Sepulangnya dari bagian administrasi Pak Bagas segera ingin menemui istrinya di ruang perawatan putrinya. Pak Bagas pun segera membuka pintu disana dia melihat Istrinya sedang merapikan baju-baju milik putrinya, sedang Dinda nampak masih tertidur pulas disana.
"Bu!"
"Kamu sudah kembali mas, bagaimana? apa semua sudah kamu selesaikan?"
"Sudah, Oya aku tadi bertemu dengan Dokter yang dibilang Dinda Andreas itu!"
"Benarkah apa Mas sempat berbicara pada Dokter itu?"
"Benar, ternyata Dokter itu yang akan menangani putri kita Bu!"
"Yang benar Mas, jadi Dokter itu yang akan membantu penyembuhan putri kita!''
"Benar, Oya Dokter itu juga belum lama bekerja disini dia juga Dokter baru."
"Semoga Dokter itu bisa membantu Dinda agar cepat sembuh ya Mas."
Dalam tidurnya Dinda mulai mendengar percakapan kedua orang tuanya, dia mulai terbangun dan membuka matanya. Dia melihat ruangan itu tidak seperti biasanya dia berhalusinasi kembali. Ingatannya kembali teringat pada Andreas tapi disisi lain dia menganggap Andreas akan datang dan akan segera menemuinya.
Dinda akhirnya bangun dari posisi tidurnya dan kemudian berjalan menuju jendela yang tadi ia sempat berdiri, dia mencari-cari sesuatu di depan sana. Bu Sinta dan Pak Bagas segera menghentikan pembicaraan mereka.
"Mas, Putri kita?"
"Sana Ibu dekati Dinda ajak dia berbicara jangan sampai halusinasinya kembali lagi!" Bu Sinta langsung bangun dari tempat duduknya, dia langsung berjalan mendekati Dinda disana.
"Sayang kamu sedang mencari apa?"
Dinda tak merespon sama sekali ucapan Ibunya dia masih sibuk menatap keluar jendela dari matanya terlihat dia sedang mencari sesuatu.
"Sayang, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaan Ibu?" Sambil memegang pundak Dinda, Bu Sinta berbicara.
Disana Dinda hanya menoleh sebentar ke arah Ibunya dan kembali tatapannya masih tertuju ke arah luar jendela.
Hati Bu Sinta sangat sedih, putrinya yang dulu ceria dan bahagia kini berubah menjadi pendiam dan tidak mau berbicara. Bu Sinta hanya mampu menatap ke arah suaminya dengan wajah sedih.
Tiba-tiba Dinda langsung melengos dari hadapan Ibunya dan kembali duduk di tempat tidur Rumah Sakit itu. Dia masih terdiam dan dari diamnya tiba-tiba dia tersenyum sendiri dia hanya bisa memainkan rambutnya yang panjangnya sebahu itu dia putar-putar dan dia luruskan kembali. Dengan tatapan kosongnya dia terus melakukan itu.
Rasa sedih yang teramat dalam, apalagi di tinggal oleh kekasihnya yang sangat ia cintai membuat dirinya tidak bisa menerima apa yang terjadi. Hatinya benar-benar remuk redam, jiwanya benar-benar terguncang dia belum bisa melepaskan kepergian Andreas, dia masih merasa kekasihnya masih ada di dunia ini. Itulah gambaran yang bisa dilihat dari Dinda sekarang.
**
Pagi ini Anton sudah datang lebih awal ke Rumah Sakit, dia tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk segera menjalankan tugasnya sebagai Dokter, dia ingin berusaha menjadi yang terbaik untuk melayani semua orang.
Di Ruangannya, sudah nampak Mei yang sudah datang dan sedang merapikan berkas-berkas yang ada di meja Anton.
"Pagi Mei?" Disana Mei kaget dengan kedatangan Dokter Anton.
"Pagi Dok, anda sudah datang!"
"Ya, saya memang berangkat lebih awal, Oya hari ini jadwal pasien Dinda Prameswati bukan?"
"Benar ini kali pertamanya Dokter mulai menangani pasien atas nama Dinda Prameswati."
"Jam berapa konsultasinya?"
"Sebentar lagi Dok."
**
Sementara itu Dinda yang masih di dampingi orang tuanya sedang bersiap-siap menuju keruang Psikoterapi disana tahap awal pengobatan yang akan dilakukan Dinda dengan melakukan wawancara dengan Dokter.
Terapi ini dilakukan untuk mengukur beberapa aspek, seperti sudut pandang negatif terhadap situasi, pengalaman buruk yang menjadi pemicu depresi, komunikasi dan hubungan dengan orang lain, serta emosi yang dialami oleh Dinda.
"Sayang ikut Ibu ya, kita akan minta obat pada Dokter biar kamu cepat sembuh dan cepat pulang kerumah." Ucap Bu Sinta memberi semangat.
Disana Dinda tidak merespon sama sekali, dia masih terdiam dengan tatapannya yang kosong, akhirnya orang tua Dinda segera membawa Dinda keruangan Dokter.
Dinda masih saja terdiam dan masih mengikuti langkah kedua orang tuanya, dia juga tidak tau dirinya mau dibawa kemana. Setelah sampai di ruangan Dokter mereka di persilahkan untuk segera masuk kedalam.
Disana nampak Dokter Anton menyambut mereka dengan senyum ramahnya, disana Dinda masih terlihat diam tanpa merespon keadaan disana.
"Selamat pagi Dok!" Sapa Pak Bagas pada Dokter Anton di depannya.
"Selamat pagi Pak, ini bukan kah kita pernah bertemu di Rumah Sakit waktu itu? waktu putri anda pingsan?" Tanya Anton yang sepertinya benar Dinda yang pernah ia tolong waktu dia pingsan.
"Benar Dok." Ucap Bu Sinta yang membenarkan bahwa seminggu yang lalu Dokter di depannya yang sudah menolong putrinya waktu itu."
Kini Anton sudah sedikit mengerti apa yang sudah menyebabkan Dinda mengalami Depresi.
"Baik kita akan mulai Psikoterapinya ya Pak, Bu?"
"Silahkan Dok." Akhirnya Pak Bagas dan Bu Sinta segera duduk di sofa ruangan itu dan membiarkan Dinda ada di kursi di depan Dokter Anton, disana juga ada Mei yang siap mencatat apa saja hasil pemeriksaan.
Dinda masih duduk terdiam dia tidak mau menatap ke arah Dokter Anton di depannya, sedang Anton mulai memperhatikan sikap Dinda saat ini.
"Dinda, apa anda bisa mendengar saya?" Tanya Anton disana. Pertama, kedua , sampai ketiga masih terdiam.
"Wah anda asik sekali sepertinya dengan lamunan anda ya, padahal anda cantik, pintar dan murah senyum apa anda tidak ingin sembuh dan kembali melakukan aktivitas anda seperti biasa? Apa saya boleh tahu apakah anda suka jalan-jalan atau traveling kemana?"
Mendengar kata traveling Dinda sedikit merespon ucapan Anton di depannya, dia teringat Andreas dia pernah mengajaknya traveling ke Bali waktu itu.
"Ya saya pernah traveling ke Bali bersama kekasih saya!" Semua orang disana sedikit tercengang ternyata Dinda merespon ucapan Dokter di depannya.
"Oya, apakah Bali tempatnya bagus, bisa anda menceritakan hal-hal yang indah disana?"
"Ya tempatnya bagus dan Indah, dan disana jugalah kami pernah mengucap janji setia bahwa tidak akan pernah meninggalkan satu dan yang lainnya." Tapi disana Dinda tiba-tiba kembali menangis.
"Kenapa anda bersedih?" ucap Anton yang mulai mendekati Dinda sambil memberikan selembar tisu untuk mengusap air mata Dinda.
"Kekasih saya sudah pergi, dia menghianati janji kami dulu, dia pergi tanpa berpamitan, dia sungguh membuat saya kecewa!" Dengan nafas kasarnya Dinda mengeluarkan semua emosinya.
Anton mulai bisa merasakan tingkatan emosi pasien di depannya, dia bisa menyimpulkan Dinda berada di tahap Depresi berat hingga sampai terbesit mengakhiri hidupnya dengan meminum obat sampai overdosis seperti kemarin, tapi dia masih bisa di sembuhkan, dia hanya belum bisa menguasai hati dan fikirannya untuk bisa menghadapi kenyataan, dia belum bisa menerima keadaan yang terjadi. "Dinda masih bisa di sembuhkan" gumamnya.
Bersambung...
Tinggalkan jejak kalian yuk Readers...kalau kalian suka dengan cerita Author...dukungan kalian sangat berarti untuk motivasi Author....Terimakasih🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments