NovelToon NovelToon

Throne Of The Heart

Bagian 1

Clarissa mendengus melihat kegiatan sang kakak yang menurutnya begitu membosankan. Kakaknya itu sangat lugu dan pendiam, mungkin karena itu juga kakaknya tidak terlalu suka dengan keramaian. Kerjaannya hanya membaca buku dan mendengarkan musik di halaman belakang rumah jika tidak sedang kuliah.

Sebagai adik, Clarissa mengaku kecewa dengan gaya berpenampilan Lashira yang terkesan kampungan dan sangat tidak mendukung wajah Lashira yang sebenarnya sangat cantik. Berkali-kali ia berusaha untuk mengganti pandangan sang kakak tentang fashion-nya namun tak kunjung berhasil sampai sekarang.

Entah cara apalagi yang harus Clarissa lakukan untuk mengeluarkan sang kakak dari zona nyamannya.

Senyum Clarissa muncul ketika angin berhembus menerpa wajah sang kakak, secepat kilat ia memotret Lashira dengan menggunakan ponselnya. Lashira yang tidak sadar sedang dipotret pun tersenyum karena ketika angin menerpa wajahnya seketika itu pula hatinya merasa tenang.

Clarissa tentunya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka ini, berkat kemampuan fotografi dan kamera ponselnya yang begitu mumpuni, ia pun bisa mendapatkan hasil yang sangat memuaskan. Gadis itu tersenyum melihat hasil potretnya hingga sebuah notifikasi muncul di ponselnya.

Seketika itu juga, ide jahil muncul di kepalanya.

Gadis itu menyeringai dan beranjak masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru. Lashira yang menyadari kepergian Clarissa hanya bisa diam sambil bertanya-tanya dalam hati, apa yang ingin anak itu lakukan?

Merasa cukup setelah membaca buku seharian, Lashira menutup buku tebal yang ada di tangannya dan masuk ke dalam rumah hendak membuat makanan. “Nggak usah, biar bibi aja yang bikin, Non. Istirahat saja, besok kan Non kuliah.” Lashira tersenyum karena merasa tersentuh ketika mendengar perkataan Bi Murni; orang yang selama ini mengurusnya di saat orang tuanya sibuk bekerja.

“Nggak apa-apa, Bi. Ira hari ini sudah istirahat seharian kok,” balas Lashira tersenyum lembut, berusaha menenangkan hati wanita tua itu.

Dengan cekatan Lashira membantu bi Murni menyiapkan makan malam hari ini. Bi Murni akhirnya hanya bisa pasrah membiarkan Lashira membantunya.

Ketika makanan hampir siap, Lashira menyerahkan sisanya pada bi Murni dan pergi ke kamarnya untuk mandi. Setelah itu, ia menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa besok untuk kuliah. Barang yang tidak akan pernah ia tinggalkan adalah MP3 player dan earphone untuk mendengarkan musik.

Di sisi lain, Clarissa masih asik bermain ponsel hingga tidak menghiraukan panggilan Lashira yang sudah selesai berbenah dan menyuruhnya makan malam.

“Non, Bibi pulang ya. Kalau ada apa-apa masih ada mang Udin di rumah ini.” Lashira mengangguk mengerti, dia menyalami bi Murni yang hendak pulang kampung sementara karena sang anak yang diperkirakan akan melahirkan dua minggu lagi.

“Bibi hati-hati ya ....”

Clarissa tertegun di tangga saat mendengar percakapan Lashira dan bi Murni. “Bibi mau pulang?” Mengerti maksud keterdiaman keduanya, gadis itu langsung berlari dan memeluk bi Murni erat.

“Bibi jangan pulang! Masa saya ditinggal sendiri sama anak purba ini?!” rengek Clarissa kekanakan.

Lashira mengerutkan dahi tidak senang. “Aku bukan orang purba ya!” Clarissa menjulurkan lidahnya meledek Lashira. Bi Murni tersenyum melihat keakraban kedua kakak-beradik ini, dia berdoa semoga keduanya akan tetap seperti ini seterusnya.

*

*

*

Hari ini Lashira ada kelas pagi sampai jam sepuluh, lalu setelahnya dia ada pertemuan klub sastra sampai jam makan siang. Satu hal yang pasti, baterai ponselnya habis sekarang karena semalam ia lupa untuk men-charger ponselnya.

Lashira menggigit bibir bawahnya cemas, kenalannya yang satu kelas pagi ini tidak ada yang membawa charger karena sebagian besar dari mereka ponselnya sudah bisa di-charger nirkabel.

“Kenapa, Ra?”

“Eh?” Karena Lashira terlalu memikirkan ponselnya yang sudah mati kehabisan baterai, gadis itu sampai tidak sadar dengan kehadiran senior yang satu klub dengannya. Seniornya itu tersenyum manis hingga membuat semburat merah muda muncul di kedua pipinya. Sontak saja itu membuat sang senior refleks menyentuh dahi Lashira untuk memeriksa suhu badannya.

“Nggak panas kok,” gumam Theo yang mana malah semakin membuat wajah Lashira memerah seperti kepiting rebus.

Dengan gerakan yang kikuk, Lashira menjauhkan tangan Theo dari dahinya. “Saya nggak papa kok, Kak.”

“Kamu kenapa?” Lashira mengangkat kedua alisnya bertanya-tanya karena tidak mengerti pertanyaan Theo.

“Dari tadi kamu kaya lagi ada masalah,” terang Theo seraya menunjuk wajah Lashira.

“Jelas banget ya?” Lashira menghembuskan napas panjang ketika mendapat anggukan pasti dari Theo. “Aku nggak bawa charger ...,” sambungnya seraya menunduk lesu. Theo tertawa melihat ekspresi Lashira yang jarang sekali gadis itu tunjukkan selama ini.

Dahi Lashira mengerut menatap Theo yang tertawa.

“Haha ... maaf, abisnya kamu lucu banget sih!Memang charger HP kamu yang bulet atau yang gepeng?” Theo bertanya antusias.

“Gepeng,” jawab Lashira sangat pelan hampir menyerupai bisikan, demi apapun dia merasa sangat malu sekarang.

Theo mengangguk mengerti lalu mengeluarkan charger-an dari dalam tasnya. “Nih, pake!” Ia menyodorkan charger miliknya itu pada Lashira.

Dengan ragu Lashira menerimanya. Di satu sisi ia tidak ingin merepotkan seniornya ini, namun di sisi lain ia juga sangat butuh.

Mengerti kegelisahan juniornya, Theo tersenyum lembut menenangkan. “Udah nggak papa, kamu pake aja dulu. Nanti selesai kegiatan klub, kamu kasih lagi ke aku.” Lashira mengangguk mengerti mendengarnya.

Baru saja gadis itu akan mengucapkan terima kasih, Theo sudah pergi terlebih dahulu.

Jam tangan di pergelangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat sepuluh, seharusnya ia sudah berada di basecamp sekarang. Lashira berlarian di lorong kampus dengan buku-buku tebal di tangannya, tatapan Lashira jatuh pada Theo yang baru saja masuk ke dalam ruang basecamp.

Langkah kaki Lashira melambat untuk mengatur napasnya yang tidak beraturan. Dengan perlahan ia memasuki basecamp, berusaha tidak mengganggu orang lain dengan kehadirannya.

Tidak banyak yang mengikuti klub ini, Lashira tidak tahu pasti jumlahnya tapi yang pasti selama tiga semester ini hanya sekitar tujuh sampai sepuluh orang yang menghadiri kegiatan klub setiap minggunya.

Ini mungkin dikarenakan para ACE klub sastra yang saat ini sedang fokus untuk mempersiapkan skripsi mereka. Dari desas-desus yang Lashira tidak sengaja dengar, para ACE sastra terdiri dari tiga orang pria tampan dan satu gadis cantik.

Dan gadis itu duduk di sampingnya sekarang, tanpa bisa Lashira cegah rasa gugup pun muncul. Telapak tangannya begitu basah karena keringat, padahal pendingin ruangan ini sudah menyala. Chika menoleh karena mungkin menyadari kegugupannya, semoga saja gadis itu tidak merasa terganggu dengannya.

“Oh! Lashira ya?” Terkejut, itulah kata yang cocok dengannya sekarang. Darimana orang populer ini mengenalnya?

Chika mengulurkan tangannya, dan disambut olehnya setelah menyeka tangannya ke rok. Chika tersenyum senang karena disambut baik oleh Lashira.

“Ternyata aslinya lebih cantik ya.”

Lashira mengernyitkan dahinya samar seraya tersenyum. “Terima kasih, Kak.”

“Kamu anak ekonomi semester 3 ya?” Masih tersenyum, Lashira mengangguk mengiyakan pertanyaan Chika.

Tatapan bingung Chika sangat terlihat jelas, membuat Lashira tersenyum canggung. “Aneh ya Kak anak ekonomi masuk klub sastra?” Mendengar itu Chika menggeleng dengan cepat.

“Enggak kok, lagian anak ekonomi di sini bukan kamu doang ... ada Theo sama Nobert juga,” terang Chika.

“Kak Theo?” Lashira mengedip-ngedipkan matanya lucu, dia tidak tahu jika kak Theo satu fakultas dengannya.

Menyadari keterkejutan Lashira, Chika spontan bertanya, “kamu nggak tahu kalau manusia jejadian itu satu fakultas sama kamu?” Dengan polosnya Lashira mengangguk, membenarkan pertanyaan Chika.

“Jangan-jangan ....” Chika menggantung kalimatnya membuat Lashira tegang dan gugup.

“Jangan-jangan?” beo Lashira.

“Jangan-jangan kamu juga gak tahu kalau Theo juga seorang ACE?!” Kedua mata Lashira membola seketika menerima fakta baru tersebut.

Orang yang meminjamkanku charger adalah anggota ACE dan aku tidak tahu itu semua? pikirnya.

Chika tak kuasa menahan tawanya setelah mengetahui fakta ini, namun tawanya langsung terhenti saat menyadari sesuatu. “Jangan-jangan kamu juga nggak tau kalau aku itu anggota ACE?” Lashira menggeleng dengan cepat.

“A-aku tahu kok.” Chika mengernyit bingung mendengar jawaban Lashira.

Selama kegiatan klub berlangsung, Lashira merasa selalu diperhatikan oleh seseorang, entah dia yang terlalu percaya diri atau memang semua orang menatapnya hari ini? Lashira menggeleng cepat, berusaha untuk menghilangkan pikiran-pikiran aneh yang terlintas di kepalanya.

Bagian 2

Tatapan mata Chika terus tertuju pada Lashira, dia merasa ada sesuatu yang janggal dengan gadis itu. Sampai suara Theo menginterupsi perhatian Chika, “Chik, gimana persiapan kita untuk acara bulan depan?”

“Acara apaan?” jawab Chika tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Theo.

Penasaran apa yang bisa membuat sang tuan puteri terpaku, Theo pun mengikuti arah pandang Chika. “Lo kenal sama Lashira?” Pertanyaan Theo kali ini sukses mengalihkan pandangan Chika sebentar ke arahnya.

“Kenal, dia minta pertemanan trus chat gue lewat mukabuku.”

Theo mengernyitkan dahinya bingung, Lashira yang dia tahu tidak akan bermain yang namanya sosial media. Ponsel gadis itu saja hanya bisa dipakai untuk menelpon dan mengirim pesan singkat saja. Bagaimana bisa gadis itu memiliki akun mukabuku? pikirnya dalam diam.

“Lo yakin itu dia?” tanya Theo yang tidak dihiraukan oleh Chika.

Begitu melihat Lashira memasuki sebuah mobil, barulah Chika mengalihkan perhatiannya ke Theo seluruhnya.

“Itu dia yang bikin gue curiga, tapi profilnya memang dia. Bahkan tadi saking niatnya, gue sampe cari biodatanya yang ada di ruang klub trus gue bandingin deh sama informasi akunnya.”

“Trus?”

“Semuanya sama dong! Tapi sikapnya tadi beda banget sama yang di chat-an!” heboh Chika. Theo memutar bola matanya karena reaksi Chika yang sedikit berlebihan menurutnya.

Chika mendengus menyadari ekspresi wajah Theo. “Lo nggak percaya? Nih gue tunjukin.” Theo mendekat ke arah Chika untuk melihat isi percakapan mereka dari ponselnya Chika.

“Yaelah, banyak kali yang kaya gitu. Di chat-an heboh tapi pas di dunia nyatanya malah malu-malu,” ujar Theo dengan nada malas.

***

Lashira tiba di rumah sekitar jam dua siang dan tidak ada seorang pun di rumahnya. Membuat Lashira semakin membenci kehidupannya.

"I'M HOME!” teriak Clarissa yang juga baru saja tiba di rumah.

Melihat Lashira yang diam saja, Clarissa pun menghampirinya. “Hello! Are you ok sis?” tanya Clarissa yang untungnya bisa menyadarkan Lashira dari lamunannya.

“Kenapa? Mau makan?” tanya Lashira tanpa menoleh ke arah Clarissa.

Selalu begini, batin Clarissa. Sikap Lashira yang seperti inilah yang membuat Clarissa semakin yakin dengan pemikirannya tentang gadis itu. Pemikiran bahwa Lashira tidak hanya membangun tembok untuk orang lain, namun juga untuk Clarissa yang merupakan adiknya.

“Lo yakin? Ada masalah di kampus, ya? Cerita aja kalau ada masalah di kampus.” Clarissa mengekori sang kakak hingga ke dapur, dia duduk di meja makan seraya bermain ponsel selagi menunggu Lashira memasak.

Lashira mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas dan lemari penyimpanan bahan makanan. “Jangan main HP terus, mata kamu bisa rusak kalau terlalu lama lihat layarnya.” Clarissa hanya berdehem pelan setelah mendengar nasihat Lashira, namun tak kunjung melepas ponselnya.

“Kamu tahu nggak, Sa? Masa tadi pas di kampus aku ngerasa semua orang liatin aku?”

Clarissa melihat Lashira dari sudut pandangnya, tetap pura-pura tidak memperhatikan ucapan sang kakak, padahal sebenarnya ia memperhatikan dengan sangat baik. “Lo nya aja terlalu PD kali,” balasnya pura-pura tidak tertarik.

“Aku serius, Sa. Bahkan tadi senior yang satu klub sama aku bilang gini, ‘ternyata aslinya lebih cantik ya.’ gitu.”

Ingin rasanya Clarissa berteriak kegirangan sekarang. Akhirnya setelah sekian lama, kakaknya ini ingin berbagi cerita dengannya.

“Terus?” tanya Clarissa yang masih berusaha menyembunyikan rasa antusiasnya ketika mendengar dan menanggapi curhatan Lashira.

Dahi Lashira berkerut memandang Clarissa. “Ya ... aku bilang terima kasih.”

“Terus?”

“Ya kita ngobrol sebentar, abis itu aku langsung tinggal karena mau ngembaliin charger HP.” Mendengar jawaban Lashira, tatapan antusias Clarissa menghilang dan berganti dengan tatapan datar. Ternyata kakaknya ini memang tidak bisa diharapkan.

Clarissa mengambil napas panjang. “Lo mau kayak gini terus?”

“Aku kenapa? Memangnya aneh, ya?” Mendengar jawaban template yang biasa Lashira katakan, Clarissa berdecak kesal.

Percuma saja. Biar bagaimanapun dia tidak akan bisa membuat Lashira mengerti segala perkataannya. Gadis itu harus langsung terjun ke lapangan agar bisa mengerti semuanya.

Clarissa beranjak dari duduknya untuk kembali ke kamar sembari menunggu Lashira. “Ganteng,” gumamnya sambil men-zoom foto seorang pria di ponselnya.

Lashira Ardiansyah: Hai^^

Lashira Ardiansyah: Kamu ganteng deh:3

Greyson: Siapa?

"Kok siapa? Kan dia yang minta pertemanan duluan," gumam Clarissa pada dirinya sendiri.

Lashira Ardiansyah: Akhirnya dibales. Aku Lashira, anak fakultas ekonomi. Kamu anak fakultas seni dan desain ya?

Greyson: Kenapa?

"Kelaar..risa makanannya udah siap nih!" Mendengar teriakan Lashira, Clarissa pun beranjak dari kasurnya dengan kesal.

"Sekali lagi lo manggil gue kaya gitu, hidup lo yang gua bikin kelar."

Lashira menatap Clarissa dengan alis yang tertaut. Melihat reaksi sang kakak, Clarissa hanya bisa menghembuskan napas kasar.

Menyebalkan, batin Clarissa.

Kakaknya itu selalu seperti ini, entah selalu fokus pada dirinya sendiri atau apa, tapi sering kali gadis itu terlalu apatis pada sekitarnya. Maka dari itu, tak sedikit orang yang membenci gadis itu dan enggan berteman terlalu dekat dengannya.

"Lupakan."

Sejenak hening menyelimuti keduanya. Clarissa yang tidak tahan terlalu lama dalam keheningan pun akhirnya mengalah untuk membuka suara lagi, "besok nggak ada jam kuliah, 'kan? Anterin gue main bultang ya?"

Clarissa memperhatikan gerak-gerik Lashira yang tiba-tiba terdiam. Pasti gadis itu akan menolaknya dan lebih memilih untuk berkencan dengan buku-buku seperti yang sebelumnya.

"Aku udah ada janji besok, seniorku ngajak keluar." Clarissa langsung tersedak ketika mendengar jawaban Lashira yang baru kali ini dia dengar.

Seumur-umur, kakaknya itu tidak pernah menerima ajakan temannya untuk pergi keluar. Bahkan ketika ada tugas kelompok pun Lashira akan selalu membawa temannya ke rumah mereka. Maka dari itu, ketika mendengar ini, Clarissa merasa sangat senang sekali sampai-sampai ingin merayakannya dengan mengadakan party malam ini juga.

"Gue minta nomornya dong." Lashira mengernyit bingung mendengar permintaan Clarissa.

"Siapa?"

Clarissa berdecak kesal mendengarnya. "Senior yang tadi lo ceritain lah."

"Nggak punya."

Jedar!

Seperti tersambar petir, pupus sudah harapannya, Clarissa kembali menarik niatnya yang akan mengadakan pesta.

"Aku udah selesai." Setelah mengatakan hal itu, Lashira langsung beranjak ke dapur dengan piring kotor di tangannya.

Melihat hal itu, Clarissa langsung cepat-cepat menghabiskan makanannya. Gadis itu berlarian menuju dapur dan tepat sebelum Lashira menyelesaikan kegiatan cuci piringnya, gadis itu berhasil memasukkan piring kotor bekas makannya ke dalam wastafel.

Dengan senyum lebar Clarissa berkata, "sekalian."

Tanpa berkata ataupun mengeluh, Lashira langsung menyucikannya. Clarissa berjalan ke arah kulkas dengan harap ia bisa menemukan pencuci mulut di sana. "Senior yang ngajak lo keluar itu cowo ya?"

Prang!

Clarissa ikut terkejut mendengar suara pecahan piring. Saat melihat Lashira yang hendak membereskan pecahan beling tersebut, Clarissa langsung berlari menghampiri dan mencegahnya. "Gue aja. Lo selalu berdarah kalau beresin pecahan beling kaya gini."

Lashira mengangguk patuh dan beranjak mundur, membiarkan Clarissa membereskan kekacauan yang sudah ia perbuat.

"Bener 'kan yang gue bilang tadi? Makanya nih piring bisa pecah begini?" lanjut Clarissa sesekali melirik ke arah Lashira.

"Enggak kok, yang ngajak aku itu perempuan. Namanya Chika."

Clarissa tersenyum tipis, ia yakin sekali jika Lashira itu sedang berbohong. Menurutnya, kakaknya itu adalah orang yang paling bodoh jika disuruh berbohong. Clarissa memutuskan untuk membiarkannya kali ini dan berpura-pura memercayainya.

"Gue percaya kok," ucap Clarissa seraya tersenyum manis.

Lashira menghembuskan napas lega. Setelah itu, Lashira kembali ke kamarnya untuk mengerjakan tugas, sedangkan Clarissa bermain ponsel di ruang tamu.

*

*

*

"Mau ke mana lo?"

Lashira terperanjat kaget saat mendengar suara Clarissa yang ternyata sedang tiduran di sofa ruang tamu. "Kamu sejak kapan di sini?"

"Semalem," balas Clarissa singkat. Ia bangun dari sofa dan menghampiri Lashira yang berada di depan pintu. "Lo ngapain tadi ngendep-ngendep kaya maling?" tanyanya.

"Aku nunggu jemputan kak Chika." Clarissa mengangguk-angguk pelan mendengar jawaban Lashira. Dia sedikit menyingkap gorden jendela ketika mendengar suara deru mobil yang masuk ke perkarangan rumahnya.

Clarissa tersenyum miring. "Kayanya sih bukan kak Chika deh yang jemput. Nggak mungkin 'kan namanya Chika tapi jantan begitu?"

Bagian 3

Clarissa tersenyum miring. "Kayanya sih bukan kak Chika deh yang jemput. Nggak mungkin 'kan namanya Chika tapi jantan begitu?"

Dengan cepat Lashira ikut melihat ke luar jendela, bola matanya hampir keluar saat melihat Theo di sana. Pipinya langsung memanas saat matanya bersitatap dengan pria itu.

Ketika Theo melambaikan tangan padanya, Lashira langsung menutup kembali gorden jendelanya. Clarissa senyum-senyum sendiri melihat tingkah laku sang kakak, dia merasa sedang menonton drama romance-comedy saat ini.

Tanpa memerdulikan penampilannya, Clarissa dengan santainya membukakan pintu untuk Theo disertai senyum lebarnya. Theo hanya bisa tersenyum canggung saat gadis itu mempersilahkan dirinya masuk. Lashira meringis saat menyadari penampilan sang adik yang saat ini bisa dibilang sangat buruk untuk menerima seorang tamu.

Kami yang melihatnya saja sudah malu, apa anak itu tidak merasa malu sedikit pun? pikir Lashira.

"Sebenernya hari ini bonyok pulang. Tapi karena lo perginya sama orang ganteng, pulang pagi juga gapapa kok," ujar Clarissa yang membuat Lashira meringis malu. Sedangkan Theo, pria itu hanya bisa mengusap tengkuk nya karena salah tingkah. Baru kali ini dia bertemu gadis yang begitu blak-blakan melebihi sang sahabat, Chika.

"Kalau gitu, kita berangkat sekarang?" tawar Theo. Lashira menggigit bibir bawahnya seraya mengangguk pelan.

"Take care, guys!" teriak Clarissa saat keduanya sudah masuk ke dalam mobil.

Mobil yang mereka naiki pun membelah jalanan ibu kota dengan kecepatan sedang. "Maaf," cicit Lashira membuat Theo menoleh sebentar ke arahnya.

"It's ok." balas Theo seraya tersenyum tipis. Setelah itu suasana mobil menjadi hening seketika, tak ada satu pun dari keduanya yang berusaha memecahkan keheningan ini. Baik Theo maupun Lashira sama-sama menikmatinya.

