Namaku Sophie. Sophie Srikandi. Kalau kalian pikir namaku aneh, kalian bukan orang pertama yang berpikir begitu. Santai saja karena aku juga pernah berpikir kalau namaku memang aneh. Nama itu diberikan Mama karena dia punya harapan. Menurut Mama, Sophie adalah sisi feminim dari Tuhan. Sedangkan Srikandi, adalah salah satu nama karakter dalam dunia wayang. Seorang perempuan yang tidak hanya pintar di dapur tapi keahlian berperangnya juga diperhitungkan ketika terjadi perang Baratayudha. Mama berharap dengan memberi nama itu aku bisa menyatukan segala kebaikan dari dunia timur dan dunia barat. Supaya aku menjadi seorang gadis berwawasan luas dengan kepribadian eksotis. Hebat bukan ? Sayang aku tidak begitu mengerti arti itu semua karena aku selalu mendengarnya ketika umurku belum genap 9 tahun.
Waktu aku kecil dulu, aku pernah belajar kalau salah satu ciri mahluk hidup adalah bertumbuh. Bertumbuh berarti dari kecil BERUBAH jadi besar, kuncup BERUBAH jadi bunga dan biji BERUBAH menjadi buah. Berhubung aku sudah 16 tahun, aku jadi tahu kalau bukan mahluk hidup saja yang bisa BERUBAH. Nasib juga bisa BERUBAH, Seperti nasibku.
Hidupku dulu mirip putri kecil di negeri dongeng. Berlarian di taman, mengejar kupu, tercebur selokan, digigit semut, makan kue waffle buatan Mama dan duduk di meja makan dengan Papa sementara Mama membuat coklat panas ketika hari hujan. Kalau malam, setelah lampu kamarku dimatikan, aku akan buka jendela kamarku kemudian bernyanyi. Seperti ini,
…
Li …. Li …. Li …. Li …. La …. La …..
Bintang bulan. kedip – kedip di langit malam
Gak pernah capek, seperti kunang – kunang
Li …. Li …. Li …. Li …. La …. La …..
Angin besar datang, apimu tidak padam
Kamu butuh sebuah pelangi
Supaya langit indah karena banyak warna
Li …. Li …. Li …. Li …. La …. La …..
Kadang – kadang, aku bernyanyi terlalu keras sampai Mama berteriak dari luar kamarku begini, “Sophie !!!! Nyanyinya diteruskan besok saja yah !!!!!”
Meskipun begitu, tetap saja aku bernyanyi sampai mulutku pegal dan mataku berat. Kemudian aku akan bermimpi bertemu seekor kelinci dan mencuri wortel sambil dikejar – kejar sepatu raksasa. Kemudian diselamatkan oleh seorang kurcaci yang kemudian memberiku apel merah dan ranum yang ternyata beracun, sehingga aku tertidur. Di dalam sebuah buncis raksasa yang dahannya menjulang tinggi menyentuh awan. Lalu ada seekor ayam yang mematuk – matuk buncis tempatku tertidur sehingga aku bangun dan mendapati ayam itu telah menjelma menjadi sorang pangeran yang tampan. Aku telah memusnahkan kutukannya, dan aku terbangun dengan hati bahagia.
Tapi suatu malam, waktu itu kira – kira aku berumur 6 tahun, aku bermimpi buruk. Aku bermimpi dikejar – kejar ayam betina raksasa yang kemudian berubah menjadi Naga. Naga yang mempunyai gigi setajam pisau. Naga itu menerkamku dengan cakarnya yang putih menancap di dadaku. Lalu aku terbangun, mendengar suara ribut dari ruang tengah. Mama dan Papa sedang bertengkar hebat. Beberapa kali terdengar suara barang pecah ataupun meja yang digebrak. Aku tidak berani keluar, hanya bersembunyi di bawah selimutku sambil memejamkan mata berusaha tidur. Lebih baik aku bermimpi diterkam kecoak raksasa, diseruduk harimau atau digigit kambing. Sampai pada akhirnya aku harus menerima kenyataan buruk, Mama dan Papa bercerai.
Sejak saat itu, aku tidak lagi bertemu Papa. Aku diasuh Mama sampai kira – kira aku berumur 9 tahun sampai ketika Mama meninggal, meninggalkan aku sedikit uang dan sebuah gitar tua. Kemudian aku tinggal dengan Nenek dan adik Mama yang biasa aku panggil Kak Frans dan seekor burung beo yang bisa diajak mengobrol. Namanya, Fernando.
Nenek VS Kak Frans
Sewaktu Mama meninggal dan aku terus – terussan menangis, Nenek berkata padaku, “Berhenti menangis Sophie. Hidup ini terlalu berharga untuk kau lewatkan hanya dengan menangis.” Nenek selalu punya kalimat yang tepat untuk setiap masalah. Dia tidak berbicara basa – basi atau menghabiskan waktu dengan bergosip di telpon.
Nenek bukan tipe perempuan yang menyasak rambutnya tinggi – tinggi dengan hair spray satu ton, memakai gaun mahal kemudian datang ke seminar – seminar atau arisan. Nenek lebih suka memakai celana jins dan topi petani menghabiskan waktu untuk bekerja di kebun apel. Seorang sahabat lama Nenek, Nek Irma, pernah bertanya padaku.
“Kau tahu betapa kuatnya Nenekmu dulu ?” aku menggeleng karena tidak tahu apa yang dia maksud.
“Nenekmu dulu pernah bertarung dengan seekor kerbau !” Aku tertawa, menganggapnya hanya sebagai sebuah lelucon. “Jangan tertawa Sophie. Aku tidak bercanda,”
“Tidak mungkin Nenek berkelahi dengan seekor kerbau Nek Irma,” aku membantah.
“Sudah, jangan kau dengarkan Irma Sophie,” Nenek duduk di kursi rotan, menyilangkan kaki sambil membaca koran.
“Dulu masih banyak petani membajak sawahnya dengan kerbau. Suatu ketika, seekor kerbau lepas dan berlari ke kebun Nenekmu,” Nek Irma berhenti karena Nenek memotong,
“Bukan kebunku Irma. Kebun ayahku,”
“Iya sama saja!” Berhenti sesaat kemudian Nek Irma melanjutkan ceritanya, “kerbau itu merusak kol dan bibit wortel yang baru saja tumbuh. Padahal, sudah beberapa minggu Nenekmu mengerjakan kebun itu. Melihat hasil kerjanya dirusak kerbau, Nenekmu marah lalu mengambil kayu untuk memukul kerbau itu. Kau sempat diseruduk khan ?” Nek Irma menoleh ke arah Nenek yang masih saja tetap membaca. “Iya, luka sedikit.”
“Kau pukul apanya kerbau itu ?”
“Tanduknya Irma.”
“Pantas saja. Kerbau paling tidak suka dipukul tanduknya. Pantas saja dia marah,” Nek Irma memalingkan mukanya padaku lagi kemudian kembali bercerita.
“Beruntung Sophie, orang – orang kampung datang membawa tali untuk menangkap kerbau itu. Kalau saja Nenekmu dan kerbau itu tidak dipisah, mungkin salah satu dari mereka sudah tinggal nama saja sekarang.”
“Kerbau itu juga sudah tinggal nama sekarang Irma,” Nenek tiba – tiba menyahut.
“Ah benarkah ? Ternyata dia juga punya nama …. tapi sakit apa ?”
“Sudah tua. Kalau orang suka cerita yang tidak – tidak, bisa – bisa juga dia tinggal nama” kemudian Nek Irma mengangguk – anggukkan kepalanya sebelum menyahut, “Maksudmu aku?” Nenek tertawa dan aku tersenyum
Setelah aku mendengar cerita itu, aku berpikir kalau sebenarnya Nenek lebih pantas memakai nama Srikandi dari pada aku.
Ada satu lagi, Nenek suka memainkan harmonika. Setiap orang yang mendengar Nenek bermain harmonika, pasti akan berhenti sejenak untuk hanyut menikmati permainan Nenek. Kalau malam, Nenek suka duduk di beranda menikmati angin malam. Kemudian, dia akan mengelus – elus sebentar harmonikanya sebelum dimainkan. Lalu dia akan mulai meniupnya pelahan – lahan membentuk sebuah lagu yang tidak lagi aku kenal. Mungkin lagu Dolly Parton, The Beatles, Everly Brothers atau malah – malah lagu yang diwariskan turun temurun mulai jaman purba.
