Nina menatap nanar punggung suaminya yang kian menjauh. “Baiklah jika ini pilihanmu, Mas!”
Tangan Nina terkepal erat, jika wito memilih tetap mempertahankan hubungan dengan Romlah maka dia juga punya pilihan sendiri untuk hidupnya.
Nina menghela napas panjang. Keputusan Wito membuatnya sakit hati, namun ia tak mau larut dalam kesedihan. Ia harus berpikir jernih. Agus masih membutuhkannya. Tapi bukan dengan cara pasrah diam saja. Dia tak kan bertahan hidup dalam kesakitan. Ia harus kuat demi anaknya.
Sakit hati yang diberikan oleh Wito bahkan lebih sakit daripada saat dia hidup menanggung hutang. Dia berniat memberi kesempatan kedua untuk suaminya. Tapi jika Wito yang tak bisa dikasih hati, maka dia yang akan melepaskan diri.
Setelah Agus berangkat sekolah, Nina membereskan rumah. Pikirannya melayang pada rencana yang baru saja ia putuskan. “Aku akan menemui ayah,” gumamnya.
Nina berniat pergi ke rumah ayahnya. Bukan hanya untuk menceritakan masalah rumah tangganya, tetapi juga untuk meminta bantuan. Ayah Nina adalah seorang tokoh masyarakat, yakni kepala linmas yang disegani di kampung sebelah, mungkin bisa memberikan solusi.
Sebelum berangkat, Nina kembali berpikir. Apa benar ini keputusan terbaik. Tapi sepertinya dia memang tak memiliki pilihan lain. Dia tak mau hidup dengan berbagi hati. Dia tak sekuat itu. Membayangkan suaminya berbagi peluh dengan Romlah saja sudah membuat dadanya sesak. Dia merasa jijik.
“Selama ini aku hanya diam. Aku bahkan mengesampingkan jika aku masih memiliki orang tua. Aku tak pernah mengadu atau minta bantuan pada mereka sesulit apapun kehidupan kita. Itu karena aku masih menjaga harga dirimu sebagai seorang suami, Mas!” gumam Nina.
“Tapi ternyata Kamu yang tak bisa menjaga keutuhan cinta dan rumah tangga kita. Bisa-bisanya kamu menduakan aku hanya karena hutang. Apa sebegitu tak berdayanya dirimu? Atau memang kamu yang tak bisa mengendalikan nafsumu!”
Perjalanan ke rumah ayahnya tak terlalu jauh. Nina sampai di sana setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit dengan sepeda ontelnya.
“Pak,,, Bapak,,,, ini loh Nina datang.” Ibunya yang sedang duduk di teras berteriak sambil memeluknya. Air mata Nina tanpa terasa menetes. Padahal dia memiliki orang tua yang begitu menyayanginya, tapi dia membiarkan dirinya kesusahan bersama Wito selama ini. Dan lihat apa balasan yang diberikan oleh Wito.
“Kamu datang sendiri, Nduk? Mana suamimu?” Ayahnya memeluknya menyambutnya dengan hangat, seolah sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu, padahal baru beberapa hari yang lalu mereka berjumpa saat meninggalnya ayah mertua. Pak Sukadi senang dengan kedatangan anaknya, namun tatapannya menunjukkan ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi. Lelaki tua itu merasa anaknya sedang tidak baik-baik saja. Pak Sukadi segera membawa anaknya untuk masuk ke dalam rumah.
“Yudi tidak pulang, Yah?” Nina menanyakan adiknya yang juga sudah menikah. Dulu adiknya tinggal di sini bersama istrinya, tapi, semenjak mertuanya terkena stroke, adiknya itu tinggal di rumah mertuanya, karena istrinya harus merawat orang tuanya.
“Kemarin dia pulang sebentar sama anaknya. Keponakanmu itu sudah bisa berlari-lari sekarang.” Bu Tini, ibu Nina menyahut sambil meletakkan segelas air putih untuk Nina. Nina pun menerimanya dan langsung meminumnya hingga tandas. Dia memang haus setelah bersepeda selama tiga puluh menit.
“Ada apa? Beduk-beduk (siang bolong saat matahari berada di atas kepala) gini kamu datang ke sini, pasti bukan untuk sekedar menengok ayah dan ibumu, kan?”
Nina menghapus air matanya sebelum kemudian menceritakan semuanya. Dari mulai saat Wito bekerja dengan Romlah, sampai kemudian dia mengetahui Wito yang berselingkuh dengan Romlah, pertengkarannya dengan Wito, dan wito yang memilih mempertahankan hubungan dengan Romlah. Semua tak ada yang luput dia ceritakan.
Ayahnya mendengarkan dengan sabar. Sesekali ia mengangguk, menunjukkan ia memahami situasi yang dihadapi Nina. Setelah Nina selesai bercerita, ayahnya berkata, "Tenanglah, Nak. Ayah akan membantumu. Kamu tunggu di sini dulu. Ayah mau manggil pak Lik mu biar dia ke sini."
Selama ini pak Sukadi juga mendengar tentang kehidupan putrinya. Tetapi karena Nina juga tak pernah datang untuk mengeluh, maka dia juga merasa tidak perlu untuk ikut campur. Sekarang, karena putrinya sendiri yang datang mengadu, maka sebagai orang tua, dia pasti akan melakukan yang terbaik untuk anaknya.
Pak Sukadi mengambil bajunya yang tersampir di sandaran kursi kemudian mengenakannya. Setelah itu lelaki tua itu mengeluarkan sepeda motornya dan pergi.
Nina menatap kepergian ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Sebenarnya dia tidak ingin membebani hati ayahnya, tapi dia tak punya pilihan lain. Dia juga tak tahu mau mengadu ke mana jika bukan pada ayahnya.
Pak Lik yang dimaksud ayahnya adalah adik kandung ayahnya yang juga tinggal di desa itu. Tak jauh dari rumah ayahnya. Pak Lik Parni menjadi perangkat desa dengan jabatan sebagai Kaur keuangan dan biasa dipanggil dengan sebutan Pak Bayan.
“Lebih baik Kamu pulang lagi ke sini saja, Nin,” ucap Bu Tini. Wanita tua itu tampak tak rela putrinya diselingkuhi.
Kalau memang maa Wito tidak bisa diajak kembali ya aku akan pulang ke sini, Bu. Rumah itu akan ku cabut,” jawab Nina.
Bu Tini mengangguk. Rumah yang ditempati Nina bersama wito saat ini memang rumah pemberian ayahnya. karena ayahnya tak tega melihat Nina tinggal berdesakan di rumah mertuanya yang sempit. (Rumah di desa kebanyakan terbuat dari papan dan kayu jati ya, gaes. Bukan rumah bata permanen. Jadi rumah bisa dibongkar dan pasang kembali kapan pun mau)
Beberapa saat kemudian ayahnya pulang dengan Pak Lik bayan dalam boncengannya.
“Pripun kabare, Pak Lik?” Sapa Nina. Diciumnya punggung tangan pria itu takzim.
“Alhamdulillah. Lha kowe piye kabarmu?”
Mereka pun berbasa-basi sebentar sebelum kemudian membahas permasalahan yang dihadapi oleh Nina.
“Lha kowe opo wis manteb tenan?” Pak Lik bayan mempertanyakan kembali keputusan keponakannya.
“Aku sudah benar-benar yakin, Pak Lik. Lagipula apa yang mau aku pertahankan. Aku hanya minta Pak Lik lik mengusahakan hak asuh Agus jatuh padaku!” Nina menatap Pak Bayan dengan penuh tekad.
“Dan satu lagi, Pak Lik. Ini tentang rumah yang kami tempati. Itu adalah rumah pemberian ayah, jadi sudah seharusnya kembali secara utuh padaku. Sedangkan tanah tempat berdirinya rumah kami, itu dibeli dengan hasil kerja keras kami berdua, dibeli setelah kami menikah, jadi aku minta itu dihitung sebagai harta gono-gini! Kalau dia bisa dia boleh nyusuki. Kalau tidak, tanah itu akan aku jual dan uangnya dibagi dua!”
Pak Bayan mengangguk-anggukkan mendengar penjelasan Nina yang menurutnya sangat gamblang. “Baiklah, Pak Lik akan menghubungi teman Pak Lik sesama pamong di sana. Tenang saja, semua pasti beres.”
***
Beberapa hari kemudian, ayah dan pak lik nya Nina dengan membawa dua orang pamong desa Suka Mulya datang ke rumah Nina untuk menemui Wito. Tak lupa mereka juga mendatangkan kang Damin sebagai saudara Wito.
“Dek,,,? Kenapa seperti ini?” Wito menatap nanar istrinya. Dia baru saja pulang dari pasar bersama dengan Romlah. Bahkan sebelumnya dia masih berada di rumah Romlah, niatnya mau bercocok tanam dulu sebelum pulang. Tapi sebelum niat terlaksana seorang tetangga mengatakan kalau ada pamong desa sedang menunggunya di rumah.
Dan kini, alangkah lebih terkejut lagi Wito setelah tahu tujuan mereka. Dia pikir Nina yang beberapa hari ini diam, karena wanita itu sudah bisa menerima keadaan. Siapa sangka ternyata istrinya malah diam-diam sedang mengurus perceraian.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
FT. Zira
kayu jati kan mehong Mi
2025-04-06
1
〈⎳ Moms TZ
bener ini namanya pak lik parni?
bukan parno?
2025-04-07
1
〈⎳ Moms TZ
sukurin, siap suruh kamu lebih getol nggarap sawah tetangga drpd sawah sendiri/Curse/
2025-04-07
0