NovelToon NovelToon

Gelora Cinta Usia Senja

Gara-gara Video

Rumah itu dikelilingi tembok tinggi dan penjaga yang ketat oleh pria-pria berseragam batik dan berompi kulit. Sangat sulit untuk menebus perizinan para penjaga rumah itu. Semua harus ada alasan, janji dan jadwal pertemuan untuk menemui dua kepala rumah tangga yang tinggal di lokasi yang sama, Rinjani Alianda Putri dan Nanang Adiguna Pangarep nyaris setiap hari.

Tetapi malam itu, nampak tiga pria yang menjaga pos satpam kediaman Adiguna Pangarep yang besar, seram, asri dan sejuk di pusat kota Yogyakarta kewalahan menghadapi Bapak-bapak yang berdemonstrasi jam sebelas malam.

“Pak Nanang dan Bu Rinjani kumpul kebo!”

“Mereka harus nikah. Selama ini mereka menipu...”

“Menipu apa?” Geram penjaga rumah itu mencengkeram kerah baju Pak RT. Pelopor penggrebekan rumah seseorang yang slalu di segani tanpa tedeng aling-aling itu menggeram minta di lepas. Tidak bisa napas.

“Pokoknya mereka nipu, buka pintunya! Serang, Bapak-bapak... Rumah ini harus di sterilisasi dengan cepat. Dosa besar janda dan duda tinggal di lokasi yang sama!”

Penjaga rumah pun naik tensi ketika Pak RT berusaha memberontak terhadapnya dengan hendak menginjak kaki dan memukuli badannya. Tapi tak bisa, tubuh Pak RT terlalu ceking dan mungil melawan gagahnya penjaga rumah yang mirip Ade Rai itu.

“Anda jawab saja, Tuan kami menipu apa?” bentaknya. “Dan siapa yang merasa tertipu?”

Pak RT memegangi pergelangan penjaga rumah sambil melotot. “Mereka bersikap baik di hadapan semua orang, tetapi di rumah ini, rumah ini penuh rahasia. Mereka maksiat! Nanang dan Rinjani tidur bersama.”

Rasanya penjaga rumah itu ingin menanggalkan organ penting dalam tubuh Pak RT biar ikut mati bersama kematian lelaki dan perempuan yang dicintai Rinjani dan Nanang saking gemesnya dengan tuduhan itu.

“Begitu tidak sopannya anda menyebut tuan kami maksiat dan rumah ini menipu! Pergi atau napas anda menjadi pendek-pendek.”

Dengan segenap kekuatan batin dan rasa tanggung jawabnya atas kepercayaan yang telah di curahkan kepadanya sebagai ketua Rumah Tangga, dia mengayunkan kakinya, membentur tulang kering penjaga rumah.

Kaget, cengkeraman tangan penjaga rumah terlepas. Dia mendengus meski tetap menjaga gerbang besi motif wayang dengan tegap di saat para Bapak-bapak berebut melempar gerbang dengan batu, membuat gaduh suasana.

“Apa yang menyebabkan kalian datang kemari malam-malam? Apa tidak bisa menunggu pagi?”

Pak RT merogoh ponselnya dan memperlihatkan video Rinjani dan Nanang yang tertidur pulas di ranjang merah muda milik Anjana dan Anjani. Berdua saja tanpa balita-balita itu.

“Video ini adalah buktinya, bukti bawah selama ini keberadaan Bu Rinjani dan Pak Nanang bukan sekedar saudara ipar, mereka punya skandal besar di balik sikap ramah dan kewibawaan mereka!” sembur Pak RT.

Penjaga rumah menyahut ponselnya dan menghapus cuplikan video itu. Dia menatap Pak RT yang tetap melotot dan merasa sudah tiba gilirannya merasakan menang.

“Video itu bukanlah skandal besar, mereka hanya tidur bersama bukan bercocok tanam dan memperbanyak anak.” katanya muram.

Pak RT mencibir keterbukaan penjaga rumah itu. Dan sebagai pria yang wajib meluruskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan warganya meskipun warganya lebih kaya tujuh turunan dari zaman nenek moyang, tugasnya tetap harus jalan.

“Video itu sama saja, sudah tersebar di grup RT. Sudah, begini saja. Pak satpam buka pintunya biar saya ceramah di dalam untuk memperingati mereka daripada besok saya bawa ras terkuat di bumi ini untuk demo besar-besaran!”

