05

Nina menghela napas panjang, disekanya air mata yang perlahan kembali menetes. Dia tak boleh lemah. Ada Agus yang masih membutuhkannya. Nina mencoba menenangkan hatinya yang masih berguncang.

“Aku harus memberitahu kang Damin,” gumamnya. Setitik asa yang muncul. Berharap Kang Damin, kakak iparnya itu bisa membantunya, setidaknya memberikan dukungan moral.

Pekerjaan rumah telah selesai. Dengan langkah pasti ia melangkah menuju rumah Kakak iparnya, hati penuh harap dan cemas bercampur aduk.

Hanya butuh waktu lima belas menit dengan sepeda ontel, Nina sampai di rumah kakak iparnya yang berada di desa sebelah.

"Nina? Tumben main? Ayo masuk!!" sapa Mbak Sari, istri kang Damin dengan senyum ramah.

Nina tersenyum kecil, tetapi hatinya masih bergetar. "Terima kasih, Mbak Sari. Aku mau ketemu Kang Damin. Apa Kang Damin di rumah?"

“Oh, ada. Duduk dulu! Bentar aku panggilkan kakakmu. Dia lagi nyombor (memberi makan ternak berupa bekatul dicampur air) sapi, tadi.” Mbak Sari pun pergi ke belakang rumah untuk memanggil suaminya.

Nina mengangguk, tapi dia masih berdiri di tempatnya sambil meremas ujung bajunya.

Beberapa saat kemudian, laki-laki yang biasa dia panggil dengan sebutan Kang Damin muncul dari dalam rumah dengan ekspresi datarnya. "Oh, istrinya Wito! Ada apa? Kenapa kelihatannya kamu tidak tenang?"

Nina menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. "Begini, Kang Damin, saya butuh bicara serius. Ini tentang mas Wito."

Mendengar nada suara Nina yang berbeda, Kang Damin segera duduk di kursi dan mengisyaratkan agar Nina duduk di depannya. "Apa yang terjadi? Ngomong saja! Kalian ditagih hutang lagi?"

Nina menggeleng, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. "Kang, Mas Wito berselingkuh dengan Mbak Romlah."

Raut wajah Kang Damin berubah seketika. Dia mendengarkan dengan serius, tetapi semakin lama semakin terlihat ketidakpuasan di wajahnya.

Kang Damin meragukan cerita Nina. "Mungkin kamu salah paham. Wito bukan orang seperti itu.”

"Ini kenyataan, Kang!” Nina kemudian menceritakan apa yang dilihatnya kemarin malam di rumah mbak Romlah, dan juga menceritakan pengakuan Wito sendiri.

Kang Damin menyandarkan tubuhnya ke belakang sofa “Jadi, kamu mau aku ngapain, Nin?” Kang Damin bertanya dengan nada santai. Tanpa beban. Seolah yang dilakukan Wito adalah sesuatu yang wajar.

“Kamu ini, dari dulu nggak pernah kerja. Cuma mengandalkan Wito. Sekarang dia selingkuh, kamu ribut,” ucap Kang Damin, suaranya terdengar dingin dan penuh ejekan. “Dadi wong wedok mbok ora usah kakean crewet!”

Nyess…

Sakit, itu yang dirasakan Nina mendengar ucapan kakak iparnya.

“Lagian, kamu dapat apa sih dari marah-marah? Mbok wis biarkan saja. Wito begitu itu buat cari nafkah. Kamu enak-enakan di rumah, wis nggak perlu mikir utang!”

"Kadang kita harus menerima kenyataan pahit dalam hidup ini. Kamu contoh itu Mbak Yu mu." Damin menunjuk ke arah istrinya. Nina melihat Mbak Sari yang hanya diam menunduk. Sama sekali tak menimpali percakapan mereka. Sungguh miris.

“Mbak Yu mu itu istri yang patuh, dan gak pernah neko-neko. Apa kamu gak bisa nyonto Mbak Yu mu itu?”

Nina menggeleng tak percaya mendengar perkataan kakak iparnya itu. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya. "Aku datang ke sini, berharap Kang Damin bisa mendukungku dalam situasi sulit ini, tapi ternyata aku salah."

Kang Damin mendengus kasat. "Dukungan seperti apa? Apa yang harus aku dukung? Kamu mau aku ngamuk-ngamuk sama Wito? Gitu? Opo mbuk kiro aku kurang gawean opo piye? Itu urusan rumah tangga kalian. Wong kamu itu loh, jadi perempuan yo gak pernah kerja, iso mu gur masak (memasak), macak (berhias), manak (melahirkan). Mbok yo ora sah kakean omong!”

Lagi, setiap kata yang terucap dari bibir kakak iparnya membuat Nina tak bisa berkata-kata.

“Wito selingkuh sama Romlah, lha mbok yo wes ben wae. Mungkin Romlah lebih perhatian sama Wito. Dia juga lebih bisa bantu Wito. Lha wong Wito nina ninu sama Romlah, juga uangnya dikasih ke kamu. Kamu itu harusnya seneng. Tinggal enak-enakan di rumah, nggak perlu mikir apa-apa. Daripada kamu ribut-ribut, malah gak dapat apa-apa, lebih baik terima saja. Toh kamu juga yang menikmati hasilnya.”

Kalimat demi kalimat Kang Damin bagai sebilah pisau yang menusuk-nusuk hati Nina. Ia merasa sangat kecewa dan terluka. Bukannya mendapatkan dukungan, ia malah mendapatkan cibiran dan sikap yang terkesan membenarkan perselingkuhan suaminya, bahkan menyalahkan Nina sendiri. Air mata Nina jatuh membasahi pipinya. Ia merasa sangat sendirian dan terhina.

