Akhirnya Bu Sinta menanyakan pada Dokter dimana Rumah Sakit Jiwa terbaik untuk putrinya agar secepatnya bisa direhabilitasi, meskipun sedikit jauh tapi Bu Sinta dan Suaminya sepakat akan tetap membawa putrinya kesana.
Sambil menunggu rujukan dari Dokter agar bisa membawa Dinda rehabilitasi, Dinda masih tinggal di Rumah Sakit guna penyembuhan fisik pada dirinya.
Sedikit demi sedikit kesehatan Dinda sudah mulai membaik, tapi tidak dengan jiwanya, setiap hari dia hanya melamun dan tidak mau berbicara sama sekali. Badannya yang dulu kecil sekarang bertambah kurus, tatapannya selalu kosong dia jarang merespon ucapan kedua orang tuanya.
Untuk makan saja mereka dengan susah payah merayunya, sekarang tidak ada canda serta senyum di wajah Dinda, yang ada hanya kebisuannya sepi dan seperti dunia ini hampa baginya.
Empat hari sudah Dinda di rawat di Rumah Sakit hingga fisiknya benar-benar sehat akhirnya Dokter memberikan surat rujukan itu untuk Dinda agar bisa secepatnya di bawa untuk menjalani rehabilitasi di Rumah Sakit Jiwa terbaik yang berada jauh dari pusat kota.
Orang tua Dinda selalu memberikan dukungan penuh pada putrinya, walaupun sangat berat bagi mereka melepas Dinda untuk rehabilitasi dan membiarkan Dinda di rawat disana tanpa mereka.
***
Sementara itu di Rumah Sakit Jiwa Anton baru pertama kalinya bekerja disana, hatinya benar-benar tersentuh melihat pemandangan yang mungkin setiap harinya akan dia lihat, disana dia melihat banyak sekali orang yang mengalami gangguan jiwa.
Dia mulai mempelajari riwayat pasien-pasien disana, ada yang depresi karena keluarga, gila karena harta, cinta, hutang dan masih banyak yang lainnya. Didalam diri Anton bertekat akan sepenuhnya memberikan motivasi untuk mereka agar bisa bangkit dan bisa kembali hidup normal dengan keluarga mereka masing-masing.
"Siang Dok!" Dua orang perempuan memakai baju putih datang menemui Anton disana.
"Siang!"
"Maaf Dok, ini adalah rekan saya Mei yang akan mendampingi sebagai asisten anda." Anton pun tersenyum ramah disana.
"Mei, salam kenal saya Dokter Anton yang baru saja bekerja disini." ucap Anton sambil mengulurkan tangan tanda perkenalan.
"Salam kenal Dok, saya Mei, semoga saya bisa membantu anda selama anda menjalankan tugas, panggil saya, saya akan selalu siap!" ucap Mei yang menyambut uluran tangan dari Dokter Anton.
"Senang bekerja sama dengan mu Mei!" disana mereka sudah mulai akrab antara Dokter dan asistennya.
"Maaf Dok, hari ada pasien baru yang baru saja datang." Ucap Mei sambil memberikan sebuah surat rujukan dari pasien.
Disana Anton langsung menerima kertas itu, dan mulai membaca nama Pasien yang tertera pada kertas itu "Dinda Prameswati" sepertinya aku tidak asing dengan nama ini. Ucap Anton dalam hati.
"Apa Pasien sudah di tempatkan di ruang perawatan?"
"Sudah Dok."
"Mungkin besok kita akan mulai mewawancarai pasien agar kita bisa mengetahui status mental pasien, saya akan memantau pasien dengan memperhatikan sikap, suasana hati, dan perilaku pasien selama wawancara besok."
"Baik Dok, kalau begitu saya permisi!"
**
Sementara diruang perawatan yang kini Dinda tempati nampak Dinda sedang berdiri didekat jendela, tatapannya kosong tanpa arah. Kedua orang tuanya masih disana menemaninya sampai Dinda mulai ditangani dan mungkin besok mereka harus bisa melepaskan Dinda disana sendiri.
"Mas, aku tidak tega melihat putri kita seperti itu." Ucap Bu Sinta pada Suaminya matanya pun mulai berkaca-kaca melihat pemandangan putrinya yang terlihat bukan seperti Dinda yang kemarin.
"Aku juga tidak tega Bu, tapi kita harus bisa membantu Dinda sembuh dari depresinya, Dinda harus kembali seperti Dinda yang dulu, ceria dan bahagia. Kita harus membantunya melupakan Andreas."
Sementara itu dalam tatapan Dinda yang kosong tiba-tiba halusinasinya kembali hadir di fikirannya, dia seperti melihat Andreas berjalan disana.
"Bu...Ibu....sini lihat Andreas datang!!" Bu Sinta dan Pak Bagas langsung bertukar pandang setelah mendengar putrinya berbicara, sejak kemarin Dinda tidak pernah mengeluarkan suaranya sama sekali. Bu Sinta dan suaminya langsung bergegas mendekati putrinya.
"Mana sayang, mana Andreas?" Ucap Bu Sinta yang tak ingin merusak kebahagiaan putrinya.
"Itu Bu!" Ucap Dinda sambil menunjuk seseorang disana yang berjalan lurus di depan jendela, orang itu memakai baju atasan putih dan celana hitam. Bu Sinta masih mengamati seseorang itu dari kaca jendela dekat dengan putrinya.
"Benar kan Bu, apa yang aku bilang Andreas akan datang, di tidak akan bisa berjauhan dengan ku!" Ucap Dinda yang sangat antusias.
Sementara itu Bu Sinta masih melongo melihat di balik jendela "Din, itu hanya seorang Dokter laki-laki, kenapa kamu bilang dia Andreas? Gumam Bu Sinta yang sedih saat melihat putrinya yang bisa tersenyum, dan tiba-tiba saja bisa ceria.
"Iya sayang, Andreas datang. Makanya kamu cepat sembuh ya biar Andreas tidak menunggu lama disana."
"Iya Bu, tenang saja aku akan cepat sembuh." Aku tidak tega melihat Andreas menungguku terlalu lama."
Bu Sinta dan Suaminya masih terdiam disana, mereka saling melirik, mereka mempertanyakan siapa Dokter itu yang membuat Dinda sesemangat itu.
"Ya sudah kamu istirahat ya, besok Andreas sudah bisa menemanimu disini."
"Benarkah Bu, ya sudah kalau begitu aku akan istirahat biar aku cepat sembuh dan bisa bertemu lagi dengan Andreas." Dengan cepat Dinda berjalan menuju ke tempat tidurnya disana dia langsung merebahkan tubuhnya dan mulai terlelap dengan sendirinya.
Kedua orang tua Dinda bisa sedikit lega melihat perubahan pada Dinda, mereka mendapat harapan kalau Dinda bisa segera disembuhkan.
"Mas, siapa Dokter tadi yang di bilang Dinda Andreas ya?" Ucap Bu Sinta sambil berbisik.
"Aku juga tidak tahu Bu, mudah-mudahan Dokter itu bisa membuat perubahan untuk putri kita agar cepat sembuh."
"Iya Mas, aku tidak tega melihat putri kita mengalami semua ini." Bu Sinta akhirnya mulai meneteskan air matanya, kepedihannya sudah menumpuk di hatinya. Mau bagaimana pun dia tidak ingin putrinya mengalami gangguan jiwa.
"Kalau begitu aku urus dulu semua keperluan Dinda ya Bu, agar besok kita meninggalkan Dinda sudah tenang kalau semua sudah di persiapkan."
"Ya sudah Mas, kamu urus dulu semua, aku akan disini dulu menemani putri kita.
Akhirnya Pak Bagas keluar dan ingin segera menuju ke bagian administrasi, di lorong Rumah Sakit Pak Bagas melihat seorang Dokter disana yang sedang berbincang dengan rekannya, Pak Bagas dengan segera berjalan mendekati Dokter itu.
"Dok, boleh saya bicara sebentar?" Tanya Pak Bagas pada Anton.
"Silahkan Pak, ada yang bisa saya bantu!"
"Begini saya hanya ingin mengucapkan terimakasih, karena berkat anda tadi putri saya jadi mau berbicara dan mempunyai semangat lagi."
"Maksud Bapak apa ya? Saya tidak merasa membantu anda, apa anda salah orang? Soalnya saya baru bekerja sebagai Dokter disini."
"Saya tidak salah orang, saya tadi melihat anda di balik kaca disana." Sambil menunjuk ke sebuah kaca jendela kamar Dinda Pak Bagas berucap.
"Oh...Saya malah tidak tahu, kalau boleh tahu kenapa dengan putri anda ya Pak?"
"Anak saya mengalami depresi parah Dok, setelah kekasihnya meninggalkannya untuk selama-lamanya akibat kecelakaan yang menimpanya."
"Siapa pasien, maaf maksud saya siapa Nama putri anda?"
"Putri saya bernama Dinda Prameswati."
"Oh...Iya Dinda Prameswati, saya baru ingat pasien, em..putri anda maksud saya, kebetulan saya yang memegang pasien atas nama Dinda Prameswati."
"Benarkah Dok??" Tidak tau kenapa hati Pak Bagas tiba-tiba bahagia semoga putrinya mendapat penanganan dari Dokter yang tepat, sehingga putrinya bisa segera pulih dari depresinya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments