Nina duduk di atas tikar usang dalam rumahnya, jemarinya cekatan menganyam tas dari bahan anyaman plastik Angin kering berhembus, membawa debu halus yang menyengat mata. Dipandangnya langit tampak semakin jauh, tinggi, seakan mengejek kesedihannya.
Kemarau panjang ini telah membuat sawah-sawah menganga, retak-retak kering, menunggu setetes air hujan yang tak kunjung tiba. Pohon-pohon meranggas, daun-daun berguguran seperti harapan yang sirna.
Nina menghela napas panjang, pandangannya jatuh pada foto keluarga yang bergantung di dinding papan jati tak jauh dari hadapannya. Senyum Agus dan Wito, yang biasanya begitu ceria, kini tampak memudar dalam pandangan matanya.
Beras di lumbung semakin menipis, uang pinjaman dari BRI yang diharapkan bisa membantu mereka bertahan hingga musim panen tiba, telah habis untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Nina merasakan sesak di dadanya, tangannya gemetar saat menyentuh anyaman tas yang belum selesai. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir bayangan-bayangan menakutkan itu.
***
Wito pulang, wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, lalu duduk di dekat Nina. "Dek, aku ditawari kerja bantu Mbak Romlah," katanya.
Mata Nina langsung berbinar, sebuah harapan menyala di dalam hatinya. "Kerja apa, Mas?" tanyanya. "Tapi lututmu...?" Wajahnya yang semula cerah kembali suram saat mengingat kondisi lutut suaminya yang sering kambuh.
Wito menjelaskan pekerjaannya membantu di kios Mbak Romlah, menangani pembeli dan sesekali mengantar barang menggunakan pickup. "Bayarannya tak sebanyak di sawah, Dek," katanya, "tapi lebih ringan bagi lututku. Daripada aku nganggur di rumah, kan lumayan bisa buat beli garam dapur saja."
Nina mengangguk. Dia tahu bahwa Mbak Romlah, tetangganya, adalah pedagang sayur yang sukses di pasar. Kios peninggalan almarhum suaminya itu ramai pembeli. "Ya, aku setuju, Mas," kata Nina, "mungkin itu bisa jadi pemasukan kita. Nggak papa lah walaupun bayarannya nggak sebesar orang kerja di sawah."
"Baiklah kalau begitu. Nanti aku akan pergi ke rumah Mbak Romlah untuk memberikan jawaban," ucap Wito lalu bangkit dan masuk ke dalam rumah.
Wito dulu adalah petani yang tangguh. Dia bangga bisa menghidupi keluarganya dari hasil pertanian. Namun, kondisi lututnya yang dia alami hampir setahun lalu, meruntuhkan harga dirinya. Dia merasa gagal sebagai suami dan ayah, tak mampu memberikan kehidupan layak bagi keluarganya. Tekanan ekonomi membuatnya putus asa. Dia sering termenung di malam hari, merasa beban tanggung jawab yang begitu berat dipundaknya.
***
“Ini bayaranku hari ini, Dek.”
Wajah Nina berbinar ketika menjelang adzan Ashar suaminya pulang dan memberinya selembar uang berwarna biru.
“Alhamdulillah… terima kasih, Mas. Aku akan simpan uang ini, buat beli beras besok. Soalnya beras kita mungkin tinggal untuk makan dua hari saja.” Nina menerima uang pemberian suaminya dan segera menyimpannya. Tak lupa bergegas dia berdiri untuk mengambilkan minum untuk suaminya.
Berangkat dari rumah setelah adzan Subuh, dan baru pulang menjelang Ashar. Kalau itu bekerja di sawah hitungannya sudah satu hari penuh dan akan mendapatkan bayaran sebesar Rp100.000. tetapi saat ini pun suaminya pulang hanya dengan uang Rp50.000. Walaupun begitu Nina tetap bersyukur.
***
Beberapa minggu kemudian, Wito pulang dengan uang lebih banyak. "Pasar ramai, Dek, aku dapat bonus," katanya, senyumnya tampak dipaksakan. Nina merasakan adanya perubahan dalam diri suaminya. Dia terkadang merasa suaminya tampak seperti orang asing.
Suatu malam, Nina memberanikan diri bertanya, "Mas, ada apa? Apa ada masalah?"
Wito yang sedang memperhatikan layar televisi menoleh sekilas, namun hanya diam. "Ah, tidak ada apa-apa. mungkin aku hanya lelah saja."
"Tapi aku merasa belakangan ini kamu aneh," sergah Nina.
"Itu hanya perasaanmu saja."
***
“Tidak usah siapkan makan untukku, Dek. Buat kamu sama Agus saja. Aku sudah makan di pasar tadi,” ucap Wito ketika Nina akan menyiapkannya makan.
