Awan gelap menggantung di atas desa Suko Mulyo. Gagal panen kembali menyerang, semua orang terkena dampaknya termasuk keluarga kecil Wito dan Nina. Musim panen bagi mereka, artinya adalah musim tagihan juga. Biaya untuk penggarapan lahan, yang sebelumnya mendapatkan talangan, kini mulai menyuarakan meminta pembayaran. Semua berdatangan, seperti ombak besar yang tak terhindarkan.
Wito, Suami Nina tak lagi bisa bekerja keras seperti sebelumnya semenjak lututnya mengalami penyempitan tulang beberapa bulan yang lalu. Sementara kebutuhan keluarga semakin meningkat, seiring bertambahnya usia anak mereka yang kini sudah mulai masuk masa sekolah. Sementara sawah yang mereka harapkan bisa menyambung hidup malah sudah setahun ini tak memberikan hasil baik.
Ingin berteriak, tapi malu didengar tetangga. Ingin menangis, tetapi air matanya terasa sudah kering, membuat wanita berusia tiga puluh lima tahun itu hanya bisa menahan semuanya dalam dada.
“Assalamualaikum…!”
Belum selesai berpikir tentang apa yang akan dimasak buat makan besok, suara salam dari depan pintu mengagetkannya. Nina bergegas keluar.
“Waalaikumsalam!” jawabnya. Mengerutkan kening karena merasa tak mengenal siapa yang sedang bertamu ke rumahnya di kala menjelang senja.
“Ini rumah Pak Wito ya, Bu…?” tanya tamu yang tidak dikenalnya.
“Iya, benar. Maaf, Njenengan sinten nggih…?” (Anda ini siapa?) tanya Nina.
“Kulo Slamet, Yu… (Saya Slamet, Mbak) yang punya disel di sawah Balong!” jawab orang itu.
Jantung Nina berdebar. Ini pasti tagihan pengairan sawah yang belum dibayar karena gagal panen.
“Kang Wito-nya ada, Bu…?” tanya Pak Slamet.
“Bapaknya lagi gak di rumah, Pak. Ada apa ya? Nanti saya sampaikan!” jawab Mia. Wito, suaminya memang sedang tidak di rumah, mungkin memancing di sungai mencari hiburan untuk menghilangkan stress.
“Ini mau mengantarkan tagihan air disel di sawah, Bu!” kata Pak Slamet sambil menyerahkan nota. Totalnya Rp480.000.
Nina menerima nota itu dengan tangan gemetar. dadanya berdetak kencang. apa yang akan digunakan untuk membayar tagihan itu?
“Iya, nanti saya sampaikan, Pak," jawab Nina. "Maaf ya kalau nanti mungkin agak telat, seperti Bapak tahu sendiri panen musim ini gagal lagi!” suara Nina bergetar menahan gumpalan di dadanya.
“Tidak apa-apa, Bu. Semua juga mengalami hal yang sama. Saya maklum, tapi mohon disampaikan ke Kang Wito, untuk nantinya mohon di segerakan ya, Bu. Soalnya saya sendiri untuk bahan bakarnya sebagian juga ambil pinjaman di toko. Dan sawah saya sendiri juga diserang wereng seperti yang lain juga. Sawah saya mengalami gagal panen, jadi mohon pengertiannya ya, Bu!” Pak Slamet memohon dan menjelaskan.
“Iya, Pak. Terima kasih atas pengertiannya, dan saya benar-benar mohon maaf!” Nina merasa tak enak hati.
***
“Apa ini, Mas…?” Nina menerima nota dari Wito. Suaminya itu baru saja pulang setelah hampir separuh hari menghilang.
“Tadi ketemu Pak Jono di jalan. Itu tagihan pupuk kita, Dek,” jawab Wito lalu duduk. Matanya menerawang.
Nina menyusul duduk di sampingnya. “Tadi juga Pak Slamet datang nganter tagihan air disel, Mas!” ucap Nina lirih. Keduanya nampak menghela nafas berat. Seakan ada bongkahan batu besar menghimpit dada mereka.
