Kunci F
“Kenapa harus ada kunci F ?” tanyaku kesal pada Kak Frans. Sudah tiga hari ini aku belajar bermain gitar dengan Kak Frans. Sebenarnya, sebelumnya aku sudah sering mencoba – coba memainkan gitar peninggalan Mama. Aku bisa bermain di kunci C, kunci dasar dima pemain gitar pemula seperti aku mulai belajar. Tapi aku belum pernah belajar seserius ini. Kunci C, G7, Dm, Em, Am mudah aku lakukan. Tapi kunci F, benar – benar sebuah siksaan. aku tidak akan menyerah. Sophie Srikandi bukan cewek yang mudah menyerah. Ada kenangan Mama dan dan didikan Nenek dalam diriku. Kunci F, aku pasti akan menaklukkanmu.
“Pertanyaan macam apa itu Sophie ?” Kak Frans menoleh sesaat padaku sebelum kembali berpaling ke hadapan cermin sambil mengamati wajahnya yang bersih kemerahan.
“Kalau saja kunci F bisa diganti kunci yang lain yah Kak”
Kak Frans mengerjab – ngerjabkan matanya sebentar kemudian memandangku tajam.
“Pertanyaan bodoh. Kadang – kadang F dan D minor agak mirip. Mirip saja Sophie, tapi tidak sama. Kamu harus tetap bisa menaklukkan kunci F,” Kak Frans berdiri mengambil gitarnya yang menggantung di tembok kemudian menyanyikan sebuah lagu di C.
…
Kemarin waktu pagi
Aku lihat sebutir embun
Berayun di ujung sebuah daun
Angin lembut datang
Membuat embun kecil jatuh
Hancur meresap ke tanah
Embun kecil musnah membuat tanah basah
Lalu timbul sebuah tunas
Hidup baru dimulai
Yang semula kecil akan menjadi besar
Karena sebutir embun
…
Kak Frans menjentikkan jari manisnya di senar terakhir. Benar – benar lagu yang indah. “Wah … bagus banget,” aku berkata takjub.
“Kalau kamu main di C, mau tidak mau kamu akan bertemu F,” suara Kak Frans mantap meskipun masih terdengar sabar, tenang.
Aku menyandarkan kepalaku di lekukan gitarku, “Mati deh aku. Kak, kenapa sih harus ada kunci F ?” aku mengulang pertanyaanku.
“Kamu tahu Sophie, dalam hidup ini banyak sekali hal – hal yang tidak peduli kau suka atau tidak, tapi tetap harus kau lakukan. Karena kalau kau tidak melakukannya Sophie, kamu akan merasa kalau ada sesuatu yang kurang lengkap dalam dirimu. Seperti itu juga kunci F. Kalau kau tidak belajar menggunakannya. Permainan gitarmu tidak akan pernah sempurna.”
Aku rasa omongan Kak Frans benar dan sangat beralasan. Kak Frans mengusap rambutku pelan. “Latihan lagi,” katanya. Lalu aku mulai menjentikkan jariku pelan. Menyanyikan You are my Sunshine di C yang berarti aku harus bertemu dengan kunci F. Menyebalkan. Sebentar, aku ralat. Tidak terlalu menyebalkan karena sekarang aku berlatih sambil membayangkan wajah Nando. Harus selalu ada pengorbanan untuk mendapatkan sesuatu bukan ?
“Pengorbanan katamu ?” teriak Dede, sahabatku, ketika keesokan harinya kutunjukkan ujung – ujung jariku yang memerah.
“Cuma gara – gara seorang cowok yang baru sekali kamu kenal Sophie, kamu tega menyiksa jarimu. Itu bukan pengorbanan namanya. Itu adalah sebuah siksaan!”
“De, kamu khan belum ketemu dia. Coba sekali saja kamu ketemu dia. Kamu pasti langsung mengerti bahwa pengorbananku ini tidak sia – sia,” kata – kataku memelas.
“SIKSAAN. Jangan pernah sekali – kali kamu ganti kata siksaan dengan pengorbanan. Lagian juga sophie, sudah berapa lama kamu kenal dia sampai kamu sudah berani memutuskan kalau kamu cinta dia,”
“Naksir De, masih belum cinta !” aku merasa agak jengkel dengan segala serangan Dede. Apa dia tidak senang kalau aku lagi naksir seseorang.
“Yah betul, naksir yang kebangetan sampai kamu rela berkorban,”
“Kamu itu temanku bukan, sih ?” aku sangat, sangat jengkel.
“Sophie, justru karena aku temanmu aku mengingatkan semuanya ini. Cowok itu belum tentu sebanding dengan siksaan yang kamu tanggung sekarang,”
Aku sela, “Pengorbanan Dede.”
