“Laaah, lecet dong depan motorku, astaga tuh orang yah.” Omel Qanita berlanjut walaupun sudah sampai dirumah dengan selamat.
“Assalamualaikum, ibu, ayah, kakak, dek.” Qanita mengabsen orang-orang yang dikiranya sedang ada dirumah. Namun saat dia melangkah keruang tengah, maupun dapur tidak dijumpai orang-orang dipanggilnya tadi. Dengan muka ditekuk ia mulai menaiki anak tangga yang membawanya ke kamar.
“Looooh, Anit sudah pulang kamu dek ? Kok kakak nggak dengar salammu.” Kata sang kakak yang keluar dari kamarnya, dengan keadaan segar karena habis mandi.
Dengan tak bersemangat dan memutar bola matanya Qanita berkata “Tadi aku udah salam, dan ngabsen penghuni rumah ini, tapi nggak ada yang nyahut satupun, untung aja penghuni lainnya nggak nyahut. Udah kak aku mau bersih-bersih dulu.” Sambil berjalan kekamarnya.
“Waalaikummussalam, tadi kakak nggak dengar berarti. Ibu sama ayah, sedang ada urusan, Fateeh dama Nazeen lagi main bola dilapangan katanya. Ya udah kakak sendiri deh dirumah.” Jawab Syiffa ramah.
Qanita hanya berdehem mendengar kejujuran kakaknya tanpa mau menjawab panjang lebar, dan memilih menutup pintu kamarnya.
***
Laki-laki yang motornya tidak sengaja ditabrak oleh Qanita, kini tengah berada didepan sebuah rumah bergaya klasik.
“Hmm, rumah ini tidak pernah berubah sedikitpun.” Gumamnya saat membuka sedikit gerbang. Kemudian memarkirkan motor sportnya dan dengan langkah santai dia mulai memasuki rumah keluarganya tersebut. Dia adalah Asernio Ar Rajab, laki-laki berusia 25 tahun dengan perawakan tinggi, alis tebal, bulu mata lentik dengan manik hitam kecoklatan, hidung yang bangir dan rahang yang tegas. Terpahat begitu indah memang makhluk Tuhan yang satu ini.
“Maaa, Paaa, deek, Assalamualaikum.” Suara laki-laki yang kini tengah berada diruang tamu rumahnya.
Tak lama, terlihat wajah yang dirinduinya, dan akan selalu membuatnya rindu. Siapa lagi jika bukan sang mama yang dengan senyum mengembang sempurna menyambut kepulangan putra sulungnya tersebut.
“Waalaikumussalam, putra mama pulang. Kamu sama siapa ?” Jawab Diana yang disalami oleh putranya.
“Papa mana ma, si cempreng sama Azel juga mana ma ?” Kata Arsen sambil celingak celinguk mencari ketiga orang yang ditanyainya. “Arsen pulang sendiri pake motor.”
Belum sempat sang mama menjawab pertanyaannya, kini ruang tersebut diselimuti oleh suara tak asing sekaligus memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya.
“Kakaaaaak, Ica kangeeen.” Suara gadis tersebut yang sambil berlari kearah mama dan kakaknya.
“Astaga Ca, nggak usah teriak-teriak sayang ini sudah mau Magrib.” Kaka Diana menasehati putrinya.
“Hehehe, maaf ma, abisnya Ica seneng banget kakak pulang.” Sambil memeluk Arsen dengan eratnnya.
Melihat sang kakak yang hanya tersenyum dengan kelakuannya, namun matanya sedang mencari sesuatu.
“Papa lagi santai dibelakang rumah, Azel lagi bersih-bersih dikamarnya. Irtiza, adik kakak yang paling cantik sedang memelukmu.” Kata-kata tersebut kelaur dari mulutnya seolah-olah tanpa jeda.
Sedangkan laki-laki yang sudah dilepas peluknya oleh sang adik, hanya ber Ooo ria mendengar penjelasan dari adiknya.
