NovelToon NovelToon

Syabilla

Pria tak sempurna

Di ujung sebuah desa, jauh dari keramaian, ada sebuah rumah dengan bangunan sederhana. Berbahan kayu saja, juga hanya diberi cat berwarna putih dan sebagian mempertahankan warna alami kayu.

Rumah itu tak besar juga tak kecil, tapi cukup untuk dihuni satu keluarga kecil yang terdiri dari Ayah, Ibu dan dua anak mereka. Sayangnya di rumah itu hanya ada seorang tuan rumah dan satu pelayannya. Oh iya, selain pelayan, tuan itu juga memiliki seekor kucing kampung.

Berbeda dengan ukuran rumahnya, ukuran tanahnya sangat luas, hingga pekarangan rumah itu mampu menampung beberapa sapi, beberapa kambing dan juga banyak ayam.

Waktu subuh telah tiba. Seorang pemuda keluar dari rumah itu, mengenakan baju koko dan kain sarung. Dia berjalan menyusuri teras rumah.

Gesekan halus bulu si kucing menuntunnya untuk berjongkok "Izaan jaga rumah dulu, ya" jemarinya mengusap lembut kepala hewan berbulu itu. Hitam, putih dan oren, dia memiliki tiga warna pada bulunya.

"Meng!" dengan nada pendek, Izaan membalas perkataan sang majikan.

"Pelan-pelan, tuan" ujar sang pelayan.

Pelayan ini bernama Tio. Usianya beberapa tahun lebih muda dari sang tuan muda. Dia penduduk asli desa ini, sedangkan sang tuan muda adalah seorang pendatang.

"Tongkatku?"

Tio terdiam beberapa detik, kemudian menepuk keningnya"Astaghfirullah! saya lupa, tuan. Sepertinya ketinggalan di dalam rumah."

Memiliki seorang pelayan yang sedikit ceroboh, kejadian seperti ini bukanlah hal baru baginya. Beruntung Tio bekerja dengannya setelah ilham itu datang menghampiri. Tingkat emosi yang dulu kerap melonjak naik dan selalu menggebu-gebu kini hampir tak pernah lagi muncul dalam dirinya.

Ya, begitulah manusia. Berkali-kali mendapat teguran atas sikapnya di masa lalu namun masih saja berbuat semaunya, rasa sesal itu baru muncul setelah Tuhan menegurnya dengan sebuah tragedi. Tak tanggung-tanggung, sang maha pencipta hampir merenggut nyawanya dalam tragedi kecelakaan tunggal beberapa tahun yang lalu. Ia mengalami patah kaki waktu itu, dan benturan keras di kepala hingga mengakibatkan gangguan pada saraf matanya. Kaki yang patah boleh sembuh, namun indra penglihatannya tidak.

Tidak? tidak juga sih. Dokter sangat yakin bisa menyembuhkan kedua matanya, namun atas permintaan dirinya, maka biarkan saja matanya seperti itu.

"Aku nggak buta, hanya hampir buta. Setidaknya masih ada kasih sayang sang maha pencipta padaku, maka biarkan aku melanjutkan hidup dengan keadaan seperti ini" ujar tuan muda ini kala itu.

"Tuan, maaf. Saya nggak menemukan tongkat anda, sementara waktu terus berjalan."

"Ya sudah, kamu tuntun aku saja."

"Siap laksanakan, tuan!" seru Tio.

Bergegas Tio mengunci pintu, namun dia menyempatkan diri mengusap kepala Izaan"Pergi dulu ya, meng!, assalamualaikum." Ujarnya berlari kecil menyongsong sang majikan. Sementara Izaan tak peduli padanya, dia mengusap kepalanya dan menjilati tangan, seolah mensucikan kepalanya setelah dielus Tio. Dasar Izaan, selain sang majikan dia selalu begitu kalau disentuh orang lain.

"Izaan, namanya Izaan."

"Tapi kalau diajak ngomong selalu bilang meng!. Seperti bukan kucing saja tuan." Sahut Tio. Mereka kini telah berada diluar pagar, Tio mengunci pagar dengan mengaitkan tali saja di antara pagar kayu itu.

"Nggak semua kucing bunyinya meong."

"Iya sih, tuan. Tapi Izaan jarang me-ngeong kan. Kalau bilang meng! sering."

"Jadi karena itu kamu selalu memanggil dia meng?."

"Iya, tuan."

"Panggil dia Izaan."

"Kenapa sih, tuan. Nama meng itu lucu lho."

Sang tuan muda menghentikan langkahnya"Tio, kamu atau aku majikannya?."

Tio merapatkan mulut saat itu juga, kebiasaan bawel selalu saja muncul di waktu yang salah.

"Maaf, tuan. Iya, saya akan panggil dia dengan nama Izaan mulai sekarang."

"Bagus."

"Tapi tuan, dia kan cewek, kenapa diberi nama Izaan?."

"Memangnya kenapa?."

"Kayak nama cowok."

"Perasaanmu saja."

"Tapi..."

"Kita sudah sampai mana, Tio?" tanya sang tuan muda. Hanya membahas nama kucing saja, obrolan mereka seperti nggak ada habisnya.

"Di depan rumah kakek Sa'ad, tuan."

"Beliau ada?."

"Itu, baru keluar."

"Assalamualaikum, kakek." Pemuda ini sedikit menyaringnya suaranya, agar lebih terdengar kakek Sa'ad. Dia tau, jarak rumah kakek dan pagar di tepi jalan lumayan jauh, meski tak sejauh rumahnya dan pagar pembatas di kediamannya.

"Waalaikumsalam, nak Dhuha. Lho, kenapa dituntut?. Kalau sakit sholat di rumah saja." Sang kakek berjalan menghampiri dua pemuda ini.

"Rasulullah saja sampai minta digotong demi sholat ke masjid. Masa hanya karena sakit sedikit saya langsung libur ke masjid."

"Waduh, kakek salah bicara. Maaf ya nak Dhuha."

"Enggak kek. Kok minta maaf sih. Dhuha yakin kakek hanya spontan berkata seperti itu."

Kakek Sa'ad tersenyum menatap Dhuha"Kamu sok tau" kekehan kecil terdengar darinya yang membuat Dhuha dan Tio ikut terkekeh.

Sembari berjalan mereka melanjutkan obrolan. Masalah tongkat yang tak menyertai Dhuha pada subuh ini, masih menjadi pertanyaan kakek Sa'ad. Dia bahkan khawatir kalau Dhuha memang benar-benar sakit.

"Alhamdulillah saya sehat, kek. Cuma lupa di mana saya meninggalkan tongkat itu."

"Itu salah saya, tuan. Nggak menjaga barang tuan dengan baik."

Dhuha menggelengkan kepala"Justru sebagai pemiliknya, seharusnya aku yang menjaga tongkat itu dengan baik."

Lagi-lagi kakek Sa'ad tersenyum"Kamu beruntung, Tio. Teledor tapi dipertemukan Allah dengan majikan sebaik nak Dhuha."

Dhuha terlihat menggeleng lagi"Saya yang beruntung, kakek. Sebab dia bersedia merawat dan menjaga saya."

"Saya manusia dengan banyak dosa, memiliki seorang teman sebaik Tio sungguh sebuah anugerah." Wajah yang semula ceria, kini terlihat muram.

Tentang kisah Dhuha di masa lalu, baik Tio atau kakek Sa'ad sudah sama-sama tahu. Bahkan bukan hanya mereka berdua, telah banyak orang yang mengetahui hal itu. Sempat menjadi buah bibir para warga, kesungguhan Dhuha dalam memperbaiki diri mampu menepikan kisah kelamnya di masa lalu.

Sekarang bukan lagi bisik-bisik di belakang yang dia dengar, tapi pujian akan kebaikan dirinya saja.

Kerap mendapat pujian, alih-alih senang pemuda ini justru merasa sedih. Tentang hidupnya sekarang yang terbilang sederhana, Dhuha takut rasa sombong itu datang kembali. Sejatinya dia hanya manusia biasa dengan tingkat keimanan yang pasang surut setiap harinya. Selalu, di dalam doa dia meminta pada Allah agar selalu menjadi manusia yang rendah hati.

"Nak Dhuha, kamu yang Adzan, ya." Pinta kakek Sa'ad saat mereka telah sampai di masjid.

"Jangan, kek. Yang lain saja dulu."

"Kakek rindu sama suara kamu pas lagi Adzan."

"Maaf, kek. Boleh kakek mendekat?. Ada yang mau Dhuha bisikan" ujar Dhuha.

Entah apa yang pemuda itu katakan. Setelah mendengar bisikan itu, kakek Sa'ad meminta orang lain saja yang mengumandangkan adzan.

To be continued....

Salam anak Borneo.

Bukan sekedar canda

Udara dingin masih menyelimuti pagi ini, para jamaah lelaki terlihat baru keluar dari masjid pedesaan itu. Tio, membuka surban berwarna hijau milik tuan mudanya, dan memasangkan surban itu di pundaknya.

"Terimakasih" ujar Dhuha.

"Sama-sama, tuan. Sudah seharusnya."

Seorang pemuda seumuran Dhuha tersenyum, sedari tadi dia memperhatikan"Dhuha, kamu nggak ada niat untuk menikah lagi?."

Perkataan pemuda ini sontak menarik perhatian para orang tua yang berjalan bersama mereka.

Alih-alih langsung menjawab, senyum kecil terbit di wajah Dhuha"Memangnya ada yang mau jadi istri lelaki buta ini?."

"Kamu nggak buta, hanya rabun parah saja" ujar Wahab, dia yang tadi melontarkan tanya.

"Sama saja kan. Aku nggak bisa melihat dengan jelas seperti orang lain."

"Kalau anak saya mau menjadi Istri nak Dhuha, apa nak Dhuha mau menikah lagi?."

Kini atensi mereka semua tertuju pada seorang bapak-bapak dengan peci berwarna putih.

Kepala Dhuha sedikit miring, mencoba mengenali suara siapa itu"Pak Haji yang bicara" Tio berbisik.

"Waduh, saya nggak berani pak Haji. Putri pak Haji pasti nggak akan mau. Lagipula, saya hanya tinggal di ujung desa, rumah saya hanya terbuat dari kayu, selain Tio saya hanya berteman sapi, kucing, kambing dan ayam di sana."

Bukan hanya Pak Haji Harun yang tertawa, orang tua lainnya juga ikut tertawa. Selalu begitu, kalau ada yang memintanya menikah Dhuha selalu memperjelas dengan siapa dia tinggal. Hewan peliharaannya selalu nggak pernah ketinggalan dia sebutkan.

"Kalau putri Pak Haji nggak mau, masih ada cucu saya" seorang lagi yang bicara.

"Eh, saya juga masih punya seorang putri. Saya juga mau menjadi mertua nak Dhuha!" sambar yang lainnya.

"Bapak cuma punya satu, saya dong punya dua putri. Hayo, nak Dhuha mau yang mana?."

"Sama keponakan saya saja nak Dhuha" giliran kakek Sa'ad yang bicara. Berparas tampan dan cukup mapan, terlebih sekarang dia memiliki kerendahan hati yang patut diacungi jempol, gimana Kakek Sa'ad nggak suka padanya.

"Gimana ya, terimakasih sudah menghibur saya pagi ini. Beneran deh, saya sangat senang mendengar bapak-bapak sangat ingin menjadi mertua saya, walaupun cuma bercanda." Ucapan itu diakhiri dengan tawa, dan mereka yang ada di sana juga ikut tertawa.

Bercanda?. Mungkin bagi bapak-bapak yang lain ucapan tadi hanya bercanda, tapi enggak bagi Pak Haji Harun dan kakek Sa'ad.

Pak Haji Harun, pengusaha dalam berbagai bidang ini benar-benar ingin menikahkan putrinya dengan Dhuha. Tentu kalau putrinya dan Dhuha bersedia.

Langkah mereka sampai pada persimpangan jalan, di sanalah mereka berpisah menuju tujuan masing-masing.

"Hati-hati di jalan, nak Dhuha" ujar Kyai Ismail, ayahanda Wahab.

"Iya, Pak Kyai juga. Terimakasih atas perhatiannya."

"Nanti sore aku jemput ya, kita ke pengajian."

"Nanti saja."

"Nanti terus, kapan jadinya?."

"Iya nanti. Aku belum berani berkumpul dengan orang banyak."

"Katanya mau memperdalam agama, kita belajar sama-sama di pengajian" ujar Wahab lagi. Nggak lelah dalam setiap kesempatan, Wahab selalu mengajak Dhuha untuk bergabung bersamanya. Tapi, Dhuha masih belum berani muncul di depan orang banyak.

"Untuk sekarang, aku hanya ingin fokus di pengajian subuh Pak Kyai saja dulu."

Jawaban Dhuha rasanya nggak pas didengar. Wahab tetap ingin mengajaknya ikut ke pengajian nanti sore.

"Tapi..."

"Ya sudah, kami duluan ya. Insa Allah kita bertemu lagi besok subuh." Kyai Ismail menahan Wahab yang masih ingin membujuk.

"Iya Pak Kyai." Sahut Dhuha.

Yah, apa hendak dikata. Dhuha sudah berlalu setelah mengucapkan salam dan mereka membalas. Ustadz muda ini terlihat lesu, karena gagal mengajak seorang lagi masuk dalam pengajian sore mereka.

"Kok Abi suruh pergi. Wahab belum berhasil mengajaknya."

"Ingat, jangan memaksa. Abi yakin, cepat atau lambat nak Dhuha akan hadir dalam pengajian sore kita."

.

.

.

.

"Assalamualaikum, diberitahukan kepada santriwati yang bernama Naura Syabilla, agar segera datang ke kediaman Kyai...."

"Syabilllll" hampir mengalahkan suara toak, teriakan Yasmine sang keamanan membuat Syabilla terkejut. Bukan hanya dia, tapi santri yang lain juga.

"Iya tau kok, nggak perlu berteriak, Yasmine!. Rendahkan suaramu."

"Ehe" Yasmine cengengesan, sebuah pemandangan yang langka. Seorang Yasmine tertawa seperti ini. Sangat jarang dan nggak bisa dengan sembarang orang.

"Aku temenin ya."

"Nggak perlu!."

"Kok gitu?!."

"Ayah telepon pasti ada urusan penting. Kamu kepo kan?."

"Iya."

"Dih langsung ngaku. Kenapa kok kepo?."

"Aku...aku mau bujuk Ayah kamu batalin kepindahan kamu ke pon-pes lain."

Menatap sang sahabat yang terlihat sedih itu, Syabilla jadi ikut sedih. Dia memperbaiki kerudung Yasmine seraya berkata"Aku yakin ini bukan tentang kepindahanku. Ayah cuma bercanda. Ingat Yasmine, dua minggu lagi kelulusan."

Ash!! saking takutnya berpisah dengan sang sahabat, Yasmine sampai lupa bahwa mereka sudah berada pada masa-masa terakhir di sekolah. Berbeda sekali saat di depan santriwati yang lain, pas lagi sama Syabilla dia memang sering terlihat nggak fokus. Rumor yang mengatakan bahwa Yasmine adalah gadis tegas, pemberani dan galak hanyalah hoax bagi Syabil, sebab dia sangat tau bagaimana Yasmine yang sebenarnya.

Meninggalkan Yasmine yang cengengesan, Syabilla langsung menuju kediaman Pak Kyai. Entah hal apa yang mau diomongin Ayah, kok hatinya jadi berdebar hebat.

"Kenapa ya? apa terjadi hal buruk di rumah?" gumam sang hati. Bukan apa-apa Syabilla bertanya-tanya, baru dua hari yang lalu dia pulang menghabiskan waktu liburan sehari di rumah, rasanya terlalu dini kalau Ayah bilang menelepon karena rindu.

"Astaghfirullah, Syabil!! kok mikirnya jelek sih" keningnya menjadi korban, suaranya renyah banget pas kena gaplok.

Ustadzah Zafirah tersenyum lebar melihat tingkah Syabill, gadis yang selalu menempel padanya dalam setiap kegiatan amal di waktu libur panjang.

"Assalamualaikum" ujar Zafirah disertai senyum dikulum.

Mendengar salam, Syabill yang menunduk langsung mengangkat pandangan"Waalaikumsalam" ujarnya spontan menjawab salam.

"Oh Ustadzah, kenapa ya Ayah saya menelepon?."

"Nggak tau. Mau dikawinkan kali." Jawab Zafirah asal.

Syabilla memiliki mata yang bulat dengan ujung sedikit runcing seperti kucing, terkejut dengan perkataan Zafirah membuat kedua bola matanya semakin membulat. Zafirah kembali tersenyum lebar dibalik cadarnya"Kaget banget ya, sampai hampir meloncat bola mata kamu."

"Ehehe, kaget banget Ustadzah."

"Kaget karena mau dinikahkan?."

"Iya. Memang waktu pulang kemarin Ayah sempat membahas masalah ini, dan Syabilla menyerahkan semuanya pada Ayah dan Ibu."

"Oh, jadi kamu memang ada rencana mau dinikahkan?."

"Lho, kan Ustadzah sendiri yang bilang."

Lagi-lagi Zafirah tersenyum"Kan saya bilang diakhir kalimat'kali'. Kamu kok langsung percaya."

Dua bola matanya berkedip-kedip, menatap Zafirah yang masih tersenyum. Beberapa detik kemudian barulah Syabilla sadar bahwa Zafirah hanya bercanda padanya.

"Aaa... Ustadzah bikin Syabilla deg-degan. Syabilla masih muda banget, rasanya terlalu cepat kalau menikah."

"Saya cuma bercanda. Tapi kalau benar akan dinikahkan, kamu memang sudah yakin?. Usia kamu sudah cukup untuk menjadi seorang istri sih."

"Baru mau 18 tahun, Ustadzah."

"Iya juga ya" Zafirah mengangguk kecil seraya masuk ke dalam kamar, kemudian keluar lagi dengan membawa ponselnya.

Zafirah melakukan panggilan pada nomor ponsel Haji Harun, Ayahanda Syabilla. Menyerahkan ponselnya pada Syabilla, Zafirah undur diri untuk menyiram tanaman di halaman kediaman mereka. Sementara Syabilla dia biarkan berbicara dengan sang Ayah melalui ponselnya.

.

.

.

.

"Saya lagi sakit tenggorokan, Kek. Jadi nggak bisa Azdan dulu" ini bisikan Dhuha subuh itu pada Kakek Sa'ad. haish!! kirain bisik-bisik ada apaan, ternyata lagi sakit tenggorokan.

To be continued...

Salam anak Borneo.

Pondok pesantren

Lantunan sholawat terdengar syahdu, diiringi tabuhan hadroh di tengah lapangan pondok pesantren Al-Jannah. Usai sholawat dilantunkan disambung dengan pembacaan rawi oleh seorang santriputra. Suaranya nggak kalah merdu dengan suara seorang ustadz muda yang membawakan syair tadi.

Pada barisan kiri diisi oleh para santiwati, pada barisan kanan diisi para santriputra. Tak lupa di tengah-tengah ada satir setinggi duduknya orang dewasa untuk menghalangi mereka bertukar pandangan, apalagi bercengkerama, bakal digeprek mereka kalau ngelakuin hal itu.

"Masya Allah suara bang Azzam bagus banget!" seorang santriwati memekik, mendengar santri senior di depan sana sedang membacakan rawi.

"Hus! dengarkan dengan baik, jangan ngobrol terus. Apalagi sampai meleyot mandangin bang Azzam!."

"Eh, kak Yasmine. Hehehe, maaf kak, habisnya bang Azzam...."

"Syuttt!! sudahlah" Yasmine merasa enggan meladeni ocehan gadis itu, sebab ini bukan kali pertama para gadis dibuat terpana dan terpesona akan ketampanan seorang Azzam.

"Awas ya kalian kalau banyak tingkah! aku laporin Ustadzah."

"Aduh kak Yas, besok kita sudah berpisah lho, masih galak saja." Seorang lagi santriwati bersuara dengan nada pelan.

Ada rasa sedih mendengar hal itu. Gimana enggak, acara sholawatan ini digelar dalam rangka hari perpisahan para santriwati dan santriputra senior.

"Iya nih kak Yas, tiga tahun jadi petugas keamanan selalu tegas, apa nggak mau jadi manis untuk sehari ini saja. Besok-besok kak Yas sudah nggak ada di sini lho."

"Yas....sini!." Panggilan dari sang sahabat menjadi penyelamat baginya, sebab ia nggak tau harus membalas ocehan mereka kayak gimana.

"Akh! terserah kalian."

"Hihihi, kak Yasmine itu gemesin lho sebenarnya" ujar salah satu santriwati lagi.

"Iya betul, apalagi kalau ketawa, cantiknya nambah."

"Eleh! gombal" ketus Yasmine seraya pergi menghampiri sang sahabat, diiringi dengan tatapan mengejek mereka padanya.

Syabilla, sang sahabat mengerutkan kening menyambut kedatangannya.

"Kenapa?."

"Enggak kenapa-kenapa."

"Tapi kok...."

"Syabill, kita sedang sholawatan."

Ups! Syabilla langsung diam, nggak lagi mengajak Yasmine bicara. Seperti Yasmine yang fokus pada buku rawi dan syair di tangan, Syabilla pun ngelakuin hal yang sama. Sesekali mereka ikut bersenandung saat Ustadz Fatih bersholawat.

Beberapa jam kemudian, para santriputra terlihat sibuk berkemas di lapangan, sedangkan para santriwati sibuk berkemas di dapur umum. Sesekali terjadi tukar pandang di antara santiwati dan santriputra, namun lekas terputus oleh deheman Ustadz Alif.

"Hahaha, ampuh sekali ya deheman Ustadz Alif, si Ahmed langsung ngacir." Annisa, anak pak kernet bus pulang pergi memulai obrolan.

"Coba aja berani slow motion di depan Ife, bakal disambit pecinya." Sahut Hana, cewek tomboi yang suka kelihatan poninya pas pake kerudung.

"Hihihi, kayak si Alay kemarin kan." Ini Beti yang bicara, anak warga yang rumahnya nggak jauh dari pondok pesantren.

Melisa, cewek super kepo tapi minim identitas. Nggak banyak yang tau identitasnya saat ini, selain anak baru yang dipaksa sekolah di sini"Heh? si Alay? kenapa dia?."

"Jalannya lambat banget pas lewat pintu gerbang asrama kita, pake ngelirik pula ke dalam, pecinya auto melayang."

"Ketiup angin?" dengan polosnya Ife bertanya.

"Angin dari Hongkong!, disambit Ustadz Alif laaahhh" sahut Beti memperagakan gaya Ustadz Alif waktu itu.

"Hihihi, serius?."

"Iya Mel, dia kan anaknya gemulai, langsung gercep ngambil pecinya di tanah." Jelas Beti lagi

"Hahaha, kasihan banget sih." Melisa hampir terjungkal.

Begitulah obrolan para santriwati yang sedang mencuci piring di bawah keran wudhu santriputra. Sebenarnya bukan di sini tempat mencuci piring, tapi karena sedang ada acara besar, mereka diperbolehkan mencuci piring di sana agar pekerjaan lebih cepat selesai. Di sini, kegiatan di luar asrama sangat menggiurkan untuk dilakuin, seperti mereka sekarang ini. Kenapa? sebab dengan begitu mereka bisa melihat para santriputra dengan leluasa, nggak harus naik-naik meja kayak yang biasa mereka lakuin di asrama. Ck! beginilah kehidupan di pondok pesantren. Ada yang patuh ada juga yang badung. Dan mereka salah satu circle badung versi cewek, selain mereka ada juga lho circle badung lainnya.

Heit! badung di sini hanya sekedar penasaran dengan lawan jenis ya. Seperti ngintipin santriputra latihan hadroh di kantor, kirim kiriman surat sama santriputra, janjian ketemu pas lagi liburan, sampai pacaran!. Wow, kalau sampai ketahuan pacaran, hukumannya berat lho.

Kembali lagi sama mereka yang lagi nyuci piring.

"Melisa! ketawamu itu lho!."

Melisa langsung kicep, mimpi apa dia semalam dapat salam manis dari Ustadz Alif yang galak ini.

"Maaf Ustadz."

"Perempuan harus pelan suaranya. Nggak kayak tadi, menggelegar kayak bedug masjid."

Masing-masing dari mereka menahan tawa, sedangkan Melisa melirik dengan bibir mencibir. Beruntung Ustadz Alif nggak melihat wajah gadis satu ini, sebab dia berada di belakang Melisa.

"Iya Pak Ustadz, saya minta maaf. Lain kali bakal pelan-pelan kok."

"Bagus, tumben langsung nurut?."

Melisa langsung menoleh pada Ustadz Alif, kedua alisnya saling beradu.

"Oh sudah, nggak usah dijawab" Ustadz Alif melirik ember-ember berisi piring yang sudah selesai dicuci.

"Pekerjaan kalian sudah selesai kan? cepat kembali ke asrama. Bersih-bersih diri terus bersiap buat sholat Maghrib."

"Iya Ustadz" sahut mereka serempak.

"Mel, iya nggak?" rupanya Ustadz Alif menyadari gadis ini nggak menjawab perkataannya.

"Iya Pak Ustadz Alif, ba, ta, tsa...."

"Melisa!!!."

Belum selesai mengoceh, Melisa lebih dulu kabur dari hadapan Ustadz Alif dan teman-temannya.

"Arghhh!! awas aja kamu Melisa!." Jari telunjuknya menodong ke arah gadis nakal itu yang menghilang dibalik pintu asrama perempuan beberapa detik kemudian.

Sementara itu di dapur dalam, Syabilla dan Yasmine bersama yang lainnya juga baru selesai mencuci perabot memasak yang besar-besar. Kegiatan seperti ini sudah jadi makanan sehari-hari mereka. Di sini para santriwati diwajibkan untuk memasak secara bergantian dan berjadwal.

Perihal tujuan Ayah menelpon kemarin lusa, Syabilla baru membagi kabar itu pada Yasmine tadi malam.

"Gimana? jadi kamu setuju atau menolak keinginan Ayah kamu?."

Syabilla jadi diam mendengar tanya Yasmine. Ternyata dugaan Ustadzah Zafirah benar, dirinya akan dinikahkan.

"Boleh curhat nggak?" ujarnya akhirnya.

"Curhat aja."

"Gibah nggak sih?." Tanya Syabilla lagi.

"Kok gibah?."

"Kan kita bakal ngomongin orang lain?."

Jawaban Syabilla membuat Yasmine menggaruk keningnya."Yaa....gimana ya."

"Masa bodo akh! pokoknya aku mau cerita!." Syabilla ini, dia yang awalnya ragu malah gemas pengen langsung cerita semuanya sama Yasmine.

"Yang baik-baik aja ya."

"Nggak bisa, ada buruknya juga ini. Malah lebih banyak buruknya."

Yasmine langsung menutup kedua telinga dengan telapak tangan"Waduh! aku nggak mau dengar!."

"Yasmine!! jadi aku cerita sama siapa dong?!."

"Sama Ustadzah Zafirah saja!."

"Ustadzah sudah tahu, tapi kami belum ada waktu untuk membahas masalah ini lebih dalam. Aku cerita sama kamu saja ya. Ustadzah lagi sibuk ngurusin berkas kita-kita yang lulus."

"Enggak mau!." Yasmine langsung pergi berlari kecil menyusuri lorong asrama.

"Yasmine!!." Panggilan Syabilla seperti angin lalu di telinga Yasmine, dia malah kayak orang tuli, nggak peduli dengan panggilan sang sahabat.

Menghela nafas panjang"Hufpphhh!!! katanya mau dengerin aku curhat, dia malah kabur karena takut gibah. Ck! aku minta pendapat sama siapa dong?." Syabilla duduk di anak tangga dengan berpangku tangan. Ada banyak santriwati di sekitarnya, tapi untuk tempat bertukar cerita kayaknya nggak pas deh, sebab ini bukan hanya tentang dirinya sendiri tapi juga orang lain.

To be continued...

Salam anak Borneo.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!