakukan sekarang?" tanyaku sambil melihat wajah Natasha.
"Sekarang waktunya makan. Perutmu sudah laparkan," Balas Natasha.
"Iyah, kebetulan belum makan aku," kataku dengan perut berbunyi.
"Makanannya sudah kusiapkan di meja, tepat di sebelah kasur," ucap Natasha sambil menunjuk ke arah meja dengan jarinya.
"Eh? Sejak kapan ada makanan di meja itu," kataku dengan sedikit terkejut.
"Sejak kapan? Salahmu sendiri pura-pura tidur," kata Natasha sambil naikkan satu alisnya.
"Hehehe, maaf," jawabku sambil tertawa.
"Kau tidak perlu minta maaf, karena ini pertama kalinya kita bertemu, benarkan?" ucap Natasha sambil mengedipkan mata kirinya sambil tersenyum.
"Iyah, kau benar," balasku sambil mengambil makan yang ada di meja.
Saat makan, aku melihat bibi Natasha berbicara sendiri dengan tangan menempel di kepala, seolah-olah ada orang yang dia ajak bicara. Melihat itu membuatku gelisah, karena yang mau mengadopsiku bertingkah aneh, aku harus menanyakan sesuatu kepadanya.
"Bibi, ada hal yang ingin aku bahas," kataku setelah meminum air.
"Ada apa?" tanya Natasha sambil melihatku.
"Bibi tidak menanyakan namaku?" jawabku sambil bertanya dan melihat wajah Natasha.
"Soal itu, aku sudah tau namamu," balas Natasha yang sedang bersiap-siap.
"Eh! Sejak kapan?" tanyaku dengan suara keras.
"Lain waktu saja aku jelasin, yah," balas Natasha yang berjalan menuju pintu.
"Bibi, mau kemana?" tanyaku yang melihat Natasha membuka pintu.
"Bibi ada urusan, kalau butuh sesuatu tinggal bilang saja nanti bakal muncul," ucap Natasha yang mulai melangkah keluar.
"Baiklah," balasku yang membiarkan Natasha keluar pintu.
Bersambung......
Bibi Natasha sudah pergi cukup lama, makanan yang disediakan sudah habis aku makan. Aku mencoba untuk keluar, tetapi pintunya dikunci dari luar.
Aku hanya bisa melihat makhluk lucu itu dari dalam kamar, tanpa bisa menyentuhnya atau bermain bersamanya. Ruangan ini terasa sangat bersih bahkan jarang ada debu yang aku temui, tetapi temboknya berwarna merah muda, apa aku dikira perempuan yah.
Tanpa memikirkannya, aku lanjut melihat makhluk lucu dari balik jendela. Saat sibuk melihat makhluk lucu, tiba-tiba ada suara langkah kaki dari arah pintu. Aku merasa bibi Natasha sudah kembali, jadi aku bersiap untuk menyambutnya.
Tidak berlangsung lama, ada suara kunci pintu terbuka. Aku yang sudah siap menunggu di dekat pintu, setelah pintu terbuka.
"Oh, kau sudah siap, ayo ikuti aku," ucap Natasha saat melihatku.
"Ke mana?" tanyaku yang penasaran sambil melihat ke arah Natasha.
"Nanti kau akan tau," jawab Natasha sambil berbalik arah dan melangkahkan kakinya.
"Tunggu," kataku sambil melangkah mengikutinya.
Saat keluar kamar, ternyata disekitarku hanyalah lapangan berumput hijau yang sangat luas, dan ada makhluk lucu yang aku lihat dari dalam kamar.
Aku yang penasaran, mulai menghampiri. Sebelum tanganku menyentuhnya, salah satu makhluk yang melihatku hampir menggigit tanganku.
Beruntungnya aku berhasil menghindarinya lebih dulu.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Natasha yang sudah dibelakangku.
"Eh! bibi, kebetulan aku mau menyentuh makhluk lucu ini. Ternyata galak," jawabku yang sebelumnya sempat terkejut.
"Oh," kata Natasha sambil mendekati mereka.
Bibi Natasha mulai memegang makhluk itu dan menggendongnya, anehnya bibi tidak digigit sama sekali.
"ini, kau bisa menyentuhnya," ucap Natasha sambil mendekatiku.
Aku mulai memberanikan diri untuk menyentuhnya. Setelah kusentuh ternyata, bulunya lembut dan halus.
"Sudah cukup untuk mainnya, ayo ikuti aku," kata Natasha yang tidak sabaran sambil menaruh makhluk lucu ke tanah.
Aku merasa heran dengan bibi yang terus memaksaku, kalaupun ditanya jawabannya akan sama saja. Jadi aku terpaksa mengikuti apa yang bibi mau.
"Iyah," jawabku sambil melihat bibi Natasha dan mulai mengikuti langkah kakinya.
Diperjalanan, angin sejuk mulai mengenai kami, teriknya siang hari mulai membuatku kepanasan. Namun, bibi masih tetap berjalan sampai akhirnya, bibi menghentikan langkah kakinya.
"Kita sudah sampai?" tanyaku yang kebingungan, karena tidak ada sesuatu di depannya.
"Iyah, tunggu saja," jawab Natasha sambil berbalik arah melihatku.
Aku yang sudah capek berjalan langsung duduk ditempat, lalu bibi Natasha memberiku minuman yang entah darimana.
"Ini minumlah," ucap Natasha sambil memberiku minuman melalui tangan kanannya.
"Terima kasih," kataku sambil menerima minumannya.
Aku yang kehausan langsung meminum minuman itu. Airnya sangat segar sampai membuatku ingin meminumnya lagi.
Saat aku minum, tiba-tiba bibi Natasha memanggilku.
"Vi, ayo masuk!" kata Natasha yang memanggilku dengan suara keras.
Saat menghampiri bibi Natasha, aku terkejut ada sebuah gedung tinggi dengan warna abu-abu keputihan berada di tengah-tengah lapangan. Aku yakin sebelumnya gedung tidak ada. Tanpa pikir panjang aku bergegas mengikuti bibi Natasha sambil memasuki gedung itu melalui pintu.
Ternyata didalamnya sederhana, hanya ada beberapa kursi dan meja dengan beberapa makanan yang sudah disiapkan, hanya saja lantainya dari rumput. Tiba-tiba bibi Natasha memanggilku.
"Vi, kesini," Natasha memanggilku dengan suara sedikit keras dengan tangan kanan memberi isyarat untuk mendekat.
"Iyah," ucapku sambil melangkah menghampirinya.
"Ada apa?" tanyaku yang penasaran.
Setelah aku bertanya, tiba-tiba bibi Natasha menekuk lutut kanannya dan memegang kedua pundakku dengan kedua tangannya.
"Begini Vi, kita ke sini untuk memberimu kekuatan," kata Natasha yang ingin memberitahu sesuatu.
"Sungguh?" tanyaku yang ingin gembira.
"Iyah, tetapi....."
"Hore, akhirnya aku bisa menjadi pahlawan," ucapku yang bergembira sambil mengitari beberapa kali.
"Apa boleh buat," ucap Natasha dalam hati sambil berdiri dan melihat Vi.
Setelah itu, kita memasuki ruangan yang dimaksud. Di sana aku bertemu dua orang yang sedang bicara, satu orang dewasa yang sedang duduk dikursinya, satunya setinggiku sambil berdiri.
"Kalian sudah tiba," ucap orang tidak dikenal yang melihat kami.
"Bagaimana persiapannya?" tanya Natasha ke orang tidak dikenal sambil melipatkan kedua tangannya.
"baru 80%," jawab orang tidak dikenal sambil berdiri dari kursinya.
Kemudian orang tidak dikenal itu melihat ke arahku dan mulai melangkah mendekat.
"Jadi ini anak yang kau maksud?" tanya orang tidak dikenal sambil melihat Natasha.
"Iyah," jawab Natasha secara langsung.
Tiba-tiba orang tidak dikenal mengulurkan tangan kanannya ke arahku.
"Kenalkan, namaku Layla," ucap orang tidak dikenal yang ingin kenalan.
"Namaku Vi," aku berkenalan dengan Layla.
Setelah berkenalan, bibi Layla kembali ke kursinya. Anak itu hanya melihat apa yang bibi Layla lakukan.
"Bi, anak itu siapa?" tanyaku yang penasaran setelah melihatnya.
"Ah.. dia Natani," jawab Natasha yang tampak ragu.
"Oh, kenapa dia diam saja?" tanyaku yang ingin tau.
"Tidak apa-apa, dia emang seperti itu," jawab Natasha sambil melihat anak itu.
"Selesai!" ucap Layla dengan suara sedikit keras sambil mengulurkan ke dua tangan ke atas.
Ucapan Bibi Layla membuatku kaget seketika.
"Kalau begitu, mari kita mulai," kata Natasha yang melihat Layla.
Mendengar ucapan Bibi Natasha membuatku ingin bertanya.
"Mulai apa?" tanyaku yang tidak mengetahui sesuatu.
"Nanti kau akan tau," jawab Natasha yang tidak mau membahasnya sambil melihat ke arah lain.
Lalu, tabung yang ada disebelah bibi Layla tiba-tiba mulai membuka pintu.
"Semua siap? siapa yang mau masuk lebih dulu?" tanya Layla sambil melihatku.
"Eh, kenapa bibi Layla menatapku?" tanyaku yang kebingungan.
Bibi Natasha mulai berbalik arah dan menghampiriku.
"Kau masih ingatkan, apa yang aku bilang sebelumnya?" tanya Natasha yang mengingatkan sesuatu sambil menekuk kaki kanannya.
Aku mencoba mengingatnya, namun tidak mengingat perkataan yang dimaksud.
"Aku tidak tau," jawabku yang tidak mengingatnya.
"Hadeh, pintu itu dibuat untuk memberimu kekuatan," ucap bibi dengan tangan kanan mengusap mukanya.
"Oh, begitu," kataku dengan senang.
"Aku akan masuk lebih dulu," ucapku sambil melangkah memasuki pintu itu.
Lalu, bibi Natasha berdiri dan mendekati bibi Layla sambil melihatku. Kemudian tangan kanan bibi Layla menekan sesuatu dan pintu tersebut tertutup dengan sendirinya, Di dalam ada sesuatu yang berputar sampai tidak bisa mendengar suara dari luar.
"Hehehe, ide bagus untuk menjadikan dia sebagai subjek percobaan," kata Layla sambil tersenyum.
"Bagaimana kalau percobaan ini berhasil?" tanya Natasha yang mengingatkan sesuatu.
"Itu urusanmu, ini hanya percobaan untuk menggabungkan dua gen yang berbeda," jawab Layla yang tidak terlalu memperdulikannya.
Kemudian, setelah sesuatu itu berhenti berputar. Pintu terbuka dengan sendirinya dan aku melangkah keluar dari sana.
"Jadi, ini berhasil atau gagal?" tanya Natasha sambil melihat Layla.
"Biar kucek," jawab Layla sambil melangkah ke arahku dan menekuk kakinya.
"Apa yang kau rasakan?" tanya Layla sambil melihatku.
"Aku merasa biasa saja," jawabku dengan kebingungan.
Lalu, bibi Layla menyuruhku melakukan beberapa gerakan untuk memastikan kondisiku. Setelah selesai bibi Layla berdiri dan melangkah mendekati bibi Natasha.
"Berhasil," ucap Layla sambil sambil membisikkan sesuatu ke Natasha.
"Baiklah Vi, kau resmi menjadi anggota kami," ucap Natasha yang tidak kupahami.
Bersambung.....
Setelah 10 tahun aku bersama mereka, sudah waktunya untukku kembali ke dunia asliku. Mereka melatihku sebisa mungkin untuk bisa menjaga diri sendiri.
Selama tinggal bersama mereka, aku sudah didaftarkan ke sekolah tanpa sepengetahuanku, supaya aku bisa melanjutkan hidup secara mandiri. Aku benar-benar berterima kasih atas kebaikan mereka, walaupun ada yang mencurigakan sih.
"Akhirnya kita sampai?" ucapku setelah keluar dari portal yang tertutup sendiri.
"Oke, kita harus, bla, bla" ujar orang tidak dikenal, tetapi perkataannya tidak ku dengar.
Dia Natani, seorang homonculus yang disuruh untuk menemaniku. Awalnya aku menolak karena pakainnya, kalau dipikir-pikir pergi sendiri itu tidak menyenangkan.
"Hei, kenapa diam?" tanya Natani yang melihatku tidak merespon.
"Eh, iya," balasku dengan bicara gelagapan sambil melihat Natani.
"Bicaramu gelagapan, Vi, kau masih memikirkan hal itu?" tanya Natani sambil mengusap muka dengan tangan kanannya.
"Tidak kok," balasku dengan menggerakkan kedua tanganku.
"Kau ini, bukannya bagus terpilih jadi Magical," Natani merasa iri kepadaku yang entah kenapa dia membahas itu.
"Kenapa kalau aku terpilih jadi Magical?" tanyaku dengan sedikit jengkel sambil menaikkan satu alis kanan.
"Kau tidak tau? Siapa pun yang dipilih orang suci akan mendapatkan kemampuan yang tidak biasa," balas Natani sambil mengangkat bahu karena merasa heran.
"Ayolah, aku sendiri tidak ingin menjadi magical," ucapku yang berusaha membujuk Natani.
"Sudah-sudah, aku mengerti. Maaf soal perkataanku barusan," kata Natani sambil menggerakkan kanan kirinya seperti ingin menyudahinya.
"Mari kita melanjutkan perjalanan," ucap Natani sambil melangkah kedepan.
"Kau tau arahnya?" ucapku sambil mengingatkan Natani sebelum melangkah jauh.
"Ahhh..... tidak, hehehe," balas Natani sambil menggarukkan kepalanya dan tertawa ke arahku.
"Yah sudah, kau ikuti saja aku di belakang. Kebetulan aku membawa peta," ucapku sambil melangkah dengan tangan kanan memberi isyarat untuk mengikutiku.
Hutan di pagi hari sedikit panas, namun karena angin yang sedikit kencang membuatnya sejuk, tetapi aku tidak melihat burung ataupun serangga, hanya ada pepohonan dan tanaman.
Sepanjang perjalanan, kami melihat sebuah portal yang terbuka di tengah jalan, aku yang penasaran mulai mendekatinya.
"Apa yang kau lakukan? Biarkan saja portal itu," tanya Natani yang melihatku dengan tangan kanan yang memberi isyarat untuk mendekatinya.
"Aku penasaran dengan isinya," balasku sambil mendekati dan melihat isi portal dari luar.
"Baiklah, aku tunggu di sini," ucap Natani sambil melipatkan kedua tangan.
Saat melihat portal, tiba-tiba di dalam ada sosok bayangan yang mulai keluar dari portal dan menampakkan wujudnya. Sosok itu memiliki bentuk seperti wanita, dengan rambut putih dan baju putih dengan lambang aneh di dadanya.
"Siapa kalian? Mau apa di dekat portalku?" tanya sosok tersebut sambil melihat kami setelah portalnya tertutup sendiri.
"Namaku Vi, maaf aku mengintip portalmu tadi," balasku sambil sedikit menundukkan kepala.
Sosok tersebut terlihat marah, namun wajahnya tidak menunjukkan ekspresi sama sekali.
"Kumaafkan, tetapi kenapa dia masih terus melihatku?" tanya sosok yang menengok ke arah Natani.
Natani terus melihat sosok tersebut dengan tangan kanan ada di dagunya, sepertinya Natani sedang memikirkan sesuatu terhadap sosok tersebut.
"Hei, kau kenapa?" tanyaku sambil melangkah mendekati Natani dan menyentuh pundaknya dengan tangan kanan.
"Ah, tidak apa-apa. Ada yang tidak beres dengannya," ucap Natani yang sedikit kaget sambil menurunkan tangannya dan melihatku.
"Tenang, tidak perlu dipikirkan. Nanti dia marah," tanyaku sambil membujuknya.
"Iiih... Bukan begitu, Vi. Aku tidak melihat informasi apapun darinya," ucap Natani yang sedikit kesal sambil melepas tanganku dari pundaknya.
Natani terlihat tidak senang dengan perkataanku, namun aku penasaran dengan informasi yang dia maksud.
"Kau tadi bilang informasi, apa maksudnya?" tanyaku dengan kebingungan.
"Lebih tepatnya melihat informasi pada objek, akan ku jelaskan," Natani mulai menjelaskan sesuatu sambil mendekati pohon sebagai contohnya.
"Sebagai contoh pohon, aku bisa mengetahui secara pasti, nama, usia, tinggi, tingkah, kelebaran, keadaan, beserta informasi lainnya dari pohon tersebut," Natani selesai menjelaskan dan mengangkat kedua bahu.
"Kemampuan yang unik," kataku dengan kedua tangan memegang pinggang.
"Seperti itulah," ucap Natani dengan santai sambil mengangkat kedua bahunya.
