Para wanita di kampus ini histeris saat melihat Lashira turun dari mobil Leon yang merupakan ketua BEM kampus ini. Banyaknya tatapan mata yang tertuju padanya, membuat Lashira menunduk sepanjang jalan menuju ruang BEM. Satu fakta yang baru saja gadis itu ketahui pagi ini, semua anggota ACE juga merupakan anggota BEM.
Leon dengan santainya merangkul Lashira untuk ikut dengan mereka tanpa memperhatikan reaksi dari orang-orang sekitarnya. Chika hanya bisa menahan tawanya saat melihat wajah Lashira yang merah padam, namun ekspresinya langsung serius saat mendengar bisikan orang-orang.
"K-kak apa ini gak berlebihan?" Wajah Leon mengernyit tidak suka mendengar protesan Lashira.
"Hei, kamu tidak suka denganku ya?"
Mata Lashira membola seketika, kepalanya menggeleng panik. "Eng-enggak kok, Kak. Aku ... aku cuma kurang terbiasa dengan kontak fisik."
"Kalau begitu, kamu harus mulai terbiasa mulai sekarang," balas Leon seraya mengedipkan sebelah matanya jahil. Pria itu langsung tertawa kencang saat melihat wajah Lashira yang semakin merah. Dengan gemas, Leon mencubit kedua pipi gadis itu tanpa menyadari jika mereka sudah berada di depan ruang BEM.
Chika yang melihat banyak tatapan tajam yang mengarah ke Lashira langsung melepaskan gadis itu dari tangan Leon. Dia tidak ingin jika Lashira mengalami hal yang dia alami selama ini. "Heh, Singa! Jangan sentuh-sentuh dia dengan tangan bejadmu itu!"
Nobert mengangguk mengiyakan perkataan Chika, dia merangkul kedua gadis itu dari belakang seraya tersenyum puas melihat wajah kesal Leon.
"Hei dia juga malah menang banyak," tunjuk Leon pada Nobert yang kembali menormalkan ekspresi wajahnya saat Chika menoleh ke arahnya.
"Dia mah bukan pria, aku nggak akan khawatir." Mendengar balasan Chika, wajah Nobert langsung berubah pias. Biar bagaimanapun harga dirinya sebagai seoarang pria sedikit terluka.
"Kalau kak Nobert bukan pria, lalu apa?" Leon menahan tawanya saat mendengar pertanyaan Lashira, dia nampak puas saat Chika terlihat frustrasi karena bingung harus menjawab apa. Nobert pun ikut menungggu jawaban Chika, benar pertanyaan Lashira. Jika dia bukan pria, lantas dia ini sebenarnya apa?
"Nobert itu badan doang gede, tapi otaknya nggak jalan. Jadi, belum bisa dikategorikan sebagai seorang pria. Dia masih di tingkat laki-laki, Ra," jelas Theo yang sedang bersandar di tembok. Sedari tadi dia gemas sekali dengan tingkah teman-temannya terhadap Lashira.
Gadis itu juga diam saja, membiarkan teman-temannya itu memperlakukannya seperti mainan baru. Ah bukan, gadis itu bukannya membiarkan, tapi gadis itu memang tidak sadar. batin Theo.
"Kalau perempuan gimana?" Keempatnya langsung terdiam karena bingung harus menjawab pertanyaan gadis itu dengan apa.
"Udah-udah, sekarang Ira masuk ke sini karena kakak-kakak tampan ini mau rapat sebentar," ujar Leon seraya menggiring Lashira masuk ke ruangan yang berada di sebelah ruang BEM.
"Tap-" Leon langsung melambaikan tangannya dan menutup pintu ruangan itu. Ketiganya ikut menghembuskan napas lega melihatnya.
"Lo si ngomongnya aneh-aneh, udah tau tuh bocah polos banget."
"Sorry," cicit Chika.
Selama menunggu, Lashira melihat-lihat seisi ruangan yang ia tempati saat ini. Tidak begitu spesial hanya saja ada sesuatu yang menarik perhatian gadis itu. Lashira menunduk saat melihat sesuatu yang bersinar dari sela-sela lemari yang terletak di ujung ruangan.
Susah payah Lashira menggapai benda itu dengan tangannya yang tidak terlalu panjang. "Dapat," gumam gadis itu. Dia tersenyum tipis saat melihat kalung yang ada di tangannya. Kalung itu sangat cantik meskipun berdebu dan terdapat sarang laba-laba yang menutupi kecantikan kalung itu.
"Ini punya siapa ya? Kalau nggak ada yang punya, apa boleh aku memakai ini?" Dengan telaten Lashira membersihkan kalung itu dengan tissu basah yang ia bawa. Setelah bersih ia memasukkan kalung tersebut ke dalam tasnya.
Sebenarnya hari ini kelasnya baru dimulai jam 10 nanti, tapi para seniornya itu sudah menjemputnya pagi-pagi buta. Untungnya, Clarissa sudah bangun dan sedang bersiap untuk berangkat ke sekolah sehingga ada yang membukakan pintu untuk mereka.
Dan entah apa saja yang Clarissa ceritakan pada senior-seniornya hingga mereka kini kompak memanggilnya dengan nama Ira; nama panggilan untuk orang terdekatnya.
"Ira udah selesai nih, mau ke kantin dulu nggak buat sarapan?" Lashira mengangguk dan menghampiri Chika yang menunggu di depan pintu.
"Maaf ya, Kak. Coba aja tadi kulkas di rumahku ada isinya, pasti semuanya nggak bakal telat sarapannya."
"Bukan salah kamu kok, itu salah kita yang tiba-tiba dateng ke rumah kamu pagi-pagi buta," balas Chika seraya merangkul Lashira. Dia terkekeh pelan saat menyadari sesuatu, biasanya dia yang paling pendek dan mungil di antara pria badak di belakangnya. Sekarang ada Lashira yang lebih mungil dibandingkan dirinya.
"Kakak kenapa?" Chika menggeleng pelan seraya tersenyum untuk menanggapi pertanyaan Lashira.
"Gila dia," timpal Nobert yang langsung mendapat cubitan kecil dari Chika.
"Kalian mau makan apa? Biar gue yang pesenin," ujar Leon.
"Aku samain aja sama Kakak," sahut Lashira yang tidak tahu apa pun. Sedangkan yang lainnya masih terdiam karena masih tidak percaya dengan sistem pendengaran mereka. Baru kali ini Leon menawarkan diri untuk memesankan makanan.
"Gue juga samain aja kaya lo," ucap Chika yang pertama sadar.
"Gue apa aja asal jangan sayur." Theo menimpali.
Baru Nobert akan mengatakan pesanannya, Leon sudah menyela terlebih dahulu. "Lo ikut gue, bantuin gue bawa makananya."
"Oh iya, Kak. Ruangan yang tadi aku tempatin itu?"
"Oh, itu ruangan khusus dari keluarga Theo buat kita." Lashira mengangguk pelan, dia teringat dengan kalung yang ia temukan di ruangan itu.
"Kalau begitu ini punya Kakak?" tanya Lashira seraya menunjukkan kalung tadi pada Theo.
Theo menggeleng pelan. "Mungkin punya orang yang dulunya juga pernah nempatin ruangan itu. Kamu pake aja gapapa. Setau aku sih nggak pernah ada laporan tentang kehilangan kalung."
"Serius gapapa?" Lashira menggigit bibir bawahnya ragu.
"Udah pake aja, cantik kok," balas Chika tidak mau pusing.
Leon kembali dengan nampan yang berisi makanannya dan Lashira, di belakangnya Nobert membawa nampan makanannya, Theo, dan Chika.
"Makasih, Ka." Leon mengusap kepala Lashira pelan seraya tersenyum tipis.
"Tangannya ya!" Nobert memukul tangan Leon dengan kencang.
"Apa sih?!" balas Leon tidak terima.
"Udah, makan," lerai Chika tegas.
Setelah makan, Lashira dan Nobert pamit karena kelas mereka akan dimulai. Leon dan Chika pun demikian, hanya Theo yang tidak memiliki kegiatan apa pun, dia memutuskan untuk ke ruangan yang ada di samping ruang BEM. Dia teringat dengan kalung yang Lashira perlihatkan padanya, rasanya dia pernah melihat kalung itu, tapi di mana?
Theo mendekati salah satu lemari yang ada di ruangan ini dan memasukkan kata sandi untuk membukanya. Di dalam lemarinya tidak ada benda yang istimewa, hanya ada beberapa pakaian ganti, buku, dan sebuah gitar.
Sebenarnya di ruangan ini terdapat gitar yang entah siapa pemiliknya, suara yang dihasilkan gitar itu terlalu dalam dan dia juga menemukan bekas darah yang mengering di gitar itu. Jadi ia memutuskan untuk tidak menyentuh gitar itu.
Theo mengambil salah satu buku yang akhir-akhir ini ia baca, salah satu novel karya penulis yang ia sukai sejak lama. Bertolak belakang dengan Theo, Chika yang malah membenci penulis itu karena cerita yang dihasilkan oleh penulis itu hampir tidak pernah berakhir bahagia. Dari sepuluh karya yang diterbitkan hanya satu yang memiliki akhir bahagia, itu pun tidak laku di pasaran karena ceritanya yang tidak masuk akal.
Kegiatan Theo sedikit terganggu karena deringan ponselnya. Entah apa yang dibicarakan oleh orang yang ada di seberang sana hingga rahang Theo menjadi mengeras karena emosi. Dengan cepat dia keluar dari ruangan itu dan menuju parkiran. Sebelum memasuki mobilnya, dia mengirim pesan ke grup agar semua orang tidak mencarinya.
Di sisi lain, Nobert, Leon, dan Chika langsung mengecek ponsel mereka saat mendapat notifikasi dari Theo.
"Kak, dosennya ngeliatin," bisik Lashira dari samping. Nobert tersenyum seraya mengedipkan sebelah matanya jahil setelah memasukkan ponselnya.
Lashira yang melihat itu berpura-pura untuk tidak menghiraukannya dan berusaha tetap fokus dengan penjelasan dosennya. Namun sayang, Lashira gagal, Nobert pun bisa dengan jelas melihat wajah Lashira yang memerah karena ulahnya.
Sepanjang kelas, Nobert selalu menjahili Lashira hingga gadis itu tidak bisa fokus sama sekali dengan penjelasan dosen, catatannya yang biasanya rapi pun menjadi berantakan karena Lashira hanya menulis apa yang ia dengar.
"Minjem catatannya dong, aku nggak nyatet sama sekali tau."
"Nggak ah, salah sendiri nggak nyatet!" balas Lashira memeluk buku catatannya erat-erat, dia tidak ingin Nobert membaca catatannya yang sangat berantakan.
"Yahh, jangan gitu lah. Pinjem ya, nanti aku follback deh UG nya," tawar Nobert membuat Lashira mengerutkan keningnya dalam.
"UG itu apa?" Kini gantian Nobert yang mengerutkan dahinya bingung mendengar pertanyaan Lashira.
"Masa kamu nggak tahu UG?" tanya Nobert masih tidak percaya jika Lashira tidak tahu aplikasi UG.
"Gak bisa nih, ikut sekarang." Nobert langsung menarik tangan Lashira ke arah parkiran setelah mendapat gelengan kepala dari gadis itu.
"Kak, kita mau pergi ke mana? Aku masih ada kelas habis ini. Sepuluh menit lagi mulai," ujar Lashira.
"Heh, kamu itu pinter. Bolos kelas sekali-sekali itu nggak bakal bikin kamu langsung jadi bego. Mending kamu telepon temen kamu buat titip absen," hasut Nobert yang langsung diiyakan oleh Lashira.
Nobert menggeleng pelan saat melihat ponsel milik Lashira. Pantas aja dia nggak tahu UG, batin Nobert.
***
"Gimana masih mau lanjut? Kita banyak kerjaan loh hari ini."
"Suruh orang buat ngawasin Ira, kita balik sekarang," perintah pria itu saat Lashira memasuki mobil temannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
jimmy
next dong thorr
2019-12-02
0