NovelToon NovelToon

Kisah Ini Bernama Cinta

Bab 1 Pagi Hari

Panggilan Ilahi Robbi menggema diseluruh penjuru, dan sepanjang yang tertangkap oleh indra pendengaran Qanita Abdillah, gadis manis yang berkulit sawo matang, dengan wajah Arab seperti perawakan ayahnya Abdillah,yang memang memiliki darah timur tengah.

Wajahnya dihiasi dengan alis tebal dan rapi bak Semut yang sedang berjalan beriringan, manik mata yang coklat dan meneduhkan sepertinya ibunya Maya Abdillah, hidung bangir khas Arab, dan bibir yang merah laksana delima merekah, tak ketinggalan lesung pipit dikedua pipinya. Setelah disunguhi dengan dunia mimpi kini Qanita perlahan menuruni tempat ternyamannya untuk beristirahat menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan berwudhu. Sekembalinya dari kamar mandi terdengar suara ketukan pintu dari balik kamarnya.

Tok tok tok

“Anit (panggilan akrab Qanita), sudah bangun kamu sayang ?” suara sang ibu yang senantiasa membangunkannya setiap hari, walaupun sebenarnnya Qanita telah bangun sedari tadi.

“Iya bu, ini Anit lagi siap-siap, sebentar lagi turun ke Mushollah”. Setelah merasa ibunya sudah berjalan terlebih dulu ke Mushollah yang ada didalam rumah, Qanita buru-buru mengenakan jilbab instannya untuk menutupi rambut hitam legam sebahunya itu. Kemudian setengah berlari menuruni anak tangga dan menuju Mushollah. Sementara ayah dan kedua adiknya (Al Fateeh Abdillah dan Nazeen Abdillah) sudah berada diambang pintu rumahnya untuk sholat subuh berjamaah di masjid yang terletak tak jauh dari rumah mereka.

Setelah selesai menunaikan kewajibannya sebagai seorang umat beragama yang taat, Qanita dan ibunya melipat mukenah yang sudah dilepas. Ibunya membuka pembicaraan antara wanita beda generasi itu.

“Anit, apa kakakmu syiffa dan suaminya hari ini jadi berkunjung sayang ?”

Sekilas Qanita melihat ibunya “Iya bu, Insya Allah kak Syi sama abang Fay datang kok”. Jawab Qanita dan beranjak dari Mushollah kembali kekamarnya untuk membersihkan kamarnya.

Setelah dari kamarnya Qanita menuju ruang tamu rumahnya untuk mematikan lampu yang sekiranya sudah tidak diperlukan lagi cahayanya, kemudian membuka gorden dari jendela-jendela rumahnya. Sementara sang ayah dan kedua adiknya tengah berbincang sepanjang perjalanan kembali kerumahnya.

Tatapannya terangkat dan menangkup cahaya orange yang masih samar-samar diufuk timur, mendandakan bahwa sebentar lagi sang pemilik cahaya akan keluar dari peraduannya, dipandangi langit yang masih setangah gelap itu dengan rasa kagum sembari berkata Masya Allah, sungguh indah ciptaan_Mu.

Ketiga pria yang dicintai oleh Qanita melihat aktivitasnya itu sembari tersenyum. Mereka menyadari bahwa melihat matahari terbit adalah salah satu hal yang paling disukai oleh gadis yang sedang berdiri dipelataran rumahnya tersebut.

“Tuh kepala jangan terlalu diangkat kak, ntar nggak bisa balik lagi, matanya juga jangan terlalu melotot ntar copot.” Kata Nazeen yang dibarengi dengan suara kekeh pelan dari ayah dan saudara laki-laki satunya lagi.

“Apaansih dek, ganggu aja.” Ucap Qanita yang memperlihatkan wajah kesalnya sambil menyunggingkan sebelah bibirnya menendakan ketidaksukaannya. Merasa diganggu, Qanitapun kembali masuk ke rumah yang diiringi oleh ketiga pria yang tadi tekekeh melihat wajah kesalnya pagi-pagi.

“Assalamualaikum.” Ucap ketiga pria itu bersamaan.

‘Walaikumussalam.” Jawab Qanita tanpa menoleh kearah sumber suara.

“Loh loh, Anit kenapa sayang ? kok keliatan kesal gitu ? Sambut Maya yang melihat wajah kesal anak gadisnya yang tengah berjalan menuju kearahnya yang sedang menyiapkan sarapan.

“Tuh bu, Zeen tuh ngeselin tau, orang Anit lagi mengagumi ciptaan Allah eh malah digangguin.” Ucap Qanita.

“Iya kan Kak Anit sih, mendongaknya tinggi, pake melotot segala lagi. Padahal tiap hari ngeliat sunrise.” Timpal sang adik dari ruang tengah rumahnya.

“Biarin.” Jawab Qanita ketus.

Perdebatan kecil antara kedua anaknya itu membuat suasana kediaman keluarga Abdillah jadi rame pagi-pagi.

“Sudah-sudah, pagi-pagi kok rame sih. Nggak baik.” Kata sang ayah menengahi kedua anaknya tersebut. “Zeen kamu siap-siap gih, tuh abangmu sudah kekamar buat siap-siap sekolah tuh.”

“Eh iya, yah.” Jawab Zeen yang setengah berlari kearah saudaranya yang sedang menaiki tangga menuju lantai dua “ Abang yah kebiasaan tauk, main tinggal nggak bilang-bilang”.

“Iya siapa suruh asyik debat aja sama kak Anit.” Jawab Fateeh to the point.

Suara berisik yang terdengar dari arah tangga tersebut membuat ketiga orang dewasa yang sedang berada dilantai satu geleng-geleng sambil tersenyum.

Qanita melihat jam dinding yang menggantung didapur dan menunjukkan pukul 06:00, menandakan bahwa ia harus segara siap-siap untuk keusaha peternakan dan produsen daging milik keluarganya yang saat ini tengah pesat-pesatnya berkembang.

Setelah hampir satu jam berada dikamarnya sembari bersiap-siap Qanita turun kelantai dasar rumahnya tempat kedua orang tua dan kedua saudara laki-lakinya (yang satu cueknya minta ampun, yang satunya lagi usilnya Nauzubillah) tengah menikmati sarapnnya. Tak lama setelah Qanita mendaratkan dirinya dikursi meja makan, samar-samar terdengar suara orang memberi salam.

“Assalamualaikum.” Salam Syiffa dan Rafay bersamaan.

‘Waalaikumussalam.” Jawab kelima orang yang sedang berada diruang makan tersebut.

Naluri seorang ibu tidak dapat dibohongi, apapun yang terjadi dengan anaknya pasti terasa dalam dirinya, termasuk mengenali suara anak sulungnya yang kini berada didepan kediaman mereka. Dengan segera Maya melangkah kearah sumber suara, dan melihat putri cantiknya yang kini tengah menanti anak pertamanya lahir beberapa bulan lagi.

“Ibu, apa kabar ?” Sapa Syiffa sembari mencium tangan dan memeluk Maya.

“Baik sayang” Jawab Maya “cucu ibu apa kabar ?” Tangannya mengusap perut putrinya dengan kasih. Sedangkan Syiffa hanya tersenyum menandakan bahwa bayi dalam kandungannya baik-baik saja.

“Ibu.” Kata menantunya yang berada disamping istrinya.

Rafay melepas tas jinjing dan menyalami mertuanya.

Setelah itu mereka bertiga melangkah masuk dan segera bergabung dengan yang lainnya. Senyum lembut dan tulus diulas oleh mereka yang telah menunggu Syiffa dan Rafay diruang makan.

***

“Ayo kak Syi, bang Fay, sarapan.” kata Fateeh kepada kedua kakaknya, seraya diangguki oleh yang lainnya.

Syiffa dan Rafay yang memang belum sarapan namun membawa bekal dari rumahnyapun ikut sarapan dengan yang lainnya.

“Fay, tugasmu berapa hari diluar kota nak ?” Tanya Abdillah membuka pembicaraan disela suapannya.

“Kira-kira satu minggu yah, saya mau titip Syi disini yah, kasian kalau dirumah sendirian apalagi sekarang tengah mengandung.” Jawab Rafay dan mengutarakan maksudnya kepada mertuanya.

Abdillah yang sudah mengetahui maksud menantunya hanya mengangguk tanda menyetujui.

Setelah sarapan, Rafay pamit pada orang yang berada dirumah karena transportasi kantornya datang menjemput. Sementara Fateeh dan Nazeen akan diantar oleh ayahnya kesekolah, mengingat mereka belum diperbolehkan untuk berkendara sendiri. Namun, untuk pulang sekolah biasanya mereka akan naik transportasi umum, jika ayahnya berhalangan menjemput, atau ada kegiatan sekolah lainnya yang mengharuskan pulang terlambat.

Dirumah tersebut hanya tinggal tiga orang perempuan beda generasi tengah berbincang-bincang kecil. “Eh, udah jam segini aja. Anit berangkat dulu yah, Assalamualaikum”. Pamitnya kemudian mencium tangan Maya dan Syiffa. Ia hampir saja lupa waktu dan terlambat bekerja.

Bab 2 Awal Kisah

Lain pula dengan kediaman Abdillah, didepan sebuah rumah yang cukup mewah bergaya klasik tengah berjalan seorang gadis dengan balutan gamis berwarnah peach dan penutup kepala warna senada ditemani oleh wanita paruh baya.

“Ca (panggilan akrab Irtiza Ar Rajab), biar ayah saja yang ngantarin kamu sayang, nanti kamu telat loh ke kampus.” Kata wanita tersebut yang mengkhawatirkan putri satu-satunya itu.

“Maaaa, papa kan nggak searah sama kampusnya Ica, masa papa harus putar balik, ntar papa telat meetingnya.” Elak Irtiza. Dia memang gadis yang tumbuh menjadi sosok pengertian, walaupun cerewet dan terkesan ceroboh.

“Nggak kok sayang, dari pada kamu naik transportasi umum dan nunggu lama, ntar terlambat lagi, ayo papa antar sekalian nih adikmu sama papa juga.” Jawab Saad, laki-laki paruh baya yang selalu terlihat ramah dan sabar.

“Nggak paaa, papa berangkat aja sama dek Zel. Udah Ica jalan dulu. Assalamualaikum.” Pamit dan menyalami kedua orang tua serta memberi senyum pada adiknya yang menunggu dimobil bersama sang ayah.

“Waalaikumussalam, hati-hati nak.” Jawab Saad dan Diana berbarengan.

Irtizapun berjalan keluar halaman rumah dan matanya memicing setelah melihat seorang gadis yang tidak asing terlihat dari balik pagar rumahnya.

“Aniiiiiiiit.” Panggil Irtiza dengan suara khasnya yang melengking, mampu membuat kedua orang tua dan adiknya terkaget, hingga Qanita menoleh pada sahabatnya dari kecil itu.

Dengan setengah berlari Irtiza menghampiri Qanita

“Aku nebeng yah, motorku dibengkel, aku nggak mau diantar papa kasian ntar harus putar balik kekantornya. Apalagi pagi ini ada meeting. Kan kantormu searah dengan kampusku.” Cerocos Irtiza yang tanpa instruksipun sudah menjelaskan keadaannya.

“Assalamualaikum. Ya udah, nih helmnya. Cepet naik, katanya takut terlambat.” Jawab Qanita sembari memberi helm yang tetap tersedia di motornya kepada sahabatnya.

“Hehehe, Waalaikummussalam. Iye, iye. Bawel bet dah. Lagi PMS yah situ ?” Timpal Irtiza.

Qanita yang enggan beradu agumen dengan Irtiza pagi-pagi, memilih diam dan melajukan motor maticnya keluar dari arah perumahan mereka.

Sementara Saad menyalakan mesin mobilnya, setelah melihat anak gadisnya diantar (tidak, tidak, menebeng maksudnya) dengan Qanita.

“Ya udah, papa sama Azel berangkat dulu yah ma. Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam, hati-hati paa.” Jawab Diana dan kembali ke dalam rumah setelah suami dan anaknya berangkat.

Sesampainya dikantor, tentu setelah menurunkan Irtiza didepan kampusnya. Qanita mulai disibukkan dengan berkas-berkas dan pengawasan pada usaha ayahnya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan nantinya. Memang Abdillah mempercayakan beberapa tugasnya kepada anak keduanya itu. Qanitapun patut diacungi jempol melihat dia belajar dan dapat beradaptasi dengan pekerjaannnya bergitu cepat, juga tak terlihat mengeluh ataupun mengaduh sedikitpun pada ayahnya.

Tak terasa waktu pun berlalu, pagi berganti siang, dan kini siang berganti sore. Datangnya sore menandakan kerja hari ini akan segera berakhir. Dengan wajah yang terlihat cukup lelah, namun tak membuat gadis itu kehilangan parasnya yang mempesona. Sembari bersandar dikursi yang dan sedang menatap meja kerjanya yang sedikit berantakan.

“Pyuuuh, capek banget ya Allah. Gini amat yah rasanya nyari uang, padahal dulu kalau mau uang tinggal minta aja, pantesan dulu ayah selalu bilang beli yang penting saja, jangan boros. Ternyata gini yah capeknya kerja. Huuuft.” Kata Qanita sambil membereskan meja kerjanya. Setelah itu iapun berjalan menuju parkiran dan mengendarai motor matic yang membawanya ke rumah.

Meskipun ia memiliki paras yang cukup rupawan dan mempesona namun malah menjadikannya sangat cuek dengan lawan jenis, termasuk juga dengan beberapa karyawan ayahnya yang ingin mendekatinya. Maka dengan siap siaga ia akan menepis laki-laki yang berniat mendekatinya. Hal itu membuat seluruh karyawan ayahnya tahu bagaimana terhadap lawan jenisnya.

Sepanjang jalan Qanita fokus pada jalanan yang dilalui, hingga saat akan masuk ke area perumahannya, sebuah motor sport berhenti mendadak, dan tanpa sengaja ia menabrak belakang motor tersebut.

Braaaak,,,

“Astagfirullahalazim, mas kalau berhenti tuh jangan mendadak, ngasih aba-aba dulu dong. Duuuh.” kata Qanita dengan ketus, sambil mengangkat kaca helmnya tanpa berniat turun dari motor dan melihat siapa yang berhenti mendadak didepannya.

Laki-laki yang berada didepannya pun tak kalah kaget dengan kejadian tersebut, namun berusaha tampil se-cool mungkin untuk menutupinya. Tanpa rasa bersalah ia tak menghiraukan gadis yang sedang mengomel dan malah sibuk dengan orang yang berada diujung teleponnya itu.

Seakan kata-kata yang keluar dari mulut Qanita hanya angin lalu. Merasa kesal akhirnya Qanita pergi meninggalkan pria yang tengah sibuk berbicara melalui HPnya.

“Assalamualaikum, lain kali berenti ngasih aba-aba dulu yah.” Kata Qanita yang dibuat semanis mungkin, tanpa melepas masker yang menutupi sebagian wajah manisnya itu.

“Astaga, aku udah bilang kemarin ke kamu. Apa pendengaranmu mendadak tidak berfungsi saat mendengar uacapanku kemarin ?” Bentak laki-laki tersebut entah pada siapa yang berada diujung teleponnya, kemudian memutuskan panggilan tanpa salam.

Setelah menutup telepon, ia melihat wanita yang kesal karena ulahnya sudah berada beberapa meter didepan dan tengah mengendarai motor maticnya kembali. Diperhatikan belakang motornya yang lecet karena ditabrak oleh wanita tersebut dan berteriak, “Woy, wooooy, motor ku lecet. Tanggung jawab woy.” Sia-sia pria itu berteriak, gadis berjilbab coklat itu jangankan putar balik menoleh saja tidak.

“Siapa suruh berhenti mendadak”. Omel Qanita.

Bab 3 Bertemu

“Laaah, lecet dong depan motorku, astaga tuh orang yah.” Omel Qanita berlanjut walaupun sudah sampai dirumah dengan selamat.

