Akhirnya, mau juga Dede aku ajak bertemu Nando siang ini sepulang sekolah. Hari ini adalah latihan terakhir kami sebelum besok menyanyi di Toebroek. Bukan perkara yang mudah meyakinkan Dede untuk bertemu Nando, supaya dia tahu kalau Nando memang layak kuperjuangkan.
“Aku pulang sekarang Sophie,” kata Dede dengan nada tidak tahan. Nando sudah terlambat sepuluh menit dari janji yang telah kami buat sebelumnya.
“Please De, tunggu sebentar saja. Mungkin saja bensin motornya habis dan dia harus antri di POM bensin,” Dede adalah sahabatku. Kami berbagi banyak hal. Karena itu aku ingin dia juga ikut menjadi saksi hal – hal penting yang terjadi dalam hidupku.
“Satu hal buruk yang membuat aku semakin tidak simpatik sama cowokmu Sophie,”
Yah memang begitulah sahabatku itu. Setelah huru – hara ringan kemarin, Dede masih belum saja menlunak. Tapi paling tidak, sudah ada saling pengertian di antara kami berdua.
“Itu karena kamu belum melihatnya De. Cowok itu punya karisma yang tidak dimiliki cowok – cowok lain yang pernah aku temui. Dia itu sangat, sangat lain,” aku mengambil lap kemudian mengelap meja – meja Toebroek yang sudah menjadi tugasku sehari – hari.
“Sophie, kamu benar – benar sudah dibutakan oleh cinta,”
“Aku bisa apa De ? Yah memang seperti ini cewek yang sedang suka sama cowok. kamu pernah jatuh cinta khan ?” Aku menoleh ke Dede yang sedang duduk sambil melipat dua tangannya di depan dada. “Kamu tahu aku sudah pacaran dua kali dan kamu jadi obat nyamukkan,” Dede tersenyum sambil melirikku. “Tapi pacarku yang pertama aku dapat waktu aku kelas enam SD.” Jawab Dede tanpa menoleh ke arahku.
“Hah? Peristiwa penting semacam itu tidak kamu ceritakan ke aku ?” aku berhenti di pojok dimana terdapat beberapa bantal dan televisi.
Dede mengambil nafas panjang, seakan – akan kisah cintanya adalah sebuah bagian yang sangat penting dari masa lalunya dan aku putuskan untuk berhenti sebentar sambil diam mendengarkan cerita Dede.
“Dia dulu cowok yang selalu lewat di jalan sebelah rumahku kalau mau sekolah. Seingatku dia sudah SMP ketika aku masih kelas 6 SD. Setiap pagi Sophie, sebelum berangkat sekolah aku selalu pergi ke kamarku dan menjulurkan kepalaku keluar jendela supaya bisa melihat dia berangkat sekolah dengan naik sepeda. Wajahnya cakep sekali dengan seragam putih birunya. Suatu kali, ketika aku sedang asyik - asyiknya ngtelihatin dia dari jendela, tiba – tiba saja dia menoleh tepat ke arahku. Saat itu untuk pertama kalinya aku bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas. Lebih cakep dari yang kubayangkan semula. Itu bukan pandangan pertamaku padanya, tapi saat itu adalah pertama kalinya dia memandangku. Waktu itu Sophe, aku tahu kalau aku telah jatuh cinta. Jadi kau tahu khan jadwal rutinku setiap pagi waktu itu?” Dede tersenyum padaku. Menurutku, itu adalah sebuah kisah paling romantis di dunia, mengalahkan Romeo dan Juliet. Ternyata, cewek pendebat hebat dan lumayan keras kepala ini melankolis juga rupanya.
“Lalu ?” aku tanya ketika dia terlalu lama diam. Dia masih tersenyum. Sahabatku itu mengambil nafas dalam dan pelahan senyuman menghilang dari wajahnya, berganti pelahan dengan mimik serius.
“Suatu hari, dengan sengaja dia menjatuhkan sesuatu tepat di bawah jendelaku kemudian cepat – cepat pergi tanpa tersenyum padaku seperti biasanya. Waktu aku keluar, aku dapatkan secarik kertas yang dilipat seperti perahu. Di dalamnya tertulis satu kalimat yang singkat sekali. Satu saja tidak ada yang lain. Tapi meskipun hanya satu kalimat, rasanya sudah cukup membuat duniaku berhenti.”
“Apa katanya De ?”
Bukannya menjawab tapi dia malah memalingkan muka melihat tempat yang hijau, kebun apelku. Fernando sedang jalan-jalan disana.
“Apa dia bilang ?” aku sangat penasaran.
“Aku besok pergi,” Dede mengambil nafas panjang lagi.
“Hah? Kamu mau pergi ke mana?”
“Bukan itu. Maksudku, di surat itu dia bilang ‘aku besok pergi’”
“Itu saja?”
Dede mengangguk. “Sesudah hari itu Sophie, walaupun sampai capek aku tunggu dia. dia tidak pernah lagi muncul.”
“Rasanya sama sekali tidak menyenangkan Sophie, suka pada seseorang kemudian dia pergi. Karena itu aku ingin kamu hati – hati sebelum tahu dia punya perasaan yang sama seperti kamu atau tidak,” hari ini bukan pertama kalinya Dede memberikanku nasehat seperti orang yang telah berusia setengah abad. Aku bingung bagaimana harus bereaksi terhadap cerita Dede, dan kuputuskan untuk diam saja. menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kamu bahkan tidak tahu namanya ?” tanyaku ketika aku dengar suara sepeda motor yang berjalan mendekat. Aku tahu itu pasti Nando.
“Dia tulis namanya di sana,” tidak sempat Dede menyelesaikan kalimatnya keburu aku potong,
“Dede, dia datang,” teriakku pada Dede. Dede berdiri melihat jalan.
“Mana ?”
“Masih belum kelihatan,”
“Kamu kok bisa tahu ?” mata Dede kelihatan bingung.
“Aku dengar suara motornya. Rambutku sudah rapi belum ?”
Dede mengamatiku sesaat kemudian berkata, “Rapi, tapi kaosmu kotor.”
Aku lari ke kamar berganti kaos sementara kudengar suara motor Nando semakin dekat kemudian berhenti. Aku ganti kaos, merapikan lambut, menaburkan sedikit bedak, memakai maskara, cologne dan menamatkan wajahku dicermin sejenak. Untuk penampilan tidak dibuat – buat supaya terkesan alami aku kira sudah cukup. Dengan langkah yang aku buat seanggun mungkin, aku berjalan tegap menuju Toebroek, membayangkan diriku sebagai seorang putri yang sedang berjalan turun ke lantai dansa di sebuah ballroom dengan iringan orkestra megah. Sambil berjalan, aku sudah rencanakan kata – kata apa yang kira – kira akan kutanyakan pada Nando. Dari yang basa – basi seperti “Baru saja datang ?” atau pertanyaan seputar gitar. Pertanyaan yang terkesan pintar seperti, “Kamu bisa kunci F ?” Tapi orang semacam Nando pasti sudah tidak bermasalah dengan kunci F. Jadi kuputuskan untuk tidak menanyakan itu tapi menggantinya dengan “Sepertinya, senar nomor satu perlu diganti deh.”
Aku tulis di udara, Nando di samping Sophie. Sepertinya cocok. Gabungan nama yang mengagumkan. Sophie Srikandi, penyanyi pacar seorang pemain gitar. Kombinasi maskulin dan feminim yang sempurna, layak mendapat penghargaan.
Memasuki Toebroek, aku lihat Dede dan pacar masa depanku itu sedang duduk berhadapan. Nando memandang Dede seperti hendak berbicara sesuatu sedangkan sahabatku itu hanya menunduk. Tangan Dede memainkan gantungan kunci di tasnya. Sebuah boneka babi kecil sekepalan tangan berwarna pink. Pasti mereka berdua terjebak suasana canggung karena baru pertama kali bertemu dan tidak menemukan obrolan yang tepat.
“Boleh minta nomor HPmu?” samar-samar aku dengar suara Nando.
“Lebih baik tidak,” jawab Dede singkat.
Aku heran dengan kalimat Dede. Kenapa dia bisa seketus itu pada Nando yang baru saja ditemuinya. Pasti ini karena Dede memang tidak suka dengan Nando sejak awal.
“Ehem … ehem,” aku berdehem untuk mendapatkan perhatian mereka. Seperti aku duga, berdua mereka seperti berlomba menoleh padaku. Sebersit rasa takut aku baca dari wajah Dede, tapi dengan cepat dia menutupnya.
“Sudah siap latihan?” tanya Nando.
“Tentu saja. Gitarmu kamu bawa khan?”
“Tentu saja. Gitarku ini seperti istri. Kemana-mana pasti aku bawa.”
Aku tertawa. “Sebelum punya istri, harus punya pacar dulu dong.”
“Pasti itu. Aku hanya menunggu orang yang tepat,” tukas Nando sambil menoleh ke arah Dede sebentar kemudian berpaling padaku dengan tersenyum. Senyum paling manis yang pernah aku lihat. Dalam hati aku berkata, aku disini, dihadapanmu. Aku orang yang tepat. Ingatkan, aku penyanyi dan kamu pemain gitar.
“Sophie, aku harus pulang sekarang,” ujar Dede gusar. Wajahnya sama sekali tidak tenang.
“Katanya kamu free sore ini De ?”
“Iya sorry. Tiba-tiba saja aku ingat kalau hari ini aku harus nemenin mamaku akupunktur.”
“Lho, biasanya dia pergi sendiri khan?”
“Iya, biasanya begitu. Tapi gak tahu kenapa tiba-tiba tadi pagi dia minta antar. Katanya sih supaya aku bisa dikenalin sama anaknya.”
“Anaknya siapa?”
“Itu, orang yang akupunktur.”
“Oh begitu.”
“He eh,” jawab Dede dengan wajah gusar.
“Do, aku antar Dede ke depan yah,”
Nando mengangguk kemudian mengeluarkan gitarnya dari tempatnya. Beriringan aku antar Dede sampai ke jalan besar untuk mendapatkan angkot. Terus saja dia diam, seperti memikirkan sesuatu.
“Kamu kok BT gini sih De? Aku tahu kamu gak suka sama Nando. Tadi, dengar cerita tentang dia saja kamu sudah tidak suka. Kamu temanku bukan sih De?” aku berkata kesal.
“Sophie, kamu tuh sahabatku. Aku gak akan membiarkan masalah cowok ini merusak hubungan persahabatan kita.” Jawab Dede masih dengan menunduk.
“Maksudmu apa?”
Tidak sempat dia jawab pertanyaanku karena angkot yang Dede tunggu sudah datang. Sahabatku itu pergi dan aku hanya sempat melihatnya melalui kaca besar angkot. Aku lihat satu titik kecil air mata dia usap di ujung matanya. Kata-katanya tentang masalah cowok yang tidak akan mengganggu persahabatan kami masih saja terngiang dalam kepalaku. Aku masih tidak mengerti.
“Maaf terlalu lama menunggu,” ujarku pada Nando ketika aku sudah ada di Toebroek lagi.
“Ah, gak apa-apa,” jawabnya. Dia memainkan gitarnya pelan-pelan dengan cara yang khas. Badannya sedikit menunduk dan rambutnya menutupi kening terayun-ayun. Sebuah pemandangan yang indah.
“Sepertinya senar nomor satu perlu diganti deh,” kataku mengucapkan hapalanku tadi.
Nando mengentikan permainannya sebentar kemudian memetik-metik senar nomor satu. Mendengarkannya dengan seksama kemudian sedikit mengencangkannya. “Gak kok, masih baik. Siap latihan khan?”
Aku mengangguk.
“Ehm … kamu punya nomor HP Dede?”
“Tentu, kenapa?”
“Boleh minta”
“Tentu saja”
Katakan padaku temanku
Apa yang mengganggu hatimu
Bukankah lama hari kita jalani berdua
Bertukar makan dan pakaian dalam tawa
Bagikan sedikit bebanmu sahabatku
Mari kita tanggung berdua
Entah mengapa, aku merasa ada hal yang mengganjal.
Bersambung
Follow me in IG @eveningtea81 for daily quote and short stories!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
V3
cwok nya cinta pada pandangan pertama dede ya
2020-11-29
1
Titik Widiawati
si cowoknya dede wkwkqk
2020-11-29
2