“Jadi…kang Damin tidak akan membantuku?” tanya Nina, suaranya hampir tak terdengar.

Kang Damin menggeleng. “Mau bantu apa. Urusan kaya gini aja kok dibikin ribut. Kakean lambe kowe kui!”

Nina terdiam. Ia tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia bangkit, meninggalkan rumah kakak iparnya tanpa pamit. Hatinya remuk redam. Harapannya untuk mendapatkan dukungan dari kakak iparnya pupus sudah. Ia merasa semakin terpuruk dan sendirian menghadapi masalahnya.

Nina kembali mengayuh sepeda onthelnya, pulang dengan hati yang semakin hancur. Pandangan kosong. Air mata masih mengalir di pipinya, bukan hanya sedih, namun juga getir, muak dan ironi. Menghela nafas panjang. Kini dia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri .

Berhenti sejenak ketika melewati rumah mertuanya. Diperhatikannya rumah kecil itu, di sanalah dulu mereka ikut tinggal. Dia, suami, dan anaknya. Di rumah yang sempit tapi dia merasa hatinya damai.

Sekarang mereka sudah bisa tinggal di rumah sendiri, rumah yang diberikan oleh orang tua Nina. Rumah di mana mereka bisa berteduh dan tidur dengan nyaman. Tapi sayangnya, rasa nyaman itu kini pudar karena suaminya telah berubah haluan. Apa Iya dia mengadu saja pada mertuanya? Aah rasanya percuma juga. Mertuanya yang sudah renta itu tak akan paham apa yang dia rasakan. Akhirnya Nina memilih melanjutkan perjalanan untuk pulang kembali ke rumahnya.

*

*

"Bodohnya aku," gumamnya sambil menghempaskan bobot tubuhnya di kursi kayu. Suaranya nyaris tak terdengar. "Bagaimana bisa aku berharap pada Kang Damin?" Nina tertawa getir.

Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir rasa kecewa yang begitu menyesakkan dada. Bayangan wajah Kang Damin yang sinis dan ucapan-ucapannya yang menyakitkan masih terngiang jelas di telinganya.

"Nggak pernah kerja, cuma ngurus rumah." ia mengingat setiap ucapan Kakak iparnya. "Dia benar, aku memang tidak pernah bekerja di luar. Tapi pekerjaan di rumah dan di sawah sendiri juga tak ada habisnya. Hingga kami tak perlu membayar orang untuk memupuk sama matun (menyiangi rumput yang mengganggu tanaman pokok). Apa itu bahkan tak terlihat?”

Rasa lelah dan putus asa memenuhi jiwanya. Ia merasa telah dipermalukan dan direndahkan. Bukan hanya oleh Wito, tapi juga oleh kakak iparnya yang seharusnya menjadi tempat ia mengadu dan meminta pertolongan.

"Bagaimana bisa aku lupa? Dia sendiri saja tukang selingkuh," Nina bergumam lagi. "Jadi, mana mungkin dia akan menyalahkan Wito. Mereka berdua sama saja."

Ia tertawa getir, suara tawanya terdengar pilu. "Mereka sama-sama brengsek," batinnya. "Mbak Sari saja yang bodoh. Sudah diselingkuhi bertahun tahun masih saja ngglesot koyo babu.” Tak hanya geram pada Damin, tapi juga pada Mbak Sari yang cuma pasrah.

“Apa jangan-jangan kang Damin sebenarnya sudah tahu perselingkuhan mas Wito ya?” Ia mengusap kasar air matanya. Mentertawakan dirinya sendiri. “Ternyata aku benar-benar bodoh. Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingku. Beranggapan semua baik-baik saja. Ternyata aku dikhianati sendirian.”

“Aku tidak boleh diam saja.” Ia bangkit dari duduknya. Ia harus memikirkan langkah selanjutnya. Ia tak bisa terus berlarut dalam kesedihan. Demi Agus, anaknya, ia harus kuat dan menemukan jalan keluar dari permasalahan ini. Ia harus bangkit dari keterpurukan ini. Tapi bagaimana caranya? Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.

***

“Ini bayaranku hari ini, Dek!” Wito mendekat dengan menyodorkan selembar uang berwarna merah. Hari masih agak siang. Baru saja mau adzan ashar. Tumben suaminya sudah di rumah.

Nina tak mengambil uang itu. Ditatapnya wajah Wito datar. “Bayaran dari mana, Mas? Bayaran dari menjual diri?” tanyanya sarkas.

“Nina!” bentak Wito. Sebagai seorang suami, harga dirinya merasa terluka.

“Kenapa marah, Mas? Itu kenyataan kan?” Nina tertawa sinis. “Aku kira hanya wanita saja yang bisa menjual diri. Ternyata laki-laki juga hebat.”

“Nina!!!”

Plakkk…

Terpopuler

Comments

Patrick Khan

Patrick Khan

wito lg mabok romlah😂😂

2025-04-03

0

〈⎳ Moms TZ

〈⎳ Moms TZ

kan gak dpt duit jd gak diitung kerja, begitulah ibu rumahtangga, selalu dipandang sebelah mata, padahal pekerjaan gak ada habisnya klo mau dipegang semua. dari bangun tidur mpe mau tidur lagi

2025-04-07

0

𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒

𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒

ehh mergo kowe podo2 lanange mgkn jg klakuane 11 12 ya lambene perlu d jait. wong wedhok ra tau kerjo lha mmng shrse bgtu , g d ky skrg para istri sbk kerja bantu suaminya

2025-04-03

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!