Diary Depresi

Diary Depresi

Pagi Kelam

Sejak tadi aku mondar-mandir di kamar, menarik nafas berat, lalu berdengkus, begitu saja, meski kebaya sudah tertata rapi melekat di tubuh, dan wajah dipoles make up senatural mungkin, hasil meniru dari tutorial video, aku mana bisa merias wajah dengan piawai.

Sesekali aku dekatkan kuping ke daun pintu, menajamkan pendengaran, agar bisa menangkap suara-suara bising, tetapi terdengar samar dari ruang tengah. Hal yang sudah biasa terjadi beberapa bulan belakangan.

Namun, kali ini malah membuatku kesal dan gereget sendiri. Tak tahu harus berkata apa pada kedua orang tuaku itu.

Tak berapa lama, terdengar bunyi benda yang berantuk ke lantai, suaranya menggelegar cukup keras, bersamaan dengan teriakan Ibu.

Ya ampun!

Pikiranku malah kian kacau, dalam keadaan seperti ini hanya bisa menggenggam erat kedua tangan, mencoba menenangkan debar jantung yang berdetak lebih cepat.

Meski pendingin ruangan sudah dihidupkan, aku mulai merasa palak. Di balik kebaya cokelat perlahan peluh mengucur. Kuhempaskan diri ke atas kasur. Ada rasa yang sulit dijabarkan sedang menguasai sekujur tubuh ini.

Kedua bola mataku menatap sejurus pada langit-langit kamar, walau begitu fokus pikiranku benar-benar kosong, semua itu entah berlangsung dalam berapa waktu. Beruntungnya tak ada makhluk astral datang merasuki.

Aku tersadar saat tak sengaja melirik ke arah jam dinding, sebentar lagi pukul delapan, acaranya akan dimulai, tapi aku masih dalam kebingungan.

Tanganku bergerak ke sana-kemari di atas kasur, mencari keberadaan ponsel yang tadi kuletakkan sembarangan.

Setelah berhasil menemukan ponsel di balik bantal, aku mendelik pada layarnya, ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Rara, sahabatku. Yah! Ini efek dari kebiasaan memakai mode senyap.

"Ra, apa acaranya sudah mulai?" tanyaku yang menelepon balik, sembari memilin ujung kebaya, berharap belum dimulai.

"Sebentar lagi, MC-nya sudah stay di podium, kamu di mana, sih? Buruan ke sini," recok Rara, lebih tepatnya dia sedang panik, aku tahu ia tidak ingin aku melewatkan acara itu.

"Di kamar," jawabku singkat. Pernyataan yang berhasil membuat Rara menjerit.

"Astaga! Kamu kenapa? Sakit? Plis, Alika ... ini terakhir kalinya kita ngumpul bareng, kapan lagi coba? CEPAT! buruan ke sini, kursimu sudah aku siapkan di sebelahku, tadi si Ucok mau duduk aku suru pergi." Lagi-lagi ocehan Rara memenuhi telingaku.

Yups! Aku merasa hanya Rara yang benar-benar peduli, walaupun nyatanya dia sangat cerewet.

"Oke, Ra." Jawabku, dan lekas memutuskan panggilan.

Kuatur nafas, berharap bisa lebih tenang, meski pekik Ibu juga sahutan Ayah masih sesekali terdengar, ditambah lagi rengekan Naca, adikku. Benar-benar semrawut keadaan di luar sana.

Aku bangkit dengan malas dari tempat tidur, berjalan lemas menuju meja rias, lantas berdiri lemah menatap pantulan bayangan di depan cermin yang retak. Kudapati alisku saling bertaut dengan wajah cemberut.

Kesal? Sudah pasti.

Sejak kemarin, dan semalam aku ingatkan pada Ibu dan Ayah, kalau hari ini mereka diundang pada acara perpisahan murid, malah tak ada yang peduli, keduanya sibuk adu mulut di pagi hari. Pening rasanya.

Sekali lagi aku memastikan kebaya yang dipakai sudah rapi, dandanan sudah pantas, anak rambut yang menggantung di pelipis kuselipkan ke belakang kuping, lalu mencoba untuk mengukir sebuah senyuman.

Tak ayal, jurus mengukir garis simetris itu bagaikan sihir, mampu menetralkan suasana hati, setidaknya aku bisa sedikit lebih legah dan toleran dengan diri sendiri. Sepertinya aku harus lebih sering tersenyum untuk tetap waras.

Ya sudahlah! Jika memang harus berangkat seorang diri ke acara kelulusan berbekal rasa kecewa. Toh tanpa kehadiran Ibu dan Ayah acara itu akan tetap berlangsung, meski aku kehilangan momen bersama keduanya. Apa momen itu penting? Bagiku sangat penting!

Setelah Naca lahir dan Ayah punya pekerjaan tetap, perhatian Ibu dan Ayah semakin berkurang, aku sangat rindu dengan kebersamaan kami yang dulu. Sejak TK hingga SMP selalu ada momen manis meski sederhana.

Sejujurnya tak ada rasa cemburu dengan lahirnya Naca, malah aku sangat senang punya adik kecil lucu dan menggemaskan. Hanya saja, perubahan sikap orang tua menjadikan terasa kosong di ruang hatiku.

"Alika ... mau sarapan apa, Nak?"

"Alika, bekalnya sudah dimasukkan tas, kan?"

"Alika, sini rambutnya ibu rapikan."

"Alika, bagaimana di sekolah tadi?"

Kalimat-kalimat itu kini hanya angan-angan, tak tahu lenyap ke mana. Setiap pagi hanya ada omelan dan ocehan yang menusuk telinga hingga tembus ke jantung, membuat sekujur tubuh terasa kaku.

Perlahan daun pintu yang terbuat dari kayu jati kubuka, mengintip sebentar ke arah ruang tengah. Ada Ayah duduk tertunduk di sofa, tangan kanannya menopang kepala, sementara tangan kirinya memijat pangkal hidung.

Ibu yang berdiri sambil menggendong Naca, tak berhenti mulutnya komat-kamit. Adik kecilku itu romannya sedang ketakutan, wajahnya ditekuk dan tampak gusar.

Sorot mataku berganti mengamati lantai, ada banyak kepingan vas bunga di sana, sepertinya benda itu yang berbunyi keras tadi, sementara di sudut lain mainan Naca berserakan.

Ya ampun! Sungguh pemandangan yang bikin mood terjun bebas.

Aku berjalan mengendap keluar dari kamar, entah mereka menyadari atau tidak, aku tidak peduli. Tanganku menyambar kunci sepeda motor di atas nakas, lalu bergegas menuju garasi kecil di samping rumah.

Sepeda motor matic milik Ibu kupacu ke luar pekarangan menuju jalan raya. Meski belum memiliki SIM, aku lumayan handal berkendara. Agar tidak terlambat, kutarik gas dan melaju di jalanan yang ramai, khas suasana keramaian kota di pagi hari.

Matahari belum panas terik, hanya terasa hangat di kulit. Tiupan angin menerpa wajah, sedikit membuat mata perih, tetapi tak lebih perih dari hatiku yang kesepian. Lalu-lalang kendaraan lain dan suara klakson bersahutan terus kulewati, bersama pikiran yang mulai kembali kosong.

Aku merasa menjadi korek api yang apabila dipercik api bisa berkobar. Ada kemarahan terpendam dalam dada, tak tahu harus ditumpahkan ke mana. Pada Ibu atau Ayah? Itu bukan ide baik. Aku tak ingin dibentak dan disalah-salahkan lagi, hanya karena menuntut sebuah perhatian kecil. Itu sangat menggangu pikiran.

Rara? Yah, dia memang pendengar baik. Tapi, aku butuh lebih dari kata 'sabar' dan 'keep smile' yang kerap ia ucapkan.

Seakan tak takut mati, kutambah kecepatan lari sepeda motor, membelah jalan dan menyalip pengendara lain. Bodo amat jika harus terjatuh dan berdarah-darah, bukankah itu lebih baik daripada hidup tapi terabaikan?

Luapan emosi bagai lelehan lava pijar yang bisa berimbas pada siapa saja. Entah sejak kapan aku jadi seperti ini, terkadang urakan, dan kadang kala sebeku es.

Tiba-tiba saja terdengar suara klakson panjang dan nyaring, membuyarkan lamunan. Mataku terbelalak saat menyadari ada truk besar berjarak hanya beberapa meter, tepat di depan sepeda motorku.

"Aaaarrrrrrrgggggghhhhh!"

Terpopuler

Comments

Embunpagi

Embunpagi

kerennn

2023-08-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!