Mungkin dengan memainkan harmonikanya Nenek sedang memutar lagi masa lampau yang dulu dilaluinya. Dalam bayanganku, Nenek yang masih muda dan cantik pergi ke luar kota naik kereta api. Gaun putih dengan bawahan lebar yang Nenek pakai berkibar karena hembusan angin. Tiba – tiba tas tangan Nenek jatuh dan seorang pemuda dengan rambut rapi mengambilkannya untuk Nenek. Lalu merekapun menikah, jatuh cinta dan lahirlah Mama dan Kak Frans. Betapa indahnya.
Berbeda dengan Nenek, Kak Frans adalah pemain gitar yang hebat. Kak Frans selalu bermain gitar dengan hatinya. Hati seorang cowok yang lembut. Pribadinya hangat membuat siapapun yang ada di dekatnya merasa tentram dan nyaman. Pernah, suatu hari dia berkata,
“Kau tahu Sophie, betapa beruntungnya kau ditakdirkan untuk lahir sebagai perempuan,” kala itu matanya menerawang keluar jendela, melihat deretan pohon apel berlabur putih yang sudah dirontokkan daunnya. Lalu dia menutup matanya, mengambil nafas sejenak kemudian berdendang sambil memetik gitar. Seakan – akan, dia mendapatkan suatu ketenangan yang luar biasa, yang tidak dia dapatkan ketika permainan gitarnya berhenti.
Setahuku, selama ini Kak Frans tidak pernah punya pacar walaupun umurnya sudah 27 tahun. Kalau aku goda tentang pacar, Kak Frans akan menjawab,
“Belum ada yang cocok Sophie.” Aku lihat dari matanya, seakan – akan Kak Frans ingin mengutarakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang disimpannya rapat – rapat selama ini, yang bahkan aku atau Nenekpun tidak tahu. Yang jelas, apapun itu, aku akan tetap menyayangi Kak Frans. Sayangku tidak akan berubah walaupun dia tidak punya pacar.
Nenek yang tegas dan Kak Frans yang lembut. Mereka berdua saling melengkapi mengelola kebun apel dan menjalankan Toebroek, kedai kopi yang selama ini menjadi mesin pencetak uang bagi kami bertiga.
Toebroek
Aku tinggal di Kota Batu. Kota dingin di sebelah barat kota Malang, di lereng gunung Panderman, di antara perkebunan apel dan strawberry. Buat kalian yang belum terbiasa, udara Batu dijamin langsung membuat hidung kalian mampet.
Kalau kedinginan, minum saja kopi hangat. Itu yang banyak dikatakan orang. Itu juga yang menjadi alasan Tobroek ada sampai sekarang.
Seperti kedai – kedai kopi di kota besar, menu utama di Toebroek adalah kopi. Kopi susu, cappuccino, moccacino dan sebuah menu andalan Toebroek. Espresso ala jawa racikan Nenek alias kopi tubruk yang kami sebut toebroek, sama seperti nama kedai kami. Satau bulan sekali, Nenek pergi ke Malang selatan, ke tempat perkebunan kopi masih luas terhampar. Dengan hati – hati Nenek akan memilih biji kopi yang menurutnya bagus. Nenek secara ajaib bisa membedakan mana biji kopi yang masih baru dipetik atau yang yang sudah mengalami penyimpanan. Kemudian seperti tupai yang bisa membedakan kelapa yang baik mau pun yang tidak, Nenek akan mendekatkan segenggam kopi ke hidungnya, menghirupnya lalu memutuskan akan membelinya atau tidak.
“Yang dicari, kopi yang baunya bagaimana sih Nek?” suatu saat aku bertanya.
“Cari yang baunya ‘tebal’,” kata Nenek.
Aku bingung. Aku tahu kertas mana yang tebal dan mana yang tipis. Tapi mencari bau kopi yang tebal dan mana yang tidak, aku tidak tahu.
“Maksudnya Nek?”
“Yang seperti ini nih,” Nenek menyorongkan segenggam kopi ke hidungku. Aku coba menghirup baunya dalam – dalam. Ada aroma kopi yang sedikit menyengat, yang bisa aku bayangkan nikmatnya ketika dicampur dengan air mendidih dari teko toebroek. Aroma seperti itu tidak banyak ditemukan. Aroma yang bisa membawamu masuk dalam dimensi asing, ketika hujan lebat dan kau berlindung di kamarmu yang hangat, dengan selimut dan baju hangat, bacaan kesukaan dan secangkir kopi racikan Nenek.
Aku berliur.
Nenek tidak pernah menyuruh Kak Frans atau aku untuk meilih kopi. Dia menyuruh kami untuk bersih – bersih Toebroek, melayani pelanggan, mencuci gelas dan piring, menghitung pendapatan dan lain – lain. tapi tidak memilih biji kopi. Itu adalah hak prerogative Nenek yang tidak bisa diganggu gugat.
Toebroek tidak pernah sepi. Bahkan, tidak jarang ada pelanggan yang datang dari jauh membawa termos besar untuk diisi toebroek kemudian dibawa pulang ke rumah supaya seluruh keluarganya bisa menikmati toebroek sama - sama. Kata mereka toebroek mempunyai suatu reaksi yang ajaib. Toebroek menenangkan pikiran, menyegarkan badan dan menautkan hati. Pelanggan toebroek adalah pelanggan setia dan datang secara berkala. Aku pernah bertemu dengan pasangan suami istri yang tinggal di luar negeri tetapi selalu datang ke Toebroek setiap tahun untuk merayakan hari ketika berjumpa.
“Kalau bukan karena Nenekmu, Sophie, kami mungkin tidak akan pernah berjumpa,” si istri berkata.
“Betul Sophie, Om dulu cuma cowok pemalu yang selalu melihat Tante ini di seberang ruangan. Dia selalu bergerombol sama teman- temannya. Tidak pernah dia datang ke sini sendirian. Malu hati Om ini kalau harus langsung datang mengajak kenal.”
“Suatu saat Tante janjian sama teman – teman nongkrong di Toebroek. Tapi ditunggu lama, taka da satupun yang datang. Hujan lebat Sophie, dingin. Toebroek sepi pengunjung, termasuk Om ini.”
Imajinasiku melayang, Batu yang dingin, sore hari yang hujan, cewek dan cowok yang sedang berusaha mencari kehangatan dalam secangkir kopi. Aku mabuk kepayang.
“Tapi tentu saja Om masih takut-takut untuk menyapa gadis cantik ini. Setiap memandangnya, Om gak tahu bagaimana harus menata kata. Lalu Nenekmu memanggil kami berdua untuk gabung di mejanya, supaya ada teman ngobrol katanya.”
Dari sudut mata, aku lihat Nenek tersenyum, meskipun pura – pura tidak mendengar.
Tante itu melanjutkan cerita, “Di situ Sophie, Tante mulai melihat kalau pemuda ini lumayan. Pemuda pendiam yang sepertinya selalu cuek sampai melihat Tante saja tidak berani.”
“Itu karena kamu sangat cantic sayang. Pemuda mana yang tidak jatuh hati kalau melihat kamu?” Om berbicara pada Tante dan membuat pipi Tante merah.
“Yah sejak itu kami lalu rutin membuat janji bertemu di sini. Waktu itu tidak ada HP dan telpon adalah barang langka. Maka Om mulai menitipkan pesan pada Nenekmu setiap kali kami ingin bertemu.”
Indah sekali. Aku berharap kisahku juga akan seindah kisa Om dan Tante itu.
“Tapi satu hal yang kami selalu tanyakan Sophie, bagaimana mungkin hari itu bisa hujan padahal musim kering sedang melanda?” ujar Tante. Lalu mereka berdua bersama – sama memandang Nenek. Nenek yang memang sudah mendengarkan dari tadi kemudian seperti tersentak dan menghentikan kegiatannya.
“Sudah jangan melihatku seperti itu. Minum saja kopi kalian!”
Om dan Tante itu tersenyum, lalu menyeruput kopinya meninggalkanku dengan imajinasiku yang berputar seperti film – film lama sampai aku dengar Nenek berteriak lagi, “Gak usah nglamun Sophie. Bersihkan meja – meja yang dipojok itu.”
Aku turutu perintah Nenek dan aku bersihkan meja yang ada di pojok sambil mencium hangatnya aroma Toebroek.
Toebroek memang istimewa. Kalau orang bertanya pada Nenek resep toebroek, dengan ringan Nenek akan menjawab, “Mudah saja. Gula satu sendok campur satu sendok kopi jawa dalam secangkir air panas. Aduk pelan – pelan lali hidangkan. Tidak ada resep yang aneh – aneh di Toebroek.” Sebagian orang menganggap perkataan Nenek sebagai upaya menjaga rahasia ramuan toebroek supaya tidak ditiru. Tapi dari bertahun – tahun mengenal Nenek, aku tahu apa yang Nenek katakan selalu sesuai dengan kenyataan. Nenek berbicara apa adanya, tidak dibuat – buat dan sering kalau orang tidak mengenalnya dengan baik, mereka akan menggagp Nenek orang yang jahat tidak berperasaan. Tapi kalau memang Nenek adalah orang jahat tidak berperasaan, tidak mungkin Toebroek punya banyak pelanggan setia sampai sekarang.
Nenek tahu kalau meminum kopi berarti juga menenangkan jiwa dan menikmati suasana. Suasana di dalam Toebroek benar – benar seperti rumah sehingga membuat para pelanggan merasa nyaman tidak ingin lekas - lekas pulang. Kami punya dapur kecil khusus buat pengunjung yang ingin meracik kopinya sendiri di sana. Dengan begitu, tidak lagi ada keluhan dari pelanggan seperti, “Kopinya terlalu kental” atau “Ini tadi gak dikasih creamer yah ?” atau bahkan yang lebih fatal, “Wah, tehnya enak sekali!”.
Di salah satu sudut, Kak Frans menempatkan sebuah TV dengan beberapa bantal, tanpa kursi. Di situ, beberapa pelanggan suka begadang menonton pertandingan bola. Di satu sudut yang lain, Nenek menempatkan sebuah rak kayu panjang berisi novel – novel simpanannya.
Di malam – malam tertentu, Nenek dan Kak Frans akan berdiri di sebuah panggung kecil dari kayu dan bersama – sama bermain musik. Mendengarkan petikan gitar Kak Frans, tiupan harmonica Nenek, memandang lampu – lampu rumah seperti kunang – kunang bercahaya waktu malam dari kejauhan, menghisap secangkir kopi ditemani roti bakar. Indah bukan?
Selain Nenek dan Kak Frans, ada satu lagi anggota keluarga yang belum aku beritahukan pada kalian. Dia adalah Fernando, burung beo tidak bisa terbang yang sangat cerewet. Apalagi kalau dia sedang lapar, seperti sekarang ini.
“Jangung, jagung, jagung …,” Fernando berteriak keras sambil berputar – putar mengelilingi kamarku. Karena tidak bisa terbang, Fernando bebas jalan – jalan di rumah. Nenek tidak mau menaruhnya di dalam kurungan. “Coba kalau kamu dikurung, bagaimana persaanmu?” begitu Nenek bilang kepada siapa saja yang bertanya kenapa Fernando tidak masuk dalam kurungan.
“Fernando, tidak sopan cowok seperti kamu masuk kamarku tanpa permisi!” aku angkat Fernando dengan kedua tanganku, menghadapkan mukanya ke mukaku. Aku pura – pura marah, lalu mencium paruhnya dengan gemas.
“Jagung, jagung” Fernando berteriak lagi sambil mengibas – ngibaskan sayapnya.
“Ambil saja sendiri,” aku letakkan Fernando di lantai. Dia berjalan – jelan berputar sekeliling kamar.
“Fernando, aku mau ganti pakaian nih. Gak boleh ngintip.”
Terdengar suara Fernando “O … o …,” kemudian dia menutupkan dua sayap di kepalanya. Aku ganti seragam sekolahku cepat – cepat dengan celana pendek dan kaos. “Sudah boleh dibuka sekarang.”
