Throne Of The Heart

Throne Of The Heart

Bagian 1

Clarissa mendengus melihat kegiatan sang kakak yang menurutnya begitu membosankan. Kakaknya itu sangat lugu dan pendiam, mungkin karena itu juga kakaknya tidak terlalu suka dengan keramaian. Kerjaannya hanya membaca buku dan mendengarkan musik di halaman belakang rumah jika tidak sedang kuliah.

Sebagai adik, Clarissa mengaku kecewa dengan gaya berpenampilan Lashira yang terkesan kampungan dan sangat tidak mendukung wajah Lashira yang sebenarnya sangat cantik. Berkali-kali ia berusaha untuk mengganti pandangan sang kakak tentang fashion-nya namun tak kunjung berhasil sampai sekarang.

Entah cara apalagi yang harus Clarissa lakukan untuk mengeluarkan sang kakak dari zona nyamannya.

Senyum Clarissa muncul ketika angin berhembus menerpa wajah sang kakak, secepat kilat ia memotret Lashira dengan menggunakan ponselnya. Lashira yang tidak sadar sedang dipotret pun tersenyum karena ketika angin menerpa wajahnya seketika itu pula hatinya merasa tenang.

Clarissa tentunya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka ini, berkat kemampuan fotografi dan kamera ponselnya yang begitu mumpuni, ia pun bisa mendapatkan hasil yang sangat memuaskan. Gadis itu tersenyum melihat hasil potretnya hingga sebuah notifikasi muncul di ponselnya.

Seketika itu juga, ide jahil muncul di kepalanya.

Gadis itu menyeringai dan beranjak masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru. Lashira yang menyadari kepergian Clarissa hanya bisa diam sambil bertanya-tanya dalam hati, apa yang ingin anak itu lakukan?

Merasa cukup setelah membaca buku seharian, Lashira menutup buku tebal yang ada di tangannya dan masuk ke dalam rumah hendak membuat makanan. “Nggak usah, biar bibi aja yang bikin, Non. Istirahat saja, besok kan Non kuliah.” Lashira tersenyum karena merasa tersentuh ketika mendengar perkataan Bi Murni; orang yang selama ini mengurusnya di saat orang tuanya sibuk bekerja.

“Nggak apa-apa, Bi. Ira hari ini sudah istirahat seharian kok,” balas Lashira tersenyum lembut, berusaha menenangkan hati wanita tua itu.

Dengan cekatan Lashira membantu bi Murni menyiapkan makan malam hari ini. Bi Murni akhirnya hanya bisa pasrah membiarkan Lashira membantunya.

Ketika makanan hampir siap, Lashira menyerahkan sisanya pada bi Murni dan pergi ke kamarnya untuk mandi. Setelah itu, ia menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa besok untuk kuliah. Barang yang tidak akan pernah ia tinggalkan adalah MP3 player dan earphone untuk mendengarkan musik.

Di sisi lain, Clarissa masih asik bermain ponsel hingga tidak menghiraukan panggilan Lashira yang sudah selesai berbenah dan menyuruhnya makan malam.

“Non, Bibi pulang ya. Kalau ada apa-apa masih ada mang Udin di rumah ini.” Lashira mengangguk mengerti, dia menyalami bi Murni yang hendak pulang kampung sementara karena sang anak yang diperkirakan akan melahirkan dua minggu lagi.

“Bibi hati-hati ya ....”

Clarissa tertegun di tangga saat mendengar percakapan Lashira dan bi Murni. “Bibi mau pulang?” Mengerti maksud keterdiaman keduanya, gadis itu langsung berlari dan memeluk bi Murni erat.

“Bibi jangan pulang! Masa saya ditinggal sendiri sama anak purba ini?!” rengek Clarissa kekanakan.

Lashira mengerutkan dahi tidak senang. “Aku bukan orang purba ya!” Clarissa menjulurkan lidahnya meledek Lashira. Bi Murni tersenyum melihat keakraban kedua kakak-beradik ini, dia berdoa semoga keduanya akan tetap seperti ini seterusnya.

*

*

*

Hari ini Lashira ada kelas pagi sampai jam sepuluh, lalu setelahnya dia ada pertemuan klub sastra sampai jam makan siang. Satu hal yang pasti, baterai ponselnya habis sekarang karena semalam ia lupa untuk men-charger ponselnya.

Lashira menggigit bibir bawahnya cemas, kenalannya yang satu kelas pagi ini tidak ada yang membawa charger karena sebagian besar dari mereka ponselnya sudah bisa di-charger nirkabel.

“Kenapa, Ra?”

“Eh?” Karena Lashira terlalu memikirkan ponselnya yang sudah mati kehabisan baterai, gadis itu sampai tidak sadar dengan kehadiran senior yang satu klub dengannya. Seniornya itu tersenyum manis hingga membuat semburat merah muda muncul di kedua pipinya. Sontak saja itu membuat sang senior refleks menyentuh dahi Lashira untuk memeriksa suhu badannya.

“Nggak panas kok,” gumam Theo yang mana malah semakin membuat wajah Lashira memerah seperti kepiting rebus.

Dengan gerakan yang kikuk, Lashira menjauhkan tangan Theo dari dahinya. “Saya nggak papa kok, Kak.”

“Kamu kenapa?” Lashira mengangkat kedua alisnya bertanya-tanya karena tidak mengerti pertanyaan Theo.

“Dari tadi kamu kaya lagi ada masalah,” terang Theo seraya menunjuk wajah Lashira.

“Jelas banget ya?” Lashira menghembuskan napas panjang ketika mendapat anggukan pasti dari Theo. “Aku nggak bawa charger ...,” sambungnya seraya menunduk lesu. Theo tertawa melihat ekspresi Lashira yang jarang sekali gadis itu tunjukkan selama ini.

Dahi Lashira mengerut menatap Theo yang tertawa.

“Haha ... maaf, abisnya kamu lucu banget sih!Memang charger HP kamu yang bulet atau yang gepeng?” Theo bertanya antusias.

“Gepeng,” jawab Lashira sangat pelan hampir menyerupai bisikan, demi apapun dia merasa sangat malu sekarang.

Theo mengangguk mengerti lalu mengeluarkan charger-an dari dalam tasnya. “Nih, pake!” Ia menyodorkan charger miliknya itu pada Lashira.

Dengan ragu Lashira menerimanya. Di satu sisi ia tidak ingin merepotkan seniornya ini, namun di sisi lain ia juga sangat butuh.

Mengerti kegelisahan juniornya, Theo tersenyum lembut menenangkan. “Udah nggak papa, kamu pake aja dulu. Nanti selesai kegiatan klub, kamu kasih lagi ke aku.” Lashira mengangguk mengerti mendengarnya.

Baru saja gadis itu akan mengucapkan terima kasih, Theo sudah pergi terlebih dahulu.

Jam tangan di pergelangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh, seharusnya ia sudah berada di basecamp sekarang. Lashira berlarian di lorong kampus dengan buku-buku tebal di tangannya, tatapan Lashira jatuh pada Theo yang baru saja masuk ke dalam ruang basecamp.

Langkah kaki Lashira melambat untuk mengatur napasnya yang tidak beraturan. Dengan perlahan ia memasuki basecamp, berusaha tidak mengganggu orang lain dengan kehadirannya.

Tidak banyak yang mengikuti klub ini, Lashira tidak tahu pasti jumlahnya tapi yang pasti selama tiga semester ini hanya sekitar tujuh sampai sepuluh orang yang menghadiri kegiatan klub setiap minggunya.

Ini mungkin dikarenakan para ACE klub sastra yang saat ini sedang fokus untuk mempersiapkan skripsi mereka. Dari desas-desus yang Lashira tidak sengaja dengar, para ACE sastra terdiri dari tiga orang pria tampan dan satu gadis cantik.

Dan gadis itu duduk di sampingnya sekarang, tanpa bisa Lashira cegah rasa gugup pun muncul. Telapak tangannya begitu basah karena keringat, padahal pendingin ruangan ini sudah menyala. Chika menoleh karena mungkin menyadari kegugupannya, semoga saja gadis itu tidak merasa terganggu dengannya.

“Oh! Lashira ya?” Terkejut, itulah kata yang cocok dengannya sekarang. Darimana orang populer ini mengenalnya?

Chika mengulurkan tangannya, dan disambut olehnya setelah menyeka tangannya ke rok. Chika tersenyum senang karena disambut baik oleh Lashira.

“Ternyata aslinya lebih cantik ya.”

Lashira mengernyitkan dahinya samar seraya tersenyum. “Terima kasih, Kak.”

“Kamu anak ekonomi semester 3 ya?” Masih tersenyum, Lashira mengangguk mengiyakan pertanyaan Chika.

Tatapan bingung Chika sangat terlihat jelas, membuat Lashira tersenyum canggung. “Aneh ya Kak anak ekonomi masuk klub sastra?” Mendengar itu Chika menggeleng dengan cepat.

“Enggak kok, lagian anak ekonomi di sini bukan kamu doang ... ada Theo sama Nobert juga,” terang Chika.

“Kak Theo?” Lashira mengedip-ngedipkan matanya lucu, dia tidak tahu jika kak Theo satu fakultas dengannya.

Menyadari keterkejutan Lashira, Chika spontan bertanya, “kamu nggak tahu kalau manusia jejadian itu satu fakultas sama kamu?” Dengan polosnya Lashira mengangguk, membenarkan pertanyaan Chika.

“Jangan-jangan ....” Chika menggantung kalimatnya membuat Lashira tegang dan gugup.

“Jangan-jangan?” beo Lashira.

“Jangan-jangan kamu juga gak tahu kalau Theo juga seorang ACE?!” Kedua mata Lashira membola seketika menerima fakta baru tersebut.

Orang yang meminjamkanku charger adalah anggota ACE dan aku tidak tahu itu semua? pikirnya.

Chika tak kuasa menahan tawanya setelah mengetahui fakta ini, namun tawanya langsung terhenti saat menyadari sesuatu. “Jangan-jangan kamu juga nggak tau kalau aku itu anggota ACE?” Lashira menggeleng dengan cepat.

“A-aku tahu kok.” Chika mengernyit bingung mendengar jawaban Lashira.

Selama kegiatan klub berlangsung, Lashira merasa selalu diperhatikan oleh seseorang, entah dia yang terlalu percaya diri atau memang semua orang menatapnya hari ini? Lashira menggeleng cepat, berusaha untuk menghilangkan pikiran-pikiran aneh yang terlintas di kepalanya.

Terpopuler

Comments

jimmy

jimmy

next dong

2019-11-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!