“Belum lagi tagihan traktor, upah pekerja dan lain-lain. Kita mau bayar pakai apa, Dek?” tanya Wito. Mereka tak punya apa-apa untuk dijual. Menggarap sawah dengan biaya yang dipinjamkan dahulu oleh pemilik peralatan mesin, dan dibayar saat panen. Tapi ternyata, panen yang diharapkan bisa menutup semua biaya, malah jauh dari harapan.
***
Mentari mulai merunduk di ufuk barat, meninggalkan langit jingga yang memudar. Nina masih duduk di beranda, jemarinya cekatan menganyam tas dari bahan anyaman plastik, sebuah usaha kecil untuk menambah pemasukan keluarga.
Pikirannya melayang pada tumpukan tagihan yang belum terbayar, beban berat yang terus membebani dadanya. Berulang kali membuang nafas berat, namun sesak di dada tak juga terurai. Sampai kemudian, suara riang anak-anak memecah lamunannya. Sinta, anak tetangga, datang bersama ibunya, Bu Asih.
"Mak Nina, Sinta main ya?" Bu Asih menyapa ramah, langsung ikut duduk di depan Nina tanpa menunggu jawaban.
Nina tersenyum, "Main aja Bu, ngapain sih pakai izin segala?" jawabnya, lalu keduanya pun tergelak bersama.
Sinta langsung berlarian masuk ke dalam rumah, sudah biasa. Sinta memang sering bermain dengan Agus anaknya Nina. Sementara Bu Asih duduk di dekat Mia. Mereka berbincang ringan tentang hal-hal remeh temeh, tentang gagal panen, tentang hujan yang tak kunjung datang, sedangkan musim pengharapan sawah sudah hampir tiba, tentang harga-harga kebutuhan pokok yang semakin melambung, dan tentang anak-anak mereka.
Sampai kemudian perlahan, Bu Asih yang sepertinya sejak tadi memperhatikan raut Nina mengalihkan pembicaraan.
"Mbak Nina, kok keliatan lesu? Ono opo to Mbak?" tanyanya dengan nada prihatin.
Nina menghela napas panjang, air matanya berkaca-kaca. Ia tak kuasa menyembunyikan kekhawatirannya. "Tanpa aku cerita pun semua orang juga tahu, Bu. Mungkin semua juga mengalami. Hanya saja mungkin aku yang paling parah.”
Nina tanpa sungkan mulai bercerita. Cerita yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Suaranya bergetar, menahan isak tangis.
"Apalagi Agus sudah waktunya daftar sekolah. Kebutuhan sehari-hari, semua kebutuhan pokok naik. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi, Bu. Rasanya sudah nggak ada jalan keluar." Air mata Nina akhirnya tumpah, membasahi pipinya. Ia merasa sangat terbebani, terhimpit oleh masalah yang tak kunjung usai. Ia merasa sangat lelah dan putus asa. Berharap dengan bercerita, bebannya akan berkurang.
Bu Asih mendengar cerita Nina dengan seksama. Tanpa keinginan untuk memotong. Dia paham betul apa yang dialami Nina. Dia pernah berada di titik ini, dulu.
"Kenapa gak nyoba cari pinjaman KUR saja, Mbak? Kalo Kamu mau, Aku punya nomornya Bu Menik, itu loh mantri BRI. Sekarang kan ada program KUR (Kredit Usaha Rakyat), Biar nanti aku hubungi Bu menik buat survei ke sini.” Bu Asih memberi satu solusi.
“Dari pada pergi ke tempat nya Mbah Suro, di sana bunganya mencekik leher.” Bu Asih menambahkan. Bu Asih sendiri pernah melihat, saudaranya hancur, jatuh bangun karena terjerat rentenir.
Nina merasa secercah harapan tiba-tiba menyinari hatinya yang gelap gulita. Apa mungkin, ini jalan keluar dari masalah yang sedang mereka hadapi. Ia menatap Bu Asih sedikit ragu, tetapi sepertinya memang tidak ada yang bisa menjadi penyelamat bagi keluarganya.
“Matur suwun, Bu. Aku akan bicarakan ini dengan mas Wito nanti.”
***
“Jadi, Kamu setuju dengan saran dari Bu Asih, Mas?” Nina bertanya sekali lagi.
“Lha terus mau cari pinjaman di mana buat nutupin hutang-hutang itu, Dek?” Wito balik bertanya.
Nina menghela nafas berat. “Sebenarnya, para ibu yang kemarin bantu tanam juga sudah nanyain kapan upah mereka diberikan, Mas.”
Tak ada pilihan lain. Tampaknya memang saran dari Bu Asih adalah satu-satunya jalan. Dan akhirnya itulah yang mereka tempuh.
***
“Aku kira prosesnya sulit, Mas. Ternyata cuma disurvei, disuruh tanda tangan, datang ke BRI, pulang bawa uang.” Nina menghempaskan tubuhnya di atas kursi usang, sepulang mereka dari BRI.
Ya, setelah melewati berbagai proses selama satu minggu, hari ini pengajuan pinjaman mereka benar-benar cair.
“Ya sudah, nanti segera bayarkan, Dek, yang upah para tetangga. Aku juga harus segera bayar pupuk dan lain-lain.”
“Semoga panen berikutnya hasilnya baik, ya Mas. Supaya kita bisa bayar angsuran.”
Satu masalah teratasi, tinggal memikirkan bagaimana selanjutnya. Karena angsuran menanti mereka.
Nina duduk di atas tikar usang dalam rumahnya, jemarinya cekatan menganyam tas dari bahan anyaman plastik Angin kering berhembus, membawa debu halus yang menyengat mata. Dipandangnya langit tampak semakin jauh, tinggi, seakan mengejek kesedihannya.
Kemarau panjang ini telah membuat sawah-sawah menganga, retak-retak kering, menunggu setetes air hujan yang tak kunjung tiba. Pohon-pohon meranggas, daun-daun berguguran seperti harapan yang sirna.
Nina menghela napas panjang, pandangannya jatuh pada foto keluarga yang bergantung di dinding papan jati tak jauh dari hadapannya. Senyum Agus dan Wito, yang biasanya begitu ceria, kini tampak memudar dalam pandangan matanya.
Beras di lumbung semakin menipis, uang pinjaman dari BRI yang diharapkan bisa membantu mereka bertahan hingga musim panen tiba, telah habis untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Nina merasakan sesak di dadanya, tangannya gemetar saat menyentuh anyaman tas yang belum selesai. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir bayangan-bayangan menakutkan itu.
***
Wito pulang, wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, lalu duduk di dekat Nina. "Dek, aku ditawari kerja bantu Mbak Romlah," katanya.
Mata Nina langsung berbinar, sebuah harapan menyala di dalam hatinya. "Kerja apa, Mas?" tanyanya. "Tapi lututmu...?" Wajahnya yang semula cerah kembali suram saat mengingat kondisi lutut suaminya yang sering kambuh.
Wito menjelaskan pekerjaannya membantu di kios Mbak Romlah, menangani pembeli dan sesekali mengantar barang menggunakan pickup. "Bayarannya tak sebanyak di sawah, Dek," katanya, "tapi lebih ringan bagi lututku. Daripada aku nganggur di rumah, kan lumayan bisa buat beli garam dapur saja."
Nina mengangguk. Dia tahu bahwa Mbak Romlah, tetangganya, adalah pedagang sayur yang sukses di pasar. Kios peninggalan almarhum suaminya itu ramai pembeli. "Ya, aku setuju, Mas," kata Nina, "mungkin itu bisa jadi pemasukan kita. Nggak papa lah walaupun bayarannya nggak sebesar orang kerja di sawah."
"Baiklah kalau begitu. Nanti aku akan pergi ke rumah Mbak Romlah untuk memberikan jawaban," ucap Wito lalu bangkit dan masuk ke dalam rumah.
Wito dulu adalah petani yang tangguh. Dia bangga bisa menghidupi keluarganya dari hasil pertanian. Namun, kondisi lututnya yang dia alami hampir setahun lalu, meruntuhkan harga dirinya. Dia merasa gagal sebagai suami dan ayah, tak mampu memberikan kehidupan layak bagi keluarganya. Tekanan ekonomi membuatnya putus asa. Dia sering termenung di malam hari, merasa beban tanggung jawab yang begitu berat dipundaknya.
***
“Ini bayaranku hari ini, Dek.”
Wajah Nina berbinar ketika menjelang adzan Ashar suaminya pulang dan memberinya selembar uang berwarna biru.
“Alhamdulillah… terima kasih, Mas. Aku akan simpan uang ini, buat beli beras besok. Soalnya beras kita mungkin tinggal untuk makan dua hari saja.” Nina menerima uang pemberian suaminya dan segera menyimpannya. Tak lupa bergegas dia berdiri untuk mengambilkan minum untuk suaminya.
Berangkat dari rumah setelah adzan Subuh, dan baru pulang menjelang Ashar. Kalau itu bekerja di sawah hitungannya sudah satu hari penuh dan akan mendapatkan bayaran sebesar Rp100.000. tetapi saat ini pun suaminya pulang hanya dengan uang Rp50.000. Walaupun begitu Nina tetap bersyukur.
***
Beberapa minggu kemudian, Wito pulang dengan uang lebih banyak. "Pasar ramai, Dek, aku dapat bonus," katanya, senyumnya tampak dipaksakan. Nina merasakan adanya perubahan dalam diri suaminya. Dia terkadang merasa suaminya tampak seperti orang asing.
Suatu malam, Nina memberanikan diri bertanya, "Mas, ada apa? Apa ada masalah?"
Wito yang sedang memperhatikan layar televisi menoleh sekilas, namun hanya diam. "Ah, tidak ada apa-apa. mungkin aku hanya lelah saja."
"Tapi aku merasa belakangan ini kamu aneh," sergah Nina.
"Itu hanya perasaanmu saja."
***
“Tidak usah siapkan makan untukku, Dek. Buat kamu sama Agus saja. Aku sudah makan di pasar tadi,” ucap Wito ketika Nina akan menyiapkannya makan.
“Padahal aku bikin sayur asem, sambal terasi, sama goreng ikan asin kesukaanmu loh Mas.” Nina sedikit kecewa.
“Iya Dek. Maaf ya. Tadi sebelum pulang Mas benar-benar kelaparan. Makanya Mas cari makan sebelum pulang.” Wito memberikan pengertian pada istrinya.
Nina mengerti, karena memang suaminya pulang sudah sore sekali, jadi pasti kelaparan di sana.
“Jangan cuma ikan asin setiap hari Dek. Belilah juga daging ayam, supaya kamu dan Agus ada gizinya. Aku kan kerja keras buat kalian berdua.” Walaupun tidak ikut makan tetapi Wito menemani istrinya.
“Yah, Ayah. Tadi Agus belajar gambar di sekolah.” Agus datang menunjukkan buku gambarnya pada ayahnya.
“Wahh, anak ayah sudah pintar. Ayo selesaikan makannya, habis itu ayah temani belajar.”
Nina merasa ada yang aneh dengan sikap suaminya belakangan. terkadang terlihat perhatian, tapi terkadang juga terlihat begitu cuek dan terkesan dingin.
***
Musim panen yang ditunggu tiba. Dan kali ini Nina benar-benar bersyukur, hasil panennya benar-benar sesuai harapan sehingga dia bisa membayar angsuran di BRI tepat waktu. Selain itu saat ini mereka juga tidak lagi memiliki banyak hutang seperti sebelumnya.
Hari telah gelap. Matahari sudah tak menampakkan sinarnya sejak beberapa saat lalu. Nina menunggu suaminya dengan gelisah. Tidak biasanya suaminya pulang sampai lewat maghrib. Hujan mengguyur bumi sejak satu jam yang lalu, mungkin itulah penyebabnya.
“Ayah kok belum pulang ya Bu?” Tanya Agus yang sedang duduk sambil menonton film kartun di televisi.
“Mungkin karena masih hujan, Nak. Pasti ayah ada di rumah Bulik Romlah,” jawab Nina. “Kamu makan saja duluan. Biar nanti Ibu makan bareng ayah.”
“Apa aku jemput saja, ya,” pikir Nina. “Mungkin Mas Wito tidak bisa pulang karena nunggu hujan reda.” Akhirnya wanita itu berdiri dan mencari payung untuk menjemput suaminya. Ini sudah hampir isya, suaminya pasti kelelahan. Kalau dia menjemput suaminya suaminya akan bisa segera istirahat di rumah.
“Agus tunggu di rumah ya, Ibu mau jemput Ayah dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari anaknya, Nina langsung keluar menerobos hujan.
***
Lima belas menit berjalan kaki, Nina sampai juga di rumah Mbak Romlah. Pintu tertutup rapat, mungkin karena hujan. Diletakkan nya payung yang dia pegang. Bersedekap menahan hawa dingin. Nina segera mengetuk pintu. Lama sekali tak juga ada yang membukakan pintu. Tak terdengar suara apapun dari dalam, karena kalah dengan suara hujan.
Tak menyerah, Nina kembali mengetuk pintu, hingga asanya membuahkan hasil, pintu terbuka.
“Siapa sih datang malam-malam?” Seorang wanita membuka pintu sambil mengomel. Itu adalah Mbak Romlah. Yang membuat Nina tercengang sambil menutup mulutnya adalah, kondisi Mbak Romlah yang hanya berbalut handuk. Pikiran negatif langsung saja menyerbu otak Nina.
“Aku datang untuk menjemput Mas Wito. Mana mas Wito, Mbak?” Nina merangsek masuk dengan berbagai pikiran berkecamuk, karena tak nampak suaminya di ruang tamu rumah tersebut.
“Dek Romlah, siapa sih yang datang? Kok Kamu lama sekali?”
“Mas Wito…?” Nina menatap nanar melihat penampilan suaminya yang baru saja muncul dengan hanya mengenakan celana bokser dan bertelanjang dada.
“Apa ini, Mas?” Nina berjalan mendekat, dan tanpa sadar air matanya mengucur deras.
“Mas Wito…?” Nina terpaku menatap Wito yang hanya mengenakan celana boxer saja
"Apa ini, Mas?" Air mata Nina jatuh. Kepercayaan hancur.
Wito mencoba menjelaskan, tapi Nina tak mampu mendengar. Bayangan kerja kerasnya, uang yang dikumpulkan, sirna. Ia melihat Mbak Romlah yang masih berdiri di ambang pintu, tanpa rasa bersalah. Lalu kemeja dan celana Wito teronggok di lantai.
"Penjelasan apa lagi?" Suara Nina lemah, penuh kepedihan. "Aku sudah melihat semuanya."
Wito tertunduk. Kebaikan Mbak Romlah, kesempatan berduaan saat hujan, kelelahan, semuanya menjerumuskan. Kecantikan Mbak Romlah, berbeda dengan istrinya yang kusam, membuatnya silau. Ini bukan pertama kalinya. Pulang terlambat, bukan karena pasar, tapi…
"Aku khilaf," lirih Wito.
Nina terisak. Suaminya yang menyayanginya, tega berbuat demikian. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Wito, tapi juga Mbak Romlah.
Nina menatap Mbak Romlah sambil tersenyum sinis. "Kenapa, Mbak?" tanya Nina maaih mencoba menahan amarah. "Kamu cantik, kaya. Kenapa harus suamiku?"
Mbak Romlah tersenyum lebih lebar. "Jangan pura-pura bodoh. Uang Wito, sebagian besar hasil 'perjanjian' kita. Kau menikmati hasilnya, hutangmu lunas. Bersyukurlah."
Kalimat yang keluar dari mulut Romlah terasa begitu menusuk. Harga dirinya jatuh. Kehidupan yang lebih mudah, ternyata dibangun di atas pengkhianatan Wito.
Nina menggeleng. "Kamu memanfaatkan kesusahan kami! Kamu juga wanita, tidakkah kamu merasa sakit hati jika diperlakukan demikian?"
"Banyak omong! Kau munafik! Padahal Kau menikmati uangku! Tanpaku, apa bisa kau lunasi hutang?" ejek Mbak Romlah.
"Aku tak butuh kemudahan dengan cara menjijikkan ini!" bentak Nina. "Aku lebih baik miskin dan menjaga harga diri!"
Nina menatap Wito, penyesalan di matanya tak cukup menghapus luka. Dia merasa dipermainkan.
"Ingatlah kaluan berdua, hukum tabur tuai itu ada. Jika pun tidak sekarang, pasti suatu saat nanti."
Nina berbalik, lalu meninggalkan rumah Romlah dengan membawa luka hatinya. Hujan membasahi tubuhnya, tak sebanding dengan air matanya. Agus menunggunya. Bagaimana dia akan menjelaskannya?
Dia tak tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya, tapi satu hal yang pasti, dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali harga dirinya, dan memutuskan masa depannya, tanpa harus bergantung pada belas kasihan atau kemudahan yang diperoleh dengan cara menjijikkan.
Di perjalanan pulang, Nina merenungkan semuanya. Dia tak bisa langsung memutuskan untuk bercerai. Dia harus memikirkan Agus, masa depan anaknya. Namun, kepercayaan yang telah hancur, sulit untuk dibangun kembali. Dia harus mencari kekuatan baru untuk menghadapi semuanya, untuk dirinya sendiri, dan untuk Agus.
"Ayah mana, Bu?" tanya Agus. Nina hanya bisa memeluknya erat, menyembunyikan kesedihan.
"Ayah masih kerja. Agus tidur saja dulu, ya?"
Agus, anak kecil berusia enam tahun itu mengangguk. Dia tidak tahu ada apa. Tapi dia merasa ibunya sedang tidak baik-baik saja.
Wito datang beberapa saat kemudian, tubuhnya basah kuyup karena menerobos hujan. Dia melihat Nina duduk di tepi ranjang tua di kamar mereka yang sempit. Punggung wanita itu menelungkup, bahu bergetar menahan isak tangis. Hujan tak kunjung reda, bahkan mencurahkan airnya semakin deras. Seakan ikut menangis bersama Nina,
Wito mendekat, ingin memberikan pelukan, mengucapkan kata-kata penyesalan. Namun, sebelum dia sampai, Nina menepis tangannya dengan kasar. Tatapannya tajam, dipenuhi luka dan amarah yang membara.
"Jangan sentuh aku!" bentak Nina, suaranya tertahan isak. "Bagaimana bisa kau tega melakukan ini padaku, Mas? Setelah semua pengorbanan yang kulakukan, setelah semua kerja keras kita bersama untuk melunasi hutang, kau malah... kau malah..." Nina terisak, tak mampu melanjutkan kalimatnya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat.
Wito tersentak, hatinya semakin remuk. Baru sadar bahwa dia telah melukai wanita yang dicintainya sedemikian rupa. Dia mengerti, kata-kata tak akan mampu memperbaiki semuanya. Kesalahan yang telah dia perbuat terlalu besar, terlalu menyakitkan.
Nina menatap Wito dengan mata yang berkaca-kaca, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan yang mendalam. "Aku mempercayaimu, aku mengandalkanmu, tapi ternyata, kamu membalasnya dengan pengkhianatan yang begitu menyakitkan!" suaranya meninggi, dipenuhi rasa sakit hati yang amat dalam.
"Kau telah menghancurkan kepercayaan, menghancurkan harga diriku, dan menghancurkan keluarga kita!" Nina mengepalkan tangannya, menahan amarah yang hampir meledak. "Aku benci kamu, Mas Wito! Aku sangat membencimu!" teriaknya, suaranya penuh keputusasaan.
“Apa Kamu tahu, Mas? Seandainya saja bisa, aku ingin mengorek kembali isi perutku agar aku bisa memuntahkan nya kembali. Aku jijik mengingat ternyata aku makan dengan menjual tubuh suamiku untuk dinikmati wanita lain.”
Tanpa mereka sadari, pertengkaran hebat itu disaksikan oleh Agus, anak mereka yang baru saja duduk di bangku TK. Agus, yang semula hendak berangkat tidur, urung dan berlari mendekat saat mendengar suara bentakan ibunya. Ia melihat orang tuanya bertengkar dengan hebat, air mata mengalir deras di wajah ibunya, sedangkan ayahnya tertunduk lesu. Kata-kata yang mereka ucapkan tak dimengerti Agus, namun ia merasakan suasana tegang dan menakutkan. Hati kecilnya dipenuhi ketakutan dan kebingungan.
Agus melihat ibunya menangis tersedu-sedu, bahunya bergetar hebat. Ia ingin mendekat, ingin memeluk ibunya, namun kakinya terasa berat, tak mampu melangkah. Ia hanya bisa diam terpaku, menyaksikan pertengkaran orang tuanya dengan pandangan kosong. Air mata yang semakin membanjiri pipinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!