Sudah menjadi rahasia umum bahwa melangsungkan pernikahan kedua karena terpaksa tentu tidak menyenangkan. Terlebih suatu anggapan terus terpatri ditempat itu, mereka menikahi pasangan terdahulu di tempat yang sama.
‘Andai dulu aku memaksakan kisahku bersamamu ketika Ayah masih berkuasa, mungkin aku justru tidak memahamimu sampai sebaik ini.’
Nanang mendekati kekasih yang dulu selalu lihai membuatnya tertawa di atas motor vespanya walau temperamennya angin-anginan dan hobi ngambek ketika keinginannya tidak terpenuhi.
“Perlihatkan tanganmu.”
Rinjani tidak menangis, tidak pula senang, wajahnya datar ketika Nanang resmi meminangnya demi kedamaian rumah yang kembali pada genggaman tangan setelah membungkam Pak RT.
“Kamu mau salaman?”
Nanang tersenyum kecil. Marmut kecil ini masih suka pura-pura berpikiran sempit.
“Cincin kawinmu mana mungkin aku simpan saja di kantong celanaku?”
Rinjani tertawa malas seraya menunjukkan tangannya yang sudah terbungkus sarung tangan kebun dan dihiasi dengan banyak cincin termasuk cincin akik mendiang suaminya.
Nanang tertawa dengan lepas, merilekskan saraf-sarafnya yang malang sejak semalam.
“Kamu lucu. Atau memang usia kita sedang lucu-lucunya?” Nanang membuka kotak cincin seraya meraih tangan kanan Rinjani.
“Mirip Tessi kamu, nanti kalau kebelet ke toilet repot sendiri harus lepas-lepas cincin sebanyak ini.” Sambil tersenyum geli, Nanang memasangkan cincin di ujung jempolnya.
“Kalau hilang jangan minta lagi atau bingung mencarinya. Mataku sudah mines untuk mencari benda sekecil ini.”
Rinjani berdehem ketika Nanang hendak mencium punggung tangannya.
“Lebih baik tidak perlu daripada keningmu terkena batu keramat, nanti jerawatan!”
Nanang masih tetap tidak kuasa menahan tawanya. Urusannya dengan Rinjani tua terasa seperti Rinjani muda meski gurat-gurat kecantikannya sudah tidak begitu memesona lagi seperti saat menganggap segalanya penuh pesona terutama saat jatuh cinta.
“Acara sudah selesai, silakan Bapak-bapak yang terhormat bisa mendatangi restoran kami untuk menikmati makan siang karena kami kebetulan tidak masak enak. Ikuti Mas ini, semua prosedur sudah tertata.” Nanang menunjuk pemimpin penjaga rumah tanpa melepas tangan Rinjani.
“Dan saya berharap kejadian semalaman bukan hal untuk dipermasalahkan lagi kedepannya. Masalah semalam mungkin hanyalah kesalahpahaman yang harus diperbaiki, dan ini perbaikannya, saya terima kasih.”
Pak RT dan rombongannya segera memberi selamat pada pengantin baru itu dan mengikuti pemimpin penjaga rumah ke pelataran parkir.
Rinjani menarik tangannya perlahan-lahan dari genggaman tangan Nanang. “Jangan menyentuhku.”
“Kenapa?” Nanang berdehem. “Apa kita sudah tidak pantas untuk hal ini saja?”
“Aku alergi.”
“Memangnya aku alergen?”
Rinjani menarik napas dan menghelanya. Untuk sekedar memberi alasan yang cerdas selain ‘jangan menyentuhku karena itu tidak enak,’ dia tidak sampai hati.
“Mana anakmu yang kurang ajar itu?”
“Mau apa?” Nanang berkata dengan nada tidak suka. “Anakku tidak kurang ajar, dia hanya perlu belajar kehati-hatian!”
“Jalu Aji harus sungkem padaku!”
“Bagaimana dengan anak-anakmu?” Nanang mencegahnya berlalu. “Kamu tidak mengabari mereka?”
“Untuk apa?” seru Rinjani dengan gagah berani. “Pernikahan kita akan ditanggapi anak-anakku dengan tawa, aku tidak ingin ada tawa di sini sekarang.”
“Kamu memang pintar, sayangku.” Nanang menjawil dagunya.
Rinjani memekik. “Aku jijik sama kamu, Nang.”
Nanang tertawa sembari berlalu. “Mungkin aku juga.”
“NANANG!” Rinjani mengambil sendal selop miliknya seraya melemparnya. Sendal itu melayang, membentur punggung Nanang.
Nanang meraih sendal itu dari atas rumput seraya mengembalikannya. “Cinderella tua tiba di kamarku nanti malam. Woo... woo... Apesnya.”
Rinjani menutup wajahnya dengan kedua tangan ketika pria dua tahun lebih tua darinya itu berlutut, menyerahkan sendal selopnya.
“Pakai atau aku akan menghubungi anak-anakmu, dan memeriahkan pernikahan sinting ini.”
“Kamu kurang mengajarinya kesopanan, ini akibatnya!”
“HEI... Jangan seenaknya bicara, Ri. Jalu Aji tidak aku didik secara patriarki seperti Mas Kaysan mengajari anak-anaknya! Lagian dia tumbuh bersama anakmu, Pandu Mahendra.”
“Terus siapa yang harus aku salahkan atas hari ini? Kita sudah sepakat tidak akan menikah lagi walaupun tinggal satu lokasi! Kita sudah berjanji untuk itu.” pekik Rinjani ketika Nanang mencengkeram pergelangan kakinya dan mengangkatnya. Reflek, Rinjani memegangi bahunya meski setiap kali melihat banyak batu akik itu Nanang tertawa.
Selop terpasang, Nanang meletakkan kakinya kembali ke bumi sebelum dia berdiri.
“Tidak ada yang perlu kamu salahkan dari hari ini. Anggap saja ini adalah law of attraction¹.”
¹Hukum tarik-menarik sesuatu yang diinginkan sekali dan mewujudkannya dengan dengan fokus dan memikirkannya terus menerus.
Rinjani menarik sudut bibirnya. “Lalu aku harus bilang kamu adalah masa depanku dari hukum tarik-menarik itu?”
“Itu terserah kamu.” Nanang menepuk-nepuk bahunya. “Aku tidak akan menuntut hakku atau kewajibanmu. Kamu bebas selagi itu tidak menyakitiku dan anak-anak.”
“Bagus, karena aku juga akan memperlakukanmu dengan cara yang sama!”
Rinjani dan Nanang berjalan dengan arah yang berbeda, kembali ke rumah masing-masing dengan wajah yang terlihat lelah. Tetapi baru sepuluh menit mereka beristirahat sambil merenung, ramai-ramai dari anak-anak Rinjani dan mantunya memanggil mereka untuk menemui kegawatan mereka.
“Siapa yang laporan kepada kalian?” Rinjani hanya membuka jendela kamar. Malas menemukan anak-anaknya yang tidak bisa diam.
“Pokoknya ada, Bunda. Tapi kenapa sih harus ngumpet-ngumpet begitu? Kan kita juga mau lihat acaranya.” protes Dalilah.
“Itu bukan tontonan, tidak harus di lihat.”
“Kenapa tidak boleh di lihat, Bunda malu? Bunda tidak mau acara sakral tadi terganggu dengan kehebohan kami? Romantisnya, sebel ah nggak bisa lihat keromantisan Om Nanang menikahi bunda.”
Rinjani memejamkan mata. Sumpah, ada kalanya punya anak cerewet itu menyebalkan. Apalagi untuk hal-hal macam paragraf di atas.
“Kalau tetap mau ganggu bunda, bunda tambah stres. Sudah sana, urus adik-adik kalian. Bunda capek.”
Dalilah, Nawangsih, Dewi Laya Bajramaya, dan Citra terkekeh-kekeh ketika ibunya menutup jendela.
“Kena batunya, Bunda. Sudah sering di bilangin, jangan sampai ketiduran di rumah Om. Nanti cinlok, nanti kena kasus. Masih saja kebablasan tidur di sana.”
“Itu karena Bunda kecapean dan baru apes. Sudah bubar-bubar, sekalian itu hukum adikmu yang namanya Jalu Aji.” protes Rinjani setelah membuka jendela lagi.
“Dan dengarkan Bunda. Kalian jangan panggil Nanang dengan sebutan Bapak, Ayah, atau Yanda. Ayah kalian tetap Kaysan. Anggap saja masih seperti kemarin. Panggil dia dengan sebutan Om!”
Satu wanita matang sekali versus empat wanita muda dan energik, Rinjani kalah habis-habisan saat mereka dengan kompak menyebut Nanang dengan, “Papa cilik, suami idaman bunda nomer dua.”
Rinjani gegas mengambil obat tensi yang slalu tersedia di laci meja lampunya dan meminumnya.
“Tidak ada yang waras di rumah ini setelah kematianmu, Mas... Aku stress!”
-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
may
Jadi ini ceritanya setelah pandu menikah ya
2024-10-22
0
Dapur Ramadhani
mumet rinjani
2024-04-24
1
Azmira
/Drool//Drool//Drool//Drool/
2024-03-27
0