“Assalamualaikum, ibu, ayah, kakak, dek.” Qanita mengabsen orang-orang yang dikiranya sedang ada dirumah. Namun saat dia melangkah keruang tengah, maupun dapur tidak dijumpai orang-orang dipanggilnya tadi. Dengan muka ditekuk ia mulai menaiki anak tangga yang membawanya ke kamar.

“Looooh, Anit sudah pulang kamu dek ? Kok kakak nggak dengar salammu.” Kata sang kakak yang keluar dari kamarnya, dengan keadaan segar karena habis mandi.

Dengan tak bersemangat dan memutar bola matanya Qanita berkata “Tadi aku udah salam, dan ngabsen penghuni rumah ini, tapi nggak ada yang nyahut satupun, untung aja penghuni lainnya nggak nyahut. Udah kak aku mau bersih-bersih dulu.” Sambil berjalan kekamarnya.

“Waalaikummussalam, tadi kakak nggak dengar berarti. Ibu sama ayah, sedang ada urusan, Fateeh dama Nazeen lagi main bola dilapangan katanya. Ya udah kakak sendiri deh dirumah.” Jawab Syiffa ramah.

Qanita hanya berdehem mendengar kejujuran kakaknya tanpa mau menjawab panjang lebar, dan memilih menutup pintu kamarnya.

***

Laki-laki yang motornya tidak sengaja ditabrak oleh Qanita, kini tengah berada didepan sebuah rumah bergaya klasik.

“Hmm, rumah ini tidak pernah berubah sedikitpun.” Gumamnya saat membuka sedikit gerbang. Kemudian memarkirkan motor sportnya dan dengan langkah santai dia mulai memasuki rumah keluarganya tersebut. Dia adalah Asernio Ar Rajab, laki-laki berusia 25 tahun dengan perawakan tinggi, alis tebal, bulu mata lentik dengan manik hitam kecoklatan, hidung yang bangir dan rahang yang tegas. Terpahat begitu indah memang makhluk Tuhan yang satu ini.

“Maaa, Paaa, deek, Assalamualaikum.” Suara laki-laki yang kini tengah berada diruang tamu rumahnya.

Tak lama, terlihat wajah yang dirinduinya, dan akan selalu membuatnya rindu. Siapa lagi jika bukan sang mama yang dengan senyum mengembang sempurna menyambut kepulangan putra sulungnya tersebut.

“Waalaikumussalam, putra mama pulang. Kamu sama siapa ?” Jawab Diana yang disalami oleh putranya.

“Papa mana ma, si cempreng sama Azel juga mana ma ?” Kata Arsen sambil celingak celinguk mencari ketiga orang yang ditanyainya. “Arsen pulang sendiri pake motor.”

Belum sempat sang mama menjawab pertanyaannya, kini ruang tersebut diselimuti oleh suara tak asing sekaligus memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya.

“Kakaaaaak, Ica kangeeen.” Suara gadis tersebut yang sambil berlari kearah mama dan kakaknya.

“Astaga Ca, nggak usah teriak-teriak sayang ini sudah mau Magrib.” Kaka Diana menasehati putrinya.

“Hehehe, maaf ma, abisnya Ica seneng banget kakak pulang.” Sambil memeluk Arsen dengan eratnnya.

Melihat sang kakak yang hanya tersenyum dengan kelakuannya, namun matanya sedang mencari sesuatu.

“Papa lagi santai dibelakang rumah, Azel lagi bersih-bersih dikamarnya. Irtiza, adik kakak yang paling cantik sedang memelukmu.” Kata-kata tersebut kelaur dari mulutnya seolah-olah tanpa jeda.

Sedangkan laki-laki yang sudah dilepas peluknya oleh sang adik, hanya ber Ooo ria mendengar penjelasan dari adiknya.

“Kamu bersih-bersih ya nak, ini mau Magrib biar ntar bisa berjamaah ke masjid sama papa juga sama Azel.” Kata sang mama dan berjalan kearah belakang rumahnya untuk memanggil sang suami bahwa waktu Magrib akan segera tiba. Namun langkahnya terhenti “Kamu pulang pake motor sendiri ? kenapa nggak minta Andri yang nganter ?”

“Iya ma, Arsen lagi pengin aja. Kasian juga Andri bolak balik nganter Arsen.” Jawab Arsen.

Diana hanya mengaggukkan kepalanya dengan alasan yang diberikan Arsen, dan melanjutkan jalannya.

“Kakak kenapa pulang nggak bilang-bilang emangnya kerjaan kakak bisa ditinggal ?” Tanya Irtiza yang akan menutup pintu deepan rumahnya.

“Kakak sudah menyerahkan tugas yang sekiranya bisa dikerjakan pada asisiten kakak, ini kakak pulang ya karena kerjaan disini lebih butuh kakak. Perusahaan yang kakak pegang disana kan cabang dek, ini kakak disuruh balik buat megang kantor pusat kata papa. Sebenarnya kakak males sih pulang lebih enak dicabang.” Arsen menjawab pertanyaan adiknya, agar tak menanyakan hal yang sama lagi dilain waktu. Sambil berjalan ke kamar pribadinya.

Irtiza hanya mengangguk paham, entah apakah sebenarnya ia paham atau tidak.

Matahari telah kembali keperaduannya, senja mulai menampakkan diri, orang-orangpun mulai kembali ketempat tinggalnya setelah meniti penat jalanan dan mengais rezeki. Adzanpun kini terdengar sepanjang pendengaran mampu menangkapnya. Keluarga Saad kini bersiap-siap untuk melaksanakan keawajibannya. Seperti biasa Saad dan Azel akan berjamaah di masjid sedangkan Diana dan Irtiza berjamaah dirumah.

“Arsen, ayo ke masjid bareng papa sama adikmu.” Suara sang papa yang sedang menunggunya di lantai dasar rumah.

Tak lama setelah itu terlihat Arsen dengan sarung, baju koko, dan peci hitam di atas kepalanya. Pemandangan itu sanggup membuat hati dan mulut wanita menjerit ingin memiliki laki-laki tampan tersebut.

***

Sepulang dari masjid ketiga pria itu berjalan santai sambil sesekali mengobrol ringan dan diselingi gelak tawa ketiganya. Dibukanya gerbang rumah oleh adik bungsunya, kemudian dilihat belakang motor sport kakaknya yang lecet cukup parah entah karena apa.

“Belakang motornya abang kok lecet parah gtu bang, kenapa ?”

Saadpun mengalihkan pandangannya kearah yang sama dengan Azel. Segera Arsen menjawab pertanyaan adiknya dan tatapan papanya.

“Tadi ada cewek nggak jelas nabrak belakang motor Arsen, orang dia yang nabrak dia yang marah-marah.” Jawab Arsen yang dengan datar.

“Waaah, cantik nggak bang ?” timpal sang adik.

“Ya mana abang tahu, orang dia pake helm terus pake masker lagi.” Jawab Arsen, yang mengikuti papannya menuju depan pintu rumah.

“Iya kali bang.” Balas Azel.

“Assalammualaikum.” Salam ketiga pria itu bersamaan.

“Kamu ya dek, jangan sibuk urus cewek aja. Kamu masih kecil, sekolah yang benar dulu.” Kata Saad tanpa ba bi bu kepada anak bungsunya tersebut.

Mendengar ucapan sang papa, Azel hanya tersenyum getir. Beberapa saat setelah itu terdengar suara pintu dibuka dan jawaban salam dari ketiga pria tersebut.

“Waalaikummussalam, eh udah pulang. Langsung ke meja makan aja pa, mama udah nunggu disana.” Kata Irtiza.

Keluarga tersebut sedang menikmati makan malam sambil sesekali diselengi obrolan ringan.

“Hm, pa tadi itu Om Abdillah, Fateeh, sama Nazeen kan yah. Fateeh nggak berubah ya pa. tetap aja dingin, sama kayak Om abdillah, kalau Nazeen mah selengeannya udah dari dulu.” Kata Arsen sambil mengingat jika dia sudah tak bertemu dengan keluarga sahabat papanya sudah hampir tiga tahun.

Arsen memang jarang pulang kerumah orang tuanya, dengan alasan pekerjaannya menumpuk dan berbagai alasan lainnya. Bahkan hampir tiga tahun terkahir ia tak pulang sama sekali. Alasan sibuk dan pekerjaan hanya dijadikan sebuah tameng karena ada seseorang yang ingin dihindarinya sampai saat ini.

“Iya itu kelaurganya Om Abdillah kak. Hm oh iya, kalau kak Fateeh itu belum seberapa cueknnya. Banding kak Anit ihhh, kadang kayak es balok, kadang kayak Singa kelaparan. Apalagi kalau sama cowok. Hiiii judesnya juga minta ampun. Azel aja takut dekat dia.” Cerocos Azel seperti mulutnya tidak mempunyai filter.

“Heeeee, Anit nggak kayak gtu tau. Kamu aja yang mikir gitu.” Jawab Irtiza membela sahabat kecilnya didepan keluarganya.

Mendengar perkataan Azel membuat Arsen tersenyum kecil dan bergumam “Dia masih seperti dulu, tidak berubah sama sekali.”

***

Malam kini berganti pagi yang diiringi dengan warna orange dan tetap menjadi salah satu bagian favorit bagi Qanita untuk menikmati salah satu ciptaan sang Pencipta. Tanpa dia sadari ada sosok laki-laki yang memperhatikannya namun tak berani menegurnya. Laki-laki itu adalah Arsen yang memendam perasaan sekian lama pada Qanita. Entah sebab apa dari dulu gadis yang dipandaginya itu tidak menyukainya. Katanya Arsen playboy dan suka mempermainkan hati perempuan.

Pernah Arsen mengutarakan perasaannya kepada Qanita, bukannya ditanggapi dengan serius namun dengan tertawa yang mengisyaratkan akan sindiran. Ia tak tak menyangka jika target cinta dari seorang Arsen selanjutnya adalah dia, tentu ia tahu bahwa Arsen hanya akan mempermainkannya, dengan tanpa basa basi dia menolak mentah-mentah perasaan Arsen.

Mulai saat itu Arsen memilih menghindarinya, termasuk kuliah diluar kota dan meneruskan cabang perusahan papa nya disana. Memang tak bisa dipungkiri dengan wajah tampan seperti yang dimiliki Arsen membuat banyak gadis yang ingin menjadi pacarnya belum lagi kekayaan keluarganya. Hal itu menjadikan Arsen semakin digilai gadis-gadis, itulah yang membuatnya dengan mudah bergonta ganti pacar semenjak Sekolah Menengah Pertama.

Qanita merasa ada yang memperhatikannya, kemudian melihat kearah orang tersebut. Sedangkan Arsen masih mematung tak menyadari bahwa gadis tersebut tengah melihat kearahnya. Kedua mata mereka beradu pandang sesaaat, Arsen merasakan detakan jantungnya begitu cepat. Berbeda dengan laki-laki tesebut Qanita memandangnya tidak suka. Segera ia membalik badan dan masuk kerumah meninggalkan laki-laki didepan rumahnya dengan baju lari.

“Apakah kamu sebenci itu padaku Qa, sefatal itukah salahku ?” Gumam Arsen sambil sedikit berlari kearah rumahnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 07:10, itu berarti Qanita harus segera berangkat kerja, meskipun usaha tersebut milik sang ayah namun tak membuatnya bermalas-malasan. Saat hendak menaiki motor maticnya, pandangannya tertuju pada lecet cukup parah karena kejadian kemarin sore. Belum hilang kesalnya kini indra penglihatnnya disajikan dengan pemandangan yang lewat depan rumahnya. Irtiza sahabatnya sedang diboncengi oleh laki-laki dan juga mengendarai motor yang sama seperti kemarin.

“Ooooo jadi dia yang berenti mendadak kemarin itu sampai motorku kayak gini, dasar laki-laki minim akhlak.” senewennya pagi-pagi dan berangkat kerja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!