Mengunjungi Papa Mama

Sabtu pagi ini sepertinya cuaca mewakili perasaan hati Riana, mendung. Pikiran Riana yang masih menerka-nerka tentang apa yang akan dikatakan Barra kepada kedua orantuanya tak bisa dia hilangkan begitu saja. Rasanya kepalanya sedikit pusing karena memikirkan hal itu.

Jam sudah menunjukkan pukul 08.53. Riana bergegas keluar kamarnya, sebelum Barra yang masuk ke kamarnya. Setelah mengunci pintu, Riana bergegas turun untuk menunggu Barra di depan apartemen mininya. Tepat ketika Riana keluar dari pintu gerbang, mobil Barra akan masuk. Tanpa menunggu lagi, Riana segera membuka pintu mobil dan duduk di samping Barra.

"Sepertinya kamu orang yang menghargai waktu," komentar Barra ketika Riana sudah duduk di sampingnya.

"Seperti kata peribahasa Tuan, waktu adalah uang," jawab Riana cepat.

'Aku cuma nggak mau kamu asal nyelonong masuk ke kamar aku,' batin Riana.

"Atau jangan-jangan, kamu buru-buru turun, karena kamu nggak mau saya naik?" pertanyaan Barra sukses membuat mata Riana terbelalak.

'Jangan bilang dia bisa baca pikiran orang,'

Barra tersenyum tipis melihat ekspresi Riana. Baginya Riana memang gadis yang mudah sekali dibaca. Riana memalingkan wajahnya, melemparkan pandangannya keluar jendela, seperti biasa. Barra melihat Riana dari ujung kepala hingga ujung kaki. Barang-barang yang dipakai gadis itu tidak ada yang bermerek. Semua biasa saja. Tapi entah mengapa terlihat begitu anggun dan manis. Barra menggelengkan kepalanya lalu ikut melempar pandangan keluar jendela. Hening menyeruak. Rei yang berada di belakang kemudi merasakan atmosfer yang aneh dan tak nyaman.

'Mengapa kalian tidak mencoba mengakrabkan diri saja?' pikir Rei.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan yang terkadang macet, terkadang lengang. Akhir pekan memang selalu padat di jalanan kota atau yang menuju tempat wisata. Riana masih tenggelam dalam pikirannya sendiri, tak tahu harus membicarakan apa dengan Barra di dalam mobil.

Barra menoleh sebentar ke arah Riana yang masih menatap keluar jendela. Gadis itu benar-benar diam. Ada apa? Biasanya dia banyak pertanyaan. Kenapa hari ini dia begitu diam? Barra mengerutkan alisnya. Lalu menoleh, menatap lagi keluar jendela.

'Lagi mikirin apa sih dia?' tanya Barra dalam hati.

Tak terasa mobil sudah memasuki pelataran rumah orang tua Riana. Rei memarkirkan mobil di halaman depan yang cukup luas. Papa Danu dan Mama Lily terlihat sudah di teras menyambut kedatangan Riana. Riana sudah mengirim pesan sebelumnya kepada Mama Lily bahwa dia akan berkunjung bersama calon suaminya. Mama Lily sangat terkejut waktu itu. Tapi, Riana bilang bahwa calon suaminya akan menjelaskan semuanya.

"Mari mari silakan masuk," kata Mama Lily mempersilakan Barra dan Riana masuk.

Barra menyalami Papa Danu dan Mama Lily dengan sopan, lalu masuk ke rumah. Mama Lily menarik lengan Riana, seakan sudah tak sabar meminta penjelasan dari anak asuhnya itu.

"Kenapa tiba-tiba? Kamu nggak hamil kan?" bisik Mama Lily.

"Mama, ya enggak laaah... Biar Tu... Biar Barra aja yang jelasin," Riana merasa aneh kalo harus memanggil Barra dengan sebutan "Tuan" di depan orang tuanya.

"Kelihatannya dia orang kaya," komentar Mama Lily.

"Memang, Ma. Udah yuk," ajak Riana untuk segera menyusul Barra dan Papa Danu yang sudah masuk duluan.

"Maaf ya, Nak Barra. Yaa beginilah rumah kami, cuma sederhana aja," kata Mama Lily mencoba ramah pada calon menantu yang masih dicurigainya.

"Nggak apa-apa Tante. Yang penting bisa buat berteduh dan nyaman," kata Barra sopan.

'Kenapa dia jadi berubah gitu? Dia beneran Tuan Barra kan?' batin Riana kaget melihat Barra yang biasanya dingin dan tegas, jadi ramah dan sopan.

"Panggil mama aja, kan katanya mau nikah sama Riana," kata Mama Lily.

"Omong-omong, Nak Barra, jujur saja, kami berdua kaget waktu Riana kasih kabar mau berkunjung kesini sama calon suaminya. Apalagi mamanya itu, udah parno aja. Soalnya setau kami, Riana itu nggak pernah punya pacar. Mamanya takut kalau-kalau Riana..." Papa Danu melirik Mama Lily.

"Tenang saja, Om dan Tante. Maksud kedatangan saya kesini memang untuk meminta restu Om dan Tante agar bisa menyerahkan putri perempuan Om dan Tante satu-satunya kepada saya. Kami memang tidak berpacaran. Tapi ketika saya pertama kali melihat putri Om, saya langsung merasa bahwa dia adalah wanita yang tepat untuk saya nikahi. Jadi saya putuskan untuk segera melamarnya," jelas Barra.

"Kalau boleh tau, kapan Nak Barra pertama kali bertemu dengan Riana?" tanya Mama Lily yang tambah penasaran setelah mendengar penjelasan dari Barra.

"Hari pertama dia bekerja di perusahaan saya," jawab Barra santai. Papa Danu dan Mama Lily kaget. Riana apalagi.

'Bisa-bisanya dia sesantai itu? Hari pertama aku bekerja kan baru enam hari yang lalu,' batin Riana.

"Jadi... Tunggu, tunggu. Nak Barra bertemu dengan Riana pertama kali saat hari pertamanya bekerja?" tanya Papa Danu memastikan. Barra mengangguk santai.

"Dan Nak Barra langsung memutuskan menikahinya?" tanya Papa Danu lagi. Lagi-lagi Barra mengangguk santai.

"Itu artinya, baru enam hari yang lalu?" tanya Papa Danu kembali memastikan bahwa apa yang dikatakan calon menantunya itu benar.

"Iya, Om. Lebih cepat lebih baik bukan?" tanya Barra dengan nada yang sangat santai. Riana merasa tak bisa mengharapkan akan mendapat restu dengan cara seperti ini.

"Tapi... Apa Nak Barra nggak mau pacaran dulu gitu sama Riana? Yaaa biar lebih kenal sama Riana, biar nggak kaget kalo pas udah nikah ternyata Riana nggak sesuai yang Nak Barra pikirkan," bujuk Mama Lily.

"Saya rasa pacaran itu hanya buang-buang waktu saja Tante. Kita bisa saling mengenal setelah menikah. Lagipula saya tidak mengharapkan Riana yang gimana-gimana. Jadi untuk apa pacaran?" kata Barra, membuat Papa Danu manggut-manggut.

Mama Lily menoleh ke arah Riana, menatap putri asuhnya seolah bertanya apa semua ini nyata. Riana hanya mengangguk perlahan. Mama Lily yakin ada sesuatu yang tak beres dengan lamaran dari Barra. Mengapa begitu buru-buru? Ada hal mendesak apa?

Mama Lily menggenggam tangan Riana. Menatap kedua mata putrinya, seolah mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi, Mama Lily tak menemukan apapun. Mama Lily tahu, Riana bukan tipe gadis yang asal mengambil keputusan. Tapi pernikahan ini? Mama Lily masih tidak percaya dengan semua yang dikatakan Barra. Barra hanya bilang begitu melihat Riana, Barra ingin menikahinya. Apakah Barra mencintai Riana?

Mama Lily tak tahu apakah harus menerima lamaran Barra atau tidak. Rasanya ada sesuatu yang aneh dalam lamaran ini. Mama Lily menatap Papa Danu yang juga menatapnya. Papa Danu seperti mengerti apa yang dipikirkan Mama Lily. Meskipun Riana bukan putri kandungnya, tapi Papa Danu selalu menjaganya seperti anaknya sendiri. Papa Danu menatap Riana yang menatap Barra. Ada sesuatu di mata Riana yang Papa Danu tak bisa mengartikannya. Marah? Benci? Sebal? Entah.

'Papa nggak akan menyerahkan kamu semudah itu pada pria ini,'

***

Episodes
Episodes

Updated 67 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!