Memanas

Nanang menggaruk pelipisnya dengan kesal saking tidak sukanya ada yang mengganggu istirahat malamnya.

“Kamu ini bisa diam tidak? Sudah malam ini, besok Bapak kerja, kamu sekolah. Besok lagi ngobrolnya, Jalu... Tidur...” ucapnya dengan serak.

Pak RT naik tensi. Dipukul kaki Nanang dengan sapu ranjang. “Jalu... Jalu... Ini Pak RT, Pak Nanang! Bangun...”

Di tengah alam sadar dan alam mimpi seorang komisaris utama perusahaan gula dan teh milik keluarga itu, Nanang menimbang-nimbang suara Pak RT dan anak pertamanya yang berbeda sekali.

Kening Nanang berkerut. “Pak RT kenapa di rumahku ya? Jadwal ronda malam apa?”

“Itu karena Pak Nanang kumpul kebo dengan Bu Jani!” sembur Pak RT.

Nanang menyamankan posisi kepalanya di bantal sebelum matanya terbuka sempurna seolah ada gelas yang membentur lantai. Pecah berkeping-keping dan mengagetkan.

“Kumpul kebo apa?” katanya heran sebelum menoleh ke arah semua Bapak yang menyoraki kelakuannya.

Nanang semakin terkejut, ada banyak orang di kamar anaknya. Kok bisa?

“Siapa yang kempul kebo?” Ulangnya lagi karena merasa dia tidak melakukannya. “Saya tidak pernah menyentuh kakak ipar Rinjani.”

“Lalu siapa yang tidur di samping Pak Nanang sekarang?” Pak RT menunjuk-nunjuk Rinjani sambil melotot.

Tapi alih-alih segera bangkit, Nanang mencari kejanggalan di ranjangnya setelah mengamati tubuh Rinjani yang memunggunginya.

“Kami tidur bersama anak-anakku yang cilik, ke mana mereka? Kenapa mereka tidak ada di sini?” tanyanya panik sambil membuka tutup selimut. “Di mana anak-anakku, Ri... Rinjani.”

Nanang menggoyangkan bahu mantan pacarnya diusia muda. “Ri, anakku hilang... Bangun toh, ada Pak RT juga ini.”

Pak RT menepuk kening. Ini acara penggrebekan, bukan pencarian anak cilik yang tiba-tiba hilang dari ranjang. Cari-cari alasan saja!

“Pak Nanang dan Bu Jani sekarang bangun terus keluar kamar, ada hal-hal yang mau saya tanyakan mengenai kondisi mencengangkan ini!”

Nanang tetap teguh membangunkan Rinjani yang mirip orang pingsan tanpa menggubris perkataan Pak RT dan rombongannya.

“Kamu ini tidur atau pura-pura semaput?” Tega, Nanang menjewer kuping Rinjani. “Bangun kamu, pembohong!” katanya tegas selagi kamar itu hanya milik berdua. Pak RT dan rombongannya keluar dan menunggu di ruang keluarga.

Rinjani mengusap telinganya yang panas. “Aku pura-pura agar tidak perlu ribut dengan Pak RT. Air liurnya itu lho muncrat-muncrat. Kamu urus mereka.” katanya seraya berbalik, menatap Nanang.

“Lagian kenapa kamu ikut-ikutan tidur di kamar Anjana dan Anjani? Nimbrung terus ya kerjaanmu, cari-cari kesempatan terus.” Rinjani melotot.

Nanang menyugar rambutnya dengan kasar. “Aku tadi rencananya cuma merem sebentar. Aku kangen anak-anak. Tapi kebablasan.”

“Terus... dari mana Pak RT dan warga tahu kita tidur bareng? Sengaja kamu minta di grebek mereka? Kamu telepon-telepon Pak RT biar ke sini?” tukas Rinjani.

Nanang mengusap wajahnya. Kelihatan stres, bukan karena di grebek Pak RT dan akan menjadi bulan-bulanan warga setempat, tapi karena kelakuan mantannya yang slalu berpikir jelek tentang kegenitannya yang tidak sirna di makan usia.

“Astagfirullah, Ri. Aku tidak pernah berpikir licik seperti itu.” Nanang beranjak dari ranjang penuh boneka. “Aku akan cari tahu semua kronologinya, cuma kamu ikut ke depan, dengar semuanya biar tuduhanmu itu salah karena aku tidak tahu menahu kenapa mereka bisa ke sini .” katanya jengkel.

Rinjani menggeram. “Baru kali ini, niat baikku jadi perkara besar!”

“Pssst...” Nanang melempar sisir kepadanya biar rambutnya yang seperti nenek lampir itu dirapikan. “Jangan ngomong apapun selagi aku ngomong nanti. Awas...” ancamnya karena mulut wanita biasanya ngelantur panjang dan membuat urusan semakin besar.

“Ya Tuhan, kamu minta aku diam selagi aku tidak bisa menyuarakan pendapatku?” Rinjani menghela napas. Mendadak panik karena perlu menghadapi Pak RT yang banyak ba-bi-bu itu dan dia tidak suka aibnya tersebar.

“Bagaimana caranya aku harus menanggung semua ini? Aku tidak berbuat salah, aku tidak mau mempertanggungjawabkan kejadian ini. Ini semua hanya salah paham, tadi ada anak-anak di sini, di mana mereka? Hilang, jalan keluar? Di curi maling?”

Rinjani menatap Nanang. Dan gara-gara tuduhannya tadi tampang Nanang pun terlihat super jutek.

Rinjani menghela napas karena biasanya pria itu akan menjadi garda terdepan dalam memberi pertolongan, sekarang Nanang pergi tanpa sepatah kata.

“Tumben dia ngambek begitu. Biasanya juga biasa saja aku tuduh, dia malah suka.” Rinjani mengumpulkan rambutnya dan memasang jepitan rambut sebelum keluar kamar.

Rinjani menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa selagi Pak RT dan rombongan memandangnya.

Nanang menghela napas, dia yakin janda kakaknya itu sedang berenang terlalu dalam pada kegelisahan dan kewaspadaan. Wajahnya pias dan gayanya mirip kucingnya saat menanti tikus di pinggir saluran air. Mematung, meski matanya awas.

Nanang menyuruh pemimpin penjaga rumah untuk melindungi Rinjani dari sorot mata Bapak-bapak yang lain.

Rinjani menghela napas, berbisik dia pada pemimpin penjaga rumah. “Siap-siap, habis ini kamu aku pecat!”

Ade Rai kw itu mengepalkan tangan. “Jangan pecat saya, Bu. Saya punya alasan. Pak RT membawa bukti konkret mengenai skandal Bu Jani dan Pak Nanang, video kalian tersebar.”

“Video apa?” sentak Rinjani. “Siapa yang berani membidik saya dan menyebarkannya? Tidak sopan, panggil semua pelayan rumah sekarang, bawa ke sini! Kurang ajar, ada pengkhianatan di rumah ini.” teriaknya.

Nanang menghela napas. ‘Kucing itu sudah mengejar buruannya dan urusan ini pasti sampai pagi. Kasian anak-anakku, pasti terganggu tidur nyenyaknya, kasian.’

Nanang mengamati Rinjani yang bersedekap dengan ekspresi marah lalu memberi senyum pada Pak RT dan rombongannya.

“Sepertinya Bapak boleh menjelaskan sebelum urusan internal keluarga ini semakin panas.”

Pak RT meminta ponsel warganya seraya menunjukkan video yang tersebar.

Nanang mengerjapkan mata. “Itu memang aku dan Rinjani, tapi apa masalahnya, Pak RT? Itu hanya video tidur, bukan video biru.”

Pak RT terpaku sesaat. Apa masalahnya? Masalahnya apa? Keterlaluan, bagaimana bisa begitu saja tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Kebangetan. Pak RT melepas kopiah hitamnya seraya menghela napas.

“Pak Nanang dan Bu Jani ini sudah menodai kepercayaan kami dan kehormatan kalian sendiri dengan tidur bersama. Itu dosa, Pak, Bu. Kalian harus menikah sebagai penebus dosa dan mengembalikan kepercayaan kami terhadap penghuni rumah ini, jika tidak...”

“Jika tidak apa?” desak Rinjani. “Pak RT mengancam saya?”

“Ri...” Nanang memperingati. “Pelan kan suaramu, anak-anak nanti pada bangun. Rewel nanti, kamu juga yang bingung.”

“Nah, anakmu kenapa hilang dari kamar? Di mana Jana dan Jani sekarang?” sembur Rinjani langsung.

Nanang menunjuk pengasuhnya yang ikut dalam rombongan para pelayan rumah yang mengantri untuk mengikuti sidang perdana tersangka penyebaran videonya.

Rinjani memandangnya tajam. ‘Oh... Tuhan... Hancur reputasiku.’

-

Terpopuler

Comments

irish gia

irish gia

aku gak tega baca ini...karena ngena bgt Jani sama Kaesang

2024-07-11

1

suminar

suminar

😅😅😅😅😅😅

2024-03-08

0

'Nchie

'Nchie

sakola sama mas kaysan yg ikhlas ya ..

2024-03-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!