Awan gelap menggantung di atas desa Suko Mulyo. Gagal panen kembali menyerang, semua orang terkena dampaknya termasuk keluarga kecil Wito dan Nina. Musim panen bagi mereka, artinya adalah musim tagihan juga. Biaya untuk penggarapan lahan, yang sebelumnya mendapatkan talangan, kini mulai menyuarakan meminta pembayaran. Semua berdatangan, seperti ombak besar yang tak terhindarkan.
Wito, Suami Nina tak lagi bisa bekerja keras seperti sebelumnya semenjak lututnya mengalami penyempitan tulang beberapa bulan yang lalu. Sementara kebutuhan keluarga semakin meningkat, seiring bertambahnya usia anak mereka yang kini sudah mulai masuk masa sekolah. Sementara sawah yang mereka harapkan bisa menyambung hidup malah sudah setahun ini tak memberikan hasil baik.
Ingin berteriak, tapi malu didengar tetangga. Ingin menangis, tetapi air matanya terasa sudah kering, membuat wanita berusia tiga puluh lima tahun itu hanya bisa menahan semuanya dalam dada.
“Assalamualaikum…!”
Belum selesai berpikir tentang apa yang akan dimasak buat makan besok, suara salam dari depan pintu mengagetkannya. Nina bergegas keluar.
“Waalaikumsalam!” jawabnya. Mengerutkan kening karena merasa tak mengenal siapa yang sedang bertamu ke rumahnya di kala menjelang senja.
“Ini rumah Pak Wito ya, Bu…?” tanya tamu yang tidak dikenalnya.
“Iya, benar. Maaf, Njenengan sinten nggih…?” (Anda ini siapa?) tanya Nina.
“Kulo Slamet, Yu… (Saya Slamet, Mbak) yang punya disel di sawah Balong!” jawab orang itu.
Jantung Nina berdebar. Ini pasti tagihan pengairan sawah yang belum dibayar karena gagal panen.
“Kang Wito-nya ada, Bu…?” tanya Pak Slamet.
“Bapaknya lagi gak di rumah, Pak. Ada apa ya? Nanti saya sampaikan!” jawab Mia. Wito, suaminya memang sedang tidak di rumah, mungkin memancing di sungai mencari hiburan untuk menghilangkan stress.
“Ini mau mengantarkan tagihan air disel di sawah, Bu!” kata Pak Slamet sambil menyerahkan nota. Totalnya Rp480.000.
“Iya, nanti saya sampaikan, Pak. Maaf ya kalau nanti mungkin agak telat, seperti Bapak tahu sendiri panen musim ini gagal lagi!” ucap Nina.
“Tidak apa-apa, Bu. Semua juga mengalami hal yang sama. Saya maklum, tapi mohon disampaikan ke Kang Wito, untuk nantinya mohon di segerakan ya, Bu. Soalnya saya sendiri untuk bahan bakarnya sebagian juga ambil pinjaman di toko. Dan sawah saya sendiri juga diserang wereng seperti yang lain juga. Dan jadinya sawah saya mengalami gagal panen, jadi mohon pengertiannya ya, Bu!” Pak Slamet memohon dan menjelaskan.
“Iya, Pak. Terima kasih atas pengertiannya, dan saya benar-benar mohon maaf!” Nina merasa tak enak hati. Tapi apa boleh buat. Mereka memang tak memiliki uang.
***
“Apa ini, Mas…?” Nina menerima nota dari Wito. Suaminya itu baru saja pulang setelah hampir separuh hari menghilang.
“Tadi ketemu Pak Jono di jalan. Itu tagihan pupuk kita, Dek,” jawab Wito lalu duduk. Matanya menerawang.
Nina menyusul duduk di sampingnya. “Tadi juga Pak Slamet datang nganter tagihan air disel, Mas!” ucap Nina lirih. Keduanya nampak menghela nafas berat. Seakan ada bongkahan batu besar menghimpit dada mereka.
“Belum lagi tagihan traktor, upah pekerja dan lain-lain. Kita mau bayar pakai apa, Dek?” tanya Wito. Mereka tak punya apa-apa untuk dijual. Menggarap sawah dengan biaya yang dipinjamkan dahulu oleh pemilik peralatan mesin, dan dibayar saat panen. Tapi ternyata, panen yang diharapkan bisa menutup semua biaya, malah jauh dari harapan.
***
Mentari mulai merunduk di ufuk barat, meninggalkan langit jingga yang memudar. Nina masih duduk di beranda, jemarinya cekatan menganyam tas dari bahan anyaman plastik, sebuah usaha kecil untuk menambah pemasukan keluarga.
Pikirannya melayang pada tumpukan tagihan yang belum terbayar, beban berat yang terus membebani dadanya. Berulang kali membuang nafas berat, namun sesak di dada tak juga terurai. Sampai kemudian, suara riang anak-anak memecah lamunannya. Sinta, anak tetangga, datang bersama ibunya, Bu Asih.
"Mak Nina, Sinta main ya?" Bu Asih menyapa ramah, langsung ikut duduk di depan Nina tanpa menunggu jawaban.
Nina tersenyum, "Main aja Bu, ngapain sih pakai izin segala?" jawabnya, lalu keduanya pun tergelak bersama.
Sinta langsung berlarian masuk ke dalam rumah, sudah biasa. Sinta memang sering bermain dengan Agus anaknya Nina. Sementara Bu Asih duduk di dekat Mia. Mereka berbincang ringan tentang hal-hal remeh temeh, tentang gagal panen, tentang hujan yang tak kunjung datang, sedangkan musim pengharapan sawah sudah hampir tiba, tentang harga-harga kebutuhan pokok yang semakin melambung, dan tentang anak-anak mereka.
Sampai kemudian perlahan, Bu Asih yang sepertinya sejak tadi memperhatikan raut Nina mengalihkan pembicaraan.
"Mbak Nina, kok keliatan lesu? Ono opo to Mbak?" tanyanya dengan nada prihatin.
Nina menghela napas panjang, air matanya berkaca-kaca. Ia tak kuasa menyembunyikan kekhawatirannya. "Tanpa aku cerita pun semua orang juga tahu, Bu. Mungkin semua juga mengalami. Hanya saja mungkin aku yang paling parah.” Nina tanpa sungkan mulai bercerita. Cerita yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum.
“Tiga musim berturut-turut gagal panen. Setelah sebelumya sawah kita kering kerontang, dan padi-padi pada mati karena kurangnya curah hujan, musim lalu diserang hama tikus. Terus musim ini gagal lagi karena serangan wereng.”
“Padahal, kita sudah berhutang banyak untuk pupuk, untuk sewa traktor, untuk biaya pengairan. Semuanya menggunakan hasil panen sebagai jaminan. Tapi sekarang…” Suaranya bergetar, menahan isak tangis.
"Tambah lagi, Mas Wito juga sudah beberapa bulan dia nggak bisa bekerja keras di sawah. Cuma bisa bantu-bantu pekerjaan ringan saja. Biasanya bisa pake tenaga sendiri, sekarang harus membayar orang kerja. Agus waktunya daftar sekolah. Belum lagi kebutuhan sehari-hari, semua kebutuhan pokok naik. Bungkelen (merasa sesuatu yang sangat berat dan tidak memiliki jalan keluar) aku, Bu.”
“Aku nggak tahu harus bagaimana lagi, Bu. Rasanya sudah nggak ada jalan keluar." Air mata Nina akhirnya tumpah, membasahi pipinya. Ia merasa sangat terbebani, terhimpit oleh masalah yang tak kunjung usai. Ia merasa sangat lelah dan putus asa. Berharap dengan bercerita, bebannya akan berkurang.
Bu Asih mendengar cerita Nina dengan seksama. Tanpa keinginan untuk memotong. Dia paham betul apa yang dialami Nina. Dia pernah berada di titik ini, dulu.
"Kenapa gak nyoba cari pinjaman KUR saja, Mbak? Kalo Kamu mau, Aku punya nomornya Bu Menik, itu loh mantri BRI. Sekarang kan ada program KUR (Kredit Usaha Rakyat), Biar nanti aku hubungi Bu menik buat survei ke sini.” Bu Asih memberi satu solusi.
“Dari pada pergi ke tempat nya Mbah Suro, di sana bunganya mencekik leher.” Bu Asih menambahkan. Bu Asih sendiri pernah melihat, saudaranya hancur, jatuh bangun karena terjerat rentenir.
Nina merasa secercah harapan tiba-tiba menyinari hatinya yang gelap gulita. Apa mungkin, ini jalan keluar dari masalah yang sedang mereka hadapi. Ia menatap Bu Asih sedikit ragu, tetapi sepertinya memang tidak ada yang bisa menjadi penyelamat bagi keluarganya.
“Matur suwun, Bu. Aku akan bicarakan ini dengan mas Wito nanti.”
***
“Jadi, Kamu setuju dengan saran dari Bu Asih, Mas?” Nina bertanya sekali lagi.
“Lha terus mau cari pinjaman di mana buat nutupin hutang-hutang itu, Dek?” Wito balik bertanya.
Nina menghela nafas berat. “Sebenarnya, para ibu yang kemarin bantu tanam juga sudah nanyain kapan upah mereka diberikan, Mas.”
Tak ada pilihan lain. Tampaknya memang saran dari Bu Asih adalah satu-satunya jalan. Dan akhirnya itulah yang mereka tempuh.
***
“Aku kira prosesnya sulit, Mas. Ternyata cuma disurvei, disuruh tanda tangan, datang ke BRI, pulang bawa uang.” Nina menghempaskan tubuhnya di atas kursi usang, sepulang mereka dari BRI.
Ya, setelah melewati berbagai proses selama satu minggu, hari ini pengajuan pinjaman mereka benar-benar cair.
“Ya sudah, nanti segera bayarkan, Dek, yang upah para tetangga. Aku juga harus segera bayar pupuk dan lain-lain.”
“Semoga panen berikutnya hasilnya baik, ya Mas. Supaya kita bisa bayar angsuran.”
Satu masalah teratasi, tinggal memikirkan bagaimana selanjutnya. Karena angsuran menanti mereka.
Nina duduk di beranda rumahnya. Seperti biasa, yang dilakukannya Hanya duduk sambil menganyam tas. Karena dia memang tak memiliki pekerjaan lain. Angin kering berhembus, membawa debu-debu halus yang menyengat mata. Nina menengadah menatap langit di kejauhan.
Langit yang kian hari terasa kian tinggi, seakan-akan mengejek Nina yang memandangnya dengan sendu. Musim kemarau seharusnya sudah berakhir. Berganti dengan musim penghujan yang mendatangkan tanah basah dan subur. Namun alam seakan enggan bersahabat. Tahun ini kemarau terasa sangat panjang. Pohon-pohon meranggas, tanah kering dan gersang. Sawah-sawah menganga, retak-retak kering, menunggu setetes air hujan yang tak kunjung tiba.
Nina merasa dadanya kian sesak. Persediaan beras sudah semakin menipis. Uang pinjaman dari BRI, yang diharapkan bisa membantu mereka bertahan hingga musim panen tiba, telah habis untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Jika hujan terus tertunda, masa tanam akan semakin terlambat, dan kehidupan mereka semakin terancam. Bayangan kelaparan dan angsuran menghantui mimpi Nina setiap malam.
“Dek, aku ditawari buat kerja di tempat Mbak Romlah. Bagaimana menurutmu?” Wito yang baru saja pulang dari kumpul-kumpul dengan tetangga, mengambil tempat duduk di depan istrinya.
“Kerja apa, Mas?” Mendengar kata pekerjaan yang akan didapatkan oleh suaminya membuat wajah Nina seketika menjadi cerah. “Tapi memangnya kamu bisa Mas? Bagaimana dengan lutut mu?” Tetapi wajah yang baru saja cerah itu, sirna seketika saat dirinya mengingat bahwa suaminya tak bisa bekerja berat.
“Aku disuruh bantu-bantu jualin dagangannya di pasar. Sama disuruh nyopir pickup nya. Itu kan nggak berat, Dek. Cuma bantu layanin pembeli. Tapi mungkin bayarannya nggak sebanyak kerja di sawah. Daripada Aku nganggur di rumah, kan lumayan bisa buat beli garam dapur nya.” Wito menjelaskan apa yang akan menjadi pekerjaannya.
Nina memang tahu kalau tetangganya yang bernama Romlah, memang pedagang di pasar sayur. Bahkan Mbak Romlah sudah memiliki kios sendiri di pasar. Kios peninggalan almarhum suaminya. Dan kabarnya dagangan Mbak Romlah memang cukup ramai.
“Kalau kamu setuju besok pagi-pagi sekali aku sudah bisa mulai kerja, Dek. Soalnya kan Mbak Romlah memang berangkat kerja pagi sekali sehabis adzan subuh.” Wito menambahkan.
“Ya aku sih setuju saja Mas. Mungkin itu bisa jadi pemasukan kita. Nggak papa lah walaupun bayarannya nggak sebesar orang kerja di sawah.”
“Kalau begitu nanti aku pergi ke rumah Mbak Romlah, ya. Aku akan ambil kerjaan itu.”
***
“Ini bayaranku hari ini, Dek.”
Wajah Nina berbinar ketika menjelang adzan Ashar suaminya pulang dan memberinya selembar uang berwarna biru.
“Alhamdulillah… terima kasih, Mas. Aku akan simpan uang ini, buat beli beras besok. Soalnya beras kita mungkin tinggal untuk makan dua hari saja.” Nina menerima uang pemberian suaminya dan segera menyimpannya. Tak lupa bergegas dia berdiri untuk mengambilkan minum untuk suaminya.
Berangkat dari rumah setelah adzan Subuh, dan baru pulang menjelang Ashar. Kalau itu bekerja di sawah hitungannya sudah satu hari penuh dan akan mendapatkan bayaran sebesar Rp100.000. tetapi saat ini pun suaminya pulang hanya dengan uang Rp50.000. Walaupun begitu Nina tetap bersyukur, apalagi suaminya mengatakan kalau pekerjaannya memang jauh lebih ringan daripada pekerjaan sawah. Dengan begitu lutut suaminya tidak akan terlalu terbebani.
***
Tanpa terasa sudah dua bulan Wito bekerja di tempat Mbak Romlah. Belakangan Wito pulang dengan membawa uang lebih banyak, karena katanya pasar Mbak Romlah sedang ramai hingga dia mendapat bonus. Kadang juga dapat tambahan uang lembur, karena Wito harus pulang sore jika di pasar benar-benar ramai.
Nina berusaha untuk selalu berhemat, uang yang diberikan suaminya tak serta merta dia habiskan, dia tabung sebagian untuk keperluan sekolah Agus.
“Tidak usah siapkan makan untukku, Dek. Buat kamu sama Agus saja. Aku sudah makan di pasar tadi,” ucap Wito ketika Nina akan menyiapkannya makan.
“Padahal aku bikin sayur asem, sambal terasi, sama goreng ikan asin kesukaanmu loh Mas.” Nina sedikit kecewa.
“Iya Dek. Maaf ya. Tadi sebelum pulang Mas benar-benar kelaparan. Makanya Mas cari makan sebelum pulang.” Wito memberikan pengertian pada istrinya.
Nina mengerti, karena memang suaminya pulang sudah sore sekali, jadi pasti kelaparan di sana.
“Jangan cuma ikan asin setiap hari Dek. Belilah juga daging ayam, supaya kamu dan Agus ada gizinya. Aku kan kerja keras buat kalian berdua.” Walaupun tidak ikut makan tetapi Wito menemani istrinya.
“Yah, Ayah. Tadi Agus belajar gambar di sekolah.” Agus datang menunjukkan buku gambarnya pada ayahnya.
“Wahh, anak ayah sudah pintar. Ayo selesaikan makannya, habis itu ayah temani belajar.” Nina merasa senang karena suaminya sangat perhatian pada dia dan anak mereka.
***
Musim panen yang ditunggu tiba. Dan kali ini Nina benar-benar bersyukur, hasil panennya benar-benar sesuai harapan sehingga dia bisa membayar angsuran di BRI tepat waktu. Selain itu saat ini mereka juga tidak lagi memiliki banyak hutang seperti sebelumnya.
Hari telah gelap. Matahari sudah tak menampakkan sinarnya sejak beberapa saat lalu. Nina menunggu suaminya dengan gelisah. Tidak biasanya suaminya pulang sampai lewat maghrib. Hujan mengguyur bumi sejak satu jam yang lalu, mungkin itulah penyebabnya.
“Ayah kok belum pulang ya Bu?” Tanya Agus yang sedang duduk sambil menonton film kartun di televisi.
“Mungkin karena masih hujan, Nak. Pasti ayah ada di rumah Bulik Romlah,” jawab Nina. “Kamu makan saja duluan. Biar nanti Ibu makan bareng ayah.”
“Apa aku jemput saja, ya,” pikir Nina. “Mungkin Mas Wito tidak bisa pulang karena nunggu hujan reda.” Akhirnya wanita itu berdiri dan mencari payung untuk menjemput suaminya. Ini sudah hampir isya, suaminya pasti kelelahan. Kalau dia menjemput suaminya suaminya akan bisa segera istirahat di rumah.
“Agus tunggu di rumah ya, Ibu mau jemput Ayah dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari anaknya, Nina langsung keluar menerobos hujan.
***
Lima belas menit berjalan kaki, Nina sampai juga di rumah Mbak Romlah. Pintu tertutup rapat, mungkin karena hujan. Diletakkan nya payung yang dia pegang. Bersedekap menahan hawa dingin. Nina segera mengetuk pintu. Lama sekali tak juga ada yang membukakan pintu. Tak terdengar suara apapun dari dalam, karena kalah dengan suara hujan.
Tak menyerah, Nina kembali mengetuk pintu, hingga asanya membuahkan hasil, pintu terbuka.
“Siapa sih datang malam-malam?” Seorang wanita membuka pintu sambil mengomel. Itu adalah Mbak Romlah. Yang membuat Nina tercengang sambil menutup mulutnya adalah, kondisi Mbak Romlah yang hanya berbalut handuk. Pikiran negatif langsung saja menyerbu otak Nina.
“Aku datang untuk menjemput Mas Wito. Mana mas Wito, Mbak?” Nina merangsek masuk dengan berbagai pikiran berkecamuk, karena tak nampak suaminya di ruang tamu rumah tersebut.
“Dek Romlah, siapa sih yang datang? Kok Kamu lama sekali?”
“Mas Wito…?” Nina menatap nanar melihat penampilan suaminya yang baru saja muncul dengan hanya mengenakan celana bokser dan bertelanjang dada.
“Apa ini, Mas?” Nina berjalan mendekat, dan tanpa sadar air matanya mengucur deras.
“Mas Wito…?” Nina menatap nanar melihat penampilan suaminya yang baru saja muncul dengan hanya mengenakan celana bokser dan bertelanjang dada.
“Apa ini, Mas?” Nina berjalan mendekat, dan tanpa sadar air matanya mengucur deras. Menggelengkan kepala berkali-kali tak percaya dengan apa yang saat ini ada di depan matanya.
Wito mengulurkan tangan, ingin menyentuh Nina, namun Nina mundur. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat. "Nina, dengar dulu penjelasan aku..." Wito memulai, suaranya bergetar.
Namun Nina tak mampu mendengar. Bayangan-bayangan selama ini, kerja keras Wito, uang yang dikumpulkan, semuanya terasa menjadi dusta. Dia melihat ke arah Mbak Romlah, yang masih berdiri di ambang pintu, wanita itu bahkan tak menampakkan rasa bersalah sama sekali. Pandangan Nina beralih ke sebuah kemeja dan celana panjang suaminya yang tergeletak di lantai, seperti sesuatu yang telah teronggok di sana sejak lama.
"Penjelasan apa lagi, Mas?" Suara Nina terdengar lemah, namun penuh kepedihan. "Aku sudah melihat semuanya."
Wito tertunduk. Dia tak bisa lagi menjawab. Mbak Romlah sangat baik padanya, memberinya pekerjaan saat dia membutuhkannya. Tak hanya itu, Mbak Romlah juga sangat baik, yang selalu dengan setia mendengarkan setiap keluh kesahnya. Hingga di antara kebaikan itu, terselip benih-benih perasaan yang tak seharusnya ada.
Wajah Mbak Romlah yang cantik, kulitnya yang mulus, jauh berbeda dengan istrinya yang kusam tak terawat, membuat mata Wito menjadi silau. Kesempatan untuk berduaan yang selalu ada, apalagi di kala hujan mengguyur deras, dan kelelahan yang melanda, membuat mereka berdua terjerumus.
Dan sebenarnya, ini bukan untuk pertama kalinya mereka melakukan itu. Setiap kali dia pulang terlambat, sebenarnya bukan untuk menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan pasar, melainkan untuk menggarap ladang surgawi milik Mbak Romlah. Kenikmatan batin, dan uang yang selalu diberikan oleh Mbak Romlah, membuat Wito semakin terlena.
"Aku khilaf, Nina," lirih Wito. "Aku,,,."
Nina terisak. Dia tak bisa membayangkan bagaimana bisa suaminya, yang selama ini begitu menyayanginya, tega melakukan hal ini. Di rumah Wito selalu bersikap biasa, tak ada yang berubah, dia tetap menyayanginya dan juga anaknya. Siapa sangka ternyata di belakangnya, Wito tega berbuat demikian. Dia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Wito, tetapi juga oleh Mbak Romlah, yang selama ini dianggapnya sebagai tetangga yang baik hati.
Nina memutar tubuhnya, menatap ke arah Mbak Romlah yang berdiri dengan bersedekap. Senyum sinis tampak di sudut bibir janda muda itu.
"Kenapa kamu tega, Mbak?" Nina bertanya, suaranya gemetar menahan amarah. Air matanya masih mengalir, tapi kini bercampur dengan rasa sakit hati yang membuncah. “Kamu cantik, kamu banyak uang. Dan kamu tahu, Mas Wito adalah suamiku. Apa tidak ada laki-laki lain di luar sana yang bisa kamu dapatkan?” Nina menangis semakin tergugu.
Kata-kata Nina membuat Mbak Romlah lagi-lagi tersenyum sinis, bahkan kali ini lebih lebar. "Jangan berpura-pura bodoh, Nina. Harusnya kamu tahu, uang yang Wito berikan selama ini, sebagian besar adalah hasil 'perjanjian' kita." Mbak Romlah bukannya merasa bersalah, malah seakan mengejek.
"Aku membantunya, dan kamu menikmati hasilnya. Sekarang kau harusnya bersyukur, hutang-hutangmu lunas, dan kau tak perlu lagi khawatir akan kelaparan."
Kalimat Mbak Romlah menusuk hati Nina bagai sebilah pisau. Dia terhuyung mundur, rasa harga dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya. Kehidupan yang lebih mudah beberapa waktu terakhir, yang dia syukuri, ternyata dibangun di atas pengorbanan yang tak ternilai harganya. Kehormatan dan kesetiaan suaminya.
Nina menggelengkan kepala. "Kamu memanfaatkan kesusahan kami, lalu kamu... kamu..." Nina tak mampu melanjutkan kalimatnya, rasa kecewa dan sakit hati memenuhi dadanya. “Padahal kamu juga seorang wanita Mbak. Apa kamu tidak akan sakit seandainya kamu diperlakukan seperti ini? Di mana hati nuranimu?”
“Halah, kamu terlalu banyak omong. Dan kamu itu munafik. Padahal semua uangku sudah kamu nikmati.” Lagi-lagi hanya kalimat ejekan yang keluar dari mulut Mbak Romlah. “Kamu pikir, kalau hanya mengandalkan hasil kerja Wito, kamu bisa melunasi hutang-hutang kalian?”
"Aku tak butuh kemudahan yang kau berikan dengan cara seperti ini, Mbak!" Nina membentak, suaranya bergetar hebat. Dia menatap Mbak Romlah dengan penuh kebencian. "Kalau saja aku tahu itu hasil menjual diri, aku tidak akan menerima nya. Aku lebih baik miskin dan tetap menjaga harga diriku, daripada makan enak dengan cara yang menjijikkan seperti ini!"
Nina menatap Wito, yang masih tertunduk lesu. Dia melihat penyesalan di mata suaminya, namun penyesalan itu tak cukup untuk menghapus luka yang telah tertoreh dalam hatinya. Dia merasa telah dipermainkan, dijadikan alat untuk melunasi hutang, dengan cara yang paling kejam dan memalukan.
“Ingatlah Mbak, hukum takbir tuai itu ada. Mungkin tidak sekarang. Tapi pasti akan datang.”
Nina berbalik, meninggalkan rumah Mbak Romlah. Hujan semakin deras, membasahi tubuhnya, namun tak sebanding dengan air mata yang terus mengalir. Agus menunggunya di rumah, dan dia tak tahu, apakah harus memberitahu anaknya tentang kenyataan pahit ini. Bagaimana dia harus menjelaskannya?
