Raga pada Riana

Hari demi hari berlalu. Riana tentu saja masih sering dikejutkan dengan kemunculan Barra yang tiba-tiba di apartemen mininya. Setiap hari Barra mampir kesana. Dan itu membuat Riana sedikit banyak risih. Apalagi dengan penilaian orang-orang yang tinggal disana. Tentu saja gosip tentang Riana yang merayu Barra dan akhirnya membuat Barra jatuh cinta pada Riana tersebar kesuluruh jagad apartemen milik Barra itu.

Tapi apalah arti sebuah gosip. Meskipun risih, Riana tak terlalu menghiraukan bagaimana penilaian orang terhadapnya, kecuali dalam hal pekerjaan. Riana selalu melakukan yang terbaik dalam pekerjaannya, sehingga jika ada complain, kritik dan saran Riana akan mendengarkan dan melakukan hal-hal penting untuk memperbaiki kesalahannya.

Riana memang sengaja tidak terlalu bergaul dengan orang-orang di apartemen mininya itu. Untuk apa? Toh, dia hanya disitu dua atau tiga bulan yang tak akan lama dan selama-lamanya. Riana juga tidak punya banyak waktu berinteraksi sosial karena dia harus berangkat pagi dan pulang sore. Setelah bekerja, Riana lebih memilih rebahan kalau tak ada gangguan dari Barra yang tiba-tiba datang.

Seperti sore ini ketika Riana selesai mandi, Riana dikejutkan dengan sosok Barra yang sudah duduk di ruang makan. Jangan ditanya bagaimana Barra bisa masuk, tentunya dengan kunci cadangan yang dia punya.

'Mau ngapain lagi sih?' batin Riana merasa risih.

"Tuan, ada perlu apa?" tanya Riana dengan nada sesopan mungkin.

Seperti biasa, Barra hanya menggelengkan kepalanya. Riana menghela nafas panjang. Bayangan akan me time sore dengan semangkuk mie instan dan drama asia, memudar. Merasa sudah sangat risih dan agak mengganggu, Riana memberanikan diri bertanya pada Barra.

"Kenapa Tuan hampir setiap sore kesini? Padahal cuma duduk diam dan lalu pergi," tanya Riana.

"Kamu ingin saya melakukan apa?" Barra balik bertanya.

'Lakukan hal yang bermanfaat lah, Tuaaan. Apa saja yang penting jangan datang kesini setiap hari dan jadi patung disitu,' batin Riana.

"Tidak... Mmm... Apa Tuan tidak ada sesuatu yang lebih penting untuk dikerjakan selain duduk diam disini selama satu jam?" tanya Riana lagi, masih dengan nada yang sopan.

"Saya memang sengaja mengosongkan jadwal saya untuk ini," jawab Barra santai.

'Apa? Untuk apa? Untuk jadi patung?' protes Riana dalam hati. Karena memang Barra hanya duduk diam tanpa mengatakan apapun setiap kali Barra ke apartemen Riana. Baru kali ini Riana memberanikan diri bertanya, karena sudah empat hari berturut-turut Barra datang dan masuk tiba-tiba ke kamarnya.

"Untuk duduk diam disini? Apa nggak ada tempat yang lebih menyenangkan untuk menghabiskan waktu, Tuan?" tanya Riana, mulai sedikit jengkel. Barra menggeleng.

"Bukan untuk menghabiskan waktu," jawab Barra singkat.

"Lalu?"

Barra menatap tajam Riana, membuat Riana sedikit merasa takut dan bersalah telah terlalu banyak bertanya.

"Sudahlah. Kamu istirahat. Besok kita harus ke rumah orang tua kamu. Saya jemput jam sembilan pagi," kata Barra sambil beranjak dari duduknya.

Riana baru ingat kalau besok adalah hari Sabtu. Riana sibuk memikirkan apa yang Barra pikirkan sampai-sampai dirinya lupa tentang hari pertemuannya dengan orang tua angkatnya. Riana bertanya-tanya apakah Barra tahu tentang latar belakang keluarga Riana yang sebenarnya.

'Mana mungkin dia tak tahu,' pikir Riana.

"Kamu nggak perlu menjelaskan apapun kepada orang tua mu, biar saya yang bicara," kata Barra sebelum akhirnya keluar dari kamar Riana.

"Lagipula bagaimana aku harus menjelaskan pada mama dan papa?" gumam Riana ketika Barra sudah keluar dari kamarnya.

Riana menghela nafas panjang sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

"Kira-kira apa yang Tuan Barra akan katakan pada mama dan papa? Mama tau aku nggak pacaran dan nggak mikirin tentang itu. Apa mama akan mudah percaya dengan cerita karangan dari Tuan Barra besok?" Riana berkata pada dirinya sendiri.

Sekali lagi Riana menghela nafas panjang. Rasanya hidupnya jadi lebih berat ketika dia bertemu dengan Barra. Seandainya Riana tidak bekerja di Gameflix, mungkin saja Riana tengah menikmati masa-masa lajang dan berkarir sekarang. Tapi, Gameflix adalah perusahaan impiannya dari sejak SMA. Cita-citanya yang ingin membuat game yang bermanfaat sudah tumbuh sejak masa remaja.

Masih banyak pertanyaan di pikiran Riana tentang pertemuannya besok dengan Mama Lily dan Papa Danu. Apakah mama dan papanya akan merestui pernikahannya? Riana tahu papa dan mamanya tidak akan memandang status sosial calon menantunya saja, mereka akan lebih mementingkan bagaimana sikapnya pada Riana nantinya. Papa mamanya sangat menyayangi Riana, meskipun Riana bukan darah daging mereka.

Dering ponsel Riana mengacaukan pikiran Riana tentang esok hari. Sebuah panggilan telepon dari Raga.

"Ada apa, Ga?" tanya Riana menjawab panggilan telepon dari Raga.

"Besok lo kosong?" tanya Raga.

"Besok ada acara. Gimana?" tanya Riana.

"Penting?"

"Yaaa bisa dibilang penting sih. Sama Tuan Barra soalnya," kata Riana jujur.

"Oh, ya udah kalo gitu,"

"Eh, ada apa? Masalah kerjaan bukan?" tanya Riana penasaran.

"Senin aja kita bahas di kantor. Nggak mendesak juga kok," kata Raga.

"Beneran? Kalo nggak kita bisa ketemuan abis acara aku selesai," kata Riana mencoba memastikan bahwa semua baik-baik saja.

"Nggaaak... Nggak usah. Senin aja nggak apa-apa. Udah ya, makasih," kata Raga lalu menutup panggilan teleponnya. Riana mengerutkan alis, bingung. Lalu meletakkan ponselnya di atas meja, kembali membaringkan tubuhnya di tempat tidurnya.

Di tempat lain, Raga menghela nafas panjang. Sepertinya bersaing dengan Barra memang bukan kelasnya. Tapi, rasa ingin lebih dekat dengan Riana membuat Raga tak bisa menyerah tanpa melakukan usaha. Usaha Raga untuk lebih dekat denga Riana langsung patah begitu Riana menyebut nama Barra. Apalah dirinya jika dibandingkan dengan CEO yang tampan, cerdas dan kaya itu?

Raga menatap langit sore. Mencermati keindahan lukisan alam yang tergurat saat itu. Pikirannya masih tentang Riana. Raga belum pernah bertemu dengan gadis seperti Riana. Raga tertarik dengan keahlian Riana dalam membuat design game. Kepintaran dan ketelitian Riana membuat Raga terpesona. Raga mulai berpikir, alangkah menyenangkannya jika bisa memiliki Riana sebagai pacarnya. Namun, dapat dipastikan hal itu sangat tidak mungkin.

Bagaimana mungkin, gadis yang akan bertunangan berpaling dari tunangannya yang memiliki segalanya demi seorang pria seperti Raga? Raga tersenyum kecut meratapi nasibnya, tertarik dengan gadis calon tunangan bosnya. Tidak mungkin Raga akan mencoba merebut Riana dari Barra. Atau mungkin kisahnya akan seperti di novel-novel romantis, yang seperti menjadi pemeran pendukung, padahal dia pemeran utama? Raga tidak sekonyol itu. Raga mencoba memupus perasaannya pada Riana.

'Apa gue bisa? Sedangkan hampir setiap hari gue ngeliat dia,'

***

Episodes
Episodes

Updated 67 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!