Tiga pria penjaga rumah itu segera saling pandang, diskusi dilakukan hanya dari sorot mata yang melotot dan mengedip seolah pertimbangan alot itu sangat berpengaruh.

Ade Rai kw berdehem, menggerak-gerakkan lehernya seolah pemanasan.

“Pintu gerbang akan di buka lima menit lagi.” Wajah-wajah penggrebekan rumah ningrat itu nampak bungah. “Tapi ada syarat. Diam selama pengintaian atau kalian akan saya laporkan ke pihak berwajib atas dasar usaha merugikan dan mencemarkan nama baik para tuan.”

Pak RT segera mengiyakan, Bapak-bapak yang lain pun iya. Pokoknya selagi masih bisa melakukan pembenaran dari apa yang di lihat, mereka kompak.

Pintu gerbang terbuka. Syaratnya memang hanya diam mulutnya, bukan lari. Jadi Pak RT yang mempunyai kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu segera lari tunggang langgang memasuki rumah klasik yang memiliki banyak pintu.

Ade Rai kw menggeram sambil tergopoh-gopoh mengejar kawanan Bapak-bapak kebanyakan kopi gula itu.

“Ini urusan gawat, bagaimana bisa video semacam itu sampai ke Pak RT? Siapa yang berani menodai kedamaian rumah ini dan pekerjaanku?”

Kawan-kawannya mengendikkan bahu, soal itu mereka jelas tidak tahu karena ranah mereka sebatas satpam gerbang masuk dan keluar. Jadi yang berani menyebarkan ruang pribadi para tuan hanyalah penghuni rumah.

“Mungkin pelayan rumah yang tidak suka, Pak.”

Langkah pemimpin para penjaga gerbang itu mengambil arah lain, dia pergi ke rumah yang digunakan para pelayan rumah tangga beristirahat sementara di dalam rumah utama, satu persatu pintu mencoba di buka oleh para rombongan Pak RT. Sepi, rumah utama kosong, lima anak Rinjani Alianda Putri sudah menetap di rumah masing-masing setelah menikah.

“Pasti di rumah Pak Nanang, ayo, Bapak-bapak. Ini akan menjadi pahala untuk kita semua.” ajak Pak RT menggebu-gebu tanpa mempedulikan nada peringatan dari dua penjaga gerbang yang mati-matian menghalangi mereka.

“Mereka pasti di salah satu kamar rumah ini. Anak-anak Pak Nanang itu masih kecil-kecil, butuh sosok ibu. Jadi...” ucap Pak RT di depan pintu antik.

“Jadi mereka benar-benar menjalani kehidupan rumah tangga untuk anak-anak mereka. Wah... parah ini. Serbu, Bapak-bapak...”

Dikomandoi Pak RT, rombongannya menyingkirkan dua penjaga gerbang dengan tarik menarik secara susah payah sebelum membuka pintu pintu yang tak terkunci. Selain engselnya sudah longgar dan berderit, mengunci pintu tidak pernah Nanang lakukan.

Mereka mengendap-endap menuju pintu pertama. Jalu Aji sudah tidur dengan komputer menyala. Kamar kedua, Senja dan Pagi tidur bersama kucing-kucing mereka. Kamar ketiga kosong, menuju kamar keempat dan kelima, situasi semakin menegangkan. Ada suara, balita hampir menangis dan suara wanita menenangkan, lalu langkah-langkah kaki yang mendekat dari luar secara bersama-sama membuat Pak RT segera tahu kamar ke lima ialah tempat terjadinya perkara.

Pak RT mendorong pintu dengan pelan, matanya melotot, dirinya tergoda untuk segera membangunkan mereka. Tetapi foto dulu, penting, sebagai bukti bahwa sudah ditemukan sepasang ‘non muhrim’ tidur bersama sambil pelukan.

“Astagfirullah, Pak Nanang... Bu Jani...” Pak RT mengambil bantal lalu memukul kaki mereka. “Astagfirullah, tidak etis ini di lihat. Bangun... Bangun...”

-

Memanas

Nanang menggaruk pelipisnya dengan kesal saking tidak sukanya ada yang mengganggu istirahat malamnya.

“Kamu ini bisa diam tidak? Sudah malam ini, besok Bapak kerja, kamu sekolah. Besok lagi ngobrolnya, Jalu... Tidur...” ucapnya dengan serak.

Pak RT naik tensi. Dipukul kaki Nanang dengan sapu ranjang. “Jalu... Jalu... Ini Pak RT, Pak Nanang! Bangun...”

Di tengah alam sadar dan alam mimpi seorang komisaris utama perusahaan gula dan teh milik keluarga itu, Nanang menimbang-nimbang suara Pak RT dan anak pertamanya yang berbeda sekali.

Kening Nanang berkerut. “Pak RT kenapa di rumahku ya? Jadwal ronda malam apa?”

“Itu karena Pak Nanang kumpul kebo dengan Bu Jani!” sembur Pak RT.

Nanang menyamankan posisi kepalanya di bantal sebelum matanya terbuka sempurna seolah ada gelas yang membentur lantai. Pecah berkeping-keping dan mengagetkan.

“Kumpul kebo apa?” katanya heran sebelum menoleh ke arah semua Bapak yang menyoraki kelakuannya.

Nanang semakin terkejut, ada banyak orang di kamar anaknya. Kok bisa?

“Siapa yang kempul kebo?” Ulangnya lagi karena merasa dia tidak melakukannya. “Saya tidak pernah menyentuh kakak ipar Rinjani.”

“Lalu siapa yang tidur di samping Pak Nanang sekarang?” Pak RT menunjuk-nunjuk Rinjani sambil melotot.

Tapi alih-alih segera bangkit, Nanang mencari kejanggalan di ranjangnya setelah mengamati tubuh Rinjani yang memunggunginya.

“Kami tidur bersama anak-anakku yang cilik, ke mana mereka? Kenapa mereka tidak ada di sini?” tanyanya panik sambil membuka tutup selimut. “Di mana anak-anakku, Ri... Rinjani.”

Nanang menggoyangkan bahu mantan pacarnya diusia muda. “Ri, anakku hilang... Bangun toh, ada Pak RT juga ini.”

Pak RT menepuk kening. Ini acara penggrebekan, bukan pencarian anak cilik yang tiba-tiba hilang dari ranjang. Cari-cari alasan saja!

“Pak Nanang dan Bu Jani sekarang bangun terus keluar kamar, ada hal-hal yang mau saya tanyakan mengenai kondisi mencengangkan ini!”

Nanang tetap teguh membangunkan Rinjani yang mirip orang pingsan tanpa menggubris perkataan Pak RT dan rombongannya.

“Kamu ini tidur atau pura-pura semaput?” Tega, Nanang menjewer kuping Rinjani. “Bangun kamu, pembohong!” katanya tegas selagi kamar itu hanya milik berdua. Pak RT dan rombongannya keluar dan menunggu di ruang keluarga.

Rinjani mengusap telinganya yang panas. “Aku pura-pura agar tidak perlu ribut dengan Pak RT. Air liurnya itu lho muncrat-muncrat. Kamu urus mereka.” katanya seraya berbalik, menatap Nanang.

“Lagian kenapa kamu ikut-ikutan tidur di kamar Anjana dan Anjani? Nimbrung terus ya kerjaanmu, cari-cari kesempatan terus.” Rinjani melotot.

Nanang menyugar rambutnya dengan kasar. “Aku tadi rencananya cuma merem sebentar. Aku kangen anak-anak. Tapi kebablasan.”

“Terus... dari mana Pak RT dan warga tahu kita tidur bareng? Sengaja kamu minta di grebek mereka? Kamu telepon-telepon Pak RT biar ke sini?” tukas Rinjani.

Nanang mengusap wajahnya. Kelihatan stres, bukan karena di grebek Pak RT dan akan menjadi bulan-bulanan warga setempat, tapi karena kelakuan mantannya yang slalu berpikir jelek tentang kegenitannya yang tidak sirna di makan usia.

“Astagfirullah, Ri. Aku tidak pernah berpikir licik seperti itu.” Nanang beranjak dari ranjang penuh boneka. “Aku akan cari tahu semua kronologinya, cuma kamu ikut ke depan, dengar semuanya biar tuduhanmu itu salah karena aku tidak tahu menahu kenapa mereka bisa ke sini .” katanya jengkel.

Rinjani menggeram. “Baru kali ini, niat baikku jadi perkara besar!”

“Pssst...” Nanang melempar sisir kepadanya biar rambutnya yang seperti nenek lampir itu dirapikan. “Jangan ngomong apapun selagi aku ngomong nanti. Awas...” ancamnya karena mulut wanita biasanya ngelantur panjang dan membuat urusan semakin besar.

“Ya Tuhan, kamu minta aku diam selagi aku tidak bisa menyuarakan pendapatku?” Rinjani menghela napas. Mendadak panik karena perlu menghadapi Pak RT yang banyak ba-bi-bu itu dan dia tidak suka aibnya tersebar.

“Bagaimana caranya aku harus menanggung semua ini? Aku tidak berbuat salah, aku tidak mau mempertanggungjawabkan kejadian ini. Ini semua hanya salah paham, tadi ada anak-anak di sini, di mana mereka? Hilang, jalan keluar? Di curi maling?”

Rinjani menatap Nanang. Dan gara-gara tuduhannya tadi tampang Nanang pun terlihat super jutek.

Rinjani menghela napas karena biasanya pria itu akan menjadi garda terdepan dalam memberi pertolongan, sekarang Nanang pergi tanpa sepatah kata.

“Tumben dia ngambek begitu. Biasanya juga biasa saja aku tuduh, dia malah suka.” Rinjani mengumpulkan rambutnya dan memasang jepitan rambut sebelum keluar kamar.

Rinjani menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa selagi Pak RT dan rombongan memandangnya.

Nanang menghela napas, dia yakin janda kakaknya itu sedang berenang terlalu dalam pada kegelisahan dan kewaspadaan. Wajahnya pias dan gayanya mirip kucingnya saat menanti tikus di pinggir saluran air. Mematung, meski matanya awas.

Nanang menyuruh pemimpin penjaga rumah untuk melindungi Rinjani dari sorot mata Bapak-bapak yang lain.

Rinjani menghela napas, berbisik dia pada pemimpin penjaga rumah. “Siap-siap, habis ini kamu aku pecat!”

Ade Rai kw itu mengepalkan tangan. “Jangan pecat saya, Bu. Saya punya alasan. Pak RT membawa bukti konkret mengenai skandal Bu Jani dan Pak Nanang, video kalian tersebar.”

“Video apa?” sentak Rinjani. “Siapa yang berani membidik saya dan menyebarkannya? Tidak sopan, panggil semua pelayan rumah sekarang, bawa ke sini! Kurang ajar, ada pengkhianatan di rumah ini.” teriaknya.

Nanang menghela napas. ‘Kucing itu sudah mengejar buruannya dan urusan ini pasti sampai pagi. Kasian anak-anakku, pasti terganggu tidur nyenyaknya, kasian.’

Nanang mengamati Rinjani yang bersedekap dengan ekspresi marah lalu memberi senyum pada Pak RT dan rombongannya.

“Sepertinya Bapak boleh menjelaskan sebelum urusan internal keluarga ini semakin panas.”

Pak RT meminta ponsel warganya seraya menunjukkan video yang tersebar.

Nanang mengerjapkan mata. “Itu memang aku dan Rinjani, tapi apa masalahnya, Pak RT? Itu hanya video tidur, bukan video biru.”

Pak RT terpaku sesaat. Apa masalahnya? Masalahnya apa? Keterlaluan, bagaimana bisa begitu saja tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Kebangetan. Pak RT melepas kopiah hitamnya seraya menghela napas.

“Pak Nanang dan Bu Jani ini sudah menodai kepercayaan kami dan kehormatan kalian sendiri dengan tidur bersama. Itu dosa, Pak, Bu. Kalian harus menikah sebagai penebus dosa dan mengembalikan kepercayaan kami terhadap penghuni rumah ini, jika tidak...”

“Jika tidak apa?” desak Rinjani. “Pak RT mengancam saya?”

“Ri...” Nanang memperingati. “Pelan kan suaramu, anak-anak nanti pada bangun. Rewel nanti, kamu juga yang bingung.”

“Nah, anakmu kenapa hilang dari kamar? Di mana Jana dan Jani sekarang?” sembur Rinjani langsung.

Nanang menunjuk pengasuhnya yang ikut dalam rombongan para pelayan rumah yang mengantri untuk mengikuti sidang perdana tersangka penyebaran videonya.

Rinjani memandangnya tajam. ‘Oh... Tuhan... Hancur reputasiku.’

-

Setangkai Cinta (Tak) Bertuan

“Jika tidak ada pernikahan, satu di antara kalian angkat kaki dari rumah ini!” Pak RT berdiri setelah melempar satu permintaan mencengangkan.

Pak RT menatap mereka bergantian. Agak lama kemudian, dia bilang, “Bagaimana, Pak Nanang, Bu Jani? Sanggup tidak?”

Baik Rinjani dan Nanang hanya bisa saling tatap dengan mata melebar.

Angkat kaki dari rumah itu? Bukan tidak bisa, tapi tidak mudah. Anak ketiga Nanang dari lahir sudah ketergantungan dengan Rinjani, karena itu setiap malam wanita itu berusaha hadir untuk sekedar menemani mereka tidur dan memantau kakaknya belajar selagi Nanang meneruskan pekerjaan suaminya dulu hingga malam.

Rinjani menghela napas. “Izinkan kami melakukan interogasi terlebih dahulu, Pak RT. Saya perlu tahu pelaku penyebaran video itu. Ini fitnah.” rayunya. Tidak mempan.

Pak RT mengibaskan tangan. Tidak penting katanya. Dan sebagai tambahan informasi, dia menunjukkan aib paling bombastis yang membuat Rinjani naik tensi.

‘Ya Tuhan, berikan hambaMu ini persediaan sabar yang ada di seluruh semesta ini...’

Pak RT menunjukkan aib bombastis itu pada Nanang.

Nanang seketika meringis, ‘Ampun. Setan apa toh yang nempel dari pabrik gula sampai segitunya aku tidak sadar? Masalah ini sampai tujuh turunan sama Pak RT dan warga akan di bahas. Ampun. Kok bisa ya...’

Pak RT memperbesar fotonya, menunjukkannya lagi pada Rinjani dan Nanang.

“Apa ini namanya Pak Nanang dan Bu Jani? Apa kalian akan mengelaknya lagi meski tadi ada anak-anak dan tidur kebablasan?” tukas Pak RT. “Ini sudah larut malam, Pak, Bu. Tapi kami akan tetap ada di sini sampai keputusan kalian ambil!”

Rinjani menyuruh semua pelayannya mengaku dan mengecek ponsel mereka bergantian dalam suasana yang dia paksa untuk tenang. Tetapi diam-diam. Jiwanya berteriak mencari jawab. Tidak ada satupun bukti pelayannya bersalah. Foto dan video yang tersimpan dalam ponsel pelayannya hanyalah foto sehari-hari, keluarga dan macam-macam screenshot dengan isian beragam jenis.

Rinjani menghirup udara. “Kembali ke kamar dan beristirahat. Tetapi jangan membicarakan hal ini pada siapapun.” katanya tegas.

Pelayan-pelayannya pun nurut toh daripada di pecat sebab berhasil menjadi bagian dari rumah itu adalah kebanggaan tersendiri bagi mereka yang telah lolos seleksi. Cuma ada kok yang sedikit membangkang.

“Aku rasa yang menyebarkan video Bu Jani dan Pak Nanang itu, Jalu Aji. Dia kan niat jadi yutuber.” kata Alita—pelayan muda ketika sudah keluar dari rumah Nanang.

“Akhir-akhir ini Jalu suka live streaming di rumah. Aku sudah lihat channel-nya. Anjana dan Anjani juga ngetop gara-gara videonya, katanya netizen lucu banget.”

“Mereka kan mirip Bu Sakila, pipinya tembem putih, ginuk-ginuk lagi. Siapa yang nggak gemes sama Jana Jani? Aku saja seneng lihat mereka.” sahut kawannya.

Dua pelayan muda itu pun segera menghentikan langkah. Diam-diam, dengan langkah pelan mereka mendekat ke jendela. Menguping pembicaraan di dalam ruang keluarga.

“Aku sebenarnya sangat menyayangi Masku dan mendiang istriku. Mereka adalah sandaranku, dan tak sanggup bagiku untuk mengecewakan mereka dengan menikahi Rinjani. Itu pengkhianatan terbesar bagiku. Tapi... Masku memang mewariskan Rinjani sebagai tanggung jawabku dan aku menyetujui, jadi... jadi...”

Rinjani menjerit histeris sebelum kalimat Nanang itu selesai.

“Aku tidak mau menikah lagi. Aku akan angkat kaki dari rumah ini.”

“Ri... kita bisa membuat kesepakatan.” Nanang berusaha mengalah. Tetapi Rinjani kekeh menggunakan hak suaranya.

“Aku tidak ingin mengkhianati cintaku yang megah dan besar untuk Mas Kaysan seorang. Aku tidak mungkin menyakiti Sakila. Ini harusnya bisa di maafkan, Pak RT.” Rinjani menjerit frustasi. Meneriakkan nama Nanang dengan keras.

Pak RT menutup kedua telinganya. Selain suara nyaring Rinjani yang membuat kupingnya berdenging. Tangis anak-anak Nanang yang kecil menambah sumpek pendengarannya.

Nanang menarik napas dan menghelanya. Terlalu banyak yang dihadapinya hingga kepalanya menegang. Namun bukan hidup namanya jika tidak ada masalah? Hidup ini tidak sempurna, masalah datang silih berganti seperti nama-nama hari. Tapi selalu saja kan, masalah itu kadang lewat begitu saja meski sudah dihadapi?

Nanang izin pamit untuk menenangkan anaknya. Tetapi Anjana dan Anjani minta di gendong budhe Riri... Mau di gendong budhe Riri... rengek mereka tanpa menggubris pengasuh dan Bapaknya sendiri.

“Ri...” Sambil menggendong anaknya yang berusia dua tahun, Nanang menghampiri Rinjani. “Ri...” panggilnya dengan lembut.

Rinjani mengusap matanya. Ketidakpekaan Nanang atas kesedihannya membuatnya kian jengkel. “Aku akan angkat kaki setelah mereka tidur.”

“Tega kamu?” tukas Nanang, tidak memberi izin bagi Rinjani menurunkan Anjana dan Anjani dari gendongannya dengan mundur cepat.

“Kamu tega meninggalkan anak-anakku demi menolak menjaga nama baik keluarga?”

Air mata Rinjani mengaliri pipi. Perihnya kehilangan itu masih utuh di benaknya walau tak sampai hati dia menunjukkan pada siapapun. Dan demi apa menikah jika tidak ada cinta? Kalau sayang ada, tapi kan beda frekuensinya...

“Anak-anakku butuh kamu, kamu adalah ibu mereka. Setidaknya bisa toh itu dijadikan alasanmu terima permintaan Pak RT meskipun tidak suka padaku.”

Rinjani menundukkan kepala. Dilema mengiris-iris keteguhan hatinya untuk tetap menjadi janda Kaysan seumur hidup. Tetapi Pak RT dan penyebaran video itu merusak segalanya yang dia anggap sebagai bakti atas pemberian cinta yang begitu megah dari mendiang suaminya.

“Aku tidak bisa menikah lagi sekalipun itu denganmu.” Dengan laki-laki yang berusaha membangun cinta sejati yang begitu dalam untuk menandingi cinta suamiku, imbuhnya dalam hati.

“Kenapa tidak bisa?”

“Kok masih tanya tidak bisa?” Rinjani mendongak.

Apakah wajahku tidak tersirat sesuatu? Kisah perkawinan kita dahulu harusnya sudah membuat kita mikir, membangun perkawinan lagi akan menambah jelas fakta yang terjadi di sini!

Rinjani mencoba mengelus pipi Anjana meski Nanang tetap berusaha menghindarkan mereka dari sapuan lembut tangan mungil berkerut itu. Kobar rasa kecewanya membiru. Penolakan Rinjani memadamkan semangatnya untuk memberi kasih yang mulia pada si kembar yang malang.

“Aku harus mengurus mereka, ayo Jana... Jani, turun dari gendongan Bapak.”

“Bahkan nama anak Pak Nanang mirip Bu Rinjani, itu sudah termasuk indikasi rasa suka dan pengharapan Pak Nanang memiliki iparnya sendiri.”

“Astagfirullah, Pak RT.” jerit Rinjani. “Mending Bapak dan rombongan pulang... Pulang.” ucapnya sambil mengibaskan tangan.

Pak RT tidak mau. Dia menggelengkan kepala. “Kami itu menunggu keputusan, Bu Jani dan Pak Nanang. Kami harap segera di jawab.”

“OKE!”

Nanang membelalakkan mata. Jawaban itu terpaksa, dia tahu itu karena Rinjani bisa menjaga hatinya untuk kakaknya meski sudah lama menjanda dan memiliki banyak pria penggemar.

“Saya akan menikah siri dengan Nanang besok siang. Pak RT lega?” katanya, tidak ingin menunda-nunda lagi kedamaian rumahnya kembali sebab dia sudah stress berat.

Pak RT pun mengangguk, tapi meminta Rinjani dan Nanang membuat surat di atas kertas sebagai janji resmi.

Rinjani melolong dengan senewen sebelum membubuhkan tanda tangannya sambil menangis.

-

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!