Kisah Ini Bernama Cinta

Kisah Ini Bernama Cinta

Bab 1 Pagi Hari

Panggilan Ilahi Robbi menggema diseluruh penjuru, dan sepanjang yang tertangkap oleh indra pendengaran Qanita Abdillah, gadis manis yang berkulit sawo matang, dengan wajah Arab seperti perawakan ayahnya Abdillah,yang memang memiliki darah timur tengah.

Wajahnya dihiasi dengan alis tebal dan rapi bak Semut yang sedang berjalan beriringan, manik mata yang coklat dan meneduhkan sepertinya ibunya Maya Abdillah, hidung bangir khas Arab, dan bibir yang merah laksana delima merekah, tak ketinggalan lesung pipit dikedua pipinya. Setelah disunguhi dengan dunia mimpi kini Qanita perlahan menuruni tempat ternyamannya untuk beristirahat menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan berwudhu. Sekembalinya dari kamar mandi terdengar suara ketukan pintu dari balik kamarnya.

Tok tok tok

“Anit (panggilan akrab Qanita), sudah bangun kamu sayang ?” suara sang ibu yang senantiasa membangunkannya setiap hari, walaupun sebenarnnya Qanita telah bangun sedari tadi.

“Iya bu, ini Anit lagi siap-siap, sebentar lagi turun ke Mushollah”. Setelah merasa ibunya sudah berjalan terlebih dulu ke Mushollah yang ada didalam rumah, Qanita buru-buru mengenakan jilbab instannya untuk menutupi rambut hitam legam sebahunya itu. Kemudian setengah berlari menuruni anak tangga dan menuju Mushollah. Sementara ayah dan kedua adiknya (Al Fateeh Abdillah dan Nazeen Abdillah) sudah berada diambang pintu rumahnya untuk sholat subuh berjamaah di masjid yang terletak tak jauh dari rumah mereka.

Setelah selesai menunaikan kewajibannya sebagai seorang umat beragama yang taat, Qanita dan ibunya melipat mukenah yang sudah dilepas. Ibunya membuka pembicaraan antara wanita beda generasi itu.

“Anit, apa kakakmu syiffa dan suaminya hari ini jadi berkunjung sayang ?”

Sekilas Qanita melihat ibunya “Iya bu, Insya Allah kak Syi sama abang Fay datang kok”. Jawab Qanita dan beranjak dari Mushollah kembali kekamarnya untuk membersihkan kamarnya.

Setelah dari kamarnya Qanita menuju ruang tamu rumahnya untuk mematikan lampu yang sekiranya sudah tidak diperlukan lagi cahayanya, kemudian membuka gorden dari jendela-jendela rumahnya. Sementara sang ayah dan kedua adiknya tengah berbincang sepanjang perjalanan kembali kerumahnya.

Tatapannya terangkat dan menangkup cahaya orange yang masih samar-samar diufuk timur, mendandakan bahwa sebentar lagi sang pemilik cahaya akan keluar dari peraduannya, dipandangi langit yang masih setangah gelap itu dengan rasa kagum sembari berkata Masya Allah, sungguh indah ciptaan_Mu.

Ketiga pria yang dicintai oleh Qanita melihat aktivitasnya itu sembari tersenyum. Mereka menyadari bahwa melihat matahari terbit adalah salah satu hal yang paling disukai oleh gadis yang sedang berdiri dipelataran rumahnya tersebut.

“Tuh kepala jangan terlalu diangkat kak, ntar nggak bisa balik lagi, matanya juga jangan terlalu melotot ntar copot.” Kata Nazeen yang dibarengi dengan suara kekeh pelan dari ayah dan saudara laki-laki satunya lagi.

“Apaansih dek, ganggu aja.” Ucap Qanita yang memperlihatkan wajah kesalnya sambil menyunggingkan sebelah bibirnya menendakan ketidaksukaannya. Merasa diganggu, Qanitapun kembali masuk ke rumah yang diiringi oleh ketiga pria yang tadi tekekeh melihat wajah kesalnya pagi-pagi.

“Assalamualaikum.” Ucap ketiga pria itu bersamaan.

‘Walaikumussalam.” Jawab Qanita tanpa menoleh kearah sumber suara.

“Loh loh, Anit kenapa sayang ? kok keliatan kesal gitu ? Sambut Maya yang melihat wajah kesal anak gadisnya yang tengah berjalan menuju kearahnya yang sedang menyiapkan sarapan.

“Tuh bu, Zeen tuh ngeselin tau, orang Anit lagi mengagumi ciptaan Allah eh malah digangguin.” Ucap Qanita.

“Iya kan Kak Anit sih, mendongaknya tinggi, pake melotot segala lagi. Padahal tiap hari ngeliat sunrise.” Timpal sang adik dari ruang tengah rumahnya.

“Biarin.” Jawab Qanita ketus.

Perdebatan kecil antara kedua anaknya itu membuat suasana kediaman keluarga Abdillah jadi rame pagi-pagi.

“Sudah-sudah, pagi-pagi kok rame sih. Nggak baik.” Kata sang ayah menengahi kedua anaknya tersebut. “Zeen kamu siap-siap gih, tuh abangmu sudah kekamar buat siap-siap sekolah tuh.”

“Eh iya, yah.” Jawab Zeen yang setengah berlari kearah saudaranya yang sedang menaiki tangga menuju lantai dua “ Abang yah kebiasaan tauk, main tinggal nggak bilang-bilang”.

“Iya siapa suruh asyik debat aja sama kak Anit.” Jawab Fateeh to the point.

Suara berisik yang terdengar dari arah tangga tersebut membuat ketiga orang dewasa yang sedang berada dilantai satu geleng-geleng sambil tersenyum.

Qanita melihat jam dinding yang menggantung didapur dan menunjukkan pukul 06:00, menandakan bahwa ia harus segara siap-siap untuk keusaha peternakan dan produsen daging milik keluarganya yang saat ini tengah pesat-pesatnya berkembang.

Setelah hampir satu jam berada dikamarnya sembari bersiap-siap Qanita turun kelantai dasar rumahnya tempat kedua orang tua dan kedua saudara laki-lakinya (yang satu cueknya minta ampun, yang satunya lagi usilnya Nauzubillah) tengah menikmati sarapnnya. Tak lama setelah Qanita mendaratkan dirinya dikursi meja makan, samar-samar terdengar suara orang memberi salam.

“Assalamualaikum.” Salam Syiffa dan Rafay bersamaan.

‘Waalaikumussalam.” Jawab kelima orang yang sedang berada diruang makan tersebut.

Naluri seorang ibu tidak dapat dibohongi, apapun yang terjadi dengan anaknya pasti terasa dalam dirinya, termasuk mengenali suara anak sulungnya yang kini berada didepan kediaman mereka. Dengan segera Maya melangkah kearah sumber suara, dan melihat putri cantiknya yang kini tengah menanti anak pertamanya lahir beberapa bulan lagi.

“Ibu, apa kabar ?” Sapa Syiffa sembari mencium tangan dan memeluk Maya.

“Baik sayang” Jawab Maya “cucu ibu apa kabar ?” Tangannya mengusap perut putrinya dengan kasih. Sedangkan Syiffa hanya tersenyum menandakan bahwa bayi dalam kandungannya baik-baik saja.

“Ibu.” Kata menantunya yang berada disamping istrinya.

Rafay melepas tas jinjing dan menyalami mertuanya.

Setelah itu mereka bertiga melangkah masuk dan segera bergabung dengan yang lainnya. Senyum lembut dan tulus diulas oleh mereka yang telah menunggu Syiffa dan Rafay diruang makan.

***

“Ayo kak Syi, bang Fay, sarapan.” kata Fateeh kepada kedua kakaknya, seraya diangguki oleh yang lainnya.

Syiffa dan Rafay yang memang belum sarapan namun membawa bekal dari rumahnyapun ikut sarapan dengan yang lainnya.

“Fay, tugasmu berapa hari diluar kota nak ?” Tanya Abdillah membuka pembicaraan disela suapannya.

“Kira-kira satu minggu yah, saya mau titip Syi disini yah, kasian kalau dirumah sendirian apalagi sekarang tengah mengandung.” Jawab Rafay dan mengutarakan maksudnya kepada mertuanya.

Abdillah yang sudah mengetahui maksud menantunya hanya mengangguk tanda menyetujui.

Setelah sarapan, Rafay pamit pada orang yang berada dirumah karena transportasi kantornya datang menjemput. Sementara Fateeh dan Nazeen akan diantar oleh ayahnya kesekolah, mengingat mereka belum diperbolehkan untuk berkendara sendiri. Namun, untuk pulang sekolah biasanya mereka akan naik transportasi umum, jika ayahnya berhalangan menjemput, atau ada kegiatan sekolah lainnya yang mengharuskan pulang terlambat.

Dirumah tersebut hanya tinggal tiga orang perempuan beda generasi tengah berbincang-bincang kecil. “Eh, udah jam segini aja. Anit berangkat dulu yah, Assalamualaikum”. Pamitnya kemudian mencium tangan Maya dan Syiffa. Ia hampir saja lupa waktu dan terlambat bekerja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!