Sekilas sempat kulihat Fernando menggembungkan dadanya lega.
“Jagung, jagung, Sophie,” burung nakal itu berteriak – teriak lagi tidak sabar.
“Iya, aku ambilkan. Sabar sebentar yah.” aku lari ke dapur dan mendengar samar – samar suara gitar Kak Frans dari arah Toebroek. Setelah aku dengarkan baik - baik, ternyata bukan suara satu gitar yang ku dengar, melainkan dua. Ada orang selain Kak Frans yang sedang bermain gitar. Cepat – cepat aku lari ke Toebroek sambil beberapa butir jagung dalam genggamanku jatuh membentuk jejak dari dapur ke Toebroek. Seperti Hanzel dan Gretel gitu lah.
Di Toebroek aku lihat Kak Frans memainkan gitarnya, duet dengan seorang cowok yang baru kali ini aku lihat. Cowok itu tinggi sedikit gemuk dengan sepasang tangan kuat yang sedang menari – nari di atas senar gitar. Dia bermain gitar sambil menunduk, membuat rambutnya yang agak gondrong menutupi wajahnya. Badannya kadang bergoyang sesuai dengan irama yang dia mainkan. Kadang sangat pelan, kadang tiba – tiba berubah menjadi kuat.
Dan aku merasa kalau cupid telah tepat melemparkan panahnya tepat di jantungku. Tubuhku rasanya hangat dan jantungku berdetak lebih cepat sampai – sampai aku tidak bisa bergerak. Waktu telah berhenti dan semestaku tiba – tiba saja bernyanyi, seperti matahari dan bintang, planet – planet di dalam galaxy menyampaikan melodi indah yang mungkin tidak akan pernah terulang lagi. Aku berdiri tegak seperti orang yang sedang ikut upacara lengkap dengan segenggam jagung di tangan kanan.
“Sophie, kamu kenapa berdiri di situ?” Kak Frans berteriak sambil tangannya masih bermain gitar. Cowok itu mendongak, matanya terlihat tidak senang karena teriakan Kak Frans memecah konsentrasinya. Dia berhenti dan ikut – ikuttan memandangku. Saat itulah aku tahu kalau cupid menancapkan panahnya ke hatiku untuk kedua kalinya sehingga urat tubuhku mengendur dan …….. byarrrr ……., jagung di genggaman tanganku jatuh memenuhi lantai. Sama sekali bukan pertemuan pertama yang patut diingat dan diceritakan ke anak cucuku kelak.
“Eh, sorry, Fernando minta jagung,” aku menunjukkan tangan kananku sebelum menyadari kalau ternyata tangan kananku sudah kosong.
“Eh …. maksudku aku tadi mengambil jagung di dapur buat Fernando,” aku membuat alasan sekenanya sambil menyesali mengapa aku tidak bisa membuat alasan yang lebih pintar.
“Fernando ada di bawahmu Sophie,” Kak Frans memajukan kepalanya menunjuk Fernando yang sedang mematuk – matuk jagung di bawah kakiku. Pasti dia tadi mengikuti jejak Hanzel dan Gretel yang aku buat. Setidaknya ada satu hal pintar yang ku lakukan.
“Oh,iya. Maaf, aku tadi tidak lihat,”
Hah .. maaf ? Kenapa aku harus minta maaf ? Memangnya aku salah apa ?
“Nando, ini Sophie, keponakanku yang aku ceritakan barusan” Cowok cupid itu bernama Nando. Nama yang indah, seindah orangnya. Aku tersenyum dan dia mengangguk.
“Frans !!!” Suara Nenek nyaring terdengar dari dalam rumah.
“Iya Mami. Sophie, kamu temani Nando dulu yah. Permisi Fernando,” Kak Frans berjalan melewati aku dan Fernando.
Siang itu, Toebroek sedang sepi. Jadi otomatis hanya ada kami bertiga disana. Aku, Nando dan Fernando.
“Fernando itu burungmu ?”
“Iya, namanya seperti namamu.”
Nando seperti kebingungan, lalu tertawa.
“Kamu tahu apa yang lucu Sophie?”
“Apa?”
“Nama depanku Fernando.”
Dan kamiu berdua sama – sama tertawa. Fernando, burung beo nakal itu itu adalah anggota keluarga. Apakah ini adalah suatu pertanda kalau dia juga akan menjadi angoota keluarga? Mataku berbinar – binar.
“Sophie, nyanyi, Sophie, nyanyi”
“Kamu suka menyanyi?” tanya Nando.
“Suka sih. Tapi hanya di kamar mandi.”
“Gak mungkin. Kak Frans bilang suaramu bagus,”
“Kak Frans bilang begitu ke kamu?”
“Iya. Dia bilang juga, meskipun tidak begitu jago, tapi permainan gitarmu lumayan” katanya sambil mengangguk membuat rambutnya bergoyang. Aku harus berterima kasih pada Kak Frans karena sudah memujiku di depan Nando. Dekatkan dia padaku Kak!
“Kamu bisa nyanyi apa ?” katanya kemudian seakan – akan ingin mengiringi nyanyianku dengan gitarnya.
“Apa saja,”
“Ehm, Kamu seperi hantu bisa?” wajah seriusnya kelihatan lucu.
“Lagu apa itu ?” aku tidak bertindak bodoh lagi karena aku sangat yakin sepanjang hidupku baru kali ini aku mendengar ada lagu dengan judul seperti itu.
“Bukan lagu apa – apa. Asal saja aku sebutkan. Just kidding. Aku bingung kamu bilang ‘apa saja’. Lagu apa ?”
“Leaving on the Jetplane?”
Dia mengangguk kemudian memasang jari – jarinya di kunci C.
“Main gitar sama – sama dong. Biar lebih asyik,” kata dia. Walaupun aku sring berlatih gitar, tapi aku tidak pernah serius sehingga sampai sekarang aku anggap permainan gitarku sama sekali belum pantas dibanggakan.
“Jangan deh. Gitarku lagi di kamar. Malas ambil nih,”
“OK deh. Lain kali kita main sama – sama yah?”
Aku angukkan kepalaku mantap. Setelah Nando memainkan intro yang aku anggap sangat sempurna, aku mulai menyanyi,
All my bags are packed
I'm ready to go
I'm standin' here outside your door
I hate to wake you up to say goodbye
But the dawn is breakin'
It's early morn
The taxi's waitin'
He's blowin' his horn
Already I'm so lonesome
I could die
So kiss me and smile for me
Tell me that you'll wait for me
Hold me like you'll never let me go
'Cause I'm leavin' on a jet plane
Don't know when I'll be back again
Oh babe, I hate to go
Ketika baris terakhir aku ucapkan dan Nando selesai dengan gitarnya, terdengar suara Kak Frans bersemangat. Seperti baru saja menemukan satu lembar seratus ribu rupiah di tengah jalan.
“Nando, kamu mau mengiringi Sophie menyanyi di sini minggu depan ?”
Setelah memandangku sejenak dia bertanya, “Hari apa ?”
“Jum’at malam.”
“OK. Kak Frans, tapi aku harus pergi sekarang,” Nando berkata sambil memasukkan gitar di sarungnya kemudian pergi sambil memberiku hadiah sebuah senyuman. “Ketemu Jum’at depan yah!” dia melambai sambil berlalu pergi.
“Kak Frans kok gak tanya Sophie dulu sih ?”
“Kamu suka khan Soph ?”
Aku diam saja tidak menjawab, pura – pura marah.
“Sudah, tidak usah pura – pura Soph. Kuberi tahu kamu satu hal. Nando suka cewek yang bisa nyanyi dan main gitar.” Kak Frans merapikan gitar dan partitur lagu – lagunya. Aku bisa bermain gitar, tapi hanya sedikit. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Nando. Apalagi Kak Frans. Akhirnya, sambil menahan gengsi aku berkata,
“Kak, tolong ajari Sophie main gitar yah,” aku pikir mungkin ini adalah saat yang tepat buatku untuk mulai menggunakan gitar peninggalan Mama lebih serius lagi.
Fernando bersandar di salah satu papan Toebroek sambil memandang beberapa pohon apel yang daunnya mulai tumbuh.
Find me on IG @eveningtea81 for daily quite and short stories!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!