Dede tidak mau kalah, “dalam kasus ini pengorbanan dan siksaan tidak kulihat perbedaannya,” dia berhenti sebentar untuk mengambil nafas, “selain itu, kamu khan belum tahu dia sudah punya pacar apa belum, sifat – sifatnya bagaimana dan apa cowok itu … eh … siapa namanya ?”
“Nando,”
“Iya betul, Lando,”
“Nando Dede,”
“Ahhhh, sama saja,”
“Apanya yang sama ?”
“Kamu tidak tahu apa dia juga punya rasa suka ke kamu,”
Aku masih diam merenungkan perkataan Dede sementara dia masih mengoceh panjang lebar tentang cowok dan cinta yang sama sekali tidak aku pahami. Sahabatku ini memang besar di keluarga pengacara. Dari kakek sampai kakaknya, semua pengacara. Dia sangat tahu bagaimana caranya berdebat. Dan aku harus mengakui kalau kata – katanya benar. Belum tentu juga kalau Nando naksir ke aku. Dengan segala usaha yang aku lakukan ini, apa bisa aku dapatkan Nando ?
Di kamar aku masih tetap merenung. Dari tadi Fernando ngoveh ke sana kemari sambil jalan – jalan. “Apakah burung seperti kamu pernah jatuh cinta, Fernando?”
Aku menyorongkan tanganku untuk mengusap – usap kepalanya. Fernando berhenti sebentar kemudian mengoceh lagi ketika dia lihat tidak ada jagung di tanganku.
“Dasar, burung beo nakal yang pikirannya makanan melulu.”
Telponku berbunyi, video call dari Dede. Malas – malasan aku terima telponnya.
“Yah,” jawabku sekenanya.
“Sorry,” dia menjawab pelan.
Seumur – umur baru kali ini aku mendengar Dede bilang sory.
“Apa? aku gak dengar!” kataku berpura – pura sambil tersenyum.
“Sudah, tidak ada siaran ulang!” dia di sana berteriak.
“Hehehe, aku tahu De. Trims yanh.”
“Sama – sama lah Soph. kamu tahu khan, selama ini aku jomblo. Bahkan di lingkaran perteman kita, mungkin kita berdua adalah kaum jomblo terakhir. Kalau kamu punya pacar, aku akan menjadi satu – satunya jomblo di dunia ini. Aku jadi perawan tua!” Dede tertawa dengan nada sedih.
“Kalau ngomong jangan ngawur deh De. Lagian kan aku belum pernah pacaran sama sekali. Kamu sudah dua kali mutusin cowok. Aku khan juga butuh pengalaman dalam dunia percintaan De.”
“Iya sih Soph. Aku mungkin takut juga kalau nanti kamu pacaran, aku yang jadi obat nyamuk Soph.”
“Yah supaya kamu ngerti jugalah bagaimana rasanya jadi obat nyamuk. Dua kali pacaran aku selalu jadi obat nyamukmu khan.”
“Hihihihi,” Dede meringis.
“Aku pingin kamu bahagia Soph. punya pacar itu menyenangkan kalau lagi menyenangkan. Tapi kalau lagi sakit, yah sakit banget. Semakin banyak pacaran itu berarti semakin banyak juga disakiti. Semoga kamu gak ngalamin kayak aku Soph.”
“Iya aku ngerti. Kita sahabatan khan. Kalau aku lagi keluar sama pacarku, dan mudah – mudahan itu Nanco, amin dong De!”
“Amin!!!!!” Dede berteriak di seberang sana.
“Aku akan ngajak kamu, kalau kamu mau. Jadi kamu gak akan merasa aku tinggalkan. Tapi kalau kami lagi pingin berdua saja, kamu juga ngerti yah.”
“Pasti lah Soph.”
Lalu kami menghabiskan siang itu dengan saling bercerita eperti biasanya. Mulai dari cowok yang suka ngelihatin Dede di kantin sekolah, sampai kamar kami masing – masing yang sama – sama berantakannya. Kami pernah mengadakan poling kamar siapa yang paling berantakan di antara kamar kami berdua, dan hasilnya Dede menang. Kalau saja waktu itu Fernando tidak nampang di foto yang kami upload di Instagram kami, aku pasti menang. Tapi siapa yang mau mengalahkan kamar dengan seekor burung beo lucu di dalamnya?
Obrolan kami berhenti ketika aku dengar nenek teriak – teriak dari toebroek menyuruhku datang untuk ngepel dan mencuci gelas. Sore di toebroekpun dimulai.
please follow me in IG @eveningtea81 for daily quote and short stories!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Kania
haloo kakak.. aku udah baca novelnya.. seru :)
jangan lupa mampir juga ya ke novel ku..
terurama bagi readers yg suka genre teen & romance pasti cocok..
ditunggu.. makasih :)
2020-05-17
1
Ummiya Ummi
suka deh...
2020-04-01
2