Udara dingin masih menyelimuti pagi ini, para jamaah lelaki terlihat baru keluar dari masjid pedesaan itu. Tio, membuka surban berwarna hijau milik tuan mudanya, dan memasangkan surban itu di pundaknya.
"Terimakasih" ujar Dhuha.
"Sama-sama, tuan. Sudah seharusnya."
Seorang pemuda seumuran Dhuha tersenyum, sedari tadi dia memperhatikan"Dhuha, kamu nggak ada niat untuk menikah lagi?."
Perkataan pemuda ini sontak menarik perhatian para orang tua yang berjalan bersama mereka.
Alih-alih langsung menjawab, senyum kecil terbit di wajah Dhuha"Memangnya ada yang mau jadi istri lelaki buta ini?."
"Kamu nggak buta, hanya rabun parah saja" ujar Wahab, dia yang tadi melontarkan tanya.
"Sama saja kan. Aku nggak bisa melihat dengan jelas seperti orang lain."
"Kalau anak saya mau menjadi Istri nak Dhuha, apa nak Dhuha mau menikah lagi?."
Kini atensi mereka semua tertuju pada seorang bapak-bapak dengan peci berwarna putih.
Kepala Dhuha sedikit miring, mencoba mengenali suara siapa itu"Pak Haji yang bicara" Tio berbisik.
"Waduh, saya nggak berani pak Haji. Putri pak Haji pasti nggak akan mau. Lagipula, saya hanya tinggal di ujung desa, rumah saya hanya terbuat dari kayu, selain Tio saya hanya berteman sapi, kucing, kambing dan ayam di sana."
Bukan hanya Pak Haji Harun yang tertawa, orang tua lainnya juga ikut tertawa. Selalu begitu, kalau ada yang memintanya menikah Dhuha selalu memperjelas dengan siapa dia tinggal. Hewan peliharaannya selalu nggak pernah ketinggalan dia sebutkan.
"Kalau putri Pak Haji nggak mau, masih ada cucu saya" seorang lagi yang bicara.
"Eh, saya juga masih punya seorang putri. Saya juga mau menjadi mertua nak Dhuha!" sambar yang lainnya.
"Bapak cuma punya satu, saya dong punya dua putri. Hayo, nak Dhuha mau yang mana?."
"Sama keponakan saya saja nak Dhuha" giliran kakek Sa'ad yang bicara. Berparas tampan dan cukup mapan, terlebih sekarang dia memiliki kerendahan hati yang patut diacungi jempol, gimana Kakek Sa'ad nggak suka padanya.
"Gimana ya, terimakasih sudah menghibur saya pagi ini. Beneran deh, saya sangat senang mendengar bapak-bapak sangat ingin menjadi mertua saya, walaupun cuma bercanda." Ucapan itu diakhiri dengan tawa, dan mereka yang ada di sana juga ikut tertawa.
Bercanda?. Mungkin bagi bapak-bapak yang lain ucapan tadi hanya bercanda, tapi enggak bagi Pak Haji Harun dan kakek Sa'ad.
Pak Haji Harun, pengusaha dalam berbagai bidang ini benar-benar ingin menikahkan putrinya dengan Dhuha. Tentu kalau putrinya dan Dhuha bersedia.
Langkah mereka sampai pada persimpangan jalan, di sanalah mereka berpisah menuju tujuan masing-masing.
"Hati-hati di jalan, nak Dhuha" ujar Kyai Ismail, ayahanda Wahab.
"Iya, Pak Kyai juga. Terimakasih atas perhatiannya."
"Nanti sore aku jemput ya, kita ke pengajian."
"Nanti saja."
"Nanti terus, kapan jadinya?."
"Iya nanti. Aku belum berani berkumpul dengan orang banyak."
"Katanya mau memperdalam agama, kita belajar sama-sama di pengajian" ujar Wahab lagi. Nggak lelah dalam setiap kesempatan, Wahab selalu mengajak Dhuha untuk bergabung bersamanya. Tapi, Dhuha masih belum berani muncul di depan orang banyak.
"Untuk sekarang, aku hanya ingin fokus di pengajian subuh Pak Kyai saja dulu."
Jawaban Dhuha rasanya nggak pas didengar. Wahab tetap ingin mengajaknya ikut ke pengajian nanti sore.
"Tapi..."
"Ya sudah, kami duluan ya. Insa Allah kita bertemu lagi besok subuh." Kyai Ismail menahan Wahab yang masih ingin membujuk.
"Iya Pak Kyai." Sahut Dhuha.
Yah, apa hendak dikata. Dhuha sudah berlalu setelah mengucapkan salam dan mereka membalas. Ustadz muda ini terlihat lesu, karena gagal mengajak seorang lagi masuk dalam pengajian sore mereka.
"Kok Abi suruh pergi. Wahab belum berhasil mengajaknya."
"Ingat, jangan memaksa. Abi yakin, cepat atau lambat nak Dhuha akan hadir dalam pengajian sore kita."
.
.
.
.
"Assalamualaikum, diberitahukan kepada santriwati yang bernama Naura Syabilla, agar segera datang ke kediaman Kyai...."
"Syabilllll" hampir mengalahkan suara toak, teriakan Yasmine sang keamanan membuat Syabilla terkejut. Bukan hanya dia, tapi santri yang lain juga.
"Iya tau kok, nggak perlu berteriak, Yasmine!. Rendahkan suaramu."
"Ehe" Yasmine cengengesan, sebuah pemandangan yang langka. Seorang Yasmine tertawa seperti ini. Sangat jarang dan nggak bisa dengan sembarang orang.
"Aku temenin ya."
"Nggak perlu!."
"Kok gitu?!."
"Ayah telepon pasti ada urusan penting. Kamu kepo kan?."
"Iya."
"Dih langsung ngaku. Kenapa kok kepo?."
"Aku...aku mau bujuk Ayah kamu batalin kepindahan kamu ke pon-pes lain."
Menatap sang sahabat yang terlihat sedih itu, Syabilla jadi ikut sedih. Dia memperbaiki kerudung Yasmine seraya berkata"Aku yakin ini bukan tentang kepindahanku. Ayah cuma bercanda. Ingat Yasmine, dua minggu lagi kelulusan."
Ash!! saking takutnya berpisah dengan sang sahabat, Yasmine sampai lupa bahwa mereka sudah berada pada masa-masa terakhir di sekolah. Berbeda sekali saat di depan santriwati yang lain, pas lagi sama Syabilla dia memang sering terlihat nggak fokus. Rumor yang mengatakan bahwa Yasmine adalah gadis tegas, pemberani dan galak hanyalah hoax bagi Syabil, sebab dia sangat tau bagaimana Yasmine yang sebenarnya.
Meninggalkan Yasmine yang cengengesan, Syabilla langsung menuju kediaman Pak Kyai. Entah hal apa yang mau diomongin Ayah, kok hatinya jadi berdebar hebat.
"Kenapa ya? apa terjadi hal buruk di rumah?" gumam sang hati. Bukan apa-apa Syabilla bertanya-tanya, baru dua hari yang lalu dia pulang menghabiskan waktu liburan sehari di rumah, rasanya terlalu dini kalau Ayah bilang menelepon karena rindu.
"Astaghfirullah, Syabil!! kok mikirnya jelek sih" keningnya menjadi korban, suaranya renyah banget pas kena gaplok.
Ustadzah Zafirah tersenyum lebar melihat tingkah Syabill, gadis yang selalu menempel padanya dalam setiap kegiatan amal di waktu libur panjang.
"Assalamualaikum" ujar Zafirah disertai senyum dikulum.
Mendengar salam, Syabill yang menunduk langsung mengangkat pandangan"Waalaikumsalam" ujarnya spontan menjawab salam.
"Oh Ustadzah, kenapa ya Ayah saya menelepon?."
"Nggak tau. Mau dikawinkan kali." Jawab Zafirah asal.
Syabilla memiliki mata yang bulat dengan ujung sedikit runcing seperti kucing, terkejut dengan perkataan Zafirah membuat kedua bola matanya semakin membulat. Zafirah kembali tersenyum lebar dibalik cadarnya"Kaget banget ya, sampai hampir meloncat bola mata kamu."
"Ehehe, kaget banget Ustadzah."
"Kaget karena mau dinikahkan?."
"Iya. Memang waktu pulang kemarin Ayah sempat membahas masalah ini, dan Syabilla menyerahkan semuanya pada Ayah dan Ibu."
"Oh, jadi kamu memang ada rencana mau dinikahkan?."
"Lho, kan Ustadzah sendiri yang bilang."
Lagi-lagi Zafirah tersenyum"Kan saya bilang diakhir kalimat'kali'. Kamu kok langsung percaya."
Dua bola matanya berkedip-kedip, menatap Zafirah yang masih tersenyum. Beberapa detik kemudian barulah Syabilla sadar bahwa Zafirah hanya bercanda padanya.
"Aaa... Ustadzah bikin Syabilla deg-degan. Syabilla masih muda banget, rasanya terlalu cepat kalau menikah."
"Saya cuma bercanda. Tapi kalau benar akan dinikahkan, kamu memang sudah yakin?. Usia kamu sudah cukup untuk menjadi seorang istri sih."
"Baru mau 18 tahun, Ustadzah."
"Iya juga ya" Zafirah mengangguk kecil seraya masuk ke dalam kamar, kemudian keluar lagi dengan membawa ponselnya.
Zafirah melakukan panggilan pada nomor ponsel Haji Harun, Ayahanda Syabilla. Menyerahkan ponselnya pada Syabilla, Zafirah undur diri untuk menyiram tanaman di halaman kediaman mereka. Sementara Syabilla dia biarkan berbicara dengan sang Ayah melalui ponselnya.
.
.
.
.
"Saya lagi sakit tenggorokan, Kek. Jadi nggak bisa Azdan dulu" ini bisikan Dhuha subuh itu pada Kakek Sa'ad. haish!! kirain bisik-bisik ada apaan, ternyata lagi sakit tenggorokan.
To be continued...
Salam anak Borneo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Spyro
Ciee mas Dhuha bnyak yg mau ngelamar 🤭
2024-06-03
1
Lee
Syabila gdis yg baik smoga brjdoh dgn Dhuha...
mampir lg kak
salam dri Zafira dan Zaki. 🤭
2024-03-12
0
Elisabeth Ratna Susanti
keren 😍
2024-03-10
0