Di café

“Theo!” Keduanya menoleh saat mendengar panggilan Chika. Lashira seketika merasa cemas karena menyadari di sana tidak ada anak-anak yang satu tingkat dengannya. Gadis itu mundur perlahan, berniat pergi selagi belum ada orang yang menyadari kehadirannya kecuali Theo.

“Ayo!” Lashira tersenyum kaku saat Theo berbalik menoleh ke arahnya. Wajahnya langsung memanas tat kala tangan Theo memegang tangannya dengan lembut, lalu membimbingnya untuk mengikuti langkah pria itu. Lashira merutuki wajahnya yang semakin terasa panas di dalam hati.

“Hai, Lashira. Kupikir tadi bukan kamu.” Tubuh Lashira menegang saat Chika memeluk dan mencium kedua pipinya bergantian.

Theo terkekeh melihat wajah Lashira yang semakin memerah. Theo masih merasa wajar jika gadis itu merona saat berkontak fisik dengannya karena dia adalah laki-laki. Akan tetapi, ternyata gadis itu juga merona ketika berkontak fisik dengan Chika yang juga perempuan sama sepertinya, entah kenapa dirinya merasa itu sangat lucu.

“Ada apa dengan Beruang ini? Akhir-akhir ini dia selalu tertawa dan itu membuatku sedikit takut,” ledek Nobert seraya menahan senyum gelinya ketika melihat ekspresi wajah Theo berubah datar setelah mendengar perkataannya. Ketika melihat gadis itu, Nobert jadi tahu alasan Theo yang menjadi begitu ekspresif akhir-akhir ini.

“Em, sebenarnya kenapa ya aku disuruh ikut ke sini hari ini?” tanya Lashira setelah berusaha untuk memberanikan diri berkali-kali. Semuanya terdiam dan melihat ke arahnya, membuat keberanian yang ia kumpulkan sejak tadi menguap entah kemana.

“Kamu ngomong apa? Maaf karena kita asik ngobrol sendiri, suaramu jadi nggak terlalu jelas.” Lashira menggigit bibir bawahnya cemas saat mendengar perkataan Chika.

“SebenernyaAkuDiSiniDisuruhNgapainYa?” Saking gugupnya, Lashira berbicara terlalu cepat tanpa jeda sedikit pun. Dia langsung menutup wajahnya yang memerah karena mereka berempat menertawakannya.

Masih dengan tawanya, Chika memberikan segelas air untuk Lashira. “Hahaha.. minum dulu biar nggak tegang.”

Bahkan pria yang sedari diam saja pun ikut terkekeh karenanya. Dengan wajah yang masih merah padam, Lashira meminum segelas air yang tadi Chika sodorkan padanya.

“Kamu nggak usah malu sama kita,” ujar pria itu seraya tersenyum tipis.

“Nama kakak siapa ya?” tanya Lashira. Pria itu menatap Lashira dengan terkejut.

“Jangankan lo, dia aja nggak tahu kalau gue satu fakultas sama dia," terang Theo yang membuat Lashira meringis tidak enak. Bila mengingat hal itu dia merasa sangat bersalah sekali.

“Maaf, Kak ... aku cuma tahu tentang kak Chika sama kak Nobert sebelumnya. Kalau kalian berdua aku nggak tahu sama sekali,” jelas Lashira dengan nada tidak enak.

“Entah kenapa aku merasa ini nggak adil banget. Kamu bisa tahu tentang dua orang ini, tapi tidak dengan kita? Ingat baik-baik ya, namaku adalah Leon.” Lashira menundukkan wajahnya saat pria itu berbicara dengan cepat dan suara yang kencang.

Chika langsung melempari pria itu dengan tasnya. “Kebiasaan lo di BEM bikin anak orang sawan.”

“Aku tahu kak Nobert pas satu kelompok sama dia. Kalau kak Chika ...." Lashira berhenti dan menatap Chika dengan tidak enak, Chika mengerti hal itu.

“Dia pasti denger yang engga-engga tentang gue karena dikelilingin cogan tanpa otak cem kalian,” tebak Chika yang tepat sasaran.

“Ya udahlah ya, kan ada Lashira yang juga cewe sekarang,” timpal Nobert yang diangguki oleh Chika. Mendengar itu Lashira mengangkat kepalanya dan menatap keempatnya dengan bingung.

"Maksudnya apa ya, Kak?" tanya Lashira dengan wajah bingungnya.

"Oh, aku belum bilang, ya?" Chika merutuki kebodohannya sebelum kembali berbicara, "jadi gini, kamu mau nggak kumpul bareng sama kami berempat?" Melihat ekspresi wajah Lashira yang semakin bingung, Chika berusaha untuk mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya. "Jadi misalnya, kalau kamu nggak ada kelas atau kerjaan, kamu em.."

Theo menahan tawanya, puas melihat Chika yang sedikit kesulitan untuk mengajak Lashira. "Main sama kita gitu loh, si Chika itu tertarik sama kamu. Katanya dia pengen punya temen sekaligus adek cewe," jelasnya berusaha membantu Chika.

Theo mengerti betul kenapa Chika sedikit kesusahan saat meminta Lashira bergabung dengan mereka. Selama ini tuan puteri itu tidak pernah meminta karena apa yang diinginkannya sudah langsung diberikan oleh para abang dan sahabatnya. Namun kali ini, tuan puteri itu sendiri yang langsung turun tangan untuk mengambil apa yang dia mau.

"Oh, jadi temennya kak Chika! Aku sih mau. Tapi ...."

"Tapi?"

"Tapi kak Chika nggak masalah sama aku? Aku itu orangnya-"

"Gak masalah! Yang masalah itu, kamu mau atau engga?" sela Leon yang langsung membuat Lashira terdiam.

***

"Kau menikmatinya?" tegur sang tangan kanan.

Pria itu hanya menatap dingin sang tangan kanan. Tatapannya kembali tertuju ke ponselnya untuk membalas pesan dari gadis yang memang sudah ia cari selama ini.

"Diam, lebih baik kau melakukan sesuatu yang lebih berguna untukku," balas pria itu tanpa menatap sang tangan kanan.

"Aku sudah melakukan semua tugasku yang menambah rekening kita hari ini, apa yang harus kulakukan lagi?" keluh sang tangan kanan.

Pria itu menatap tajam sang tangan kanan. "Kau sudah terlalu kurang ajar sebagai anak buahku, Norbert." Pria yang dipanggil Norbert itu pun tersenyum lebar hingga menampilkan deretan gigi putihnya.

"Baiklah-baiklah, apa yang bisa kulakukan untuk tuan Masson yang terhormat?"

Greyson menunjukkan foto seorang gadis kecil dari ponselnya. "Kau tahu dia, 'kan? Cari dia lagi, nama lengkapnya Lashira Ardiansyah." Greyson menunjukkan foto Lashira pada Norbert. "Ini dia yang sekarang. Cari tahu tentangnya. Semua informasinya harus sudah ada di meja kerjaku malam ini."

Norbert tersenyum jahil. "Sudah bertahun-tahun kau mencarinya. Kau yakin gadis ini yang kau cari? Kau bermain sosmed seharian. Banyak wanita cantik di sana. Kenapa tidak salah satu dari mereka saja?"

“Sepertinya aku harus mengasah kembali belati kesayanganku, bagaimana jika aku mencobanya di dirimu untuk mengetes ketajamannya?”

Norbert menelan ludahnya susah payah dan meringis saat Greyson mengeluarkan belati kesayangannya yang terlihat tajam dan mengkilap. Pria itu mengangkat tangannya tanda menyerah, dia tidak siap untuk dikuliti hidup-hidup oleh tuannya itu. Dia masih ingin berkencan dan menikmati hidup terlebih dahulu sebelum mati.

“Tunggu apa lagi? PERGI!” teriak Greyson yang membuat Norbert langsung keluar dari ruangannya dengan terburu-buru.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!