“Kamu bersih-bersih ya nak, ini mau Magrib biar ntar bisa berjamaah ke masjid sama papa juga sama Azel.” Kata sang mama dan berjalan kearah belakang rumahnya untuk memanggil sang suami bahwa waktu Magrib akan segera tiba. Namun langkahnya terhenti “Kamu pulang pake motor sendiri ? kenapa nggak minta Andri yang nganter ?”
“Iya ma, Arsen lagi pengin aja. Kasian juga Andri bolak balik nganter Arsen.” Jawab Arsen.
Diana hanya mengaggukkan kepalanya dengan alasan yang diberikan Arsen, dan melanjutkan jalannya.
“Kakak kenapa pulang nggak bilang-bilang emangnya kerjaan kakak bisa ditinggal ?” Tanya Irtiza yang akan menutup pintu deepan rumahnya.
“Kakak sudah menyerahkan tugas yang sekiranya bisa dikerjakan pada asisiten kakak, ini kakak pulang ya karena kerjaan disini lebih butuh kakak. Perusahaan yang kakak pegang disana kan cabang dek, ini kakak disuruh balik buat megang kantor pusat kata papa. Sebenarnya kakak males sih pulang lebih enak dicabang.” Arsen menjawab pertanyaan adiknya, agar tak menanyakan hal yang sama lagi dilain waktu. Sambil berjalan ke kamar pribadinya.
Irtiza hanya mengangguk paham, entah apakah sebenarnya ia paham atau tidak.
Matahari telah kembali keperaduannya, senja mulai menampakkan diri, orang-orangpun mulai kembali ketempat tinggalnya setelah meniti penat jalanan dan mengais rezeki. Adzanpun kini terdengar sepanjang pendengaran mampu menangkapnya. Keluarga Saad kini bersiap-siap untuk melaksanakan keawajibannya. Seperti biasa Saad dan Azel akan berjamaah di masjid sedangkan Diana dan Irtiza berjamaah dirumah.
“Arsen, ayo ke masjid bareng papa sama adikmu.” Suara sang papa yang sedang menunggunya di lantai dasar rumah.
Tak lama setelah itu terlihat Arsen dengan sarung, baju koko, dan peci hitam di atas kepalanya. Pemandangan itu sanggup membuat hati dan mulut wanita menjerit ingin memiliki laki-laki tampan tersebut.
***
Sepulang dari masjid ketiga pria itu berjalan santai sambil sesekali mengobrol ringan dan diselingi gelak tawa ketiganya. Dibukanya gerbang rumah oleh adik bungsunya, kemudian dilihat belakang motor sport kakaknya yang lecet cukup parah entah karena apa.
“Belakang motornya abang kok lecet parah gtu bang, kenapa ?”
Saadpun mengalihkan pandangannya kearah yang sama dengan Azel. Segera Arsen menjawab pertanyaan adiknya dan tatapan papanya.
“Tadi ada cewek nggak jelas nabrak belakang motor Arsen, orang dia yang nabrak dia yang marah-marah.” Jawab Arsen yang dengan datar.
“Waaah, cantik nggak bang ?” timpal sang adik.
“Ya mana abang tahu, orang dia pake helm terus pake masker lagi.” Jawab Arsen, yang mengikuti papannya menuju depan pintu rumah.
“Iya kali bang.” Balas Azel.
“Assalammualaikum.” Salam ketiga pria itu bersamaan.
“Kamu ya dek, jangan sibuk urus cewek aja. Kamu masih kecil, sekolah yang benar dulu.” Kata Saad tanpa ba bi bu kepada anak bungsunya tersebut.
Mendengar ucapan sang papa, Azel hanya tersenyum getir. Beberapa saat setelah itu terdengar suara pintu dibuka dan jawaban salam dari ketiga pria tersebut.
“Waalaikummussalam, eh udah pulang. Langsung ke meja makan aja pa, mama udah nunggu disana.” Kata Irtiza.
Keluarga tersebut sedang menikmati makan malam sambil sesekali diselengi obrolan ringan.
“Hm, pa tadi itu Om Abdillah, Fateeh, sama Nazeen kan yah. Fateeh nggak berubah ya pa. tetap aja dingin, sama kayak Om abdillah, kalau Nazeen mah selengeannya udah dari dulu.” Kata Arsen sambil mengingat jika dia sudah tak bertemu dengan keluarga sahabat papanya sudah hampir tiga tahun.
