06

“Kenapa marah, Mas? Itu kenyataan kan?” Nina tertawa sinis. “Aku kira hanya wanita saja yang bisa menjual diri. Ternyata laki-laki juga bisa. Bahkan mungkin lebih hebat!”

“Nina!!!”

Plakkk…

Nina memegang pipinya yang terasa kebas. “Kamu menamparku, Mas?” Ditatapnya lelaki yang hingga kini masih menjadi suaminya itu dengan hati penuh luka. Tak percaya pria yang ditemaninya selama tujuh tahun bisa melakukan itu padanya.

Wito memandangi telapak tangannya, penuh sesal. "Nina," panggilnya terbata, suaranya hampir tak terdengar, "Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menamparmu. Aku hanya... aku terlalu marah. Harga diriku merasa diinjak-injak. Aku salah. Aku benar-benar tak bermaksud menyakitimu. Aku hanya... terbawa emosi.”

Hehh.. Nina tersenyum sinis. “Harga diri? Terinjak? Memangnya kamu masih punya harga diri, Mas?”

“Nina!!” Wito menatap Nina tajam. “Jangan makin keterlaluan Kamu. Aku sudah minta maaf, tapi kamu semakin menghinaku,” bentak Wito. Laki-laki itu tidak terima, karena Nina yang selama ini menurut, menjadi pembangkang dan berbicara kasar padanya.

“Lalu kamu berharap apa? Aku tertawa dan bertepuk tangan, begitu?” Mendengar Wito berteriak, Nina pun tak bisa menahan emosi lagi. Kekecewaan yang terpendam sejak semalam, ditambah dengan hinaan dari kakak iparnya tadi pagi kembali mengusik hatinya.

“Aku tahu yang aku lakukan salah. Dan aku sudah minta maaf. Aku khilaf melakukan itu. Aku salah karena aku tergoda. Jangan diperpanjang lagi!” Wito mengusap wajahnya, frustasi dan penyesalan terlihat jelas. Suaranya terdengar putus asa, berharap Nina akan segera memaafkannya.

Ha ha ha ha... Nina tertawa getir, suaranya bergetar menahan amarah. Tawa itu lebih terdengar seperti ejekan, sindiran tajam yang menusuk hati Wito. Ia menggelengkan kepala, tak percaya dengan penyesalan yang ditunjukkan suaminya.

"Khilaf Mas? Khilaf karena ketahuan. Kalau aku tidak tahu, apa kamu juga akan minta maaf dan bilang khilaf?” Nina menatap Wito dengan tajam, matanya berkilau-kilau menahan air mata. Ia merasakan sakit yang luar biasa, bukan hanya karena pengkhianatan, tetapi juga karena merasa diremehkan.

“Lalu aku harus apa agar kamu percaya padaku? Aku benar-benar tidak pernah bermaksud untuk mengkhianati pernikahan kita?” Wito memohon, suaranya terdengar semakin lemah. Ia mencoba meraih tangan Nina, namun Nina menepisnya dengan kasar. Wito merasa putus asa.

“Kalau begitu, putuskan hubunganmu dengan Mbak Romlah, Mas. Jangan hanya omong kosong! Cari pekerjaan lain, jangan lagi bekerja padanya, dan jangan lagi berhubungan dengannya. Buktikan kalau kau benar-benar menyesal! Apa kamu bisa?” Nina menantang, suaranya tegas dan penuh penekanan. Ia ingin melihat kesungguhan Wito, ingin melihat apakah suaminya benar-benar menyesal atau hanya pura-pura.

“Nina? Tapi,,,?” Wito ragu-ragu. Ia tergagap kehilangan kata-kata. Permintaan Nina jauh lebih sulit daripada sekadar mengucapkan kata maaf. Ia terjebak dalam perselingkuhannya, dan sulit untuk melepaskan diri. Dia mencintai Nina, tapi dia juga tak ingin meninggalkan Romlah. Bersama Romlah dia merasa lebih nyaman. Romlah selalu memberikan makan enak dan uang yang banyak. Romlah juga selalu memanjakannya.

“Kamu tidak bisa kan?” Nina berdecih sinis.

“Karena kamu bukan khilaf. Kamu menikmati setiap detiknya! Kamu sangat menikmati perselingkuhan kalian. Jadi jangan salahkan aku jika setelah ini kamu tak punya muka di kampung ini!” Nina membentak, amarahnya memuncak. Ia merasa telah dipermainkan, dipermalukan. Ia tak ingin lagi menjadi Nina yang lemah. Dia akan menjadi kuat untuk dirinya sendiri dan Agus, anak mereka.

“Apa maksudmu? Apa yang akan kamu lakukan?” Wito bertanya, suaranya terdengar panik. Ia mulai menyadari bahwa konsekuensi dari perbuatannya jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan. Ketakutan mulai menguasai dirinya.

Setiap kata yang keluar dari bibir Nina seperti pisau tajam yang menusuk hati Wito. Dia merasa terpojok. Yang di hadapannya kini seperti bukan Nina, wanita yang dia ucapkan ijab Kabul di atas ubun-ubunnya tujuh tahun lalu. Dia seperti berhadapan dengan orang lain.

“Kita lihat saja nanti!” Nina menjawab dengan senyum dingin, senyum penuh misterii. Dia berbalik pergi meninggalkan Wito terdiam dalam kebingungan,

Tapi satu yang pasti, Ia tak akan membiarkan Wito begitu saja lepas. Ia akan memperjuangkan haknya, memperjuangkan keluarganya, dan memperjuangkan harga dirinya. Inilah saatnya untuk mengambil kendali atas hidupnya sendiri.

Wito menatap kepergian Nina dengan hati teriris. Dia sadar, luka yang telah ia timbulkan jauh lebih dalam daripada sekadar tamparan fisik. Pada awalnya dia juga hanya menuruti kemauan Mbak Romlah demi tambahan sedikit uang. Tapi pada akhirnya dia semakin terlena. Mbak Romlah begitu memabukkan, dan membuatnya menjadi candu.

***

Malam belum begitu larut ketika Nina mendengar teriakan dan gedoran di pintu rumahnya. Nina bahkan masih belum bisa tidur. Pikirannya masih berkelana, mencoba menjelajah apa yang akan dia lakukan selanjutnya .

“Tok... Tok... Tok...”

Gedoran itu masih terdengar. Nina menyibak selimut yang menutup sebagian tubuhnya. Suaminya tak ada di sampingnya. Dia memang enggan tidur berdekatan dengan Wito. Dia merasa jijik membayangkan suaminya pernah berbagi peluh dengan wanita lain. Dan mau tak mau Wito tidur di tikar di depan TV. Untung ada kasur tipis di sana.

“Ya... Tunggu sebentar...!” teriak Nina. Lalu berjalan ke depan.

“Mas, bangun, Mas...!” Nina menggoncangkan tubuh suaminya yang pulas bergelung kasur tipis.

“Ada apa sih, Dek..?” Wito menyahut sambil masih memejamkan mata, suaranya berat karena dibangunkan paksa.

“Itu ada yang gedor-gedor pintu di luar...!” jawab Nina. Wito bergegas bangun, membenahi sarungnya sambil menahan kantuk, lalu menuju pintu depan. Nina membuntutinya, dalam hatinya bertanya-tanya, siapa yang bertamu hampir tengah malam begini.

“Lik Supri? Ada apa, Lik?” Tanya Wito. Yang datang ternyata Lik Supri, yang rumahnya tidak jauh dari rumah mertua Nina.

“Itu lho, Bapakmu, bapakmu pergi, To...!” seru Paman Supri, napasnya tersengal-sengal, seolah baru berlari.

“Pergi... Pergi ke mana...? Apa Bapak kumat lagi...?” tanya Wito, rasa kantuknya hilang seketika, suaranya terdengar sedikit cemas.

Nina berpikir hal yang sama, karena Ayah mertuanya yang pikun itu sering bepergian tanpa izin, lalu ditemukan orang dan diantar pulang.

“Bapakmu itu meninggal, To! Kowe kui mudeng pora too…?” seru Paman Supri lagi, kali ini sedikit membentak, karena Wito yang tidak paham perkataannya.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un...” seru Nina dan Wito serentak. Wito membuang sarungnya dan langsung berlari lewat jalan pintas menembus gelapnya kebun.

Nina buru-buru menutup pintu dan hendak menyusul. Bagaimanapun dia masih menantu di keluarga itu, walaupun hubungannya dengan Wito berada di ujung tanduk.

Pak Lik Supri mencegah langkahnya. “Lha, anakmu nanti bagaimana kalau Kamu tinggal sendirian di rumah?” tanya Pak lik Supri

“Agus tidur nyenyak, kok, Pak Lik!” jawab Nina, berusaha meyakinkan dirinya sendiri dan Paman Supri. “Aku mau ikut ke sana sebentar, nanti aku pulang lagi!”

“Ya sudah, tapi jangan lari. Kamu lewat jalan sana, jangan mengikuti suamimu lewat kebun, nanti kamu jatuh malah bikin tambah repot!” saran Paman Supri. Nina menurut, walaupun sedikit lebih jauh karena harus memutar jalan, tapi itu lebih aman.

Sesampainya di sana, rumah mertuanya sudah banyak tetangga berdatangan. Suasana duka begitu kental menyelimuti. Ada yang membersihkan tempat, mengambil air di sumur, menjebol dinding dari anyaman bambu (gedeg), dan menyiapkan masakan untuk selamatan di rumah tetangga sebelah. Kerukunan dan gotong royong warga di daerah itu benar-benar patut diacungi jempol.

Nina meminta seseorang untuk menghubungi kang Damin, dan juga seorang kakak laki-laki suaminya yang rumahnya di luar kota, lalu dia sendiri juga mengabari ayah dan ibunya yang tinggal di desa lain untuk datang takziah.

Acara pemakaman tetap harus dilanjutkan meskipun Ayah mertuanya meninggal di malam hari, karena memang seperti itulah adat di desa itu. Setelah itu, Nina pulang karena khawatir Agus terbangun dan menangis.

***

“Kang Damin sama Kang Sapar mengajak kita patungan untuk biaya pemakaman, hingga selamatan tujuh harian, Dek...!” kata Wito ketika laki-laki itu pulang menjelang subuh, seusai acara pemakaman.

“Ya iya lah, Mas, kamu harus ikut patungan. Wong memang itu bapakmu. Moso kamu mau lepas tangan??”

Terpopuler

Comments

Sukhana Ana lestari

Sukhana Ana lestari

Elah dalah harga diri opo Wit.. emang kamu punya harga diri.. lah bener kata istrimu.. kamu kasih uang boleh jual diri kan.. kok di pertanyakan..?? jenenge opo yo ne wedok jenenge LO*TE.. ne lanang jenenge opo..??

2025-04-03

1

𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒

𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒

wito normal apa sakit? bkn kah lututnya brmslh ms ngono wae y petingkah n s romlah doyan

2025-04-03

0

FT. Zira

FT. Zira

anuu nya udah gak bisa melepaskan diri/Smug//Smug/

2025-04-04

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!