Mainkan Gitarmu Sophie
Namaku Sophie. Sophie Srikandi. Kalau kalian pikir namaku aneh, kalian bukan orang pertama yang berpikir begitu. Santai saja karena aku juga pernah berpikir kalau namaku memang aneh. Nama itu diberikan Mama karena dia punya harapan. Menurut Mama, Sophie adalah sisi feminim dari Tuhan. Sedangkan Srikandi, adalah salah satu nama karakter dalam dunia wayang. Seorang perempuan yang tidak hanya pintar di dapur tapi keahlian berperangnya juga diperhitungkan ketika terjadi perang Baratayudha. Mama berharap dengan memberi nama itu aku bisa menyatukan segala kebaikan dari dunia timur dan dunia barat. Supaya aku menjadi seorang gadis berwawasan luas dengan kepribadian eksotis. Hebat bukan ? Sayang aku tidak begitu mengerti arti itu semua karena aku selalu mendengarnya ketika umurku belum genap 9 tahun.
Waktu aku kecil dulu, aku pernah belajar kalau salah satu ciri mahluk hidup adalah bertumbuh. Bertumbuh berarti dari kecil BERUBAH jadi besar, kuncup BERUBAH jadi bunga dan biji BERUBAH menjadi buah. Berhubung aku sudah 16 tahun, aku jadi tahu kalau bukan mahluk hidup saja yang bisa BERUBAH. Nasib juga bisa BERUBAH, Seperti nasibku.
Hidupku dulu mirip putri kecil di negeri dongeng. Berlarian di taman, mengejar kupu, tercebur selokan, digigit semut, makan kue waffle buatan Mama dan duduk di meja makan dengan Papa sementara Mama membuat coklat panas ketika hari hujan. Kalau malam, setelah lampu kamarku dimatikan, aku akan buka jendela kamarku kemudian bernyanyi. Seperti ini,
…
Li …. Li …. Li …. Li …. La …. La …..
Bintang bulan. kedip – kedip di langit malam
Gak pernah capek, seperti kunang – kunang
Li …. Li …. Li …. Li …. La …. La …..
Angin besar datang, apimu tidak padam
Kamu butuh sebuah pelangi
Supaya langit indah karena banyak warna
Li …. Li …. Li …. Li …. La …. La …..
Kadang – kadang, aku bernyanyi terlalu keras sampai Mama berteriak dari luar kamarku begini, “Sophie !!!! Nyanyinya diteruskan besok saja yah !!!!!”
Meskipun begitu, tetap saja aku bernyanyi sampai mulutku pegal dan mataku berat. Kemudian aku akan bermimpi bertemu seekor kelinci dan mencuri wortel sambil dikejar – kejar sepatu raksasa. Kemudian diselamatkan oleh seorang kurcaci yang kemudian memberiku apel merah dan ranum yang ternyata beracun, sehingga aku tertidur. Di dalam sebuah buncis raksasa yang dahannya menjulang tinggi menyentuh awan. Lalu ada seekor ayam yang mematuk – matuk buncis tempatku tertidur sehingga aku bangun dan mendapati ayam itu telah menjelma menjadi sorang pangeran yang tampan. Aku telah memusnahkan kutukannya, dan aku terbangun dengan hati bahagia.
Tapi suatu malam, waktu itu kira – kira aku berumur 6 tahun, aku bermimpi buruk. Aku bermimpi dikejar – kejar ayam betina raksasa yang kemudian berubah menjadi Naga. Naga yang mempunyai gigi setajam pisau. Naga itu menerkamku dengan cakarnya yang putih menancap di dadaku. Lalu aku terbangun, mendengar suara ribut dari ruang tengah. Mama dan Papa sedang bertengkar hebat. Beberapa kali terdengar suara barang pecah ataupun meja yang digebrak. Aku tidak berani keluar, hanya bersembunyi di bawah selimutku sambil memejamkan mata berusaha tidur. Lebih baik aku bermimpi diterkam kecoak raksasa, diseruduk harimau atau digigit kambing. Sampai pada akhirnya aku harus menerima kenyataan buruk, Mama dan Papa bercerai.
Sejak saat itu, aku tidak lagi bertemu Papa. Aku diasuh Mama sampai kira – kira aku berumur 9 tahun sampai ketika Mama meninggal, meninggalkan aku sedikit uang dan sebuah gitar tua. Kemudian aku tinggal dengan Nenek dan adik Mama yang biasa aku panggil Kak Frans dan seekor burung beo yang bisa diajak mengobrol. Namanya, Fernando.
Nenek VS Kak Frans
Sewaktu Mama meninggal dan aku terus – terussan menangis, Nenek berkata padaku, “Berhenti menangis Sophie. Hidup ini terlalu berharga untuk kau lewatkan hanya dengan menangis.” Nenek selalu punya kalimat yang tepat untuk setiap masalah. Dia tidak berbicara basa – basi atau menghabiskan waktu dengan bergosip di telpon.
Nenek bukan tipe perempuan yang menyasak rambutnya tinggi – tinggi dengan hair spray satu ton, memakai gaun mahal kemudian datang ke seminar – seminar atau arisan. Nenek lebih suka memakai celana jins dan topi petani menghabiskan waktu untuk bekerja di kebun apel. Seorang sahabat lama Nenek, Nek Irma, pernah bertanya padaku.
“Kau tahu betapa kuatnya Nenekmu dulu ?” aku menggeleng karena tidak tahu apa yang dia maksud.
“Nenekmu dulu pernah bertarung dengan seekor kerbau !” Aku tertawa, menganggapnya hanya sebagai sebuah lelucon. “Jangan tertawa Sophie. Aku tidak bercanda,”
“Tidak mungkin Nenek berkelahi dengan seekor kerbau Nek Irma,” aku membantah.
“Sudah, jangan kau dengarkan Irma Sophie,” Nenek duduk di kursi rotan, menyilangkan kaki sambil membaca koran.
“Dulu masih banyak petani membajak sawahnya dengan kerbau. Suatu ketika, seekor kerbau lepas dan berlari ke kebun Nenekmu,” Nek Irma berhenti karena Nenek memotong,
“Bukan kebunku Irma. Kebun ayahku,”
“Iya sama saja!” Berhenti sesaat kemudian Nek Irma melanjutkan ceritanya, “kerbau itu merusak kol dan bibit wortel yang baru saja tumbuh. Padahal, sudah beberapa minggu Nenekmu mengerjakan kebun itu. Melihat hasil kerjanya dirusak kerbau, Nenekmu marah lalu mengambil kayu untuk memukul kerbau itu. Kau sempat diseruduk khan ?” Nek Irma menoleh ke arah Nenek yang masih saja tetap membaca. “Iya, luka sedikit.”
“Kau pukul apanya kerbau itu ?”
“Tanduknya Irma.”
“Pantas saja. Kerbau paling tidak suka dipukul tanduknya. Pantas saja dia marah,” Nek Irma memalingkan mukanya padaku lagi kemudian kembali bercerita.
“Beruntung Sophie, orang – orang kampung datang membawa tali untuk menangkap kerbau itu. Kalau saja Nenekmu dan kerbau itu tidak dipisah, mungkin salah satu dari mereka sudah tinggal nama saja sekarang.”
“Kerbau itu juga sudah tinggal nama sekarang Irma,” Nenek tiba – tiba menyahut.
“Ah benarkah ? Ternyata dia juga punya nama …. tapi sakit apa ?”
“Sudah tua. Kalau orang suka cerita yang tidak – tidak, bisa – bisa juga dia tinggal nama” kemudian Nek Irma mengangguk – anggukkan kepalanya sebelum menyahut, “Maksudmu aku?” Nenek tertawa dan aku tersenyum
Setelah aku mendengar cerita itu, aku berpikir kalau sebenarnya Nenek lebih pantas memakai nama Srikandi dari pada aku.
Ada satu lagi, Nenek suka memainkan harmonika. Setiap orang yang mendengar Nenek bermain harmonika, pasti akan berhenti sejenak untuk hanyut menikmati permainan Nenek. Kalau malam, Nenek suka duduk di beranda menikmati angin malam. Kemudian, dia akan mengelus – elus sebentar harmonikanya sebelum dimainkan. Lalu dia akan mulai meniupnya pelahan – lahan membentuk sebuah lagu yang tidak lagi aku kenal. Mungkin lagu Dolly Parton, The Beatles, Everly Brothers atau malah – malah lagu yang diwariskan turun temurun mulai jaman purba.
Mungkin dengan memainkan harmonikanya Nenek sedang memutar lagi masa lampau yang dulu dilaluinya. Dalam bayanganku, Nenek yang masih muda dan cantik pergi ke luar kota naik kereta api. Gaun putih dengan bawahan lebar yang Nenek pakai berkibar karena hembusan angin. Tiba – tiba tas tangan Nenek jatuh dan seorang pemuda dengan rambut rapi mengambilkannya untuk Nenek. Lalu merekapun menikah, jatuh cinta dan lahirlah Mama dan Kak Frans. Betapa indahnya.
Berbeda dengan Nenek, Kak Frans adalah pemain gitar yang hebat. Kak Frans selalu bermain gitar dengan hatinya. Hati seorang cowok yang lembut. Pribadinya hangat membuat siapapun yang ada di dekatnya merasa tentram dan nyaman. Pernah, suatu hari dia berkata,
“Kau tahu Sophie, betapa beruntungnya kau ditakdirkan untuk lahir sebagai perempuan,” kala itu matanya menerawang keluar jendela, melihat deretan pohon apel berlabur putih yang sudah dirontokkan daunnya. Lalu dia menutup matanya, mengambil nafas sejenak kemudian berdendang sambil memetik gitar. Seakan – akan, dia mendapatkan suatu ketenangan yang luar biasa, yang tidak dia dapatkan ketika permainan gitarnya berhenti.
Setahuku, selama ini Kak Frans tidak pernah punya pacar walaupun umurnya sudah 27 tahun. Kalau aku goda tentang pacar, Kak Frans akan menjawab,
“Belum ada yang cocok Sophie.” Aku lihat dari matanya, seakan – akan Kak Frans ingin mengutarakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang disimpannya rapat – rapat selama ini, yang bahkan aku atau Nenekpun tidak tahu. Yang jelas, apapun itu, aku akan tetap menyayangi Kak Frans. Sayangku tidak akan berubah walaupun dia tidak punya pacar.
Nenek yang tegas dan Kak Frans yang lembut. Mereka berdua saling melengkapi mengelola kebun apel dan menjalankan Toebroek, kedai kopi yang selama ini menjadi mesin pencetak uang bagi kami bertiga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
V3
ceritany baguss...aku mampir nihh...bawa like sama rate bintang 5 juga
2020-11-29
2
Novita Sari
kayaknya seru nih cerita
2020-11-27
1