“Padahal aku bikin sayur asem, sambal terasi, sama goreng ikan asin kesukaanmu loh Mas.” Nina sedikit kecewa.
“Iya Dek. Maaf ya. Tadi sebelum pulang Mas benar-benar kelaparan. Makanya Mas cari makan sebelum pulang.” Wito memberikan pengertian pada istrinya.
Nina mengerti, karena memang suaminya pulang sudah sore sekali, jadi pasti kelaparan di sana.
“Jangan cuma ikan asin setiap hari Dek. Belilah juga daging ayam, supaya kamu dan Agus ada gizinya. Aku kan kerja keras buat kalian berdua.” Walaupun tidak ikut makan tetapi Wito menemani istrinya.
“Yah, Ayah. Tadi Agus belajar gambar di sekolah.” Agus datang menunjukkan buku gambarnya pada ayahnya.
“Wahh, anak ayah sudah pintar. Ayo selesaikan makannya, habis itu ayah temani belajar.”
Nina merasa ada yang aneh dengan sikap suaminya belakangan. terkadang terlihat perhatian, tapi terkadang juga terlihat begitu cuek dan terkesan dingin.
***
Musim panen yang ditunggu tiba. Dan kali ini Nina benar-benar bersyukur, hasil panennya benar-benar sesuai harapan sehingga dia bisa membayar angsuran di BRI tepat waktu. Selain itu saat ini mereka juga tidak lagi memiliki banyak hutang seperti sebelumnya.
Hari telah gelap. Matahari sudah tak menampakkan sinarnya sejak beberapa saat lalu. Nina menunggu suaminya dengan gelisah. Tidak biasanya suaminya pulang sampai lewat maghrib. Hujan mengguyur bumi sejak satu jam yang lalu, mungkin itulah penyebabnya.
“Ayah kok belum pulang ya Bu?” Tanya Agus yang sedang duduk sambil menonton film kartun di televisi.
“Mungkin karena masih hujan, Nak. Pasti ayah ada di rumah Bulik Romlah,” jawab Nina. “Kamu makan saja duluan. Biar nanti Ibu makan bareng ayah.”
“Apa aku jemput saja, ya,” pikir Nina. “Mungkin Mas Wito tidak bisa pulang karena nunggu hujan reda.” Akhirnya wanita itu berdiri dan mencari payung untuk menjemput suaminya. Ini sudah hampir isya, suaminya pasti kelelahan. Kalau dia menjemput suaminya suaminya akan bisa segera istirahat di rumah.
“Agus tunggu di rumah ya, Ibu mau jemput Ayah dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari anaknya, Nina langsung keluar menerobos hujan.
***
Lima belas menit berjalan kaki, Nina sampai juga di rumah Mbak Romlah. Pintu tertutup rapat, mungkin karena hujan. Diletakkan nya payung yang dia pegang. Bersedekap menahan hawa dingin. Nina segera mengetuk pintu. Lama sekali tak juga ada yang membukakan pintu. Tak terdengar suara apapun dari dalam, karena kalah dengan suara hujan.
Tak menyerah, Nina kembali mengetuk pintu, hingga asanya membuahkan hasil, pintu terbuka.
“Siapa sih datang malam-malam?” Seorang wanita membuka pintu sambil mengomel. Itu adalah Mbak Romlah. Yang membuat Nina tercengang sambil menutup mulutnya adalah, kondisi Mbak Romlah yang hanya berbalut handuk. Pikiran negatif langsung saja menyerbu otak Nina.
“Aku datang untuk menjemput Mas Wito. Mana mas Wito, Mbak?” Nina merangsek masuk dengan berbagai pikiran berkecamuk, karena tak nampak suaminya di ruang tamu rumah tersebut.
“Dek Romlah, siapa sih yang datang? Kok Kamu lama sekali?”
“Mas Wito…?” Nina menatap nanar melihat penampilan suaminya yang baru saja muncul dengan hanya mengenakan celana bokser dan bertelanjang dada.
“Apa ini, Mas?” Nina berjalan mendekat, dan tanpa sadar air matanya mengucur deras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Andez Aryani
awal baca judul,berubah haluan tak kira belok jd kaum pelangi loh thor/Facepalm/
2025-04-02
1
Aafry
Aduh,, maaf.. kepencet like pas masih setengah jalan🥲. belum sampai bawah, tapi kepencet duluan like nya😢
2025-04-24
1
〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ
masa cuma buat beli garam dapur perumpamaannya, yg harganya cuma 3rb perak...
nanti bisa bisa Nina cuma dikasih segitu lagi 🤔🤭
2025-04-07
0