Lain dengan Arsen, lain pula dengan Qanita. Meskipun waktu sudah menujukkan jam pulang kerja, bahkan sebentar lagi Magrib akan tiba. Ia masih saja berkutat dengan laptop dan beberapa lembar kertas yang harus diselesaikan serta beberapa lainnya harus dipelajari. Saking asyiknya ia sampai lupa waktu, dan kini sudah menunjukkan pukul 6 sore. Bergegaslah ia menuju parkir tempat motornya diparkirkan dan pulang. Kantornya sudah terliat sepi, dan hanya menyisakan beberapa karyawan.
“Astagfirullah Qanita. Kerja sih kerja. Tapi jangan sampai lupa waktu juga dong.” Sesalnya sambil menjalankan motor.
Ia sampai pada tempat bertemu dengan Arsen tadi pagi, kejadian itu seperti terputar otomatis di otaknya. Qanita bukannya tidak menyadari dan mengetahui jika Arsenlah yang mengklaksonnya pagi tadi. Namun keengganan menyapalah yang membuat Qanita tak menggubrisnya. Setelah berusaha melupakan kejadian itu, dia kembali fokus pada jalanan yang berangsur sepi dan tak sepadat biasanya mengingat ini telah sampai waktu Magrib.
Sesampainya dirumah, dilihatnya lampu-lampu kini sudah menyala hampir disetiap ruangan. Saat hendak turun dari motor, lagi –lagi pandangannya tertuju pada lecet dibagian depan itu.
“Sepertinya aku harus memperbaikimu kawan, dan yah bisa dipastikan tabunganku juga akan berkurang. Tapi tak apalah, dari pada melihatmu mengingatkan aku pada manusia itu.” Sambil mengelus motornya seraya menghembuskan kasar nafasnya, juga tak ketinggalan wajah kesal dan kusut bercampur menjadi satu.
Tok tok tok
Diketuknya pintu rumah beberapa kali. Namun tak ada yang membukakan pintu apalagi menyauti dari dalam.
“Apa orang-orang rumah masih sholat ya ?” gumamnya sembari duduk dikursi yang berada diteras rumahnya. Ia pun mengambil Hp yang ada didalam ranselnya namun harus dengan usaha cukup keras, karena Hpnya berada diantara barang-barang bawaannya. Setelah mendapatkan, ia segera mengecek dan melihat beberapa notif pesan dan panggilan dari orang-orang rumah yang mananyainya.
Setelah merasa cukup lama menunggu tangannya pun kembali mengetuk pintu rumahnya.
Tok tok tok
Alhasil ketukan itu mendapat respon. Segeralah orang dari balik pintu membukanya dan ternyata Maya ibunya.
“Assalamualaikum bu.” Sapa Qanita sambil mencium tangan ibunya.
“Waalaikummussalam, kok pulang telat sayang ?” Tanya Maya sambil menutup pintu.
“Iya bu, tadi Anit keasyikan sama laptop jadinya lupa waktu deh.” Jawabnya sambil berjalan menuju kamar dilantai dua.
Maya berjalan menuju ruang tengah rumahnya sambil mendengarkan alasan putrinya karena pulang terlambat dan memakluminya. “Iya sudah, ayahmu juga tadi bilang begitu. Tapi tidak tahu kalau kamu akan pulang sampai jam segini. Kamu mandi dan sholat gih.” Ucap Maya.
“Iya bu.” Jawab Qanita singkat.
Syiffa yang berada didapur untuk menyiapkan makan malampun bertanya kepada Maya.
“Anak ibu yang cuek itu sudah pulang ?” Tanyanya.
“Hus kamu ini, ngomong ada-ada saja. Cuek dari mana coba dia”. Maya membela Qanita sambil berjalan kearah Syiffa.
“Buuuu, apa ibu tidak menyadarinya. Setiap ada laki-laki yang ingin mendekatinya pasti tidak jadi bu. Itupun baru berniat mendekati loh bu. Itu karena apa coba bu ?” Tanya Syiffa lagi.
Maya yang tengah sibuk menyiapkan beberapa alat makanpun menjawab pertanyaan Syiffa “Iya karena belum ada yang cocoklah nak, makanya dia cuek.” Ucap Maya dengan santainya.
“Hmmmm, sampai kapan bu dia seperti itu. Jika memang dia belum mau membuka hati setidaknya dia memberi kesan yang cukup baik atas penolakan yang diberikan pada laki-laki yang ingin mendekatinya. Bukan malah cuek dan tak peduli seperti itu. Kadang laki-laki ngechat jam 7 malam, dia balasnya jam 7 besok malamnya. Ya apa buu kayak gitu ?” ucap Syiffa panjang lebar mengenai adiknya.
Maya yang sudah duduk dimeja makan hanya mendengarkan Syiffa berbicara dan terkekeh mengingat jika putri sulungnyapun tak berbeda dengan Qanita saat ini. “Ada benarnya juga ucapanmu nak”. Mayapun menyetujui Syiffa.
Sebelum menikah Syiffa juga bersikap cuek dengan laki-laki yang mendekatinya, namun tidak secuek dan sedingin adiknya. Jika rumah Abdillah kedatangan tamu laki-laki yang sekiranya untuk bertamu dan berbincang-bincang dengan Syiffa, maka ia akan menemuinya walaupun hanya sebentar. Selanjutnya perbincangan akan dilakukan oleh Abdillah, dan akan menanyai apa saja tentang laki-laki yang bertamu itu. Hal ini membuat nyali laki-laki yang mendekati anak gadis Abdillah menciut. Tetapi berbeda dengan laki-laki yang bernama Rafay Rumi, ia berhasil merebut hati Abdillah bahkan sebelum merebut hati Syiffa.
Berbanding terbalik dengan Qanita, jikapun ia kedatangan tamu dan itu adalah laki-laki. Maka ia akan memberikan berbagai macam alasan, mulai dari mengantuk, sibuk dengan kerjaan dan segudang alasan lainnya agar ia tak menemui laki-laki tersebut. Maka dapat dipastikan Abdillah lah yang akan berbincang panjang lebar dengan tamu yang hendak menemui putri keduanya itu. Kalaupun dia akan bertemu atau berpapasan dengan laki-laki yang pernah bertamu kerumahnya, maka ia akan menampilkan wajah sedingin dan secuek mungkin. Termasuk dengan Arsen yang mengklaksonnya pagi tadi.
Qanita yang telah selesai sholat, kemudian melangkah menuruni anak tangga yang membawanya ke lantai satu dan menuju dapur karena mendengar samar-samar namanya disebut, juga sikap yang ia tujukan kepada lawan jenisnya. Ia sudah mengetahui jika dua wanita yang tengah berada didapur itu sedang membicarakannya dari tadi bahkan sampai sekarang.
“Apasih kak Syi ini, mana ada aku cuek. Kan wajar kalau aku kayak gitu biar nggak ngasih harapan kosong ke orang.” Ucap Qanita membela diri.
“Iya wajar dek, tapi nggak boleh gitu juga dong. Lagian nih yah dek, kamu ngganggap kalau kamu nggak cuek ? Orang baik tidak akan pernah menyebutkan bahwa dirinya itu orang baik, karena itu termasuk takabur. Begitu juga sama orang buruk, dia tidak akan pernah menyebutkan bahwa dirinya itu orang buruk, karena ia akan membuka aibnya sendiri. Sama juga dengan anggapan kamu itu. Iya kan ?” ucap Syiffa meminta persetujuan dua wanita beda generasi itu.
Qanita yang mendengar kakaknya berbicara seperti itu hanya berdehem. Sedangkan Maya tersenyum seolah membenarkan ucapan anaknya.
Waktu kini menujukkan pukul 19:15 malam. Gadis dengan baju rumahan itu sedang berada dibalkon kamarnya. Ia tengah menikmati malam dengan segelas matcha hangat dan bintang menjadi pemandangan yang membuatnya candu. Tiba-tiba saja dia ingin cookies dari salah satu cafe langganananya. Dia pun meninggalkan balkon dan bersiap-siap untuk menuju cafe. Cepat dia menuruni tangga rumahnya, tak ketinggalan dompet juga kunci motor ditangan kirinya.
“Buuu, Anit keluar bentar ya. Mau ke cafe beli cookies aja. Nggak lama kok. Assalammualaikum.” Pamit Anit pada ibunya yang tengah berbincang dengan kakaknya.
“Iya, waalaikummussalam, hati-hati.” Jawab dua wanita tersebut disela obrolannya.
Nazeen yang mendengar Qanita hendak membeli cookies, ia pun berlari ke arah pintu depan rumahnya.
“Kakak mau beli cookies kan ? Sekalian yah aku juga mau. Abang juga kayaknya mau.” Ucap Nazeen.
Qanita yang tadi sibuk bersenandung sambil menaiki motornya, tiba-tiba berhenti saat mendengar ucapan Nazeen yang ditujukan padanya.
Dengan santainya Qanita menjulurkan tangan kanan dan memperlihatkan telapaknya sambil berbicara “Uangnya mana ?”
“Pake uangnya kakak lah, pelit banget sih jadi kakak.” Sergah Nazeen pada kakaknya.
“Biarin, wleeee.” Qanita berbalik sambil menjulurkan lidahnya, membuat adiknya semakin kesal saja.
Nazeen yang ditinggal dengan wajah murung dan kesal masuk ke dalam rumah. Didapatinya Maya dan Syiffa masih asyik berbincang.
“Bu minta uang. Mau beli cookies, kak Anit nggak mau beliin. Kalau nggak ada uangnya.”
Mendengar ucapan putra bungsu membuat Maya tersenyum. Hendak berbicara namun sudah dipotong oleh suaminya yang sedang membaca segera menghentikan aktivitasnya.
“Tenang Zeen, mana tega kakakmu itu. Tunggu saja nanti dia akan membawanya untukmu.” Kata Abdillah dan meneruskan membaca.
“Iya yah, mana tega dia sama adiknya yang ganteng ini.” Ucap Nazeen dengan pedenya.
Maya dan Syiffa yang melihat ekspresi Nazeen hanya bisa tersenyum geleng-geleng.
***
Tak berapa lama Qanita sampai didepan cafe langganannya. Diapun melangkahkan kaki ke dalam cafe dan memesan beberapa cookies. Kemudian ia menunggu dikursi yang sudah disediakan. Sedangkan cafe yang dimaksudkan Royyan tak lain adalah cafe langganan Qanita. Kini ia tengah berada di atas motor matic miliknya karena enggan masuk sambil menunggu Arsen yang sudah terlebih dulu diinfokan. Dari kejauhan dilihatnya sebuah motor sport semakin mendekat, dan benar saja itu adalah Arsen yang ditunggunya dari tadi.
Didalam cafe, Qanita yang merasa namanya dipanggil beranjak dari tempat duduk dan mengambil pesanannya. Kemudian keluar setelah memberikan sejumlah uang kepada kasir. Diapun berjalan menuju motornya yang berada tepat disebelah sebuah motor sport, yang masih menyala menandakan pemiliknya baru saja sampai karena saat dia sampai tak mendapati motor tersebut disebelah motornya. Dua laki-laki disampingnya tengah berbincang namun, tak digubris sama sekali olehnya.
“Tuh belakang motormu kenapa eh?” Tanya Royyan, sambil matanya mengamati lecet dibelakang motor Arsen.
Arsen yang baru saja melepas helmnya “kemarin pas mau masuk ke perumahan, ada cewek nggak jelas dan aneh nabrak belakang motorku, belum sempat ku perbaiki, besok-besok aja.”
“Laaaah, kenapa nggak minta tanggung jawab tuh cewek.” Kata Royyan. “Eh tapi cantik nggak orangnya ?”
Qanita yang tepat ada disamping motor Arsen, membuatnya leluasa mendengar ucapan cowok tersebut. Namun kedua pria itu tak menyadarinya, apalagi Arsen yang sedang membelakanginya. Benar saja Qanita langsung berapi-api, seolah-olah ada kompor yang tengah menyala di atas telapak kakinya.
“Apa kamu bilang ? Cewek nggak jelas ? Cewek aneh ?” Sergah Qanita, sementara Arsen langsung membalik badannya dan dibuat kaget setengah mati tanpa bisa berbicara sedikit saja.
“Kamu juga, nyuruh minta tanggung jawab ? Nanya cantik nggaknya ?” Tatapan Qanita yang tajam kini beralih ke Royyan. Sedangkan Royyan hanya berusaha menelan salivanya tanpa bisa berkata-kata.
Masih dengan nada kesal dan berintonasi tinggi Qanita meluapkan kekesalannya pada kedua pria tersebut “Siapa yang nyuruh kamu berenti sembarangan, nggak ada aba-aba pula ? itu jalan kamu yang buat emang ? Tuh jalan punyamu emang ? Kamu liat tuh depan motorku juga lecet kayak gitu gara-gara kamu.”
Kedau pria didepannya saat ini tak bicara sepatah katapun, dan terlihat mematung. Tanpa menunggu jawaban, Qanita sudah melajukan motornya meninggalkan depan cafe. Sebelumnya ia melirik tajam dan dingin pada Arsen membuat kedua mata mereka beradu dan Qanita bergumam “Menyebalkan.” Tetapi masih bisa didengar oleh Arsen.
Sepeninggal gadis tersebut keduanya masih saja terlihat begong dan mematung dengan kejadian beberapa detik lalu. Arsen tak bisa menyembunyikan keterkejutannya bahwa gadis kemarin adalah Qanita, ditambah pula dengan tatapan Qanita yang dingin membuat jantung Arsen berdegub kencang. Hingga lamunannya dibuyarkan oleh Royyan yang telah sadar lebih dulu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments