"Ibu capek dengan semua ini pak..!!" ucapku lirih ketika kami baru saja merebahkan tubuh di atas dipan kayu yang sudah tua
"Harus bagaimana lagi bune.. kita tidak punya jalan lain..?" jawab suamiku
"Kenapa sepertinya, sekeras apapun kita bekerja tetap saja tak pernah cukup..?? kapan kita bisa hidup enak pak..? ibu juga pingin seperti orang orang itu pak , seperti para tetangga.. punya perhiasan, punya motor bagus..??!!" tanpa terasa air mata ku mengalir membasahi pipi. ku pejamkan mata demi menahan rasa perih di dada.
kilasan kilasan semua perjalanan sepanjang pernikahan kami hadir di depan mata, berputar satu persatu seperti sebuah slide film yang di putar di bioskop
Delapan belas tahun yang lalu, awal perjalanan pernikahan ku dengan suamiku yang hingga kini masih menemani hidupku ini.
semua terasa indah , semua terasa mudah, walaupun kami hanya petani , tetapi hidup kami tak pernah kekurangan.
apalagi setelah kelahiran anak pertama kami, suamiku yang juga bekerja sebagai buruh tani, setiap hari selalu mendapat kan pekerjaan. hingga dapur kami tetap mengepul tiap hari
Satu satunya yang kurang dari kami adalah karena kami masih tinggal dengan orang tuaku,. setiap hari selalu adaaa saja pertengkaran di antara kami. entah memang benar atau kah hanya perasaanku saja , aku selalu merasa ibu tak pernah menyayangimu, perlakuan ibu pada ku sungguh jauh berbeda dengan perlakuan nya pada dua saudara lelaki ku. aku tak tahu apa sebabnya, mungkin juga karena aku yang terlahir tak sesempurna dua saudara ku. walaupun anggapan ku itu terkadang bertolak belakang dengan hati nurani ku. bahwa tak mungkin ada di dunia ini seorang ibu yang tak menyayangi anaknya. apapun keadaan anaknya.
Di tahun kedua usia anak ku, aku memilih mengikuti suamiku yang mengajakku pulang kerumahnya kedua orang tua nya, dengan dalih semua garapan orang tua suamiku ada di sana, sawah dan kebun. yang katanya sekarang menjadi tanggung jawab suamiku.
aku pun lebih menurutinya, karena sejujurnya saja aku ingin menghindari lebih banyak bertengkar dengan ibuku, ibuku yang bicaranya selalu nyelekit, dan aku yang tidak bisa mengendalikan emosi diri, seringkali terlihat seperti api dan bensin.
sejujurnya saja aku juga masih takut dosa, terlebih aku takut terlewat membenci ibuku dan akhirnya menjadi durhaka.
Rumah mertuaku sangat kecil, bahkan masih terbuat dari bambu, walau kalau aku melihat sebenarnya itu adalah rumah yang bagus kalau dilihat dari kayu yang digunakan sebagai penyangga bangunan rumah tersebut. Hanya orang yang matanya jeli saja yang bisa melihat itu, dan aku segai seorang anak yang ayahnya bekerja sebagai tukang kayu jelas bisa membedakan hal itu
tapi kalau di lihat dari luar memang kurang layak jika aku dan suamiku serta anakku ikut tinggal di sana. rumah yang sebenarnya luas tampak sangat sempit dengan segala macam tetek bengek yang dimasukkan oleh ibu mertuaku kedalamnya.
mungkin juga karena mereka berdua memang sudah renta dan tak lagi bisa menata rumah agar terlihat rapi .
Tak masalah, aku yang akan merapikan nya nanti. bukankah itu juga gunanya suamiku membawaku ke sini. agar bisa ikut merawat ayah mertuaku yang tak lagi bisa bekerja.
Aku sungguh ikhlas dengan apa yang akan aku lalui dalam hidupku setelah ini.
dan aku juga berdoa supaya anakku kerasan tinggal di rumah ini, walaupun keadaannya, dan juga lingkungan sini yang jauh berbeda dengan keadaan dan lingkungan di daerah tempat tinggal orang tuaku.
Sore itu dengan diantarkan oleh ayahku, aku berangkat mengikuti kehendak suamiku, yang sebenarnya juga menjadi kehendak ku sendiri, sungguh aku tak ingin lagi ada ketidak cocokan antara aku dan ibu, mungkin dengan seperti ini ibu akan merindukan ku.
hah aku jadi teringat kala aku masih bekerja sebagai pembantu rumahtangga di Surabaya. dulu sekali , sebelum aku menikah dengan suamiku. aku bahkan pernah menulis dalam buku diary *.jika segala yang ada di dunia ini bisa di beli dengan uang, Ibu ... ingin ku beli kerinduan mu..!!* yaah karena waktu itu aku bisa mendapatkan uang setiap bulan yang sebagian selalu kukirimkan ke rumah.
Sesampai di rumah mertuaku, sungguh aku sebenarnya sangat malu pada ayah yang mengantarku, begitu turun dari sepeda motor , ayah bahkan tak langsung masuk ke dalam, aku menoleh padanya, ada yang menggantung di sudut matanya, seakan tak rela jika harus membiarkan ku tinggal disana
"Ayo masuk yah.. ." aku menggandeng tangannya , sambil juga menggendong anakku. iya aku sangat ingat, ayahlah paling menyayangimu, melebihi rasa sayangnya pada dua adik lelaki ku. ayah juga yang sebelumnya paling keras menolak kepindahan ku ke rumah mertua.
Hanya saja ayah merasa tak lagi berhak untuk menahanku, karena ayah sadar aku telah menikah, dan seluruh tanggung jawab atas diriku sudah berpindah pada suamiku.bahkan ayah sempat berpesan " Ikutlah dengan suamimu nduk, ayah merelakan mu, tapi jika suatu saat kau merasa tidak kerasan tinggal bersama mertua mu, ingatlah , pintu rumah ayah tetap terbuka lebar untuk mu, jangan pernah ragu atau takut untuk kembali.! " begitu saat aku berpamitan tadi, tak pelak air mata mengucur deras di pipiku, aku memeluk ayah erat, aku mengangguk dalam dekapannya, "Tentu saja yah.. aku sangat menyayangi ayah , terimakasih untuk seluruh kasih sayang ayah selama ini !" ucapku sesenggukan.
" ayo berangjat nduk suamimu sudah menunggu ..!" ucap ayah sambil menyeka air matanya,
"Iya yah.. Jangan menangis lagi yah.. Ayah harus yakin aku bisa bahagia , aku anak ayah yang ayah didik untuk menjadi kuat, dan aku pasti akan membuat ayah bangga !" ujarku sambil tersenyum bwrharap ayah akan melepasku dengan ikhlas, setelah itu barulah ayah mengantarku tadi.
"Yah...!" aku menggamit tangan ayah. membuatnya seolah tersentak dari lamunan.
"Iya nduk kita masuk..!" jawabnya lalu mengikuti langkah ku.
di dalam kedua mertuaku sudah menunggu sambil duduk di tikar pandan yang terlihat sudah usang. lengkap sudah rona kekecewaan di wajah ayah. Ayah memang pernah datang kesini dulu pada saat hendak acara tujuh bulanan kehamilanku. tapi tentu saja ayah tak pernah menyangka bahwa akan melepaskan untuk tinggal di rumah ini.
Apalagi dulu yang berhajat menikahlah suamiku bukan lah mertuaku , melainkan kakak kedua suamiku, dengan alasan mertua sudah tua dan tak mampu mencukupi biaya, itupun acara pernikahan kami yang di adakan di rumah kakak sangatlah sederhana, sangat jauh berenda dengan uang digelar ditempat orang tuaku
"Monggo di unjuk pak e Mia..!" (silahkan diminum ayahnya Mia) ibu mertuaku menyuguhkan segelas teh hangat untuk kami
"Matur suwun (terimakasih) Mbah " jawab ayahku. setelah itu kamipun terlibat obrolan basa basi, dan setelah itu ayahku berpesan yang intinya menitipkan aku pada mertuaku, ayah bahkan meminta mereka untuk menyayangimu seperti anak mereka sendiri. sebelum akhirnya ayah berpamitan pulang.
"Ingat pesan ayah nduk..!!" ucap ayah saat sudah duduk di atas sepeda motornya
"Iya yah.. jangan khawatir, !!" jawabku sambil mencium tangannya takzim
"Ini jalan yang sudah kau pilih nduk, ayah tidak menahanmu, kedepannya hadapilah apapun dengan tegar, ayah hanya bisa berdoa yang terbaik untukmu, hanya saja ingat pesan ayah kapanpun kau dalam kesulitan, ingatlah kau masih punya ayah .!!" ucapnya sambil menyeka setitik butiran kristal di sudut matanya
"Iya yahh.. iya.. Mia ingat , terimakasih yahh.. dan jangan lupakan Mia dalam doa ayah.." punyaku
"Ya sudah ayah pulang yaa..?" ucapnya kemudian menstarter sepeda motornya
"Hati hati di jalan yah.., sudah hampir maghrib.!" pesanku. setelah itu ataupun berlalu
Ini adalah musim pertama , menjelang datangnya waktu bagi para petani mulai menggarap sawah, begitu juga dengan suamiku dan disinilah segalanya berawal.
hujan yang turun pertama kali di awal musim, seakan membawa angin sejuk bagi kami, yang sudah berharap akan segera, mempunyai tanaman lalu mempunyai hasil panen untuk kelangsungan hidup
Masalah bagiku adalah, waktu tanam belum tiba , sedangkan kami sudah tidak punya beras barang segenggam pun. "ya Allah ... mau makan apa kami besok..? " desahku yang tak sanggup terucapkan
musim kemarau panjang yang terjadi kemarin membawa dampak yang kurang baik bagi keuangan keluarga kami, sudah sebulan lebih suamiku tidak mendapat kan pekerjaan apapun, sedangkan untuk mulai menggarap sawah, kami tentu butuh modal yang tidak sedikit, untuk upah traktor, upah orang yang menanam, beli pupuk, pengairan, dan lain-lain
Tapi jangan kan untuk semua tetek bengek itu, sedangkan untuk makan besok saja kami masih bingung. "Beras untuk makan besok sudah gak ada mas.." ucapku pada suamiku ketika dia pulang dari mencari kayu bakar.
aku membuatkannya segelas kopi yang mungkin agak kurang manis, karena gula di toples tinggal sedikit, dan aku menyisihkannya sebagian untuk kalau dia bangun tidur besok pagi
"Kata orang orang, di tempat Mbah Sumo ada utang utangan beras ( beras yang di hilangkan, sebelum masa tanam dan dibayar setelah masa panen), apa kita ambil itu saja dik ..?" tanya suamiku.
"Harganya berapa mas..?" tanyaku balik
"Per kwintalnya kita bayar panen empat ratus tujuh puluh ribu dik, " pada sat itu harga beras perkilo adalah empatvribu tiga ratus rupiah "kita ambil sekwintal, perkiraan cukup sampai panen kan ??" tanyanya.
satu kwintal beras untuk makan kami bertiga dan juga dua orang mertuaku, selama empat bulan sebelum panen datang, apa itu akan cukup ?? fikirku, belum lagi kalau nanti ada sebagian yang di jual untuk beli lauknya, gak mungkin kita makan cuma nasi saja
"Iya mas ambil satu kwintal saja , siapa tahu juga habis kamu dapat kerjaan , kita sambil jalan, biar gak kebanyakan utangnya, " jawabku. aku juga takut kalau ambil banyak bayarnya keberatan.
"Ya sudah aku ke sana ya dik.. " pamitnya segera mengeluarkan sepeda ontel, kendaraan kami satu satunya yang kami beli dari hasil panen dua musim yang lalu.
"Habiskan dulu kopinya mas..!!" seruku. melihat masih ada separuh lebih isi di gelasnya
"Nanti saja kalau pulang dik, masih agak panas, kamu tutup aja ya biar gak kemasukan lalat.!" balasnya
"Iya mas, hati hati ya.. semoga di kasih hutang ya sama Mbah Sumo..?!" doaku
...****************...
"Mas kok berasnya bau gini ya, warna nya juga coklat mas .. gak putih kaya punya kita sendiri..!" Aku begitu syok ketika membuka karung yang di bawa pulang oleh suamiku.
Ya suamiku pulang dengan membawa dua karung beras yang katanya masing-masing berbobot lima puluh kilo
"Beras hutangan memang seperti itu dik, yang lain juga sama kok, ini saja tadi hampir gak kebagian, banyak sekali yang mau ikut ambil !" jelasnya, sambil meminum kopinya yang masih tersisa, aku tak lagi bersuara, kulihat dia kelelahan. membonceng beras seberat satu kwintal dengan menggunakan sepeda onthel jelas berat, apalagi jarak rumah kami dengan Mbah Sumo lumayan jauh
Tapi dalam hati aku sungguh nelangsa, beras yang ku terima tidak seperti bayanganku.
apakah beras ini masih layak konsumsi ? , kenapa ada orang yang tega mengambil keuntungan dari kesulitan kami, walaupun bukan cuma keluarga kami yang mengalami nya.
mungkin mereka semua yang ikut hutang di tempat Mbah Sumo juga berpikir sama dengan ku. kami meminjam beras dengan bunga yang tinggi, sedangkan yang kami terima sama sekali tak layak makan. beliau sangat kaya raya, tapi kenapa tega berbuat seperti itu
SEBUNGKUS NASI PECEL
Aku baru pulang dari sawah mengantarkan tiga botol wedang kopi, ya setelah lama menunggu , hari ini adalah waktunya tanam padi di sawah kami, dan ini juga merupakan hari kelima setelah suamiku pulang dengan membawa beras berwarna coklat dan berbau menyengat itu.
Kuturunkan anak kecilku dari gendongan, aku mendesah pelan . Perutku lapar tapi tak ingin sarapan , karena mengingat nasinya yang benar benar tak enak. aku merasa badanku sungguh tak enak, sudah tiga hari ini aku benar-benar tak nafsu makan. tak terasa air mataku menetes, "Ya Allah ... kenapa hidup kami jadi seperti ini, apa ini karena aku sudah durhaka pada ibuku." batinku bukankah aku sudah berusaha untuk menghindari pertengkaran dengan ibuku, tapi kenapa seperti ini
Hahhh... tapi bukan hanya aku saya yang mengalami ini , bukankah para tetangga ku juga . ah mungkin juga karena aku tak terbiasa mengkonsumsi beras seperti itu, nyatanya mereka yang lain biasa saja.
Memang bertahun tahun aku hidup di kota waktu masih bekerja sebagai pembantu rumahtangga. lalu dua tinggal di rumah orang tuaku, belum pernah sekalipun aku melihat beras seperti itu. dulu waktu masih tinggal dengan orang tua ku, pernah dapat beras RASKIN seperti itu tapi aku jual , tak pernah ku masak sendiri
Ah akh jadi ada ide "apa beras itu dijual saja ya , di tukar dengan beras yang bagus??" fikirku. ah nantilah kalau suamiku pulang,
Tapi sekarang perutku benar benar lapar tapi aku tak sanggup jika harus makan nasi yang ada, aku selalu berasa mau muntah
Akhirnya dengan tenaga yang masih tersisa di tengah badan ku yang terasa tidak enak, kembali digendong anakku. aku ambil uang di lemari yang masih tersisa sedikit, itu adalah uang yang di selipkan oleh ayahku ketika beliau berkunjung beberapa hari yang lalu
"" Ayo tumbas maem Lee..!" (ayo beli makan nak) ucapku. lalu aku pun pergi ke desa sebelah yang ada warung nasinya, berjalan kaki sambil menggendong anakku. jauh ... lelah. tapi mau bagaimana lagi, perutku harus di isi agar aku tetap waras
****************
"dari mana kamu dik ??" tanya suamiku ketika aku baru saja masuk ke rumah. aku terlonjak kaget , belum sempat kujawab pertanyaan suamiku, aku hempaskan badanku di kursi bambu, lalu ku lepas gendongan anakku. aku madih mengatur nafas , lelah setelah berjalan jauh
"Beli nasi mas.."" jawabku kemudian setelah keringat ku reda.
"Bukannya tadi sudah masak yaa?" di keheranan
"Aku benar-benar gak bisa makan nasi itu mas..aku bisa sakit kalau gak makan !" jawabku sendu , mungkin mertuaku mendengar nya, mungkin dia menganggap ku wanita manja , terserah , aku tak peduli , karena memang itu kenyataannya, aku tidak bisa makan nasi itu
"Ini ..aku tadi beli lima mas,.. buat kamu sama Andri.., yang dua kasihkan ke ayah sama ibu mu" kataku sambil mengulurkan bungkusan nasi itu padanya, lalu aku segera makan bagian ku , karena tak lagi bisa menahan lapar
"Aku tadi barusan makan dik, sepulang dari sawah, " jawabnya, aku pun meneruskan makanku, karena setelah ini aku harus menyuapi anakku , "simpan saja ya yang itu buat makan kamu lagi nanti, mas biar makan nasi yang ada saja !" lanjutnya .
Aku spontan menghentikan kunyahanku , airmata ku mengalir dengan sendirinya, nadi pecel yang tadi terasa nikmat seakan mandek di tenggorokan, tak mampu ku telan. aku pun menangis tergugu.
"Sabar ya dik .. kita pasti bisa melewati semua ini. !" ucapnya yang sudah meraih ku ke dalam pelukannya. aku hanya bisa mengangguk tanpa suara. sedang air mataku masih mengalir deras, dan anakku yang sedang bermain pasir yang memang di sediakan oleh suamiku, pun hanya melihat , dia mungkin belum paham yang kami alami, dan aku berdoa supaya kelak dia tak pernah mengalami hal seperti ini
"Ayo lanjutkan makannya, atau mau mas suapi..??" goda suamiku agar aku bisa tersenyum
"Mas bagaimana kalau beras itu kita jual saja , kita tukar dengan beras yang enak mas.." usulku sore itu setelah kami semua selesai mandi. "Aku benar-benar gak bisa makan nasi dari beras itu mas, !" lanjutku. "Maaf ya mas , bukannya aku mau cerewet dan tidak bersyukur, tapi aku selalu berasa mau muntah tiap kali nyoba makan nasi itu !" aku menunduk sedih
"Kemarin Lik Sayekti jual di selepan (tempat penggilingan padi) cuma dibeli seharga tiga ribu sembilan ratus per kilo nya dik..apa kamu boleh di beli segitu berasnya..??" aku syok mendengar nya, selisih harganya sangat jauh, benar-benar rugi banyak.
"Bukannya harga beras sekarang empat ribu tiga ratus ya mas ??" tanyaku
"Itu kalau beras enak dik, beras dari Mbah Sumo kali ini benar-benar parah, kamu tahu sendiri kan , kamu aja sampai gak doyan..?! " jelasnya. tubuhku lemas seketika. kalau nekat di jual ruginya banyak, tapi kalau di pertahankan aku juga gak doyan
"Ya sudahlah mas apa boleh buat, dari pada nanti aku gak doyan makan terus sakit ?!" putusku, "kenapa ada beras seperti itu ya mas, benar-benar gak enak, bahkan nasi *gaplek* aja masih jauh lebih enak
(Gaplek adalah makanan pokok berasal dari ubi kayu yang di jemur keringkan)
" Ya sudah besok pagi mas bawa ke selepan ya, kalau sekarang pasti sudah tutup , sudah sore.!" ucapnya " besok masak agak siang gak papa kan sepulang mas dari selepan ?" tanya nya kemudian
"Iya gak papa mas, nanti yang buat Andri aku buat kan cemilan lain dulu.!" aku tersenyum bahagia dan semangat, karena akhirnya besok aku tak kan lagi melihat beras itu
"Ya sudah sana makan, nasi bungkus yang tadi kamu makan saja, biar mas makan ini.!!"
"Maaf ya mas aku makan enak sendirian.!" ucapku sambil membuka bungkusan nasi , ku ambil bagian yang tidak ada sambelnya untuk Andri
"Mas .. Andri kan sudah agak besar, sudah bisa mainan sendiri, kalau aku ikut buat tas anyaman lagi gimana, biar bisa buat beli jajan Andri ..?" tanyaku di sela sela makan.
Ya aku dulu pernah membuat kerajinan tas dari anyaman plastik sebelum melahirkan Andri, tapi berhenti setelah melahirkan, karena tak ada waktu, lagi pula Andri selalu mengganggu kalau aku lagi pegang bahan tas. Seakan dia tak mau diduakan.
"Mau ambil bahan di mana? Bos tas tempat nya agak jauh. Lagian kita gak punya sepeda kecil buat kamu!"
"Ambil ditempat Lik Karti katanya ada, Dia di stok bahan sama juragan dia, tapi memang upah selisih seratus rupiah katanya..!" jawab ku
"Ya udah terserah kamu saja sih dik, asal kan kamu gak terlalu capek, soalnya sambil momong Andri, anak segitu lagi aktif aktifnya"
"Iya mas, kan Andri gak terlalu rewel juga anaknya, bisa lah aku jaga dia sambil bikin tas. Kan sambil duduk juga bikin tas nya..!"
"Semoga habis ini mas dapat kerjaan ya dik. Maaf, kamu ikut mas ke sini malah kayak gini hidup kita," ucap mas Wito
"Gak papa, Mas. Aku ikhlas, ya sudah ayo mas ketempat Lik Karti, Aku mau minta bahan. Nanti kamu yang bawain ya mas. Berat soalnya, gak bisa aku kalau sambil gendong Andri!" aku segera berdiri penuh semangat.
"Ini sudah malam lo dik," cegah suamiku
"Ini baru jam tujuh mas, Lik Karti itu kalau malam dia bikin tas sampai jam sembilan, makanya dia bisa lima hari sekali setor terus bayaran." kilahku
"Ya sudah kalau gitu mas aja yang ambil, kamu di rumah saja sama Andri, jalannya becek habis hujan tadi, !" dia segera berdiri
"Ya sudah kalau gitu, minta bahan nya lima puluh saja ya mas, biar gak kelamaan setornya, soalnya kan aku sambil momong, gak bisa fokus ke tas saja.
...****************...
"Lhaa.. mbok yo ngono! yo metu barang kok di imbu wae mateng ngko..!!?" (naah.. gitu.. !! ya keluar keluar kok di --imbu \= di timbun biar masak-- istilah yang biasa nya digunakan untuk buah) bisa mateng(masak,-istilah untuk buah) kamu nanti seru seorang tetangga ku ketika pagi itu aku bergabung dengan mereka untuk membuat tas dari anyaman plastik.
"iyo e mbak .. ndekem wae yo sumpek jane.." ( iya e mbak, duduk diam aja di rumah juga suntuk sebenarnya) jawabku lalu menurunkan Andri dari gendongan, ku berikan mainan nya yang tadi kubawa dari rumah.
"Mbuk gawe dhuwur piro Mi , Gon mu (kamu buat tinggi berapa Mi punya mu (tas yang sedang di anyam)" tanya mbak Warti salah seorang tetangga ku yang juga ikut mengambil bahan tas dari tempat Lik Karti.
"Iki ngke tak jajal rolas setengah empane ws mepet e mbak?" (ini tadi saya buat dua belas setengah kelihatannya sudah mepet tu Mbak !?" jawabku seolah juga minta pertimbangan.
"Ya sudah lah kalau memang sudah benar benar gak bisa di naikkan lagi, nanti kalau di paksakan malah jadinya kurang bagus !" saran dari mbak Warti,
Tentu itu benar. Karena kalau bahan nya kurang panjang akibat di paksakan harus setinggi sekian jadi nya kurang bagus karena pasti ada bahan yang harus di sambung, dan kalau penyambungan nya kurang rapi malah jadinya jelek,
Tapi masalahnya, apakah nanti si juragan tidak protes? Karena kadang ada juragan yang semaunya sendiri, hasil jadi tas harus tinggi sedang bahan tas kurang panjang.
Bahkan kadang ada juragan tas yang tega memotong upah tas yang hasil jadi nya buruk. Padahal kesalahan bukan ada pada penganyam, tapi karena kurangnya panjang bahan.
"Lha biasane piro mbak duwure ??" (lha biasanya berapa mbak tingginya)
"Nek bahan super jumbo ngunui biasane telulas , lha tapi nek ra teko kon piye?" (kalau bahan super jumbo seperti itu tingginya tiga belas, lha tapi kalau nggak sampai mau gimana?)
"Lha iya.. minta nya hasil bagus tapi gak mau nambahin panjang bahan , karepe dewe wae!" (semaunya sendiri saja) , sambung mbak Warsi yang mungkin usianya selisih enam tahun lebih tua dariku
"Juragan yo ngunui leh...!!" (ya begitulah juragan) " Lik Sami ikut menambahkan
"Lha Kowe ning desomu kono opo yo wis tau gae tas, Mi? kok yo ws iso wi lhoo?". (memangnya kamu di desamu sana sudah pernah buat tas, Mi ?? kok ya sudah bisa buat itu lhoo?" tanya Mbah Mini yang rumahnya dekat dengan tegal (sawah yang letaknya di dekat rumah) ku.
"Rumiyen nate jajalan Mbah. pas dereng gadah Andri..(dulu pernah belajar buat Mbah sebelum punya/lahirnya Andri)
"Tapi hasilnya sudah bagus gini lho, tidak kelihatan kalau seperti baru belajar," sanggah mbak Warti.
Aku hanya tersenyum menanggapi nya, aku tidak mau menyombongkan diri dengan mengatakan kalau aku sudah dalam kategori mahir.
"Piye .. krasan po ra melu morotuo?" (gimana kerasan gak ikut sama mertua?") Mbah Mini tiba-tiba saja mencari topik pembahasan lain
"Alhamdulillah Mbah, di jalani saja," jawabku. ini sudah bulan ke dua aku tinggal di desa ini
"Ya sabar.. memang mertua perempuan mu itu cerewet sejak dulu !" aku tak mau menanggapi itu takutnya dia hanya ingin mancing ucapan burukku saja.
walaupun aku memang tahu mertua perempuan ku tak menyukai ku. Dari yang aku tahu dia bukan ibu kandung suamiku. ibu kandung suamiku sudah meninggal saat suamiku baru berusia lima tahun.
lalu suamiku di asuh oleh istri dari pakde nya. tapi sayangnya pakde sekarang sudah tidak tinggal bersama dengan istrinya itu.
dari yang aku dengar juga sejak kecil memang suamiku sudah terlunta-lunta, tidak pasti siapa yang di singgahi. kadang ikut pakde, kadang ikut budhe yang katanya kaya raya, tapi hanya sebagai penggembala sapinya saja.
Terkadang aku terenyuh sekali mendengar cerita tentang kehidupan masa kecil suamiku
Aahh.. semoga saja suatu saat kehidupan kami bisa lebih baik.
Aamiin
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!