Menjalin Keakraban

Barra merebahkan tubuhnya. Hari ini terasa sangat melelahkan. Barra mengingat kembali bagaimana kehangatan keluarga Riana yang meskipun bukan keluarga kandungnya, tapi memperlakukan Riana dengan penuh kasih. Begitulah kehangatan keluarga yang selama ini Barra rindu.

Barra menatap langit-langit kamarnya. Sepi merayapi dirinya. Biasanya dia tak begini. Hari ini setelah seharian menghabiskan waktu bersama Riana entah mengapa Barra merasa kesepian. Walaupun selama bersama Riana dia sama sekali tidak membicarakan apapun, tapi sekarang rasanya lebih sepi dibandingkan dengan ketika ada Riana. Sepi yang selalu menemani Barra tak pernah sesepi ini.

Bangkit dari rebahan yang membuatnya merasa semakin sepi, Barra meraih ponselnya, mulai memainkan game untuk mengusir sepinya. Tapi, nampaknya game yang selalu berhasil mengusir rasa kesepiannya kini tak mampu melakukannya. Barra terus teringat berbagai ekspresi Riana yang mondar-mandir tanpa permisi di otaknya.

'Gue kenapa sih?'

Perasaan aneh yang membuat Barra kebingungan. Tak tahu harus apa. Tak tahu harus bagaimana. Barra belum pernah merasa sebingung itu sebelumnya.

Tok... Tok...

Suara ketukan di pintu kamar Barra menyadarkan Barra dari rasa bingungnya. Barra membuka pintu. Rei berdiri di ambang pintu dengan sikap datarnya yang biasa.

"Saya mengambil beberapa foto kegiatan Tuan dan Nona hari ini. Sebagai dokumentasi jika suatu saat diperlukan," kata Rei sambil menyerahkan tablet yang biasa dia gunakan untuk melapor kepada Barra. Barra menerima tablet itu.

"Kamu boleh istirahat," kata Barra lalu menutup pintu kamarnya.

"Terimakasih, Tuan," ucap Rei sambil membungkuk.

'Semoga Tuan berkenan,'

Barra melihat tablet dari Rei, membuka folder yang berisi foto-foto kegiatannya hari itu bersama Riana. Ada beberapa foto Riana juga disana. Barra melihat satu per satu foto wanita yang akan dinikahinya itu. Senyum terkembang di wajah Barra. Lalu sedetik kemudian senyum memudar seakan sadar bahwa dirinya sudah mulai tak normal.

'Sepertinya gue mulai sakit,' batin Barra lalu melempar tabletnya ke kasur.

Dilihatnya tablet yang masih menampakkan foto Riana dengan gaun pilihannya, yang tengah duduk di bangku taman rumah ayahnya. Ada sesuatu dalam diri Riana yang membuat Barra tertarik. Sekali lagi diraihnya tablet yang tergeletak di kasur. Dilihatnya baik-baik foto Riana, mencoba mencari jawaban.

'Nihil! Sepertinya gue butuh ke psikiater,'

***

"Udah finish ya? Tinggal uji coba aja ini," kata Raga pada rekan satu timnya.

"Semoga game buatan kita lolos rapat presentasi besok," lanjut Raga.

"Aamiin..." sahut Leo, Dinda dan Riana serentak.

"Bugnya gimana?" tanya Dinda.

"Ntar kita uji coba dulu sama tim Randi," kata Raga. Dinda mengangguk.

"Eh, abis ini kita makan bareng yuuuk," ajak Dinda pada Leo dan Riana.

"Lo yang traktir?" tanya Leo.

"Enak aja. Bayar sendiri-sendiri lah," kata Dinda.

"Mana seru, Diiin," cibir Leo.

"Gue yang traktir," sahut Raga.

"Wah, elo emang ketua tim paling juara, Ga," puji Leo.

"Lo bisa kan, Ri?" tanya Raga.

"Eh?"

Riana sedikit bingung. Pasalnya setiap hari dia berangkat dan pulang dari kantor bersama Barra, kecuali Barra ada janji temu dengan klien, Riana akan pulang diantar Rei.

"Mmm... Sebentar ya, aku pikirin dulu," jawab Riana.

"Lah kenapa dipikirin? Lo udah ada janji?" tanya Leo heran.

"Hmmm gue tau. Tuan Barra pasti," tebak Dinda. Riana hanya meringis. Raut wajah Raga seketika berubah kecewa.

'Ijin nggak ya? Kalo nggak ijin...Hiii! Sereeem... Ijin dulu aja lah. Belum juga jadi suami udah menghantui aja,' batin Riana.

"Sebentar ya," kata Riana sambil keluar ruangan untuk menelepon Barra.

"Halo, Tuan?"

"Ada apa?"

"Nanti saya pulang sendiri saja ya? Rekan satu tim mau ngadain makan bersama, saya nggak enak kalo nggak ikut. Apalagi saya orang baru," kata Riana hati-hati.

"Kirimkan alamat tempat makan kalian nanti,"

"Ta..."

Sambungan telepon sudah terputus sebelum Riana mengatakan sesuatu.

'Mengirim alamat tempat makan? Jangan bilang dia mau gabung? Bisa merusak atmosfer,' pikir Riana.

"Gimana, Ri?" tanya Dinda yang melihat Riana sudah kembali.

"Eh? Oh, oke. Bisa. Kita mau makan dimana?" tanya Riana.

"Kedai steak yang biasa aja ya, Ga?" tanya Dinda.

"Boleh," kata Raga.

"Kedai steak langganan kita. Steaknya nggak kalah sama resto-resto kelas atas yang bintang lima itu," bisik Dinda.

"Wah jadi nggak sabar. Udah lama nggak makan steak," komentar Riana. Raga terlihat tersenyum. Dinda yang melirik ke arah Raga juga ikut tersenyum

'Bakalan rumit nih,' batin Leo yang memperhatikan tingkah rekan-rekan kerjanya.

Waktu selalu bergulir begitu cepat ketika sibuk. Jam kerja pun usai sepuluh menit yang lalu. Riana dan gerombolannya sudah duduk di kedai steak yang ternyata berjarak hanya kira-kira 200 meter dari kantor. Kedainya sederhana. Banyak aksen kayu dan bambu yang menghiasi kedai sehingga terasa homey.

"Enak ya suasananya," kata Riana setelah sibuk dengan ponselnya, tentu saja untuk membagikan lokasinya saat ini kepada Barra.

"Kaaan... Kita sering makan bareng disini. Selain rasa masakannya yg enak, tempatnya juga adem di tengah kota yang puanas ini," kata Dinda.

"Tapi seringnya Raga yang nraktir. Dinda cuma modal suara aja," cibir Leo.

"Sialan lo!" kata Dinda sewot.

"Kalian ini nggak pernah akur," komentar Riana sambil tertawa kecil.

"Untung aja kalo lagi ngerjain kerjaan mereka bisa klop, kalo nggak yang ada gue yang pusing," kata Raga ketika sudah ikut gabung setelah selesai menyerahkan menu pesanan mereka ke meja kasir.

"Kalian udah berapa tahu satu tim?" tanya Riana kemudian.

"Mmm... Tiga tahun keknya ya?" tanya Dinda pada Leo. Leo mengangguk.

"Sebelumnya ada satu lagi programmer juga di tim kita. Cowok. Ketua tim sebelum Raga. Resign karena dapet tawaran dari perusahaan luar," cerita Leo.

"Awalnya Tuan Barra agak berat sih melepas Roni. Sampe-sampe Tuan Barra menawarkan akan menaikkan gaji Roni. Tapi, Roni bilang, bukan uang yang dia cari, tapi experience. Meski di perusahaan barunya nanti dia bukan ketua tim, yang dia cari bukan nominalnya, tapi pengalamannya, gitu," sahut Raga. Riana manggut-manggut mendengar cerita rekan-rekan satu timnya.

"Berarti dulu, Dinda cewek sendiri dong?" tanya Riana.

"Gue di sarang penyamun," kata Dinda.

"Yaelah kek kita doyan sama lo. Kita mah nggak pernah anggep lo cewek," lagi-lagi Leo meledek Dinda.

"Ya iya. Elo mana doyan cewek?" giliran Dinda yang melemparkan serangan pada Leo.

"Sial! Gini-gini gue normal kalik," kilah Leo gemas.

"Bisa buktiin nggak?" tantang Dinda nggak kalah gemas.

"Udaaaah... Kalian ini nggak capek apa? Aku aja yang liat capek," kata Riana mencoba melerai kedua rekan kerjanya.

"Nggak!" jawab Leo dan Dinda bersamaan. Lalu keduanya saling pandang dan sedetik kemudian membuang muka.

"Umur boleh dua puluh lima, tapi kelakuan udah kek anak SD," komentar Raga.

"RAGA!" teriak Leo dan Dinda bersamaan, lagi. Lagi-lagi keduanya saling pandang dan membuang muka lagi.

Raga dan Riana saling melempar pandang dan senyum. Menertawai dalam hati kelakuan Leo dan Dinda. Raga merasa lega dapat menjalin keakraban diantara teman-teman satu timnya, terutama dengan Riana. Kedekatan yang alami ini membuat Raga sedikit berharap tentang hubungannya dengan Riana.

'Boleh nggak, Ri, aku berharap?'

***

Episodes
Episodes

Updated 67 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!