Dia tak tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya, tapi satu hal yang pasti, dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali harga dirinya, dan memutuskan masa depannya, tanpa harus bergantung pada belas kasihan atau kemudahan yang diperoleh dengan cara menjijikkan.
Di perjalanan pulang, Nina merenungkan semuanya. Dia tak bisa langsung memutuskan untuk bercerai. Dia harus memikirkan Agus, masa depan anaknya. Namun, kepercayaan yang telah hancur, sulit untuk dibangun kembali. Dia harus mencari kekuatan untuk menghadapi semuanya, untuk dirinya sendiri, dan untuk Agus.
“Ayah mana, Bu?” Sesampainya di rumah, pertanyaan dari Agus menyambutnya. Nina tak mampu menjawab, hanya memeluk anaknya erat-erat, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Ayah, masih ada kerjaan. Agus tidur dulu aja ya."
Agus, anak kecil berusia enam tahun itu mengangguk. Dia tidak tahu ada apa. Tapi dia merasa ibunya sedang tidak baik-baik saja.
Wito datang beberapa saat kemudian, tubuhnya basah kuyup karena menerobos hujan. Dia melihat Nina duduk di tepi ranjang tua di kamar mereka yang sempit. Punggung wanita itu menelungkup, bahu bergetar menahan isak tangis. Hujan tak kunjung reda, bahkan mencurahkan airnya semakin deras. Seakan ikut menangis bersama Nina,
Wito mendekat, ingin memberikan pelukan, mengucapkan kata-kata penyesalan. Namun, sebelum dia sampai, Nina menepis tangannya dengan kasar. Tatapannya tajam, dipenuhi luka dan amarah yang membara.
"Jangan sentuh aku!" bentak Nina, suaranya tertahan isak. "Bagaimana bisa kau tega melakukan ini padaku, Mas? Setelah semua pengorbanan yang kulakukan, setelah semua kerja keras kita bersama untuk melunasi hutang, kau malah... kau malah..." Nina terisak, tak mampu melanjutkan kalimatnya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat.
Wito tersentak, hatinya semakin remuk. Baru sadar bahwa dia telah melukai wanita yang dicintainya sedemikian rupa. Dia mengerti, kata-kata tak akan mampu memperbaiki semuanya. Kesalahan yang telah dia perbuat terlalu besar, terlalu menyakitkan.
Nina menatap Wito dengan mata yang berkaca-kaca, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan yang mendalam. "Aku mempercayaimu, aku mengandalkanmu, tapi ternyata, kamu membalasnya dengan pengkhianatan yang begitu menyakitkan!" suaranya meninggi, dipenuhi rasa sakit hati yang amat dalam.
"Kau telah menghancurkan kepercayaan, menghancurkan harga diriku, dan menghancurkan keluarga kita!" Nina mengepalkan tangannya, menahan amarah yang hampir meledak. "Aku benci kamu, Mas Wito! Aku sangat membencimu!" teriaknya, suaranya penuh keputusasaan.
“Apa Kamu tahu, Mas? Seandainya saja bisa, aku ingin mengorek kembali isi perutku agar aku bisa memuntahkan nya kembali. Aku jijik mengingat ternyata aku makan dengan menjual tubuh suamiku untuk dinikmati wanita lain.”
Tanpa mereka sadari, pertengkaran hebat itu disaksikan oleh Agus, anak mereka yang baru saja duduk di bangku TK. Agus, yang semula hendak berangkat tidur, urung dan berlari mendekat saat mendengar suara bentakan ibunya. Ia melihat orang tuanya bertengkar dengan hebat, air mata mengalir deras di wajah ibunya, sedangkan ayahnya tertunduk lesu. Kata-kata yang mereka ucapkan tak dimengerti Agus, namun ia merasakan suasana tegang dan menakutkan. Hati kecilnya dipenuhi ketakutan dan kebingungan.
Agus melihat ibunya menangis tersedu-sedu, bahunya bergetar hebat. Ia ingin mendekat, ingin memeluk ibunya, namun kakinya terasa berat, tak mampu melangkah. Ia hanya bisa diam terpaku, menyaksikan pertengkaran orang tuanya dengan pandangan kosong. Air mata yang semakin membanjiri pipinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!