Arsen memang jarang pulang kerumah orang tuanya, dengan alasan pekerjaannya menumpuk dan berbagai alasan lainnya. Bahkan hampir tiga tahun terkahir ia tak pulang sama sekali. Alasan sibuk dan pekerjaan hanya dijadikan sebuah tameng karena ada seseorang yang ingin dihindarinya sampai saat ini.
“Iya itu kelaurganya Om Abdillah kak. Hm oh iya, kalau kak Fateeh itu belum seberapa cueknnya. Banding kak Anit ihhh, kadang kayak es balok, kadang kayak Singa kelaparan. Apalagi kalau sama cowok. Hiiii judesnya juga minta ampun. Azel aja takut dekat dia.” Cerocos Azel seperti mulutnya tidak mempunyai filter.
“Heeeee, Anit nggak kayak gtu tau. Kamu aja yang mikir gitu.” Jawab Irtiza membela sahabat kecilnya didepan keluarganya.
Mendengar perkataan Azel membuat Arsen tersenyum kecil dan bergumam “Dia masih seperti dulu, tidak berubah sama sekali.”
***
Malam kini berganti pagi yang diiringi dengan warna orange dan tetap menjadi salah satu bagian favorit bagi Qanita untuk menikmati salah satu ciptaan sang Pencipta. Tanpa dia sadari ada sosok laki-laki yang memperhatikannya namun tak berani menegurnya. Laki-laki itu adalah Arsen yang memendam perasaan sekian lama pada Qanita. Entah sebab apa dari dulu gadis yang dipandaginya itu tidak menyukainya. Katanya Arsen playboy dan suka mempermainkan hati perempuan.
Pernah Arsen mengutarakan perasaannya kepada Qanita, bukannya ditanggapi dengan serius namun dengan tertawa yang mengisyaratkan akan sindiran. Ia tak tak menyangka jika target cinta dari seorang Arsen selanjutnya adalah dia, tentu ia tahu bahwa Arsen hanya akan mempermainkannya, dengan tanpa basa basi dia menolak mentah-mentah perasaan Arsen.
Mulai saat itu Arsen memilih menghindarinya, termasuk kuliah diluar kota dan meneruskan cabang perusahan papa nya disana. Memang tak bisa dipungkiri dengan wajah tampan seperti yang dimiliki Arsen membuat banyak gadis yang ingin menjadi pacarnya belum lagi kekayaan keluarganya. Hal itu menjadikan Arsen semakin digilai gadis-gadis, itulah yang membuatnya dengan mudah bergonta ganti pacar semenjak Sekolah Menengah Pertama.
Qanita merasa ada yang memperhatikannya, kemudian melihat kearah orang tersebut. Sedangkan Arsen masih mematung tak menyadari bahwa gadis tersebut tengah melihat kearahnya. Kedua mata mereka beradu pandang sesaaat, Arsen merasakan detakan jantungnya begitu cepat. Berbeda dengan laki-laki tesebut Qanita memandangnya tidak suka. Segera ia membalik badan dan masuk kerumah meninggalkan laki-laki didepan rumahnya dengan baju lari.
“Apakah kamu sebenci itu padaku Qa, sefatal itukah salahku ?” Gumam Arsen sambil sedikit berlari kearah rumahnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07:10, itu berarti Qanita harus segera berangkat kerja, meskipun usaha tersebut milik sang ayah namun tak membuatnya bermalas-malasan. Saat hendak menaiki motor maticnya, pandangannya tertuju pada lecet cukup parah karena kejadian kemarin sore. Belum hilang kesalnya kini indra penglihatnnya disajikan dengan pemandangan yang lewat depan rumahnya. Irtiza sahabatnya sedang diboncengi oleh laki-laki dan juga mengendarai motor yang sama seperti kemarin.
“Ooooo jadi dia yang berenti mendadak kemarin itu sampai motorku kayak gini, dasar laki-laki minim akhlak.” senewennya pagi-pagi dan berangkat kerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments