“Jika tidak ada pernikahan, satu di antara kalian angkat kaki dari rumah ini!” Pak RT berdiri setelah melempar satu permintaan mencengangkan.
Pak RT menatap mereka bergantian. Agak lama kemudian, dia bilang, “Bagaimana, Pak Nanang, Bu Jani? Sanggup tidak?”
Baik Rinjani dan Nanang hanya bisa saling tatap dengan mata melebar.
Angkat kaki dari rumah itu? Bukan tidak bisa, tapi tidak mudah. Anak ketiga Nanang dari lahir sudah ketergantungan dengan Rinjani, karena itu setiap malam wanita itu berusaha hadir untuk sekedar menemani mereka tidur dan memantau kakaknya belajar selagi Nanang meneruskan pekerjaan suaminya dulu hingga malam.
Rinjani menghela napas. “Izinkan kami melakukan interogasi terlebih dahulu, Pak RT. Saya perlu tahu pelaku penyebaran video itu. Ini fitnah.” rayunya. Tidak mempan.
Pak RT mengibaskan tangan. Tidak penting katanya. Dan sebagai tambahan informasi, dia menunjukkan aib paling bombastis yang membuat Rinjani naik tensi.
‘Ya Tuhan, berikan hambaMu ini persediaan sabar yang ada di seluruh semesta ini...’
Pak RT menunjukkan aib bombastis itu pada Nanang.
Nanang seketika meringis, ‘Ampun. Setan apa toh yang nempel dari pabrik gula sampai segitunya aku tidak sadar? Masalah ini sampai tujuh turunan sama Pak RT dan warga akan di bahas. Ampun. Kok bisa ya...’
Pak RT memperbesar fotonya, menunjukkannya lagi pada Rinjani dan Nanang.
“Apa ini namanya Pak Nanang dan Bu Jani? Apa kalian akan mengelaknya lagi meski tadi ada anak-anak dan tidur kebablasan?” tukas Pak RT. “Ini sudah larut malam, Pak, Bu. Tapi kami akan tetap ada di sini sampai keputusan kalian ambil!”
Rinjani menyuruh semua pelayannya mengaku dan mengecek ponsel mereka bergantian dalam suasana yang dia paksa untuk tenang. Tetapi diam-diam. Jiwanya berteriak mencari jawab. Tidak ada satupun bukti pelayannya bersalah. Foto dan video yang tersimpan dalam ponsel pelayannya hanyalah foto sehari-hari, keluarga dan macam-macam screenshot dengan isian beragam jenis.
Rinjani menghirup udara. “Kembali ke kamar dan beristirahat. Tetapi jangan membicarakan hal ini pada siapapun.” katanya tegas.
Pelayan-pelayannya pun nurut toh daripada di pecat sebab berhasil menjadi bagian dari rumah itu adalah kebanggaan tersendiri bagi mereka yang telah lolos seleksi. Cuma ada kok yang sedikit membangkang.
“Aku rasa yang menyebarkan video Bu Jani dan Pak Nanang itu, Jalu Aji. Dia kan niat jadi yutuber.” kata Alita—pelayan muda ketika sudah keluar dari rumah Nanang.
“Akhir-akhir ini Jalu suka live streaming di rumah. Aku sudah lihat channel-nya. Anjana dan Anjani juga ngetop gara-gara videonya, katanya netizen lucu banget.”
“Mereka kan mirip Bu Sakila, pipinya tembem putih, ginuk-ginuk lagi. Siapa yang nggak gemes sama Jana Jani? Aku saja seneng lihat mereka.” sahut kawannya.
Dua pelayan muda itu pun segera menghentikan langkah. Diam-diam, dengan langkah pelan mereka mendekat ke jendela. Menguping pembicaraan di dalam ruang keluarga.
“Aku sebenarnya sangat menyayangi Masku dan mendiang istriku. Mereka adalah sandaranku, dan tak sanggup bagiku untuk mengecewakan mereka dengan menikahi Rinjani. Itu pengkhianatan terbesar bagiku. Tapi... Masku memang mewariskan Rinjani sebagai tanggung jawabku dan aku menyetujui, jadi... jadi...”
Rinjani menjerit histeris sebelum kalimat Nanang itu selesai.
“Aku tidak mau menikah lagi. Aku akan angkat kaki dari rumah ini.”
“Ri... kita bisa membuat kesepakatan.” Nanang berusaha mengalah. Tetapi Rinjani kekeh menggunakan hak suaranya.
“Aku tidak ingin mengkhianati cintaku yang megah dan besar untuk Mas Kaysan seorang. Aku tidak mungkin menyakiti Sakila. Ini harusnya bisa di maafkan, Pak RT.” Rinjani menjerit frustasi. Meneriakkan nama Nanang dengan keras.
Pak RT menutup kedua telinganya. Selain suara nyaring Rinjani yang membuat kupingnya berdenging. Tangis anak-anak Nanang yang kecil menambah sumpek pendengarannya.
Nanang menarik napas dan menghelanya. Terlalu banyak yang dihadapinya hingga kepalanya menegang. Namun bukan hidup namanya jika tidak ada masalah? Hidup ini tidak sempurna, masalah datang silih berganti seperti nama-nama hari. Tapi selalu saja kan, masalah itu kadang lewat begitu saja meski sudah dihadapi?
Nanang izin pamit untuk menenangkan anaknya. Tetapi Anjana dan Anjani minta di gendong budhe Riri... Mau di gendong budhe Riri... rengek mereka tanpa menggubris pengasuh dan Bapaknya sendiri.
“Ri...” Sambil menggendong anaknya yang berusia dua tahun, Nanang menghampiri Rinjani. “Ri...” panggilnya dengan lembut.
Rinjani mengusap matanya. Ketidakpekaan Nanang atas kesedihannya membuatnya kian jengkel. “Aku akan angkat kaki setelah mereka tidur.”
“Tega kamu?” tukas Nanang, tidak memberi izin bagi Rinjani menurunkan Anjana dan Anjani dari gendongannya dengan mundur cepat.
“Kamu tega meninggalkan anak-anakku demi menolak menjaga nama baik keluarga?”
Air mata Rinjani mengaliri pipi. Perihnya kehilangan itu masih utuh di benaknya walau tak sampai hati dia menunjukkan pada siapapun. Dan demi apa menikah jika tidak ada cinta? Kalau sayang ada, tapi kan beda frekuensinya...
“Anak-anakku butuh kamu, kamu adalah ibu mereka. Setidaknya bisa toh itu dijadikan alasanmu terima permintaan Pak RT meskipun tidak suka padaku.”
Rinjani menundukkan kepala. Dilema mengiris-iris keteguhan hatinya untuk tetap menjadi janda Kaysan seumur hidup. Tetapi Pak RT dan penyebaran video itu merusak segalanya yang dia anggap sebagai bakti atas pemberian cinta yang begitu megah dari mendiang suaminya.
“Aku tidak bisa menikah lagi sekalipun itu denganmu.” Dengan laki-laki yang berusaha membangun cinta sejati yang begitu dalam untuk menandingi cinta suamiku, imbuhnya dalam hati.
“Kenapa tidak bisa?”
“Kok masih tanya tidak bisa?” Rinjani mendongak.
Apakah wajahku tidak tersirat sesuatu? Kisah perkawinan kita dahulu harusnya sudah membuat kita mikir, membangun perkawinan lagi akan menambah jelas fakta yang terjadi di sini!
Rinjani mencoba mengelus pipi Anjana meski Nanang tetap berusaha menghindarkan mereka dari sapuan lembut tangan mungil berkerut itu. Kobar rasa kecewanya membiru. Penolakan Rinjani memadamkan semangatnya untuk memberi kasih yang mulia pada si kembar yang malang.
“Aku harus mengurus mereka, ayo Jana... Jani, turun dari gendongan Bapak.”
“Bahkan nama anak Pak Nanang mirip Bu Rinjani, itu sudah termasuk indikasi rasa suka dan pengharapan Pak Nanang memiliki iparnya sendiri.”
“Astagfirullah, Pak RT.” jerit Rinjani. “Mending Bapak dan rombongan pulang... Pulang.” ucapnya sambil mengibaskan tangan.
Pak RT tidak mau. Dia menggelengkan kepala. “Kami itu menunggu keputusan, Bu Jani dan Pak Nanang. Kami harap segera di jawab.”
“OKE!”
Nanang membelalakkan mata. Jawaban itu terpaksa, dia tahu itu karena Rinjani bisa menjaga hatinya untuk kakaknya meski sudah lama menjanda dan memiliki banyak pria penggemar.
“Saya akan menikah siri dengan Nanang besok siang. Pak RT lega?” katanya, tidak ingin menunda-nunda lagi kedamaian rumahnya kembali sebab dia sudah stress berat.
Pak RT pun mengangguk, tapi meminta Rinjani dan Nanang membuat surat di atas kertas sebagai janji resmi.
Rinjani melolong dengan senewen sebelum membubuhkan tanda tangannya sambil menangis.
-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
KArmila Siregar
salut brooooo/Good//Good//Good//Good//Good//Good//Good//Good//Good/
2024-11-27
0
'Nchie
tragedi ketidak sengajaan ...gmn mas Nanang seneng apa sedih
2024-03-03
1
CebReT SeMeDi
Iko pak RT ngeyel tenan bayarane Piro ya 🤣🤣
2024-02-29
2