"Hei, apa yang kalian bicarakan?!" sosok tersebut berteriak memanggil kita.
"Kau masih di sini, ternyata?" Tanya Natani sambil melihat sosok tersebut.
"Aku menunggu kau minta maaf," jawab sosok tersebut secara langsung tanpa ekspresi.
"Kenapa aku harus minta maaf? Akukan tidak menggangu portalmu!" ucap Natani sambil menaikkan satu alisnya.
"Benar juga, baiklah, sampai jumpa," sosok tersebut melangkah ke arah kiri dan meninggalkan kita.
Sebelum sosok tersebut melangkah jauh, aku yang penasaran dengannya mulai mendekatinya.
"Eh, tunggu!" ucapku dengan suara keras sambil melangkah menghampiri sosok tersebut.
"Biarkan saja Vi," kata Natani sambil menahan ku dengan memegang pundak.
Natani memegang pundakku dengan kuat, membuatku kesulitan untuk melangkah.
"Ada apa?" tanya sosok tersebut yang menghentikan langkahnya sambil membalikkan badan karena mendengar panggilanku.
"Kalau boleh tau, siapa namamu?" tanyaku sambil melepas pegangan Natani dan melangkah mendekatinya.
"Namaku SIA, sebuah android," SIA memberitahu secara langsung tanpa ekspresi.
Aku yang tidak tau tentang android, mulai bertanya lagi.
"Android? Apa itu?" tanyaku yang penasaran.
"Android adalah kecerdasan buatan yang memiliki tubuh," jawab SIA sambil melihatku.
"Oh, Begitu. Pantas saja, tidak ada tanda kehidupan yang kurasakan darimu," ucap Natani yang sudah berada di sebelah kiriku.
Aku yang penasaran dengan tujuannya datang ke sini, jadi aku bertanya lagi kepadanya.
"Kalau boleh tau, kau mau kemana, SIA?" tanyaku yang penasaran.
"Kota Northwell," jawab SIA secara langsung tanpa ekspresi.
"Oh, begitu. Maukah kau mengantar kami? Kami orang baru di sini," tanyaku sambil tersenyum ke arahnya.
"Tentu, aku bisa mengantar kalian ke sana," balas SIA setelah melihatku.
"Terima kasih," ucapku sambil bersalaman dengan kedua tangan SIA yang terasa dingin.
SIA hanya melihatku saat melakukan itu, sepertinya dia beneran bukan makhluk hidup. Kemudian kita melanjutkan perjalan dengan SIA sebagai pemandu jalan dan cerahnya matahari di hutan.
Tingkah Natani agak aneh, biasanya dia melarangku untuk melakukan sesuatu.
Namun kali ini dia hanya diam dan mengikuti saja. Mungkin suasana hatinya tidak sedang dalam keadaan baik, jadi aku berencana bertanya untuk menghibur.
"Kalau boleh tau, dari mana kau mendapatkan kemampuan itu?" tanyaku dengan pandangan mengarah ke arah Natani di sebelah kanan.
"Tentu saja, dari imaginary. Kau tidak lupa perkataan Natasha, kan?" jawab Natani sambil menatapku dengan tajam.
"Tidak kok," ucapku sambil mengangkat kedua tangan dan menggerakkannya.
"Jadi, kemampuan apa saja yang kau ciptakan?" tanya Natani yang terus menatapku sambil berjalan.
Sebelum aku menjawabnya, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh menghantam tanah. Membuat tanah disekitarnya hancur dan berdebu.
"Uhuk-uhuk.... tadi itu apa?" tanyaku yang kebingunan.
"Entahlah, yang pasti ada makhluk hidup yang jatuh dari langit," balas Natani sambil membersihkan debu dengan tangannya.
"Bersiaplah, mereka akan menyerang," ucap SIA dengan posisi siap bertarung.
"Hah, apa?" tanyaku yang masih kebingungan.
Debu di sekitar mulai menghilang, para orc mulai berlari menyerang kita sambil berteriak, seolah-olah kita adalah buruan mereka.
"Eeeeh! Kenapa mereka menuju ke sini?" tanyaku dengan kaget saat mengetahuinya.
"Jangan banyak bicara, kalahkan mereka," jawab Natani yang sudah siap bertarung tanpa melihatku.
"Baiklah, waktunya untuk menunjukkan hasil latihanku," ucapku sambil mengangguk kearah Natani.
Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!