“Mas Wito…?” Nina menatap nanar melihat penampilan suaminya yang baru saja muncul dengan hanya mengenakan celana bokser dan bertelanjang dada.
“Apa ini, Mas?” Nina berjalan mendekat, dan tanpa sadar air matanya mengucur deras. Menggelengkan kepala berkali-kali tak percaya dengan apa yang saat ini ada di depan matanya.
Wito mengulurkan tangan, ingin menyentuh Nina, namun Nina mundur. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat. "Nina, dengar dulu penjelasan aku..." Wito memulai, suaranya bergetar.
Namun Nina tak mampu mendengar. Bayangan-bayangan selama ini, kerja keras Wito, uang yang dikumpulkan, semuanya terasa menjadi dusta. Dia melihat ke arah Mbak Romlah, yang masih berdiri di ambang pintu, wanita itu bahkan tak menampakkan rasa bersalah sama sekali. Pandangan Nina beralih ke sebuah kemeja dan celana panjang suaminya yang tergeletak di lantai, seperti sesuatu yang telah teronggok di sana sejak lama.
"Penjelasan apa lagi, Mas?" Suara Nina terdengar lemah, namun penuh kepedihan. "Aku sudah melihat semuanya."
Wito tertunduk. Dia tak bisa lagi menjawab. Mbak Romlah sangat baik padanya, memberinya pekerjaan saat dia membutuhkannya. Tak hanya itu, Mbak Romlah juga sangat baik, yang selalu dengan setia mendengarkan setiap keluh kesahnya. Hingga di antara kebaikan itu, terselip benih-benih perasaan yang tak seharusnya ada.
Wajah Mbak Romlah yang cantik, kulitnya yang mulus, jauh berbeda dengan istrinya yang kusam tak terawat, membuat mata Wito menjadi silau. Kesempatan untuk berduaan yang selalu ada, apalagi di kala hujan mengguyur deras, dan kelelahan yang melanda, membuat mereka berdua terjerumus.
Dan sebenarnya, ini bukan untuk pertama kalinya mereka melakukan itu. Setiap kali dia pulang terlambat, sebenarnya bukan untuk menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan pasar, melainkan untuk menggarap ladang surgawi milik Mbak Romlah. Kenikmatan batin, dan uang yang selalu diberikan oleh Mbak Romlah, membuat Wito semakin terlena.
"Aku khilaf, Nina," lirih Wito. "Aku,,,."
Nina terisak. Dia tak bisa membayangkan bagaimana bisa suaminya, yang selama ini begitu menyayanginya, tega melakukan hal ini. Di rumah Wito selalu bersikap biasa, tak ada yang berubah, dia tetap menyayanginya dan juga anaknya. Siapa sangka ternyata di belakangnya, Wito tega berbuat demikian. Dia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Wito, tetapi juga oleh Mbak Romlah, yang selama ini dianggapnya sebagai tetangga yang baik hati.
Nina memutar tubuhnya, menatap ke arah Mbak Romlah yang berdiri dengan bersedekap. Senyum sinis tampak di sudut bibir janda muda itu.
"Kenapa kamu tega, Mbak?" Nina bertanya, suaranya gemetar menahan amarah. Air matanya masih mengalir, tapi kini bercampur dengan rasa sakit hati yang membuncah. “Kamu cantik, kamu banyak uang. Dan kamu tahu, Mas Wito adalah suamiku. Apa tidak ada laki-laki lain di luar sana yang bisa kamu dapatkan?” Nina menangis semakin tergugu.
Kata-kata Nina membuat Mbak Romlah lagi-lagi tersenyum sinis, bahkan kali ini lebih lebar. "Jangan berpura-pura bodoh, Nina. Harusnya kamu tahu, uang yang Wito berikan selama ini, sebagian besar adalah hasil 'perjanjian' kita." Mbak Romlah bukannya merasa bersalah, malah seakan mengejek.
"Aku membantunya, dan kamu menikmati hasilnya. Sekarang kau harusnya bersyukur, hutang-hutangmu lunas, dan kau tak perlu lagi khawatir akan kelaparan."
Kalimat Mbak Romlah menusuk hati Nina bagai sebilah pisau. Dia terhuyung mundur, rasa harga dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya. Kehidupan yang lebih mudah beberapa waktu terakhir, yang dia syukuri, ternyata dibangun di atas pengorbanan yang tak ternilai harganya. Kehormatan dan kesetiaan suaminya.
Nina menggelengkan kepala. "Kamu memanfaatkan kesusahan kami, lalu kamu... kamu..." Nina tak mampu melanjutkan kalimatnya, rasa kecewa dan sakit hati memenuhi dadanya. “Padahal kamu juga seorang wanita Mbak. Apa kamu tidak akan sakit seandainya kamu diperlakukan seperti ini? Di mana hati nuranimu?”
“Halah, kamu terlalu banyak omong. Dan kamu itu munafik. Padahal semua uangku sudah kamu nikmati.” Lagi-lagi hanya kalimat ejekan yang keluar dari mulut Mbak Romlah. “Kamu pikir, kalau hanya mengandalkan hasil kerja Wito, kamu bisa melunasi hutang-hutang kalian?”
"Aku tak butuh kemudahan yang kau berikan dengan cara seperti ini, Mbak!" Nina membentak, suaranya bergetar hebat. Dia menatap Mbak Romlah dengan penuh kebencian. "Kalau saja aku tahu itu hasil menjual diri, aku tidak akan menerima nya. Aku lebih baik miskin dan tetap menjaga harga diriku, daripada makan enak dengan cara yang menjijikkan seperti ini!"
Nina menatap Wito, yang masih tertunduk lesu. Dia melihat penyesalan di mata suaminya, namun penyesalan itu tak cukup untuk menghapus luka yang telah tertoreh dalam hatinya. Dia merasa telah dipermainkan, dijadikan alat untuk melunasi hutang, dengan cara yang paling kejam dan memalukan.
“Ingatlah Mbak, hukum takbir tuai itu ada. Mungkin tidak sekarang. Tapi pasti akan datang.”
Nina berbalik, meninggalkan rumah Mbak Romlah. Hujan semakin deras, membasahi tubuhnya, namun tak sebanding dengan air mata yang terus mengalir. Agus menunggunya di rumah, dan dia tak tahu, apakah harus memberitahu anaknya tentang kenyataan pahit ini. Bagaimana dia harus menjelaskannya?
Dia tak tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya, tapi satu hal yang pasti, dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali harga dirinya, dan memutuskan masa depannya, tanpa harus bergantung pada belas kasihan atau kemudahan yang diperoleh dengan cara menjijikkan.
Di perjalanan pulang, Nina merenungkan semuanya. Dia tak bisa langsung memutuskan untuk bercerai. Dia harus memikirkan Agus, masa depan anaknya. Namun, kepercayaan yang telah hancur, sulit untuk dibangun kembali. Dia harus mencari kekuatan untuk menghadapi semuanya, untuk dirinya sendiri, dan untuk Agus.
“Ayah mana, Bu?” Sesampainya di rumah, pertanyaan dari Agus menyambutnya. Nina tak mampu menjawab, hanya memeluk anaknya erat-erat, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Ayah, masih ada kerjaan. Agus tidur dulu aja ya."
Agus, anak kecil berusia enam tahun itu mengangguk. Dia tidak tahu ada apa. Tapi dia merasa ibunya sedang tidak baik-baik saja.
Wito datang beberapa saat kemudian, tubuhnya basah kuyup karena menerobos hujan. Dia melihat Nina duduk di tepi ranjang tua di kamar mereka yang sempit. Punggung wanita itu menelungkup, bahu bergetar menahan isak tangis. Hujan tak kunjung reda, bahkan mencurahkan airnya semakin deras. Seakan ikut menangis bersama Nina,
Wito mendekat, ingin memberikan pelukan, mengucapkan kata-kata penyesalan. Namun, sebelum dia sampai, Nina menepis tangannya dengan kasar. Tatapannya tajam, dipenuhi luka dan amarah yang membara.
"Jangan sentuh aku!" bentak Nina, suaranya tertahan isak. "Bagaimana bisa kau tega melakukan ini padaku, Mas? Setelah semua pengorbanan yang kulakukan, setelah semua kerja keras kita bersama untuk melunasi hutang, kau malah... kau malah..." Nina terisak, tak mampu melanjutkan kalimatnya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat.
Wito tersentak, hatinya semakin remuk. Baru sadar bahwa dia telah melukai wanita yang dicintainya sedemikian rupa. Dia mengerti, kata-kata tak akan mampu memperbaiki semuanya. Kesalahan yang telah dia perbuat terlalu besar, terlalu menyakitkan.
Nina menatap Wito dengan mata yang berkaca-kaca, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan yang mendalam. "Aku mempercayaimu, aku mengandalkanmu, tapi ternyata, kamu membalasnya dengan pengkhianatan yang begitu menyakitkan!" suaranya meninggi, dipenuhi rasa sakit hati yang amat dalam.
"Kau telah menghancurkan kepercayaan, menghancurkan harga diriku, dan menghancurkan keluarga kita!" Nina mengepalkan tangannya, menahan amarah yang hampir meledak. "Aku benci kamu, Mas Wito! Aku sangat membencimu!" teriaknya, suaranya penuh keputusasaan.
“Apa Kamu tahu, Mas? Seandainya saja bisa, aku ingin mengorek kembali isi perutku agar aku bisa memuntahkan nya kembali. Aku jijik mengingat ternyata aku makan dengan menjual tubuh suamiku untuk dinikmati wanita lain.”
Tanpa mereka sadari, pertengkaran hebat itu disaksikan oleh Agus, anak mereka yang baru saja duduk di bangku TK. Agus, yang semula hendak berangkat tidur, urung dan berlari mendekat saat mendengar suara bentakan ibunya. Ia melihat orang tuanya bertengkar dengan hebat, air mata mengalir deras di wajah ibunya, sedangkan ayahnya tertunduk lesu. Kata-kata yang mereka ucapkan tak dimengerti Agus, namun ia merasakan suasana tegang dan menakutkan. Hati kecilnya dipenuhi ketakutan dan kebingungan.
Agus melihat ibunya menangis tersedu-sedu, bahunya bergetar hebat. Ia ingin mendekat, ingin memeluk ibunya, namun kakinya terasa berat, tak mampu melangkah. Ia hanya bisa diam terpaku, menyaksikan pertengkaran orang tuanya dengan pandangan kosong. Air mata yang semakin membanjiri pipinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Patrick Khan
.oalah romlah romlah gk ero riyoyo ta.. wes gae duso😂😂
2025-04-02
1
𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒
betul rasane pasti sakit sekali y ketika kita tlh di hianati olh org yg sangat kita percaya, yg slma ini hmpr g ada cacatnya taunya wis nyesek tenan..mending2 bojone ketok moto ky preman arogan dll msl mendapati nerbuat asusila sdh siap mental
2025-04-03
0
FT. Zira
Agus, abak kecil/CoolGuy//CoolGuy/
2025-04-02
0